"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Sejak kapan ibunya tidak ada, Pak?" Pak RT melangkah mendekat ke arah tubuh Ibu."Sejak lima belas menit yang lalu, Pak. Kami sangat sedih dan masih syok hingga saat ini. Kami kaget karena beliau tidak sakit terlebih dahulu. Tiba-tiba saja ibu terjatuh." Aku tak sepenuhnya berbohong. Mengatakan apa adanya pun tak mungkin. "Kalau begitu saya pamit dulu untuk mengumumkan pada warga. Setelahnya saya akan kembali ke sini." "Terima kasih banyak, Pak." Kepala kuangukkan pada Pak RT. Setelah memastikan ketua rukun tetangga itu pergi kudekati Desti."Urusan kita belum selesai, Desti! Aku tahu kamu pasti bahagia atas meninggalnya ibuku. Namun, tolong jangan tunjukkan kepuasanmu di depan orang-orang yang bertakziah nantinya. Bisa kan kamu akting sedih di depan mereka? Dan jangan membuat ulah yang membuatmu malu selama ibu belum dimakamkan!"Kembali kutunjuk muka Desti yang berada tepat di depan diri ini. Aku yakin perempuan itu bersorak senang di dalam hati
POV AuthorRadit memejamkan mata sekian detik. Dia berharap apa yang dilihatnya kali ini hanyalah halusinasi semata. Sebab ia tak yakin dengan penglihatannya. Namun, apa yang dianggap halusinasi itu tak juga enyah saat indra penglihatannya dibuka. Malah semakin mendekat ke arahnya. Menyadari ini bukan sekedar mimpi atau halusinasi lelaki itu berusaha keras untuk menetralkan perasaannya yang sakit. Sakit melihat tangan Alina digenggam laki-laki lain. Sakit menatap anak laki-laki satu-satunya dituntun oleh pria lain. Ya, Randu menuntun anak istrinya di masing-masing tangannya sejak meninggalkan mobil yang terparkir di rumah yang ada di seberang kediaman Desti. Pria yang sedang berduka itu berusaha untuk melengkungkan bibirnya hingga membentuk senyuman. Ia berusaha tersenyum karena pada akhirnya ada keluarga yang datang di saat merasa kehilangan. Sebab di belakang Randu ada saudara-saudara Radit yang turut serta. Mata Radit menatap tak percaya pada orang-orang yang berjalan ke arahnya
Niswa membalikkan badan. Perempuan yang dekat dengan Alina itu pun menghentikan langkah kakinya. Ia tatap dalam-dalam manik coklat milik Desti."Benarkah begitu? Tapi, kami juga tidak merasa bersalah sama sekali terhadap kalian. Sebab yang kami bicarakan itu nyata. Dan tidak ada hubungannya dengan kalian. Toh, selama ini juga yang tersakiti itu Alina bukan kalian." Niswa memberikan jawaban yang menohok bagi Desti. "Kata siapa kami tidak tersakiti, Mbak? Wanita itu serakah. Merampas hak Bang Radit. Dia telah menguras harta gono-gini. Masih dibilang tidak nyakitin kami?" Desti menjawab ketus sembari berjalan. "Mbak Nanik berangkat jam berapa dari rumah?" Radit sengaja menengahi mereka dengan mengalihkan pertanyaan. Tersebab, Radit tahu Niswa akan memberikan jawaban yang akan semakin menyudutkannya. "Jam dua pagi kayanya, Dit. Kami berangkat ke rumah Mbak Niswa dulu. Dari sana baru dijemput oleh Randu." Nanik menggandeng tangan Niswa lalu mengelus-ngelusnya. Nanik paham perempuan di s
"Ya sudah, nggak papa kalau tidak mau. Bukan salah Wildan kalau akhirnya ia bersikap seperti itu. Ini murni salahku yang mengabaikannya selama ini." Radit tertunduk sedih. Suaranya bergetar. Apa yang ia katakan tulus dari dalam hati. Sebab ia merasa semua ini akibat perbuatannya selama ini. Selain itu,Radit sengaja segera menjawab demikian, sebab Desti sudah siap membuka mulut untuk menjawab kembali. Radit hapal betul karakter istrinya yang tak mau kalah. Radit sangat malu terhadap Randu dan Alina gara-gara mulut Desti yang tak memiliki saringan sama sekali. "Bagus kalau kamu akhirnya sadar, Radit! Ini kan buah dari perbuatanmu selama ini. Terima dan hadapi dengan kepala tegak!" pungkas Niswa sembari menepuk pundak sepupunya itu. Radit menganggukkan kepala sebagai responnya. Sebenarnya Niswa kasihan terhadap Radit yang mendapatkan penolakan Wildan. Namun, ia tak tahan bila Alina disalahkan oleh Desti. "Cepat atau lambat nanti anaknya pasti mengerti, Bro. Harap bersabar. Mungkin
POV RaditSelalu ada hikmah di balik musibah. Aku mencoba berpikir positif terhadap kematian ibu. Kehadiran Wildan adalah salah satu hikmah atas meninggalnya ibu saat ini. Aku yakin seratus persen, Alina tidak akan pernah membawa anak kami datang kemari kalau bukan untuk takziah. Dan ini sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku yang bisa melihat dan menatap Wildan secara langsung meskipun, anak lelaki itu masih enggan aku pangku. Padahal, dulu ia akan merajuk bila aku tak langsung menyapanya di saat pulang ke rumah Alina. Namun, itu menjadi sebuah kewajaran karena akulah yang menyebabkan dia berubah.Aku harus mengucapkan ribuan terima kasih pada Alina yang telah sudi datang ke sini. Wanita itu memang memiliki hati seluas samudera. Dari sorot matanya aku bisa melihat ketulusan Alina. Tidak ada niat apa pun ia datang ke sini selain untuk takziah. Sebab itulah rasa penyesalan telah menyia-nyiakannya kembali membelenggu relung hatiku. Berkat keluasan hati Alina lah ia bisa membawa Wildan
"Bang! Buka pintunya!" Desti menggedor pintu kamar yang aku tempati ini.Suasana berduka yang seharusnya tenang berubah menjadi gaduh dan penuh keributan. Dan Desti yang menjadi penyebab semua itu. Seandainya aku tak termakan buaian Desti, mungkin saat kehilangan ibu seperti ini aku sudah terhibur oleh Alina. Wanita itu selalu bisa menyenangkan dan menenangkan. Hanya saja aku tak pandai bersyukur hingga kehilangan perempuan sebaik dia. Saat ini aku sudah tidak lagi bisa menggapai hati Alina yang memiliki ketulusan seluas samudera. "Bang! Kamu dengar suaraku kan?" Dari suaranya aku tahu Desti masih berdiri di balik pintu. Aku tahu maksud Desti memanggilku. Tujuannya adalah uang yang ada dalam genggamanku. Lekas, kubuka amplop putih yang tadi diberikan oleh Randu. Sepuluh lembar berwarna merah. Aku rasa ini cukup untuk bekal meninggalkan rumah ini. Uang dari para pelayat biarlah diambil Desti kalau memang ia sangat ingin uang. Toh, di rumah ini tidak akan ada acara tahlilan seper
Niat tulus bertakziah harus ternodai dengan adu mulut. Mulutnya Desti tidak ramah dan tajam membuat aku tak sanggup lagi meredam emosi yang meletup-letup di dalam dada.Berdiam diri sama dengan menyerahkan dan membiarkan harga diriku diinjak-injak oleh istrinya Mas Radit. Dan aku tidak mau serta tak rela bila itu terjadi. Di dalam sini aku berusaha kuat untuk menekan emosi yang ingin meletup-letup. Bisa-bisanya Desti menuduh aku. Dia kira akulah yang mempengaruhi Wildan untuk tidak mau dipangku bapaknya. Padahal, kelakuan Mas Radit sendiri yang membuat anaknya enggan mendekat. Berita meninggalnya ibu adalah duka tersendiri bagiku. Hidup bersama hingga belasan tahun tentu akan menyisakan banyak kenangan dalam hidupku ini. Aku sedih dan merasa ada yang hilang saat diberitahu kabar duka dari Mbak Niswa. Namun, aku tidak antusias untuk bertakziah, sebab sudah ada bayangan perlakuan Desti terhadap kami nantinya.Kalau bukan karena wejangan Bang Randu aku enggan jauh-jauh datang ke rumah
"Karena saat ini Alina Shasa Putri adalah nyonya rumah di rumah itu." Ada yang menghangat di dalam sini hingga menjalar di pipi. Dari sorot matanya aku tahu Bang Randu tulus mengucapkan itu. Terima kasih ya Allah … telah Engkau berikan suami yang setulus — Bang Randu pada hamba. Terima kasih ya Allah … telah kau hadirkan bahagia setelah merasakan pedihnya pengkhianatan selama beberapa tahun terakhir.Memang, kadang untuk bisa merasakan nikmatnya sesuatu harus merasakan sakit terlebih dahulu. Contoh kecil, kita akan merasakan nikmatnya sehat setelah sembuh dari sakit. "Kok, melamun lagi. Kenapa?" Bang Randu merubah posisi duduknya."Aku bersyukur atas semua nikmat yang Allah berikan. Termasuk mensyukuri karunia diberi suami yang Masya Allah baiknya." "Kamu terlihat cantik kalau sedang merona, Sayang. Teruslah tersenyum seperti ini. Dan jangan biarkan siapapun merusak kebahagiaanmu. Terlebih orang semacam Desti." Bang Randu menggenggam tanganku erat."Terima kasih ya, Bang. Atas semu
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter