"Nggak pengen tau kenapa, gitu?" tanyanya setelah aku ber oh ria. Aku menggeleng. "Karena tidak ada yang cocok di hati ini selain Alina Sasha Putri." "Gombal!" Aku mencibir sembari membuang muka. Lalu segera turun dari mobil. Segera kubawa langkah kaki untuk turun dari mobil. Selain untuk segera melaksanakan salat, aku pun tak ingin terjebak di hadapan Bang Randu dengan perasaan yang entah. Takut dia khilafah. Sebab itu aku sengaja segera lekas turun karena menghindar dari Bang Randu. Saat ini ia tak boleh melihat pipi ini yang seperti kepiting rebus. Merah. Aku pasti sangat malu bila suami melihat pipi ini memerah, disebabkan ada yang menghangat di dalam hati ini. Kepalaku pun rasanya penuh dengan bunga-bunga.Bersama Bang Randu, aku seperti lupa diri kalau sudah tak lagi muda. Bersama lelaki itu rasanya aku seperti kembali ABG yang merasakan jatuh cinta lagi. Semoga Allah menjaga cinta kami hingga ke Jannah-Nya. Aamiin.Segar, itu yang aku rasakan setelah muka ini terbasuh oleh
Mau ngapain lagi manusia satu itu? belum puas rupanya manusia itu mencari masalah dengan aku? "Sini, Mbak." Tangan ini menengadah pada perempuan berkerudung ungu. Kakak perempuan Mas Radit pun segera menyerahkan benda pipih yang canggih itu padaku."Mau ngomong apa? Cepat, waktuku nggak banyak!" Sedikit kusentak perempuan di seberang sana. Wanita macam dia tidak perlu diajak bicara dengan lemah lembut."Apa yang kamu katakan pada suamiku hingga dia kabur dari rumah? Kamu dari dulu memang jahat, Alina!" Suara Desti tersengal-sengal di sana. Jelas, emosi sedang menguasai dirinya.Baiklah, Desti, kamu ibarat daging yang nyamperin tusukan. Maka siaplah untuk dibakar dengan permainanku. Bersiaplah menjadi sate. Sepertinya asyik kalau aku memainkan perasaannya. "Mau tahu apa yang aku katakan pada suamimu? Tapi, sayangnya aku tidak akan membocorkan padamu!" Salah satu bibir ini kutarik ke atas saat membayangkan Desti menahan geram. "Setan kamu Alina! Tidak salah kalau aku benar-benar mem
Ketika Istri Mati Rasa Bab 76POV Radit"Bang. Mana uang dari pelayat kemarin?" Desti datang padaku dengan tangan menengadahkan. Tak lagi nampak senyum ramah seperti dulu-dulu lagi.Tadi selepas kepergian Alina dan rombongannya Mbak Ratmi menyerahkan uang dari para pelayat. Ia yang menghitung dan mengurusi uang tersebut. "Untuk apa kamu meminta uang tersebut?" tanyaku tanpa menoleh padanya. Saat itu aku sedang memikirkan bagaimana langkah hidupku setelah ini."Iya untuk mengganti biaya perawatan ibumu selama di sinilah." Jawaban Desti membuatku menoleh dan melotot ke arahnya."Berapa banyak uang yang kamu keluarkan untuk membiayai ibuku? Berapa banyak? Itu tidak sebanding dengan apa yang kamu rampas dari ibu. Tanah. Jadi jangan harap aku akan memberikan uang tersebut." "Bang! Jangan pernah kau ungkit lagi uang tanah tersebut. Sudah habis tak bersisa. Selain itu, biaya hidup ibu dan kamu selama di sini itu jumlahnya jauh lebih besar daripada uang tanah tersebut! Nggak imbang, Bang!"
Dering handphone yang berisik menggagalkan lamunanku tentang Alina.Kuambil salah satu gawai itu dari dalam saku jaket. Nama Desti muncul sebagai pemanggil. Sejenak ku atur napas. Mau apa dia?"Mau apa?" Tak lagi ada salam pembuka saat berbicara dengannya. Muak itu yang aku rasakan saat ini."Bang! Apa yang ada di otakmu hingga benar-benar meninggalkan aku? Apa yang dikatakan Alina padamu? Cepat pulang! Kamu pikir bisa bebas pergi setelah melihat aku jatuh miskin dan hancur begini?" Suara Desti terdengar memburu di sana. Entah apa yang membuatnya marah. Seharusnya ia senang melihat kepergianku. Bukankah ia akan bebas pergi kemanapun bersama Irwan?"Kenapa kamu bawa-bawa nama Alina? Semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan mantan istriku. Wanita sebaik dia tidak pernah menghasut orang lain! Aku pergi karena kelakuanmu se —" Aku belum sempat menyelesaikan ucapan sebab segera dipotong oleh Desti."Bang! Aku tahu di mana letak salahku, tapi tidak seharusnya kamu membandingkan aku denga
POV AuthorRadit terduduk lemas setelah mencari keberadaan motor yang juga tak ditemukannya. Kendaraan roda dua itu kini sudah tak lagi di tempat semula. Entah siapa yang membawanya?"Allah … kenapa kendaraan itu harus hilang? Bagaimana caraku pergi dari tempat ini?" Radit bergumam dengan nada sedikit kesal. Kecewa jelas terpatri dari wajahnya yang terlihat lelah.Lelaki yang sedang banyak masalah itu terduduk lemas di keramik yang menjadi batas suci. Dia menjambak rambutnya dengan frustasi. Radit tergugu di tempat duduknya. Udara dingin tak lagi ia hiraukan. Ada yang lebih menyakitkan dari sekedar merasakan dinginnya yang menggigit.Niat awal bangun dari tidur untuk salat malam, kini ia habiskan waktunya untuk menangisi hilangnya motor. Wajah yang disembunyikan di antara dua lutut telah basah oleh air mata."Pak, ada yang bisa kami bantu? Bapak ini siapa? Dari mana? Dan memgapa bisa sampai sini?" Seorang lelaki bersorban dengan gamis putih mendekati Radit. Tangan yang memegang tasbi
"Bisa jadi ujian yang mengangkat derajat. Bisa pula itu teguran yang menjadi adzab. Kita tidak tahu ini sebuah ujian atau teguran yang menjadi azab?" Pak Rustam sengaja tidak lagi melanjutkan ucapannya sebab ingin melihat respon Radit Jawaban Pak Rustam sukses membuat Radit tercengang. Ia ingin bersuara, tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan.Lelaki yang sudah berkepala empat itu menundukkan. Matanya menanas. Seluruh kesalahan dan kedzaliman di masa lalunya bermunculan satu per satu. Seolah mereka mengatakan 'Inilah adzab untukmu sebab pernah melakukan hal ini. Terimalah ganjaranmu yang belum seberapa ini.'Semakin lama penghakiman itu semakin gencar, membuat Radit semakin tergugu. Air mata yang tadi hanya menumpuk di pelupuk kini telah berjatuhan ke pipi tanpa permisi.Pak Rustam sendiri ikut terdiam. Memberi ruang untuk Radit."Lalu, saya harus bagaimana menyikapi ini semua, Pak?" Radit mengendonggak Setelah menyusut air matanya."Anggap ini ujian serta teguran yang akan mengha
POV AuthorRatmi yang sedang menyapu halaman rumahnya histeris saat menatap Ralia yang ingin menyebrang jalan raya. Sebab dari arah selatan melintas mobil dengan kecepatan lumayan tinggi. "Ralia! Mundur! Diam di situ dulu! Nanti Bude jemput." Ratmi membuang sapu lidi dalam genggamannya.Ratmi tidak melepaskan pandangannya pada gadis kecil yang sedang menangis di tepi jalan itu.Perempuan yang tak pernah akur dengan ibunya Ralia itu berjalan menuju keponakannya. Wanita bertubuh subur itu sudah berhasil menyebrang jalan dan menggandeng tangan mungil milik Ralia.Ada berbagai pertanyaan muncul di kepala Ratmi. Perempuan itu menangkap sesuatu yang tidak beres. Sebab tidak pernah sebelumnya Ralia berjalan sendiri ke rumahnya. Namun, bertanya dengan Ralia harus pelan-pelan. Agar ia bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan."Kamu kenapa berjalan sendiri, Nduk? Ke mana ibumu?" Ratmi mengelus pucuk kepala Ralia yang kini sudah duduk di ruang tamu rumahnya. Dia sodorkan segelas air putih pada
"Mbak, aku barusan kehilangan dompet dan seluruh uang." Radit mengadu pada Ratmi. Napas lelaki itu tersengal-sengal. "Innalillahi … lalu sekarang kamu di mana?" tanya Ratmi penuh dengan rasa khawatir.Belum sempat menjawab handphone Radit telah mati. Radit lupa mengisi baterai pada handphonenya.Radit terkulai lemas di atas pos ronda. Pikirannya benar-benar kalut dengan semua ini.Dia tidak tahu harus berbuat bagaimana. Kembali ke Pak Rustam, Radit malu. Dengan langkah gontai Radit pergi meninggalkan pos ronda. Dia tak peduli lagi dengan mobil travel yang sedang ditunggunya. Toh, saat ini ia tak lagi memiliki uang untuk membayar ongkos kendaraan tersebut nantinya.Tanpa Radit sadari di belakangnya, ada dua lelaki yang terus membuntuti dan memata-matainya. Orang-orang suruhan Desti.******Di rumahnya, Desti tampak uring-uringan. "Ralia! Ke mana sih kamu? Anak kecil belajar kabur-kaburan. Tidak bisa diatur. Ngerepotin aja!" Desti ngoceh sendiri sembari menutup pintu.Desti baru akan
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter