"Mbak, aku barusan kehilangan dompet dan seluruh uang." Radit mengadu pada Ratmi. Napas lelaki itu tersengal-sengal. "Innalillahi … lalu sekarang kamu di mana?" tanya Ratmi penuh dengan rasa khawatir.Belum sempat menjawab handphone Radit telah mati. Radit lupa mengisi baterai pada handphonenya.Radit terkulai lemas di atas pos ronda. Pikirannya benar-benar kalut dengan semua ini.Dia tidak tahu harus berbuat bagaimana. Kembali ke Pak Rustam, Radit malu. Dengan langkah gontai Radit pergi meninggalkan pos ronda. Dia tak peduli lagi dengan mobil travel yang sedang ditunggunya. Toh, saat ini ia tak lagi memiliki uang untuk membayar ongkos kendaraan tersebut nantinya.Tanpa Radit sadari di belakangnya, ada dua lelaki yang terus membuntuti dan memata-matainya. Orang-orang suruhan Desti.******Di rumahnya, Desti tampak uring-uringan. "Ralia! Ke mana sih kamu? Anak kecil belajar kabur-kaburan. Tidak bisa diatur. Ngerepotin aja!" Desti ngoceh sendiri sembari menutup pintu.Desti baru akan
POV Author."Jambret! Jambret!" Radit memekik meminta pertolongan. Lelaki itu berusaha mengejar dua lelaki pengendara motor yang menggunakan topeng. Ia berlari ke arah jalan raya. Kopernya ditinggalkan begitu saja di depan konter.Suara Radit yang keras mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya. Beberapa orang yang melintas pun menghentikan motornya. Di belakang Radit ada motor yang sengaja berhenti guna ingin membantu Radit."Ayo kita kejar, Bang!" Seorang lelaki muda menawarkan bantuan pada bapaknya Ralia dan Wildan. Radit segera naik ke atas motor orang tidak dikenalnya. Di belakangnya ada dua orang yang ikut mengejar dengan sepeda motornya."Itu, dia!" Jari telunjuk Radit mengarah pada motor matic yang telah dicopot plat nomornya. Jambret sudah menyusun rencana sedemikian rupa agar nomor kendaraannya tak kenali orang.Dari jarak jauh Radit masih bisa tahu dua pengendara sepeda motor yang menggunakan topeng itu adalah pelaku jambretnya.Sopir Radit pun menambah kecepatan sa
POV Author Radit menarik napas dalam-dalam. Napas yang mengisyaratkan adanya beban berat dalam hidupnya.Dua orang di depannya hanya bisa melihat dalam diam. Dalam benak mereka hanya ada rasa kasihan terhadap Radit.Detik berikutnya Radit menekankan nomor Ratmi setelah berusaha keras mengingat-ingat nomor kakak iparnya tersebut."Mbak, ini Radit. Ralia masih di situ?" "Masih, Dit. Kamu di mana sekarang? Kenapa ganti nomor setelah tadi kamu memutuskan sepihak." Nada khawatir terdengar jelas dari suara Ratmi."Ceritanya panjang, Mbak. Tadi handphoneku habis baterai. Lalu, kecolongan tas selempang. Hingga duitnya raib semua. Aku pun baru juga kejambretan uang dari hasil jual handphone yang ada. Ini pake handphone orang, Mbak.""Innalillahi … terus nasib kamu sekarang bagaimana? Kok kamu bisa apes seperti itu, Dit?" Ratmi tidak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya. Sehingga ia memberondong pertanyaan pada adik iparnya tersebut."Aku yakin semua itu ulahnya Desti, Mbak. Sebenarnya
POV DestiMenjelang Magrib, aku kedatangan tamu yang memang kutunggu-tunggu sejak tadi. Sebab ia sudah berhasil membantuku. "Kerja bagus, Bro!" Aku menepuk pundak Kancil — orang itu bertugas mengambil harta yang dibawa oleh Bang Radit.Di depanku sudah ada tas selempang, uang senilai satu juta setengah serta kunci motor. Barang itu baru saja diserahkan Kancil padaku."Perkara kecil itu, Bos!" Dia menepuk dadanya penuh percaya diri. Angkuh dan penuh kesombongan itu yang aku nilai dari seorang Kancil.Aku mengangguk menanggapinya. Dia memang lelaki yang bisa diandalkan. Bayangkan, dalam hitungan kurang dari sepuluh jam telah berhasil merampas harta mantan suamiku itu.Apa yang terjadi pada Bang Radit mungkin menyerupai sinetron di IndoSiam, tapi ini nyata. Bukan lagi di layar televisi kejadian itu. Peristiwa kemalingan hingga tiga kali dalam waktu kurang dari sepuluh jam. Ini semua benar-benar sudah kami rencanakan. Setelah kehilangan motor serta uang di tasnya, aku yakin Bang Radit a
"Malah bengong! Berarti kamu sudah siap kehilangan motor!" Kancil kembali menggebrak meja. Akibatnya aku terhenyak kaget hingga tanpa sadar terlonjak ke atas. "Serahkan kontaknya dulu!" Tanganku menengadah ke arah anak buahnya Kancil. "Gampang! Mana duitnya dulu! Ada uang, ada kunci!" Kancil kembali menyentakku. Sial! Kenapa Dia tidak bisa dipermainkan? Tidak ada pilihan lain selain menyerahkan uang tersebut. Sial! Sial! Kenapa aku tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari semua ini? Kenapa malah kancil yang panen uangnya Bang Radit? Niat hati ingin memberikan pelajaran pada mantan suami, malah aku sendiri yang dapat kesialan ini! Segera kurogoh saku celana kulot yang kukenakan. Di dalam ada uang dua juta setengah lagi."Ini uangnya. Mana kontaknya?" Aku sengaja menarik ulur uang tersebut. "Ini. Nah gitu, dong! Kamu kehilangan uang segini, pasti tidak ada artinya. Akan segera dapat ganti lagi dari Irwan. Iya, kan?" Kancil melemparkan kontakku ke lantai. Dengan gerakan cepat
POV Author"Cari siapa, Mbak?" Desti menyambut tamunya dengan wajah penasaran. Sebab ia merasa tak mengenali wanita di depannya. Kekecewaan jelas terpencar di wajahnya, sebab bukan Irwan yang ia dapati.Alih-alih menjawab pertanyaan tuan rumah. Perempuan cantik dengan gamis bermerk itu malah menilai penampilan Desti. Sebagai tuan rumah, tentu Desti merasa risih ditatap sedemikian oleh orang yang tidak dikenalnya."Mbak, ada masalah apa dengan saya? Kita tidak saling kenal, tapi kenapa tatapan Anda penuh kebencian seperti itu terhadap saya?" Ditatap lama-lama membuat Desti jengah. Merasa diremehkan oleh tamunya membuat Desti sedikit sinis"Kamu memang tidak tahu siapa saya. Tapi, sebaliknya. Saya sangat tahu siapa kamu. Saya ingin masuk dan berbicara padamu di dalam." Tanpa menunggu izin tuan rumah, perempuan beralis tebal itu masuk ke dalam rumah Desti. Ia berjalan dengan santai menuju ke dalam."Heh! Kamu siapa main nyelonong masuk rumahku?" Suara Desti yang tinggi berhasil menghent
"Kamu pikir saya main-main. Bagaimana, asyik, bukan?" Perempuan yang memiliki mata belo itu menatap Desti yang tengah pucat pasi."Si— siapa sebenarnya, kamu? Ke — kenapa bisa memiliki video tersebut?" Dengan gugup dan terbata Desti memberanikan diri untuk bertanya."Desti -Desti … baru tahu siapa lawanmu? Sekarang terus terang lah, apa yang dikatakan Mas Irwan padamu tentang istrinya?" "Percuma aku katakan. Toh, kamu sudah mempermalukan aku seperti ini!""Baiklah kalau begitu. Sepertinya kamu memang harus dikasih pelajaran! Biar tahu siapa lawan bicaramu ini!" Tamunya Desti menghela napas sebentar sebelum akhirnya menghubungi seseorang di sana."Tolong, ambilkan senjataku di dalam mobil untuk menghabisi wanita di rumah ini! Dia masih tidak mau jujur sama aku. Sepertinya memang harus menggunakan kekerasan. Sebab dengan cara baik-baik tidak mempan." Perempuan yang tengah memindai penampilan Desti seolah memutuskan sambungan teleponnya sepihak tanpa menunggu jawaban lawan bicaranya.P
Irwan mendekati istrinya, menatap ibu dari anak-anaknya dengan wajah penuh permohonan. Lelaki yang merupakan selingkuhan Desti itu berlutut di hadapan pasangan sahnya. Tangannya mencoba menggapai lengan istrinya. Namun, segera ditepis oleh perempuan ayu tersebut. "Mundur! Jangan dekati aku lagi! Mumpung ada di depan semua orang, tolong jatuhkan talak untukku!" Asih mundur dengan tatapan mendelik ke arah suaminya. "Nggak. Ayah tidak akan pernah menjatuhkan talak untuk Bunda. Tidak akan pernah ada perpisahan di antara kita. Bunda jangan terpedaya dengan omongan perempuan jalang itu!" Tangan Irwan menunjuk ke arah Desti.Perempuan yang kena tunjuk, mukanya memerah seketika. Antara malu juga marah. Detik berikutnya dia berdiri. Membalas tatapan tajam Irwan. "Aku menjadi jalang juga gara-gara kamu, Irwan! Rumah tanggaku hancur juga gara-gara rayuan kamu, laki-laki pengecut! Aku tidak pernah menyangka kamu yang pandai menggoda bisa menjadi laki-laki pecundang seperti ini di hadapan kelua
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter