[Bu, besok kita tidak bisa belanja. Gimana ini?] Aku mengernyitkan dahi usai membaca pesan dari Wulan, salah seorang karyawan di rumah makanku. Apa memang rumah makan sesepi itu akhir-akhir ini? Memang, usaha kalau dilepas begitu saja, ya, hasilnya seperti ini. Tidak maksimal sama sekali. Aku hanya datang ke sana sesempatnya. Terlebih sudah beberapa hari aku tak mendatangi rumah makan itu. Memang, Wulan selalu memberikan rincian pengeluaran dan pemasukan. [Apa memang hari ini sangat sepi, Lan?] Kukirimkan pesan balasan.[Seperti biasa, Bu. Tapi, kan uangnya sudah diminta sama Ibu tadi siang. Sore ini sedikit yang beli. Uangnya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah makan, Bu.] Aku terperangah membaca jawaban Wulan. Mata yang sudah redup karena kantuk kini membulat sempurna.Otakku berpikir keras, tapi tak dapat menemukan jawabannya. Kapan aku meminta uang ke rumah makan? Pertanyaan bergulung-gulung di kepala ini yang menuntut untuk segera menemukan jawabannya. Segera aku t
"Lin, jangan macam-macam kamu. Jaga ucapanmu. Memangnya enak jadi janda." Mas Radit tampak gelisah. Ketakutan jelas tercipta di wajahnya."Menjadi janda memang tidak enak dan itu tidak diinginkan wanita manapun, tapi kalau meneruskan pernikahan lebih menyiksa jiwaku untuk apa perkawinan ini diteruskan? Selama ini pernah aku keluar tanpa izinmu, selama ini pernah aku keluyuran tidak jelas? Tidak kan? Lalu kenapa kamu mengatakan macam-macam saat aku ingin bersilaturahmi pada temanku. Toh, tidak ada lelaki di sana. Apa tidak ada kebebasan buatku untuk sekedar bersantai dengan teman? Apa aku harus terus-menerus bergulung dengan pekerjaan rumah ini? Kalau jawabanmu iya, mari berpisah." Niat awal mau mengecek keadaan ibu kini kubatalkan. Kubawa langkah kaki menuju dapur. Kutuang segelas air dari dispenser. Meminumnya hingga tandas. Bukan karena haus tapi berusaha menetralisir emosi yang ingin meledak-ledak di dalam sini. Kutarik kursi di depan meja makan. Kuhempaskan bobot tubuh ini semba
Kupandangi gambar surat undangan pernikahan. Hari H-nya dua minggu lagi dari sekarang. Aku menarik napas dalam-dalam. Bersiaplah mendapatkan kejutan dariku, Mas di hari bahagiamu itu.[Kamu dapat foto ini dari mana, De?] tanyaku pada wanita yang menjadi lawan bicara di seberang sana. [Dari rumah teman, Mbak. Kebetulan yang cetak undangan itu suaminya temanku. Sewaktu mau ke sekolah aku mampir dulu ke rumahnya. Eh, aku lihat sample undangan itu di ruang tamu teman. Mbak Alina yang dimadu kok aku yang merasakan sakitnya, ya, Mbak. Sungguh aku tidak rela wanita sebaik Mbak Alina disia-siakan oleh mas Radit. Sepupu suamiku sendiri.] Aku terdiam mendengar Ririn meluapkan isi hatinya. Dia saja merasa sakit, apalagi aku. Bahkan aku tidak bisa merumuskan sakitnya hatiku saat tahu diduakan. [Mbak harus datang. Harus banget. Aku akan temani Mbak ke sana.] Begitu semangatnya Ririn menyuruhku datang. Suaranya menggebu-gebu di balik telepon.[Nanti aku kabarin. Tapi, tolong jangan bicara apapun
Avanza silver telah membawa mas Radit pergi dari rumah ini. Seumur-umur baru kali ini ia pergi ke sana dengan travel.[Assalamu'alaikum, Lan. Ibu butuh bantuanmu. Bisa ke sini, kan? Dan tolong bawa baju ganti tiga atau empat stel. Jangan lupa bawa baju buat kondangan, ya. Kalau kamu kurang paham, nanti ibu jelaskan di sini alasannya. Harus izin mbakmu terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu segera.] ucapku tanpa memberi kesempatan Wulan untuk menyela. Tanpa protes gadis itu menyanggupi permintaanku.Kali ini aku sengaja meminta Wulan untuk menemani dan membantu di sini. Tidak mungkin aku meminta bantuan Mbak Niswa. Tidak mau rencanaku diketahui keluarga mas Radit. Biarlah mereka tahu setelah beres semuanya.Aku sengaja mengundang gadis itu hari ini untuk menjaga Ibu. Aku akan menjemput Wildan dan langsung ke rumah orang tuaku. Kami akan membahas masalah penting di sana."Bu, Alina pergi dulu, ya. Hari ini Ibu dijaga oleh Wulan. Karyawan Alina di rumah makan." Aku pamitan pada Ibu setelah memb
[Ada apa, Mas?] Tanpa basa-basi aku langsung bertanya pada intinya. [Lin, kembalikan kalungku sekarang juga! Kamu kan yang telah mencurinya. Aku tidak menyangka kamu memiliki jiwa pencuri. Menyesal aku mempercayai kami selama ini!] Mas Radit meninggikan suaranya. Baru sadar dia. Aku tersenyum miring mendengarnya. Padahal, percuma aku tersenyum meremehkan, dia tidak melihat. Dia baru menyadari sekarang padahal, ia di sana sudah satu minggu lebih. Apa mungkin terlalu sibuk sampai lupa untuk membuka kotak perhiasan itu? Mungkin.[Sudah, ngomongnya? Sekarang gantian! Jangan dipotong ucapanku! Kamu mengambil uang restoran ku, untuk membayar kekurangan rumah sakit, bukan? Tiga kali berturut-turut dengan sebelum-sebelumnya. Yang kalau ditotal itu jumlahnya setara dengan sepuluh gram kalung itu. Kita impaskan! Jangan pernah teriak maling padaku. Karena sejatinya kamu adalah maling yang teriak maling. Aku menjadi begini juga karena ajaranmu. Paham!] Setenang mungkin aku menjawab ucapannya. D
Yang membeli motor telah pergi. Satu persatu kendaraan ku telah terjual. Tak apa karena aku pun niat membeli kendaraan yang baru. Jarum panjang jam dinding menunjukan ke angka sebelas sedang jarum pendek ke angka sembilan. Masih ada waktu untuk beres-beres. Sebagian barang ibu ada yang belum dikemas."Lan, tolong siapkan kamar Wildan, ya. Ibu akan memindahkan mbahnya ke sana." Gadis berkerudung segi empat itu tampak mengangguk. Kubawa langkah kaki menuju kamar Ibu. Kuputar handle pintu dengan perlahan. Ibu sedang berbaring menghadap ke kanan. Dapat kutangkap matanya yang sembab. Apakah beliau sudah tahu semua yang akan aku lakukan? Ah, Maafkan aku, Bu. Semua ini akibat ulah anakmu. Dia yang sudah memulai. Aku akan tetap menjadi menantu yang baik bila Mas Radit bisa menjadi suami yang baik. Namun, nyatanya anakmu tidak bisa seperti itu!Sudah ku pindahkan Ibu dari ranjang ke kursi roda. Aku jongkok di depan beliau. Kuamati wajah sedih itu lekat-lekat."Ibu pindah ke kamar Wildan du
Mobil yang membawa kami telah terparkir di tempat yang telah ditentukan oleh panitia. Tepat di seberangnya rumah yang sedang berlangsung acara hajatan tersebut. Satu persatu dari kami turun. Bang Zaki membantu menurunkan ibu. Dengan gerakan cepat, Wulan yang telah keluar terlebih dahulu mengeluarkan kursi roda milik ibu dari jok paling belakang.Dengan tenang dan santai aku mendorong kursi roda ibu menuju ke tempat acara. Kami harus menyeberang jalan menuju tempat berlangsungnya pesta.Pesta yang cukup meriah dan megah untuk ukuran di kampung. Aku terus menatap ke arah pasangan yang sedang berada di pelaminan dengan dekorasi yang mewah itu. Bukan apa-apa hanya ingin melihat reaksi mas Radit saat melihat kedatangan kami.Tampaknya lelaki yang sedang menjadi raja sehari itu belum mengetahui kedatangan kami. Dia masih sibuk dengan para tamu undangan yang memberikan ucapan selamat padanya.Para penerima tamu sudah menyambut kedatangan kami yang beriring-iringan ini. Bapak dan Bunda berja
"Fotografer, tolong fotokan kami dong," pinta Bunda pada lelaki berseragam putih yang mencangklong kamera. Tangan yang penuh dengan gelang emas itu mengulurkan handphone ke arah pria tersebut.Lelaki itu mendekat ke arah Bunda dan segera mengambil handphone dalam genggaman ibu tiriku. Aku yang sudah hendak turun pun terpaksa kembali ke arah mempelai setelah dipanggil Bunda dari atas panggung. Bunda sepertinya tahu apa yang aku rasakan. Dengan segera, beliau berdiri di antara aku dan Desti. Wildan yang sudah menunggu di bawah pun kembali naik. Dia berdiri di antara bapak dan ibu tirinya itu.Entah apa tujuan Bunda meminta foto bersama? Aku juga tidak mengerti apa maksud Bunda beli baju seragaman untuk kami semua? Bruuk! Suara benda jatuh terdengar dari atas pelaminan. Siapa yang jatuh? Enggan rasanya aku menoleh tapi penasaran.~~~~Rasa penasaran yang tinggi membuatku menoleh ke arah panggung. Semua orang terlihat panik. Seketika suara musik yang bising itu berhenti. Mataku terus m
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter