[Ada apa, Mas?] Tanpa basa-basi aku langsung bertanya pada intinya. [Lin, kembalikan kalungku sekarang juga! Kamu kan yang telah mencurinya. Aku tidak menyangka kamu memiliki jiwa pencuri. Menyesal aku mempercayai kami selama ini!] Mas Radit meninggikan suaranya. Baru sadar dia. Aku tersenyum miring mendengarnya. Padahal, percuma aku tersenyum meremehkan, dia tidak melihat. Dia baru menyadari sekarang padahal, ia di sana sudah satu minggu lebih. Apa mungkin terlalu sibuk sampai lupa untuk membuka kotak perhiasan itu? Mungkin.[Sudah, ngomongnya? Sekarang gantian! Jangan dipotong ucapanku! Kamu mengambil uang restoran ku, untuk membayar kekurangan rumah sakit, bukan? Tiga kali berturut-turut dengan sebelum-sebelumnya. Yang kalau ditotal itu jumlahnya setara dengan sepuluh gram kalung itu. Kita impaskan! Jangan pernah teriak maling padaku. Karena sejatinya kamu adalah maling yang teriak maling. Aku menjadi begini juga karena ajaranmu. Paham!] Setenang mungkin aku menjawab ucapannya. D
Yang membeli motor telah pergi. Satu persatu kendaraan ku telah terjual. Tak apa karena aku pun niat membeli kendaraan yang baru. Jarum panjang jam dinding menunjukan ke angka sebelas sedang jarum pendek ke angka sembilan. Masih ada waktu untuk beres-beres. Sebagian barang ibu ada yang belum dikemas."Lan, tolong siapkan kamar Wildan, ya. Ibu akan memindahkan mbahnya ke sana." Gadis berkerudung segi empat itu tampak mengangguk. Kubawa langkah kaki menuju kamar Ibu. Kuputar handle pintu dengan perlahan. Ibu sedang berbaring menghadap ke kanan. Dapat kutangkap matanya yang sembab. Apakah beliau sudah tahu semua yang akan aku lakukan? Ah, Maafkan aku, Bu. Semua ini akibat ulah anakmu. Dia yang sudah memulai. Aku akan tetap menjadi menantu yang baik bila Mas Radit bisa menjadi suami yang baik. Namun, nyatanya anakmu tidak bisa seperti itu!Sudah ku pindahkan Ibu dari ranjang ke kursi roda. Aku jongkok di depan beliau. Kuamati wajah sedih itu lekat-lekat."Ibu pindah ke kamar Wildan du
Mobil yang membawa kami telah terparkir di tempat yang telah ditentukan oleh panitia. Tepat di seberangnya rumah yang sedang berlangsung acara hajatan tersebut. Satu persatu dari kami turun. Bang Zaki membantu menurunkan ibu. Dengan gerakan cepat, Wulan yang telah keluar terlebih dahulu mengeluarkan kursi roda milik ibu dari jok paling belakang.Dengan tenang dan santai aku mendorong kursi roda ibu menuju ke tempat acara. Kami harus menyeberang jalan menuju tempat berlangsungnya pesta.Pesta yang cukup meriah dan megah untuk ukuran di kampung. Aku terus menatap ke arah pasangan yang sedang berada di pelaminan dengan dekorasi yang mewah itu. Bukan apa-apa hanya ingin melihat reaksi mas Radit saat melihat kedatangan kami.Tampaknya lelaki yang sedang menjadi raja sehari itu belum mengetahui kedatangan kami. Dia masih sibuk dengan para tamu undangan yang memberikan ucapan selamat padanya.Para penerima tamu sudah menyambut kedatangan kami yang beriring-iringan ini. Bapak dan Bunda berja
"Fotografer, tolong fotokan kami dong," pinta Bunda pada lelaki berseragam putih yang mencangklong kamera. Tangan yang penuh dengan gelang emas itu mengulurkan handphone ke arah pria tersebut.Lelaki itu mendekat ke arah Bunda dan segera mengambil handphone dalam genggaman ibu tiriku. Aku yang sudah hendak turun pun terpaksa kembali ke arah mempelai setelah dipanggil Bunda dari atas panggung. Bunda sepertinya tahu apa yang aku rasakan. Dengan segera, beliau berdiri di antara aku dan Desti. Wildan yang sudah menunggu di bawah pun kembali naik. Dia berdiri di antara bapak dan ibu tirinya itu.Entah apa tujuan Bunda meminta foto bersama? Aku juga tidak mengerti apa maksud Bunda beli baju seragaman untuk kami semua? Bruuk! Suara benda jatuh terdengar dari atas pelaminan. Siapa yang jatuh? Enggan rasanya aku menoleh tapi penasaran.~~~~Rasa penasaran yang tinggi membuatku menoleh ke arah panggung. Semua orang terlihat panik. Seketika suara musik yang bising itu berhenti. Mataku terus m
Dengungan para tamu undangan mulai terdengar. Kasak-kusuk mereka membicarakan Desti. Tak ada suara yang membelanya. Semua terdengar menghujatnya."Oalah dia hanya istri kedua? Tapi kok malah marah-marah pada istri pertama, ya? Dasar nggak tahu malu. Aku menyesal datang ke sini. Kalau bukan karena suamiku kenal baik dengan pak Radit ogah aku datang. Aku juga tidak menyangka Pak Radit lelaki yang suka mendua." Suara seorang ibu yang duduk di kursi baris kedua. "Ya Tuhan … ternyata pemilik grosiran itu pelakor. Menjijikkan." Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang ibu muda sedang yang duduk di sebelah kiri ibu yang tadi berbicara."Padahal, cantik istri tuanya dan juga terlihat sayang mertua. Kok bisa diselingkuhi seperti ini? Mas Radit itu membuang berlian belum tentu mendapatkan gantinya dengan batu permata. Bisa jadi hanya batu kali yang tidak berkualitas." Suara perempuan yang lain saling menimpali. "Dengar ucapan ibu-ibu barusan? Yang dibela siapa? Aku kan? Itu baru beberapa ora
Jantungku seakan berloncatan dari tempatnya, saat mata ini menatap Alina dan keluarga besarnya memilih tempat duduk di depan pelaminan pas. Dengan santainya mereka duduk sambil mengunyah makan. Ya Allah … sesantai itu mereka? Justru aku yang tidak santai sama sekali. Mata ini terus menatap satu persatu dari mereka yang mengiringi Alina. Ada Bapak dan Bunda. Bang Sukri dan keluarga kecilnya. Bang Zaki, istri dan anak tunggalnya. Wulan, orang kepercayaan Alina di rumah makan. Lalu lelaki itu siapa? Ini pertama kalinya aku menatapnya. Kenapa dia juga mengenakan baju seragam? Jangan-jangan calonnya Alina. Ah, tidak. Tidak mungkin Alina secepat itu. Dia bukan wanita gampangan. Segera, aku enyahkan pikiran negatif yang merasuk dalam otak ini.Senyum ini berkembang saat melihat Wildan yang sedang makan dengan lahap. Anak bukan pemilih makanan. Selama itu diperbolehkan oleh ibunya, apa saja ia makan. Tidak manja meskipun, ibunya memiliki banyak uang. Sayangnya, dia harus melihat aku duduk d
Lelaki berseragam baju panitia itu datang dengan napas tersengal-sengal. Habis lari dia."Selesaikan dulu urusanmu, Mas. Maaf kami harus segera pulang. Ini mobil orang. Sudah ditunggu yang punya." Dengan gerakan cepat Alina membuka pintu mobil. "Tunggu, Lin. Beri kesempatan aku untuk bicara." Permintaanku tak diindahkannya. Dia masuk ke dalamnya tanpa memberikan kesempatan untuk berbicara padaku."Sudah tak ada yang perlu dibicarakan, Mas. Tunggu surat panggilan dari pengadilan." Kepala Alina nyembul di jendela mobil yang dibuka setengah. Aku membeku di tempat. Ucapan Alina bagai air es yang menyiram seluruh tubuhku. Apa artinya aku kehilangan kesempatan untuk rujuk dengannya? Lagi- lagi aku kalah strategi oleh perempuan itu. Ah, si al! Aku me ne ndang ban mobil milik orang yang sedang terparkir di dekatku. Mobil Alina bergerak maju menjauh dari tempatku berdiri. Tempat yang kami jadikan parkiran adalah lapangan. Sehingga lebih leluasa untuk memutar kendaraan. Si al. Aku kehilan
"Bang, apa-apaan ini?" Dengan kasar Desti mengeluarkan semua isi peti kayu yang dibungkus dengan kertas kado dan dihiasi pita. Aku terperangah menatap isinya yang berserakan di lantai akibat ulah Desti. Tidak ada yang istimewa atau pun spesial. Semua hanya baju-baju dan barang-barang milikku yang ada di rumah Alina. Kenapa Alina harus mengusir aku dengan cara seperti ini? Apa itu artinya rumah itu telah ia kuasai? Padahal, di sana aku masih memiliki hak. Hak atas harta bersama.Aku lunglai seketika. Seluruh persendian ini rasanya tidak bertulang. Kursi tamu menjadi pilihan untuk menjatuhkan bobot tubuh ini."Ini artinya dia sudah mengusir, Abang! Sudah menginjak-injak harga diri Abang! Aku tidak menyangka Alina se ke jam ini! Kamu harus melakukan sesuatu, Bang! Harus segera!" Desti bersungut-sungut, matanya menyalang ke arah onggokan baju yang berserak di lantai. Aku bergeming. Tatapanku lurus ke depan. Pikiran ini mengawang. "Bang! Jangan diam aja dong! Lakukan sesuatu untuk Alin
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter