Share

Ketika Istri Lemahku Menunjukkan Kekuatannya
Ketika Istri Lemahku Menunjukkan Kekuatannya
Author: Setia_AM

1 Tidak Sudi Menikah

“Jangan harap aku akan menyentuhmu malam ini.”

Giordano berkata dengan nada sedingin es kepada seorang wanita yang baru saja dia halalkan sebagai istri.

“Aku mengerti,” sahut Kalila tanpa mengangkat wajahnya.

“Saat kita tidur, jangan hadapkan wajahmu yang buruk rupa itu kepadaku. Aku ingin kita saling memunggungi ....”

“A—aku akan tidur di kamar pembantu saja kalau begitu!”

“Bagus, kamu ingin nenek menghujatku karena kita pisah kamar?”

Kalila diam, tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya Giordano inginkan.

“Terus aku harus bagaimana?”

“Bodoh, ini akibatnya kalau nenek asal memungut perempuan gembel buruk rupa untuk dijadikan istriku.”

Ucapan Giordano tidak ada bedanya seperti pisau yang menyayat habis kulit Kalila sedikit demi sedikit.

“Ganti bajumu dan tidur, tidak malukah kamu mengenakan gaun pengantin mewah itu?” hardik Giordano dengan emosi tertahan. “Fisik dan gaun itu sangat tidak serasi, bikin malu.”

Hujan itu hampir saja luruh, jika saja Kalila tidak mati-matian menahannya.

Malam itu seharusnya menjadi momen sakral bagi Kalila dengan Giordano setelah mereka berdua mengikat janji suci pernikahan di hadapan para saksi.

Namun, Giordano justru membangun tembok pembatas yang sangat tebal di antara dirinya dan Kalila.

“Bagaimana malam pertama kalian?” tanya nenek ketika Kalila dan Giordano bergabung dengannya di meja makan.

Wajah mereka berdua sama-sama datar.

“Begitulah, Nek ....” jawab Giordano kaku, sementara Kalila memberikan senyum singkat meskipun terpaksa ketika nenek menatapnya.

“Kakekmu sudah menelepon dari negara tetangga, katanya kalian harus bulan madu di tempat yang sudah disiapkan.”

Giordano terbelalak. “Kok mendadak sih, Nek?”

“Mendadak bagaimana, ini kan baru hari kedua kalian menikah.”

“Maksud aku ... kenapa nenek nggak bilang jauh-jauh hari kalau kami harus pergi bulan madu segala?”

“Memang kenapa, harusnya kamu senang karena ini dinamakan kejutan.”

Giordano menahan diri untuk tidak mengeluh. Dia melirik Kalila yang menurutnya biasa-biasa saja itu, mana bernapsu dia pergi berbulan madu dengannya, apalagi jika harus berbagi raga layaknya pasangan suami istri yang sudah sah.

Hih, Giordano bergidik dalam hati.

“Kenapa kamu tidak menolak keinginan nenek saja kalau kamu tak ingin pergi?” Kalila memberanikan diri bertanya.

“Sudahlah, jangan berisik. Siapkan bajuku, masukkan koper. Jangan lama-lama atau kamu akan tahu akibatnya,” ancam Gio.

Kalila menarik napas panjang, meskipun demikian dia tetap melakukan apa yang diperintahkan sang suami kepadanya.

Sopir pribadi keluarga Gio sudah menunggu ketika Kalila harus susah payah mendorong sendiri koper mereka sementara pria itu melangkah angkuh di depannya.

“Selamat atas pernikahannya, Tuan ....”

“Ya,” sahut Gio datar, sama sekali tidak ada raut wajah bahagia yang tampak.

Kalila pikir mereka hanya butuh saling menyesuaikan diri satu sama lain, apalagi dirinya dan Gio bisa menikah karena perjodohan.

Lebih tepatnya perjodohan secara sepihak saja dari nenek Gio yang sempat tinggal di panti asuhan tempat Kalila menjadi seorang relawan.

“Kita mau pergi ke mana, Pak?” tanya Kalila kepada sopir yang mengemudi.

“Saya ditugaskan untuk membawa Nyonya dan Tuan ke pantai yang sangat indah ....”

“Tidak usah kamu jelaskan, dia tidak akan paham tempat itu.” Gio menyela.

“Tapi, Tuan ....”

“Oh, pantai! Saya tahu kok, Pak!” sahut Kalila supaya tidak terlihat bodoh-bodoh amat.

Gio berdesis, tidak senang dengan cara Kalila menyela pembicaraan.

“Kita sudah sampai, Tuan!”

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam, mobil yang dikemudikan sopir keluarga Gio memasuki pelataran penginapan yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat wisata pantai.

“Ingat, jangan bilang nenek kalau aku dan dia hanya bulan madu di pantai.” Gio memperingatkan Yana, saat sopir itu menurunkan koper.

“Tapi, Tuan ... bukankah seharusnya Anda berdua bulan madu di pantai Pattaya?”

“Itu bukan urusanmu, bilang saja aku dan Lila sudah terbang ke negara tetangga dan mungkin selama beberapa hari ke depan ponsel kami tidak akan ada yang aktif.”

Mendengar perintah tegas dari Gio, Yana merasa sedikit gentar dan karenanya tidak berani membantah. Selama ini Gio dikenal tegas dan tidak akan segan untuk memecat siapa pun yang menyeleweng perintahkan, tentu hal itu dia lakukan tanpa sepengetahuan sang nenek.

“Kamu pesan kamar sendiri sana,” perintah Gio setelah mobil Yana melaju pergi.

“Terus kamu bagaimana?”

“Tidak usah sok peduli ....”

“Aku memang peduli, kamu kan suami aku.” Kalila memberanikan diri untuk menatap Gio.

“Jangan ngaku-ngaku kamu! Kalau bukan karena paksaan nenek, aku tidak sudi menikah sama kamu. Derajat kita itu beda jauh, ibarat langit dan bumi. Pernah ngaca tidak?”

Kalila membisu saat kata demi kata yang Gio ucapkan lagi-lagi melukai setiap senti dinding hatinya.

“Nanti ... kamu akan tidur di mana?” tanya Kalila sungguh-sungguh khawatir, dia takut nenek Gio meneleponnya dan bertanya tentang bulan madu mereka.

“Aku bisa tanya resepsionis nanti, kalau aku mau cari kamu. Sudah sana masuk!”

“Tapi ...” Kalila refleks memegang lengan Gio saat pria itu hendak pergi meninggalkannya.

“Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!” desis Gio tertahan, emosinya yang sedang memuncak harus susah payah dia tahan demi tidak menarik perhatian pengunjung lain.

“Maaf!”

Gio mengumpat pelan, tidak dipedulikannya mata Kalila yang berkaca-kaca akibat sikap tidak ramah yang dia tunjukkan.

“Astaga ... aku harus apa ...?” Kalila masih berdiri resah setelah kepergian Gio, dia baru pertama kali pergi sejauh ini dan belum pernah menginap di hotel atau penginapan sejenisnya.

Beruntung, ada pegawai baik hati yang melihat keberadaan Kalila dan membantunya untuk memilih kamar yang tersedia.

**

Sepanjang hari itu, Kalila hanya berdiam di kamar sambil sesekali menikmati pemandangan dari jendela kamar penginapan.

Gio tidak diketahui keberadaannya sampai detik ini, bahkan hingga malam tiba.

Kalila berguling resah, dia sulit untuk terlelap meskipun sudah memejamkan matanya sejak beberapa jam yang lalu.

Gio ke mana ya, pikir Kalila galau. Dia ingin menghubungi suaminya, tapi ada rasa takut mengingat sikap pria itu yang sampai detik ini tidak menganggap pernikahan mereka.

“Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu ...?” gumam Kalila resah, dia meraih ponsel dan akhirnya menghubungi kontak Gio.

Kalila harus menunggu sambungan beberapa kali sebelum akhirnya panggilannya terjawab.

“Apa?”

“Halo? K—kamu tidak pulang?” tanya Kalila gugup.

“Jangan ganggu aku, matikan ponselmu—atau setidaknya blokir kontak nenek untuk sementara!” perintah Gio tanpa basa-basi.

“Tapi ... kamu di mana sekarang?”

“Bukan urusan kamu!”

“Apa kamu akan pulang ke penginapan?”

“Aku sudah dapat penginapan lain, jangan ganggu aku lagi. Aku akan jemput kamu kalau sudah waktunya, paham?”

Sebelum Kalila sempat menjawab, Gio sudah mengakhiri percakapan mereka secara sepihak.

Mau tak mau, Kalila menonaktifkan ponselnya. Dia sendiri tidak tahu sampai kapan, yang pasti dia telah menganggap bahwa perintah suami adalah mutlak.

“Aku sudah boleh mengaktifkan ponsel belum ya?” gumam Kalila, saat pagi harinya dia terbangun dan Gio masih belum terlihat di manapun.

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status