“Nenekku! Apa kamu tidak bisa sedikit saja menutupi masalah ini supaya kesehatan nenek aku baik-baik saja?” tanya Gio geram dan bernada intimidasi.
“Kamu minta aku untuk menutupi pernikahan kamu yang lainnya?” Kalila menatap Gio tak percaya. “Kenapa kamu tidak jujur saja sama nenek kamu?”Gio menarik napas panjang.“Aku sama Nia hanya menikah siri, aku butuh waktu untuk memberi tahu nenekku.”Kalila merasa bimbang, di sisi lain dia merasa telah ditipu mentah-mentah oleh pria yang bergelar suaminya. Namun, di sisi lain ada perasaan seorang wanita baik hati yang telah banyak berjasa besar terhadap keluarganya.Mana yang harus Kalila pilih?“Kamu beri tahu nenek sekarang saja, aku siap mundur dan jadi saksi.”“Kamu tidak paham situasinya, Lila!” bentak Gio frustrasi. “Sudahlah, kamu tinggal menurut saja dan aku akan mencukupi semua kebutuhan kamu selama kamu jadi istriku, oke?”Kalila tersenyum miring. “Kamu berusaha membujukku?”“Terserah apa katamu, yang jelas aku tidak bisa menceraikan kamu sekarang. Nanti di saat yang tepat, kita pasti akan bercerai. Aku juga tidak mencintai kamu kok,” sinis Gio sambil memandangi Kalila dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Aku tetap mau bercerai.”“Kamu!” Wajah Gio memerah. “Ikuti rencanaku, atau aku akan buat orang tuamu hidup miskin seperti sedia kala.”Kalila terperanjat, tidak menyangka jika Gio akan bertindak sekejam itu dengan mengancamnya sedemikian rupa.“Orang tuaku juga mertua kamu, Mas.”“Aku tahu, hitung saja sudah berapa banyak jasa yang dilakukan nenekku untuk orang tuamu.”“Itu adalah urusan nenek dengan orang tuaku, kenapa jadi kamu yang mengungkitnya seakan meminta balasan?” tanya Kalila tidak terima.“Karena aku adalah cucunya, dia berharap aku bisa bahagia jika menikah sama kamu. Tapi kenyataannya apa?” Gio menatap tajam Kalila. “Melihat wajahmu saja sudah bikin aku sangat muak.”Ada yang luka, tapi tidak berdarah. Itulah yang Kalila rasakan saat ini, ucapan Gio tidak ubahnya seperti belati yang ditancapkan berulang kali di atas luka yang belum mengering.“Terus kenapa kita tidak bercerai saja?” tanya Kalila antara tersinggung dan juga sakit hati.“Kamu ini bukan hanya polos, tapi bodoh. Kamu tidak dengar aku tadi bilang apa?”“Aku ....”“Nenek sudah berumur, aku khawatir kesehatannya terganggu kalau kita bercerai sekarang.” Gio menegaskan. “Jadi aku terpaksa mempertahankan pernikahan kita, setiap bulan aku akan kasih nafkah sesuai kewajiban. Ingat, hanya nafkah lahir. Jangan bermimpi untuk mendapatkan nafkah batin dariku ....”Astaghfirullah, jerit Kalila dalam hati. Pernikahan macam apa ini? Sudah dijadikan istri kedua, tidak dicintai, dan dipaksa untuk meneruskan pernikahan.“Hari ini jangan banyak tingkah, aku mau ke penginapan Nia. Besok aku akan datang ke sini untuk jemput kamu,” pesan Gio lagi sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan Kalila seorang diri.Selama beberapa saat, Kalila masih bergeming. Dia tidak mengira jika dunianya yang semula baik-baik saja bisa terbalik seratus delapan puluh derajat seperti ini.Dulu, Giordano Reihansyah datang baik-baik bersama ibunya dan sang nenek ke rumah orang tua Kalila untuk mempersuntingnya.Sebagai anak penurut, Kalila mau-mau saja dijodohkan dengan Gio. Apalagi saat itu dia cukup terkesan dengan karakter yang diperlihatkan calon suaminya, yakni tidak banyak cakap dan menuntut.Namun, kini Kalila tahu bahwa apa yang Gio perlihatkan pada keluarganya ternyata hanyalah sebuah topeng untuk menutupi kebohongan besar yang dia sembunyikan.***Yana menjemput pasangan suami istri itu sesuai jadwal yang telah disepakati.“Nenek tanya apa saja?”“Kenapa ponsel Tuan dan istri tidak bisa dihubungi,” jawab Yana memberi tahu seraya membukakan pintu mobil.“Kamu tidak bicara macam-macam tentang lokasi bulan madu kami?”“Saya tidak berani, Tuan. Nenek Anda tetap mengira kalau Anda sedang berlibur di pantai Pattaya ....”“Bagus.”Kalila diam saja ketika Gio duduk di sampingnya, pikiran wanita itu masih penuh dengan fakta tidak terduga jika dia ternyata menjadi istri kedua.Setibanya di rumah, nenek menyambut mereka dengan pelukan hangat dan rentetan pertanyaan tentang bulan madu yang telah dia siapkan jauh-jauh hari.Termasuk soal cicit.“Jadi kapan nenek bisa menggendongnya?”Wajah Kalila seketika berubah pias, dia tidak akan mungkin mempersembahkan seorang cicit pun karena Gio sampai detik ini belum bersedia menyentuhnya.“Bu, biarkan mereka istirahat dulu. Perjalanan mereka sangat jauh, pasti capek dan butuh tidur.” Seorang wanita dengan tampilan berkelas menengahi, dia adalah ibu kandung Gio alias mertua Kalila.“Ah iya, kamu benar, Soraya.” Nenek mengangguk-angguk setuju dan membiarkan Kalila berlalu pergi ke kamar bersama Gio.“Kamu mau istirahat dulu atau ....”“Urus saja diri kamu sendiri,” tukas Gio tidak senang di saat Kalila mencoba untuk memperhatikannya.“Oh, oke.” Kalila terpaksa menerima jawaban itu. “Sebelumnya, tolong hapus kunci layar ponselku.”Gio berdecak. “Merepotkan sekali kamu ini.”“Suruh siapa kamu menerapkan kunci layar di ponselku?”“Jangan berani menjawab kalau suami sedang bicara!”Kalila sontak diam, Gio merebut ponsel itu dan menghapus kunci layar yang sempat dia terapkan untuk mencegah istrinya berkomunikasi dengan orang lain selama bulan madu.Sebelum Kalila sempat mengucapkan terima kasih, Gio sudah keburu menghilang di balik pintu kamar mandi. Dia memilih untuk langsung mengistirahatkan tubuh di tempat tidur, berharap matanya dapat terpejam dan melupakan sejenak masalah besar yang sudah menantinya.Menjadi yang kedua, betapa mengenaskan rasanya ....Dan Kalila pun akhirnya terlelap.“... tentu saja jadi, kamu tidak perlu khawatir ... kita akan tetap pergi liburan ke pantai Pattaya ....”Di antara sadar dan tidak, samar-samar Kalila mendengar suara Gio yang sedang berbincang dengan ponsel yang menempel di telinganya.“Sudah aku bilang, kita tidak bisa bertindak buru-buru ... Dia memang istri sahku, tapi hati dan perasaanku bukan buat dia. Kamu tidak usah khawatir, oke?”Kalila tetap memejamkan mata, ucapan Gio selalu tidak pernah gagal membuat hatinya teriris perih.Menikah karena perjodohan ternyata membuat hidup menderita, pikir Kalila setengah menyesal. Namun, untuk mundur pun dia juga merasa tidak punya kuasa.“Aku ingin membicarakan tentang pernikahan kita dan hal-hal apa saja yang harus kamu lakukan,” kata Gio di saat dia mendatangi Kalila malam itu.“Hanya aku saja yang akan melakukan? Melakukan apa?”“Apa saja yang aku suruh, itu sudah tugas seorang istri kan?”Kalila menyipitkan matanya. “Kamu menganggapku istri?”“Ya, setidaknya di arsip negara.”Jawaban telak Gio lagi-lagi tidak enak didengar, tapi Kalila berusaha biasa saja.“Kalau nenek tanya soal pernikahan kita, kamu harus cerita yang baik-baik tentang kita. Bilang saja kalau kamu sangat bahagia, atau ... kita sudah mulai saling mencintai.”Kalila nyaris muntah mendengarkan instruksi Gio, yang sangat mustahil untuk dilakukan.“Sampai kapan aku harus berpura-pura?”“Sampai aku bilang sudah waktunya untuk diakhiri.”Bersambung—“Sampai kapan aku harus berpura-pura?” “Sampai aku bilang sudah waktunya untuk diakhiri.”Kalila menatap Gio dengan tidak mengerti.“Kenapa tidak diakhiri saja sekarang? Bukankah kamu sudah punya istri? Si Nia itu?”Gio menunjukkan ekspresi tidak suka ketika Kalila mengajukan pertanyaan itu.“Kamu cukup ikuti apa yang aku perintahkan, dan aku akan memenuhi seluruh kebutuhan kamu. Uang, makanan, pakaian, bahkan tempat tinggal ... Kedua mertuaku juga akan aku jamin sejahtera hidupnya.”Kalila menarik napas. “Tapi ....”“Aku tidak menerima penolakan,” potong Gio ketika Kalila ingin menunjukkan pendapatnya. “Satu lagi, ini soal status. Meskipun kamu adalah istri yang sah secara agama maupun negara, tapi tetap saja posisinya kamu adalah yang kedua. Sedangkan Nia adalah istri pertama, kedudukannya di sisiku jauh lebih penting dan tentu saja akan aku prioritaskan melebihi apa pun juga.”Kalila bergeming, dia tidak menolak ataupun menyetujui.“B
Kalila yang awalnya ingin membongkar kedok Gio, seketika itu juga mengatupkan bibirnya.“Gio sengaja mau mengambil hati ayah sama ibu,” pikir Kalila dalam hati. “Suami kamu sudah baik dalam memperlakukan orang tua. Kamu harus setia dan berbakti sama dia, Lila.” Ayah menimpali. “Kami bersyukur karena kamu mendapatkan jodoh yang nyaris sempurna seperti Gio, jadi tolong jangan permalukan kami.”Kalila mendadak merasakan sesak di dada ketika mendengar harapan ayahnya.“Aku ... akan berbakti sama suami, Yah.”“Bagus itu, surga istri terletak pada suaminya.”Kalila diam saja, meskipun hatinya ingin berontak dan mengatakan kebenaran bahwa Gio tidaklah sebaik itu.Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, Kalila terdiam dengan pikiran berkecamuk. Dia sangat penasaran dengan tujuan Gio sebenarnya, tapi apa itu?Begitu Kalila pulang, ternyata sudah ada dua wanita paruh baya yang sedang menunggunya.“Bu Lila?”“Ya, saya sendiri. Ibu ini cari s
Gio menarik napas, hatinya langsung luluh saat Nia merajuk seperti ini. “Oke, nanti siang aku transfer.”Nia tersenyum dan langsung menghadiahi Gio dengan kecupan di bibir sebelum suaminya itu masuk mobil.Meski hanya dinikahi secara siri, tapi Nia merasa posisinya begitu sangat kuat dibandingkan Kalila yang hanya istri kedua.“Tunggu sampai tujuan kami selesai, maka saat itu juga kami akan membuangmu.” Nia berjanji dalam hati sembari melambaikan tangan ke arah mobil yang dikemudikan Gio.Setibanya di kantor, Gio langsung masuk ke ruangannya dan menelepon seseorang melalui ponselnya.“Halo?”“Yah, apakah kakek sudah memutuskan kapan akan pulang?”“Ayah belum tahu, Gio.”“Aku sudah menikah sama jodoh pilihan nenek, apa lagi?”Gio mengetukkan jarinya di permukaan meja seraya menunggu jawaban sang ayah.“Ya jalani saja kehidupan rumah tangga kamu seperti orang normal lainnya, punya anak, dan menyusun masa depan dengan lebih baik seperti
“Suasana malah jadi ramai,” timpal Kalila, sorot mata kehampaan tidak luput dari pandangan Arkan.Sementara itu di kantor Gio ....“Apa rencana kamu nanti malam?” Nia mengalungkan kedua lengannya ke leher Gio dengan mesra.“Apa saja, yang penting jangan minta aku untuk pulang ke rumah.”“Kenapa, Mas? Apa Lila membuat kamu kesulitan?”Gio berdecak setiap kali mendengar nama Kalila disebut, terlebih lagi jika membayangkan sosoknya.“Entahlah, pokoknya apa pun yang dia lakukan selalu membuat aku merasa terganggu.” “Kalau begitu jangan kamu pedulikan, Mas.”“Mauku begitu, tapi ... susah kalau tinggal satu atap sama dia.”“Kamu harus tahan, jangan lupa sama tujuan besar kamu. Aku saja bela-belain mendukung kamu sepenuhnya, biarpun hati aku seperti ditusuk-tusuk ....”“Maafkan aku,” ucap Gio sungguh-sungguh. “Kalau bisa memilih, aku mau kamu yang jadi istri sahku.”Nia mengangguk maklum. “Segera singkirkan Lila setelah tujuan kamu te
“Dia kan tidak tahu kalau kamu suka menyelinap keluar untuk pergi ke rumah istri pertama kamu ....”“Kamu sudah berani banyak bicara sama aku, sadar tidak posisi kamu di mana?” potong Gio tegas, sorot matanya menghujam tajam.“Bukan begitu, Mas. Aku hanya ....”“Diam, jangan membantah kalau suami sedang bicara! Apa kamu tidak pernah dididik orang tuamu perkara sopan santun?”Kalila mengatupkan bibirnya, tidak berani membantah lagi.“Di mana-mana memang orang miskin pasti minus tata krama,” hujat Gio dengan geram. “Aku heran, apa sih yang dilihat nenekku pada dirimu? Cantik tidak, apalagi membuatku terpancing napsu.”Lelehan bening itupun akhirnya luruh dari kedua mata lentik Kalila.“Oke, cukup ... Kalau begitu, kenapa kita tidak bercerai saja?”Mendengar Kalila yang menyebut kata cerai, emosi Gio seketika naik ke ubun-ubun.“Kita sudah pernah membahas ini berkali-kali kan? Kita bercerai kalau sudah waktunya! Paham tidak sih kamu? Atau ka
“Itu Lila sama pria lain, Mas. Astaga, istri kedua kamu ternyata selingkuh?”“Mana sih? Oh, itu Arka—sepupu aku!”“Kok bisa dia berduaan sama sepupu kamu?”Gio lantas menjelaskan jika Arka tinggal di rumahnya untuk sementara.“Kalau begitu, kamu bisa sering-sering bermalam sama aku.” Nia menatap Gio dengan berbinar. “Lila kan sudah ada temannya ....”“Tidak ada Arka pun, aku akan sering bermalam sama kamu.”“Kamu memang suami terbaik, Mas.”Gio tersenyum singkat. Dia menunggu Arka pergi meninggalkan rumah, baru setelah itu diarahkannya mobil mendekat.“Kamu tunggu di sini saja,” pinta Gio sebelum turun dari mobil.“Kenapa sih? Memangnya aku tidak boleh bertemu Lila?”“Aku lebih tidak mau kamu bertemu asisten rumah tangga, Nia. Untuk sementara, orang-orang tidak boleh tahu status kita yang sebenarnya.”Nia sontak cemberut, padahal tadinya dia sudah berniat untuk memanas-manasi Kalila jika mereka berdua berjumpa.“Aku tidak akan lama,” bujuk Gio lagi.“Ya sudah, aku terpaks
“Kami sangat baik, kakek mana?” Gio celingukan mencari keberadaan suami Mutia.“Kamu tahu sendiri kakekmu seperti apa, dia seorang petualang.”“Tapi ini sudah satu bulan sejak aku menikah, Nek. Kenapa kakek tidak pulang-pulang juga?” tanya Gio gelisah. “Bukankah aku sudah memenuhi persyaratan dari kakek?Mutia melirik Kalila yang pura-pura tidak mendengar percakapan mereka.“Lila, buatkan minuman untuk suami kamu ini.”“Baik, Nek.” Kalila justru merasa senang ketika dia memiliki alasan untuk tidak ikut serta dalam pembicaraan.“Gio, apa kamu tidak punya waktu yang lebih pas untuk membahas soal itu?”“Kenyataannya kita memang perlu membahasnya, Nek.”“Tapi tidak di depan istri kamu juga kan?” tukas Mutia dengan tatapan tajam.Kalau sudah ditatap seperti itu, Gio tidak berani mendesak lagi.“Jadi ... keputusannya bagaimana, Nek?” Gio masih berharap.“Kamu ini ...” Mutia menarik napas dalam, lalu menatap cucunya. “Kakekmu kapan har
“Pilihan yang ini resikonya besar, tapi ... jauh lebih baik daripada pilihan yang pertama tadi.”Soraya mengembangkan senyumnya.“Jadi, tunggu apa lagi?”“Aku akan membicarakannya sama Nia nanti malam, Bu. Aku sendiri yakin kalau dia jauh lebih setuju dengan pilihan kedua ini,” ucap Gio optimis.“Tapi ingat, kamu tidak boleh dan harus bermain dengan rapi.”“Tentu saja, Nia akan membantuku.”Kopi yang dipesan Soraya tiba tepat setelah pembicaraan dengan putranya selesai, mereka berdua lantas minum kopi bersama untuk merayakan ide cemerlang yang baru saja mereka dapatkan.Beberapa hari kemudian ....Kalila sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang hambar setelah menjadi istri Giordano, tepatnya istri kedua. Hati yang semula rapuh, kini mulai kebal setiap kali Gio berlaku seenaknya sendiri.Nia selalu dinomorsatukan di atas segalanya oleh Gio, tidak peduli meskipun di antara mereka ada Kalila yang juga berhak mendapatkan perhatian yang s
“Gio pasti mencariku!” Kalila agak kesulitan turun karena sudah mengenakan kebaya warna maron. “Kamu akan tetap di sini,” tegas Arka, mencekal pergelangan tangan Kalila. “Aku tidak bisa, mana ponselku? Aku harus pesan taksi!” “Aku bawa mobil, tidak usah pesan taksi.” Karena tidak ada pilihan lain, terlebih karena ponsel juga tidak dalam jangkauannya, Kalila terpaksa mengikuti saran Arka. Sebenarnya apa yang terjadi, batin Kalila saat mobil Arka mulai melaju. Dia ingat betul bahwa terakhir kalinya ada di gedung dan bersiap melangsungkan akad nikah dengan Gio, lalu saat berganti pakaian .... Sepertinya ada yang membekapku, sambung Kalila dalam hati. “Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Arka memecah keheningan. “Tidak apa-apa!” Kalila buru-buru menggeleng. “Kamu ... hadir di acara Gio?” “Aku datang mewakili ayahku, tidak enak juga kalau tidak datang.” Kalila diam, ada setitik rasa curiga terhadap Arka. Namun, dia tidak ingin menampakkan rasa curiganya itu secara teran
“Sudah terlambat, percuma saja.” “Kenapa percuma, Mas? Aku akan bujuk Lila kalau itu yang kamu inginkan!” Arka menoleh dan menatap Sofi dengan penuh benci. “Sudah ada laki-laki lain yang akan merujuk Lila, sepupuku sendiri!” Sofi tercenung. “Jadi ... kita sudah terlambat?” Arka mendengus, merasa muak dengan sikap Sofi yang terkesan lemah. “Tapi ... apakah Lila benar-benar tidak bisa dibujuk lagi?” “Bujuk saja kalau kamu bisa,” pungkas Arka datar. Sofi masih berdiri membeku dengan pakaian dinas yang melekat di tubuhnya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat, pikir Sofi muram. Suasana hati Arka jelas sedang buruk, sehingga akan sangat egois jika dia tetap meminta keinginannya. “Arka, akhir-akhir ini ayah perhatikan kamu semakin parah saja.” Sandy berkomentar di hadapan Sania dan Sofi saat sarapan pagi. “Pergilah berlibur kalau memang kamu membutuhkannya.” Arka menatap Sandy dengan sorot mata redup. “Ayah tahu apa yang aku inginkan.” “Arka, kamu bukan anak kecil lag
Ayah dan ibu Kalila saling pandang. “Kamu serius?” “Pernikahan ini tidak untuk main-main, kamu sadar?” “Aku sangat serius, dan aku sadar itu.” Gio menatap kedua orang tua Kalila bergantian. “Kamu pernah menduakan putri kami,” ungkit ayah Kalila, seolah hal itu belum lama terjadi. “Sekali lagi aku minta maaf, Yah. Tapi kali ini aku jamin, aku tidak akan mengecewakan Lila. Dia hanya jadi satu-satunya istri jika kami rujuk nanti.” Ayah Kalila menarik napas panjang dan tidak menjawab. “Lila sendiri bagaimana?” tanya ibu ingin tahu. “Kami sudah bertemu dan Lila menyerahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu.” “Kalau begitu kami juga harus membicarakannya dengan Lila terlebih dahulu,” pungkas ayah. “Kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak, karena nantinya Lila yang akan menjalani ini semua.” Gio mengangguk, menurutnya pertemuan ini tidaklah terlalu buruk dari yang dia bayangkan. Kalila sedang ikut mengepak pesanan reseller ketika ponselnya berdering nyaring. “Izin seb
Sesaat setelah mobil Gio melaju pergi, mobil Arka justru baru saja menepi di depan outlet Zideka. “Sepertinya Lila serius mau rujuk sama Gio,” gumam Arka nyaris putus asa. “Ya ampun, aku harus bagaimana?” Ingin rasanya Arka membuntuti mereka, tapi dia tidak kuat menyaksikan kebersamaan mantan istrinya. “Sudah kamu pertimbangkan matang-matang?” tanya Gio begitu dia dan Kalila sudah berada di dalam kafe miliknya. “Pertimbangkan apa?” “Rujuk lah!” Kalila mengerutkan keningnya. “Itu serius? Tidak, kan? Aku tahu kamu mengatakannya spontan saja karena terbatasnya waktu untuk berpikir, sekarang jadi seperti ini kan ...” Giliran Gio yang mengerutkan keningnya, dia tidak mengira jika Kalila menganggap apa yang dia katakan di media tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan. “Kita bisa menjadikannya benar-benar serius,” cetus Gio, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Kalila. “Demi Noah, tentu saja!” imbuh Gio buru-buru supaya Kalila tidak salah paham. “Anak keci
Kalila untuk sementara tidak mau pusing-pusing memikirkan berita yang beredar tentang dirinya dan Gio. Namun, tetap saja dia merasa kebingungan juga saat ibunya menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran itu. “Kamu serius mau rujuk sama Gio?” Kalila menarik napas panjang, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Belum pasti kok, Bu ...” “Kok belum pasti, bagaimana sih? Jangan jadikan pernikahan sebagai permainan, Lil!” “Bukan maksudku begitu, tapi memang semua ini serba mendadak dan belum pasti. Aku tidak menganggap serius ucapan Gio di depan media, mungkin biar meredam kesalahpahaman saja.” “Salah paham seperti apa sampai kalian harus bicara dusta di depan orang-orang?” Kalila lagi-lagi bingung jika harus menjelaskan kejadian yang bermula di rumah kontrakannya. “Ceritanya panjang, Bu. Mungkin Ibu bisa hubungi Gio karena dia pertama kali punya ide bilang rujuk di depan orang-orang,” usul Kalila, mau tak mau harus menumbalkan Gio.
“Jelaskan ini, Dan! Apa maksudnya?” Dengan suara melengking miliknya, Soraya mengintrogasi sang putra begitu mereka bertemu. “Jelaskan soal apa, Bu?” “Itu, berita yang sedang beredar! Kamu bilang kalau kamu akan rujuk dengan mantan istri kedua kamu kan?” Gio menatap Soraya sekilas. “Doakan saja, Bu.” “Maksud kamu apa? Kalian betulan mau rujuk?” “Kalau memang itu takdirku, mau bagaimana lagi?” “Kamu jangan bercanda, Dan! Kalau kamu sudah ada keinginan untuk menikah lagi, kenapa tidak cari orang lain saja?” “Memangnya kenapa, Bu? Lila kan ibu dari anakku juga ...” “Tapi ibu tidak setuju! Apa kamu tidak ingat bagaimana dia berkeras untuk cerai dari kamu, jadi buat apa sekarang kamu rujuk sama dia? Buang-buang waktu, tenaga, dan pastinya uang!” Gio menarik napas. “Entahlah, kita lihat saja nanti. Setidaknya Lila bukanlah orang lain dalam keluarga kita.” Tidak puas dengan jawaban Gio, Soraya mencebikkan bibirnya. Susah payah dia mencarikan calon yang sesuai untuk Gio
Kalila memijat-mijat kepalanya yang terasa pening, di sebelahnya ada Bik Nuri yang sedang menyeduh secangkir teh lemon untuknya. “Jangan terlalu dipikirkan, Nyonya. Saya saksinya kalau Nyonya dan Tuan tidak berbuat seperti apa yang mereka tuduhkan ...” hibur Bik Nuri seraya menghidangkan teh buatannya. “Tapi kan masalahnya mereka lihat sendiri bagaimana Tuan ada di rumah ini, kami tidur hanya dengan Noah sebagai pembatas ... Saya malu, Bik. Orang-orang di luar sana pasti berpikiran macam-macam tentang kami ...” Bik Nuri mengusap-usap bahu Kalila untuk meredakan kegelisahannya. “Kita memang tidak bisa memaksa orang untuk percaya dengan apa yang kita jelaskan, Nyonya. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat saja,” ujar Bik Nuri. “Mungkin butuh beberapa waktu lagi sampai kejadian ini mereka lupakan ...” Kalila menatap tehnya. Apa mungkin mereka akan lupa kejadian tadi seiring berjalannya waktu? Dia tidak yakin karena beberapa orang dari mereka bahkan secara terang-ter
Noah terbangun dengan kaget dan kebingungan melihat keberadaan banyak orang di depannya. “Sebentar, sebentar ... ada apa ini?” Gio yang baru terbangun dari tidurnya, tampak bingung dengan situasi ruang tamu yang kini penuh orang. “Ada apa, ada apa, ada yang mesum di lingkungan ini!” “Mesum?” “Jangan pura-pura tidak tahu, kamu bukan warga sini kan?” Melihat Noah yang bingung sekaligus ketakutan, Kalila mengisyaratkan kepada Bik Nuri untuk memeluknya. “Saya cuci muka sebentar,” kata Kalila tegas. “Tidak bisa begitu, kamu pasti mau kabur ya?” “Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” Suara-suara ribut terus terdengar di seluruh ruangan. “Paling tidak jangan membuat anak ini takut!” seru Bik Nuri sambil mendekap Noah erat-erat. “Ini hanya salah paham, berikan kesempatan pada majikan saya untuk menjelaskan. Paling tidak biarkan nyonya saya cuci muka dulu!” “Nanti dia kabur ...” “Untuk apa saya kabur? Rugi, saya sudah membayar sewa rumah ini
Ketika hari mulai malam, demam di tubuh Noah semakin meninggi. “Minum obat dulu, ya?” bujuk Kalila. “Habis ini Noah tidur ...” “Ayah kapan datang, Bu?” Kalila tidak segera menjawab. “Telepon ayah ...” pinta Noah pelan, wajah yang biasanya ceria itu kini terlihat sayu. Sumpah demi apapun, Kalila tidak tega melihat Noah sakit seperti ini. Apa dia betul-betul harus menelepon Gio? Tapi ini kan sudah malam, batin Kalila tidak mengizinkan. “Noah tidur dulu ya, besok baru ibu telepon ayah.” “Gak mau, aku mau ayah sekarang ...” Kalila tidak mendengarkan dan malah berbaring di samping Noah, di dekatnya sang putra dengan erat dan berharap panas itu berpindah ke tubuhnya saja. “Sama ibu dulu, nama Harus istirahat biar cepat sembuh.” “Mau ayah sekarang ... Ayah ...” Kalila terlihat bimbang, dia tentu segan jika harus menghubungi Gio malam-malam begini. Namun, melihat keadaan Noah yang sedang terbaring demam, membuatnya tidak tega untuk tetap menolak keinginannya. “Halo?