Handphone milik Raymond berdering. Hampir saja Tina berteriak dan menjatuhkan karena terkejut. Matanya menyipit melihat nama pemanggil di sana.Hanya sebuah inisial saja. Tampaknya Raymond tetap menjaga rahasia tersebut. Itu adalah nomor yang memberinya perintah. Jantung Tina berdebar semakin cepat, dia bahkan lupa jika tujuannya hendak membuang tubuh Raymond.“Aku harus mencari tahu siapa yang menelpon Raymond dan yang memberinya perintah.”Tina lantas menjawab panggilan telepon itu. Namun, Tina tak bersuara. Dia menunggu si penelepon bersuara agar bisa menebak siapa pelakunya.Sayangnya hingga 30 detik berlalu, tak ada suara dari seberang sana. Tina menyimpulkan jika si penelepon tahu kalau ponsel itu tak lagi di tangan Raymond. Dia pasti sangat berhati-hati, pikir Tina yakin.Panggilan telepon berakhir. Tina tertegun dan terdiam dengan pikiran banyak tanya. Kemudian handphone itu berbunyi lagi, pesan masuk.Segera saja Tina membuka dan membacanya. “Siapa kamu? Bagaimana handphone i
“Ada apa, Ryan? Sepertinya kamu mencemaskan sesuatu?” Pertanyaan Lisa langsung menyadarkan Ryan dari rasa cemasnya. Tampaknya dia terlalu berlebihan memikirkan rasa takutnya. Dia lantas tersenyum mencoba mencoba terlihat tenang.“Tidak ada. Mungkin aku merasa lelah saja. Sudah lama ku tak melakukan perjalan jauh,” jawab Ryan berbohong.“Oh, aku kira kamu sedang menghadapi masalah serius,” kata Lisa terdengar lega. “Kalau begitu, istirahatlah dulu. Perjalanan kita masih jauh, cukup untukmu beristirahat.”Ryan tertegun sejenak. Dia menatap Sean yang masih tertidur pulas dalam pangkuan Lisa. “Jangan cemaskan aku dan Sean. Kamu juga perlu beristirahat,” kata Lisa lagi memastikan.“Tapi, bagaimana denganmu?” tanya Ryan menjadi cemas dan sungkan.“Aku baik-baik saja, Ryan!” jawab Lisa langsung.Sejujurnya, Ryan ingin protes. Namun, dia memilih menyandarkan tubuhnya dan pura-pura tertidur. Dengan begini, dia bisa menenangkan diri dan memikirkan apa yang harus dilakukannya selanjutnya.Yang
“Aku tahu, kalau penyesalanku ini terlambat. Sudah terlalu banyak luka yang kuberikan padamu, Lisa. Mungkin saja aku tak pantas untuk mendapatkan maaf darimu,” ucap Nania dengan air mata yang mengalir deras.Dia sungguh menunjukkan rasa penyesalan yang paling dalamnya. “Tapi, aku harap kamu mau memaafkanku, Lisa,” katanya lagi.“Setiap hari aku selalu berdoa agar Tuhan memberikanku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku dan menebus dosaku padamu. Aku menunggumu di sini dan aku berharap Tuhan mengabulkan doaku.” Suara Nania penuh harap dan ketulusan.Lisa terdiam. Dia melihat kesungguhan ibunya, hingga air matanya pun ikut menetes. Namun, ia merasa bingung harus bagaimana.“Ibu, dia siapa?” Sean bertanya seraya menarik lengannya dan langsung mengalihkan fokusnya.Sebelum Lisa menjawab, Nania sudah bertanya. “Lisa apakah dia?” Namun, Nania langsung terdiam. Dia menahan rasa penasarannya. Sadar, Lisa belum memberikan jawabannya. Nania menunduk, tak berani menebak jawaban Lisa. Air ma
“Paman baik!” Suara anak lelaki memanggil Jason dan langsung membuatnya menolah. Dia adalah salah satu anak panti asuhan yang sering bermain dengan Jason. “Paman kembali lagi? Ayo kita main lagi,” ajaknya.“Oh, maaf, Sayang. Aku harus segera pergi. Aku kembali untuk memberikan ini.” Jason berkata seraya memberikan dua box donat yang masih dipegangnya.Jason sangat dekat sekali dengan mereka. Anak itu pun tersenyum girang menerima pemeriannya. “Bagikan dengan teman-temanmu yang adil, ya!” pesannya.“Terima kasih, Paman baik,” jawabnya girang.Jason mengangguk tersenyum pada anak tersebut sebelum dia kembali masuk ke dalam. Sejujurnya dia penasaran dengan anaknya Lisa, tetapi ini bukan waktu yang tepat, menurutnya. Dia cemas jika Ryan akan bangun dan akan menimbulkan kesalahpahaman dengan Lisa.Setidaknya Jason sudah cukup tenang dan lega melihat Lisa jauh lebih baik. Ya, Jason bisa melihat Lisa kini banyak tersenyum, tak lagi banyak diam dan murung seperti dulu.Lebih baik dia bergega
“Nyonya Lisa, Tuan Abraham mabuk berat. Bisakah Anda menjemputnya di club biasa?”Wajah Melisa Anderson, nama panjang Lisa langsung tersentak panik. Jason Abraham adalah suaminya, langsung mengiyakan permintaan panggilan telepon tersebut. Lisa langsung bergegas meraih tas tangannya dan segera menuju club tempat suaminya menghabiskan malam setelah pulang bekerja.Untunglah jalanan kota tak terlalu ramai, taksi yang dikendarainya hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai ke tempat tersebut. Segera ia berlari dengan wajah panik menuju ruangan tempat suaminya berada, sesuai informasi dari penelepon tadi. Akan tetapi, tubuhnya langsung mematung saat tangannya hendak meraih handle pintu.“Jason, apa lagi yang kamu tunggu? Chatrina sudah datang dengan sederet prestasi sebagai model internasional, hanya untuk meraih cintamu. Apa yang kamu harapkan dari istri cacatmu itu!”“Benar, Jason. Lihatlah wanita cantik di sampingmu! Model hebat dan cantik, tubuhnya seksi ... tak sepadan dengan istri
Lisa memilih untuk pulang. Mungkin karena ia kelelahan hingga tiba-tiba melupakan sesuatu. Akan tetapi, akhir-akhir ini ia sering merasakan hal seperti itu, melupakan hal sesuatu.Setelah sampai rumah ia langsung mandi agar tubuhnya lebih segar. Setidaknya Lisa harus memiliki tenaga untuk berpikir. Selesai mandi ia melihat jam dinding, seharusnya Jason datang sebentar lagi.Tebakkannya benar, terdengar suara mobil Jason yang terparkir. Segera ia menyiapkan sup pereda mabuk. Jason pasti mabuk pikirnya.Namun saat membuka pintu untuk suaminya, dia tak mencium bau alkohol. Seperti biasa Jason akan memasang wajah paling dingin jika Lisa melakukan kesalahan. Dan Lisa tahu apa yang harus dilakukannya.“Maafkan aku, Jason. Kejadian tadi tak akan terulang lagi,” kata Lisa memasang wajah bersalah.Bukan Lisa yang bersalah, tetapi dia yang harus mengaku salah. Semestinya Jason yang meminta maaf karena berpesta bersama mantan kekasihnya, bukan? Sayangnya, selama ini Lisa tak pernah dianggap ada
Hari ini adalah peringatan kematian Adam dan Fedro. Lisa pun ikut bergabung. Dia akan memberitahu Jason setelah pulang dari acara tersebut tentang rencananya untuk bercerai.Namun, Lisa terkejut saat sampai rumah. Jason sudah berada di sana duduk di samping Tina dan keluarganya. Mereka sedang memuji Tina yang cantik dan pandai.“Terima kasih, Jason. Kamu mau datang menyempatkan diri dalam peringatan kematian suami dan anak lelakiku.” Nania berkata dengan penuh syukur.“Sudah sepatutnya aku datang, Ibu. Anda adalah ibu mertuaku. Benarkan?” jawab Jason.“Ibu, Jason bersedia datang ke sini karena aku yang mengajaknya.”Nania terharu dengan ucapan Tina. “Selama ini Lisa tak pernah membawa Jason ke sini. Padahal dia adalah menantu di rumah ini. Sungguh keterlaluan anak pembawa sial itu!”Hati Lisa sakit mendengar ucapan ibunya. Selama ini dia tak pernah dibanggakan. Nania terus mengucapkan terima kasih pada Tina dengan memeluknya penuh cinta.Apa yang dikatakan Nania bohong. Selama ini Jas
Olivia tak pernah tahu bagaimana dinginnya Jason memperlakukan Lisa. Dia pun tak pernah tahu bagaimana perjuangan Lisa meluluhkan hati Jason yang keras. Olivia kini justru menghinanya bodoh.“Maafkan aku, Ibu. Aku akan bercerai agar Jason bisa terbebas,” kata Lisa setelah Olivia selesai memarahinya.“Apa? Bercerai?”“Benar, Bu. Sekarang Tina sudah sukses dan terkenal, pasti sangat membanggakan. Jason juga sepertinya masih mencintainya.”Wajah Olivia, terkejut. Lisa tampak sungguh-sungguh. Sebenarnya Olivia tahu seberapa besar cintanya Lisa pada Jason dan usahanya untuk meluluhkan putranya.Lima tahun lalu, Jason mengalami kecelakaan saat melakukan acara amal bersama anak-anak panti asuhan yang diadakan di salah satu pantai. Jason tenggelam setelah kapal yang ditungganginya diterpa ombak besar. Tim Sar hampir menyerah dan tak bisa menemukan keberadaannya.Lalu seorang gadis panti pantang menyerah mengaruhi ombak laut saat cuaca buruk. Jason pun berhasil diselamatkan. Jika saja gadis it
“Paman baik!” Suara anak lelaki memanggil Jason dan langsung membuatnya menolah. Dia adalah salah satu anak panti asuhan yang sering bermain dengan Jason. “Paman kembali lagi? Ayo kita main lagi,” ajaknya.“Oh, maaf, Sayang. Aku harus segera pergi. Aku kembali untuk memberikan ini.” Jason berkata seraya memberikan dua box donat yang masih dipegangnya.Jason sangat dekat sekali dengan mereka. Anak itu pun tersenyum girang menerima pemeriannya. “Bagikan dengan teman-temanmu yang adil, ya!” pesannya.“Terima kasih, Paman baik,” jawabnya girang.Jason mengangguk tersenyum pada anak tersebut sebelum dia kembali masuk ke dalam. Sejujurnya dia penasaran dengan anaknya Lisa, tetapi ini bukan waktu yang tepat, menurutnya. Dia cemas jika Ryan akan bangun dan akan menimbulkan kesalahpahaman dengan Lisa.Setidaknya Jason sudah cukup tenang dan lega melihat Lisa jauh lebih baik. Ya, Jason bisa melihat Lisa kini banyak tersenyum, tak lagi banyak diam dan murung seperti dulu.Lebih baik dia bergega
“Aku tahu, kalau penyesalanku ini terlambat. Sudah terlalu banyak luka yang kuberikan padamu, Lisa. Mungkin saja aku tak pantas untuk mendapatkan maaf darimu,” ucap Nania dengan air mata yang mengalir deras.Dia sungguh menunjukkan rasa penyesalan yang paling dalamnya. “Tapi, aku harap kamu mau memaafkanku, Lisa,” katanya lagi.“Setiap hari aku selalu berdoa agar Tuhan memberikanku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku dan menebus dosaku padamu. Aku menunggumu di sini dan aku berharap Tuhan mengabulkan doaku.” Suara Nania penuh harap dan ketulusan.Lisa terdiam. Dia melihat kesungguhan ibunya, hingga air matanya pun ikut menetes. Namun, ia merasa bingung harus bagaimana.“Ibu, dia siapa?” Sean bertanya seraya menarik lengannya dan langsung mengalihkan fokusnya.Sebelum Lisa menjawab, Nania sudah bertanya. “Lisa apakah dia?” Namun, Nania langsung terdiam. Dia menahan rasa penasarannya. Sadar, Lisa belum memberikan jawabannya. Nania menunduk, tak berani menebak jawaban Lisa. Air ma
“Ada apa, Ryan? Sepertinya kamu mencemaskan sesuatu?” Pertanyaan Lisa langsung menyadarkan Ryan dari rasa cemasnya. Tampaknya dia terlalu berlebihan memikirkan rasa takutnya. Dia lantas tersenyum mencoba mencoba terlihat tenang.“Tidak ada. Mungkin aku merasa lelah saja. Sudah lama ku tak melakukan perjalan jauh,” jawab Ryan berbohong.“Oh, aku kira kamu sedang menghadapi masalah serius,” kata Lisa terdengar lega. “Kalau begitu, istirahatlah dulu. Perjalanan kita masih jauh, cukup untukmu beristirahat.”Ryan tertegun sejenak. Dia menatap Sean yang masih tertidur pulas dalam pangkuan Lisa. “Jangan cemaskan aku dan Sean. Kamu juga perlu beristirahat,” kata Lisa lagi memastikan.“Tapi, bagaimana denganmu?” tanya Ryan menjadi cemas dan sungkan.“Aku baik-baik saja, Ryan!” jawab Lisa langsung.Sejujurnya, Ryan ingin protes. Namun, dia memilih menyandarkan tubuhnya dan pura-pura tertidur. Dengan begini, dia bisa menenangkan diri dan memikirkan apa yang harus dilakukannya selanjutnya.Yang
Handphone milik Raymond berdering. Hampir saja Tina berteriak dan menjatuhkan karena terkejut. Matanya menyipit melihat nama pemanggil di sana.Hanya sebuah inisial saja. Tampaknya Raymond tetap menjaga rahasia tersebut. Itu adalah nomor yang memberinya perintah. Jantung Tina berdebar semakin cepat, dia bahkan lupa jika tujuannya hendak membuang tubuh Raymond.“Aku harus mencari tahu siapa yang menelpon Raymond dan yang memberinya perintah.”Tina lantas menjawab panggilan telepon itu. Namun, Tina tak bersuara. Dia menunggu si penelepon bersuara agar bisa menebak siapa pelakunya.Sayangnya hingga 30 detik berlalu, tak ada suara dari seberang sana. Tina menyimpulkan jika si penelepon tahu kalau ponsel itu tak lagi di tangan Raymond. Dia pasti sangat berhati-hati, pikir Tina yakin.Panggilan telepon berakhir. Tina tertegun dan terdiam dengan pikiran banyak tanya. Kemudian handphone itu berbunyi lagi, pesan masuk.Segera saja Tina membuka dan membacanya. “Siapa kamu? Bagaimana handphone i
“Apa maksudmu?” tanya Tina pura-pura tak mengerti.Raymond tersenyum sinis. Dia lantas melirik gelas berisi jus di tangannya. Tina pun menghela napas panjang dengan wajah seolah mengerti isi pikiran lelaki di hadapannya.“Kamu pikir, aku menaruh racun pada minumanmu?” “Siapa yang tahu?”Tina lantas meraih gelas di tangan Raymond. Dia lantas meminumnya tanpa jeda dan tak menyisakan sedikit pun. Kemudian Tina menunjukkan gelas kosongnya, seolah membuktikan dirinya tak seperti yang dituduhkan.“Puas?” tanyanya sengaja memasang wajah kesal.Raymond tercengang. Tentu saja itu adalah rencana Tina. Wanita itu tahu, Raymond tak bisa langsung ditipu.“Apa yang ada dalam pikiranmu, Ray? Kamu masih meragukanku? Padahal selama ini aku menurut padamu, walaupun kamu memperbudakku,” ucap Tina lagi dengan wajah kesal.“Maaf, Tina. Aku tak bermaksud,” sahut Raymond dengan wajah penuh sesal.Reaksi Raymond saat ini pun sudah Tina duga. Dalam hati, dia bersorak riang. Tina sudah hafal benar bagaimana ta
Setelah Lisa pulang, Ryan kembali menemui Jenifer Molley. Wajah wanita itu kini tak seketus sebelumnya. Ryan sudah mengumpulkan beberapa bukti tentang kejahatan Tina pada Lisa.“Ini adalah video di restoran tempat Lisa bekerja dulu. Di sana Tina merundungnya, hingga Lisa akhirnya dipecat dari pekerjaannya,” ucap Ryan seraya menyerahkan tab miliknya.Untungnya dia masih menyimpan rekaman tersebut. Bukan hanya itu saja, dengan bantuan Raymond—lelaki yang diutusnya untuk mengendalikan Tina. Semua bukti tentang Tina yang selalu merundung Lisa semuanya sangat kuat.Bahkan, Ryan terpaksa memberikan beberapa bukti kalau Tina merusak rumah tangga Lisa dan Jason. Jenifer tampak terkejut dengan semua bukti yang dibawa oleh Ryan. Perlahan wajahnya menunjukkan rasa bersalah pada Lisa.“Akhir bulan ini, Lisa membawaku pulang ke kotanya. Sejujurnya aku mencemaskannya, khawatir jika Tina masih terus mencoba menyakiti Lisa,” ungkap Ryan diakhir embusan napas berat.“Sebenarnya, kamu tak perlu membala
Lisa menggelengkan kepalanya, air matanya mulai menggenang. Dia merasa tak diperlakukan tak adil."Aku tidak ada hubungannya dengan apa yang Tina lakukan! Kenapa kamu membenciku?!" ucap Lisa pilu."Karena aku ingin Tina merasakan apa yang aku rasakan. Dan kamu adalah jalan tercepat untuk membuatnya menderita." Jenifer memandang Lisa dengan tajam.Ryan tersentak. Dia menatap Jenifer dengan tatapan penuh amarah. "Kamu pikir meneror Lisa akan menyelesaikan dendammu? Aku akan memastikan hukum menangani ini, Nona Molley!" "Silahkan, Tuan Ryan. Tapi ingat, aku tidak akan menyerah sebelum Tina membayar semuanya." Jenifer seolah menantang.“Nona Molley, aku minta maaf atas apa yang terjadi. Tapi, harus kamu tahu ... aku pun tak memiliki hubungan baik dengan Tina. Kenapa aku berada di sini? Karena aku menghindarinya ... dia juga membuat hidupku hancur.”Suara Lisa bergetar. Tatapan sakit hatinya terlihat jelas, tetapi Jenifer mendesis sinis. Jenifer bahkan tersenyum mengejek.“Siapa yang t
“Melisa Anderson? Siapa itu?” tanya polisi itu ikut membaca catatan dalam paket teror itu.“Namaku yang sebenarnya,” jawab Lisa dengan tatapan cemas. Ryan melangkah maju dan meraih paket itu. Kemudian dia merangkul Lisa, mencoba menenangkannya, tetapi wanita itu tetap menatap cemas. “Ryan, tak ada yang tahu namaku. Pengirimnya pasti mengenalku,” tebaknya.“Kamu harus tenang, Lisa! Biarkan aku dan mereka yang menangani semua ini.” Ryan berkata dengan suara menenangkan, seraya menunjuk para petugas yang ada di sana.Ya, di sana mereka mengenalnya sebagai Gia Gorley, identitas yang diberikan Ryan untuknya. Namun, Lisa memilih mengangguk dan menyerahkan semuanya pada Ryan. Wanita lebih baik menunggu seraya menjaga Sean.“Ada apa, Bu? Siapa yang menerormu?” tanya Sean setelah berada di dalam rumah.“Aku juga tidak tahu, Sayang. Mungkin dia orang yang tak suka denganku atau mungkin pernah punya masalah denganku,” jawab Lisa bingung. Dia tak mungkin berbohong pada putranya.Sean sudah tahu
“Argh!”Lisa berteriak keras. Lisa ketakutan, hingga tubuhnya gemetar. Kotak paket yang dilihatnya terlempar. Ryan bahkan langsung berlari keluar dari kamarnya, menghampiri Lisa.“Apa yang terjadi, Lisa?” tanya Ryan cemas dan panik.Bibir Lisa terasa terkunci karena rasa takut yang meninggi. Dia menunjuk isi paket yang terjatuh di bawah kakinya. Bangkai burung dara yang mengerikan dengan sayap dipatahkan dan darah yang masih segar. Sepertinya burung itu baru saja dibunuh.“Siapa yang berani melakukan ini?” geram Ryan terkejut. “Ibu, apa yang terjadi?” Suara Sean muncul dan langsung membuat keduanya menolah.“Sean, bisa bawa ibumu masuk ke dalam! Ada sesuatu yang tidak beres dan ibumu ketakutan.” Ryan memberi perintah.Sean hanya mengangguk dan tak banyak bertanya. Dia bisa melihat tubuh ibunya gemetar. Tangan Ryan bahkan menuntun Lisa hingga duduk di sofa ruang tengah, lalu memberikan segelas air.“Tidak apa-apa, Ibu. Semuanya baik-baik saja,” kata Sean menangkan ibunya.Sementara, R