Semilir angin malam nenembus kulit pori-pori Eliana, ia berada di balkon menatap gedung bertingkat nan jauh disana. Kota yang begitu padat, bahkan dulu Eliana tak pernah menyangka akan berada di kota sebesar ini, biasanya ia selalu ke sawah ikut menanam padi, menjemur padi punya orang tuanya di kampung. Setelah menikah dengan Satria ia diajak Satria merantau ke Jakarta, berusaha mengubah nasib. Namun kala itu Satria yang mengajaknya merantau ke kota besar, disitu awal dari awal skandal Satria dan Yolanda. Eliana merasakan perih disakiti, dan ditinggal pergi suaminya untuk selamanya, saat ini ia sudah berdo'a dan meminta pada sang pemberi kehidupan untuk bisa memaafkan Satria dan memberikan kesempatan. Apa salahnya memberi kesempatan seseorang yang mau untuk berubah, bukankah Allah saja maha pemaaf, dingin malam semakin dingin. Dafa datang dan duduk di samping Eliana. Dafa menghela napas panjang. "Mama, yakin bisa menerima, Ayah Satria dekat dangan, Dafa?" tanya Dafa pada Mamanya. E
Reindra menatap ke depan ke tumpukan berkas yang masih tertata rapi di atas meja. Hari ini ia harus meneliti beberapa tugas dari mahasiswanya, ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Reindra tak ingin Eliana cemas akan dirinya. Ia harus cepat menyelesaikan apa yang harus di selesaikan. Saat Reindra sibuk ponselnya bergetar pertanda ada chat masuk saat membuka chat seulas senyum terpancar dari bibir Reindra. [Bekalnya jangan lupa di makan, Mas. Ini waktunya makan siang lo.]Reindra tersenyum lalu mengirim emoji love ke pada istrinya Eliana. Beruntung pihak kampus tak menghukum Reindra mengeluarkannya saat ia sakit. Malah banyak sekali pihak dari Kampus menyumbang juga mensuport dirinya selama sakit. Reindra bahagia karena semua sudah seperti keluarga. Kembali ponsel Reindra berbunyi. [Papa, jadi rencananya nanti?][Jadi lah, siapkan semuanya ya.][Asiapp, Pa]Reindra tersenyum dan kembali menaruh ponsel, lalu melanjutkan tugasnya. -Tak bisa dipungkiri kehilangan seseorang yan
Menyaksikan perjalanan kisah cinta Eliana yang berliku juga begitu tegar menghadapi masalah, Bu Hani menitipkan air mata. 'Sudah saatnya kau bahagia, Eliana.' Bu Hani bergeming, ia tahu jika cinta Eliana pada Reindra sangatlah besar. Keduanya saling mencintai. Bu Hani mendekat dan bicara pada Reindra juga Eliana. "Kalian, Mama beri hadiah ini bukalah," beliau memberikan amplop warna cokelat untuk Eliana. "Apa ini, Ma?" tanya Eliana penasaran. Bu Hani tersenyum. "Bukalah."Eliana membuka amplop tersebut dan satu kamar hotel yang sudah dipesan oleh Bu Hani untuk dua hari ke depan. "Astaga, Ma, ini berlebihan lo. Lagian kami juga bukan anak muda lagi?" tanya Eliana malu. "El. Sudahlah kau butuh berdua dengan Reindra biar anak-anak, Mama yang jaga, Mama hanya punya kalian, Mama harap kalian nanti yang akan merawat Mama saat tua nanti."Eliana menggeleng. "Mama bicara apa, kami semua putra-putimu, kami semua sayang sama, Mama."Bu Hani tersenyum dan duduk mendekati Eliana. "Kau terima
Reindra menyelusuri koridor hotel dengan santai. Dia kaget melihat perempuan keluar dari kamar hotel dengan laki-laki yang sangat ia kenal. Untung Eliana tadi memberikan syal di leher karena udara begitu dingin. Awalnya Reindra menolak, namun akhirnya ia menggangguk dan memakainya, Reindra menutupi mulut juga kepalanya dengan syal, hanya beberapa meter ia melihat Yolanda dengan lelaki yang tak asing dimata Reindra.Namun ia lupa. Sesekali mereka saling bertukar senyum saat tatapan bertemu. Lalu perlahan tangan itu terlepas dari genggaman dan berpindah memeluk pundak Yolanda. Reindra terus berjalan dan berpapasan dengan Yolanda dan laki-laki itu yang begitu mesra, sesaat Yolanda menatap Reindra namun sepertinya ia tak mengenali. "Makanan datang, sayang."Eliana tersenyum. "Oke, Mas."Eliana dan Reindra menyantap makanan, mereka sama-sama diam. Reindra pikirannya melayang untung saja hubungan dengan Satria itu berakhir saat ia memergoki Yolanda bermain gila dengan Anton sahabatnya. Wan
Mereka keluar hotel untuk sarapan. Eliana hanya memakai pashmina dan rok juga baju atasan dengan pashmina senada, memakai flatshoes sudah membuat hati Reindra berdebar hebat, entah pesona Eliana membuatnya makin mencintainya. Saat terasa lapar mereka duduk di bangku resto masakan laut di samping hotel. Dan menunggu pesanan datang. Reindra tersenyum ia tahu jika istrinya sangat lapar, bahkan ia mendengar jelas suara cacing dalam perut Eliana terdengar dengan jelas. Akhirnya pramusaji datang membawa dua porsi makanan. Pagi itu mereka habiskan dengan bercanda sambil menikmati makanan yang berada di depan mereka. Sesekali Eliana menatap ke arah orang berlalu lalang lalu kembali makan. "El, habiskan makanlah yang banyak," ujar Reindra seraya menyodorkan beberapa menu makanan untuk Eliana. "Iya aku, lapar boleh aku habiskan." Reindra mengangguk. "Enggak apa-apa, sayang. Kau harus makan banyak," sahut Reindra sambil mengulas senyum. Eliana tersenyum mendengar perkataan Reindra dan kemba
"Bagaimana, kita pulang sekarang sayang?" tanya Reindra yang masih dalam posisi memeluk tubuh istrinya. Eliana mengangguk. "Iya aku rindu, Bian juga, Daffa. Mas," jawab Eliana. Reindra membantu Eliana mengemasi bajunya dalam travel bag. Selesai mereka keluar kamar hotel dan berjalan menuju parkir mobil. Sesaat Eliana tahu jika Yolanda sedang berjalan dengan seorang laki-laki dengan cepat Eliana merekam mereka tanpa sepengetahuan Reindra. Eliana menelan saliva yang begitu pahit, lalu menggeleng pelan. Eliana merasa serba salah meskipun ini bukan urusannya, namun semua sudah suratan takdir mantannya Satria memiliki istri seperti itu. Eliana memasukkan ponsel di dalam tas. Dan kembali menggandeng lengan suaminya dengan mesra. "Sayang yakin mau pulang? gak ingin ke pantai lagi?""Pulang saja, Mas, kapan-kapan saja deh."Mereka saling pandang. Hingga mereka memasuki parkiran hotel, mereka berjalan dan hanya diam. Namun, tangan Eliana menggandeng erat lengan Reindra saat melewati ramai
"Sayang, kenapa senyam-senyum sendirian?" tanyanya mencubit hidung istrinya. "Eh ... iya, Mas ngagetin saja sih."Reindra tersenyum ia tahu jika istrinya pasti malu saat ia menggodanya. "Gimana suka kan dikagetin!" tekannya mengedipkan satu matanya. Eliana tersenyum. "Ih, sejak kapan, Mas jadi genit gini?""Tapi suka kan? Mau dipeluk?" rayunya lagi pada Eliana. Eliana masih sibuk membikin pisang goreng tersenyum dan merasa geli. "Malu sama, Bian. Mas.""Papa kenapa di dini?" tanya Bian curiga. Reindra gugup. "Papa ambil air sayang,""O, Mama, sudah matang belum pisang gorengnya?" tanya Bian. "Sudah sayang ini bawa kedepan ya," jawab Eliana menyerahkan satu piring pisang goreng hangat. -Satu minggu berlalu. Eliana berada di depan cermin, ia sedang menyisir rambutnya, dan membersihkan make up tipisnya. Karena Eliana rajin mencuci muka setiap mau tidur kulitnya terlihat kencang juga bercahaya. Embusan napas teratur Reindra menerpa kulit leher Eliana. Tangannya melingkar erat di pin
Eliana menatap Dafa dan Bian yang sedang tertidur. Tatapan dan sorot mata teduh yang dulu selalu membuat Eliana terpaku karena rasa bahagia. Perlahan rasa hangat menjalar, mengusik sekelumit kenangan beberapa tahun silam. Dulu bersamanya Eliana selalu nyaman. Eliana selalu merindu saat ia jauh. Ada debar di dalam sini saat jemari saling menggenggam. Atau tanpa sengaja saling bertukar tatap. Dia Reindra pria tampan kakak kelasnya dulu, teman sekelas wanita Eliana banyak yang suka kala itu. Kala itu ia marah saat pernah tanpa sengaja melihat Satria bersama gadis lain. Dan bahkan saat itu Eliana mendiamkannya hingga berhari-hari dan meninggalkannya dengan sepeda mini kesayangannya. Eliana sadar bahwa ia jatuh cinta padanya. "Masuklah El, udaranya sangat dingin lo." Reindra menyadarkannya dari lamunan. la mendekati Eliana dan memeluknya dari belakang. Entah perasaan apa yang di rasakan Eliana tenggorokannya tercekat, jantungnya naik turun, rasa yang selama ini hilang telah kembali lagi.
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y