Share

Terpaksa Operasi Caesar

Author: Dyah Ayu Prabandari
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Kamu akan tetap pergi ... sedang di dalam sana Rara berjuang antara hidup dan mati. Kamu tega meninggalkan dia dalam keadaan seperti ini, Mas?"

"Ah!"

Mas Reza kembali menjatuhkan bobot di kursi. Dia menunduk, mengusap kasar rambut ikalnya. Mas Reza bener-benar kebingungan dengan situasi saat ini.

Aku paham betul apa yang kini dia rasakan. Sama sepertiku tempo hari, ingin kuhajar lelaki kurang ajar seperti Guntur. Namun Rara menghalangiku. Kini aku paham alasan kenapa dia memilih bungkam. Dia tak tak ingin hidupnya semakin hancur karena disebut and perempuan penggoda. Kenyataannya dia hanya korban keegoisan Guntur.

Waktu seolah terpaku, tak bergerak sama sekali. Berkali-kali aku menatap ke arah pintu. Namun tak jua terbuka, ruangan itu masih tertutup rapat. Itu pula yang membuatku semakin dilanda kegelisahan dan ketakutan.

Lantunan azan subuh terdengar dari ponsel Mas Reza. Namun hingga detik ini operasi belum juga selesai.

Tidak lama tangis bayi terdengar hingga di luar ruangan opera
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yeni Lisa
padahal kan lebih baik guntur ga usah tau, biar lili sama Reza aja yg ngerawat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Seba Salah

    "Apa yang terjadi di rumah, Mas? Kamu bertengkar dengan Guntur?""Bagaimana keadaan Rara? Kenapa sampai sekarang dia belum siuman?"Bukan sebuah jawaban yang aku dapatkan. Namun sebuah pertanyaan yang justru keluar dari mulut Mas Reza. Ya, lelaki itu berusaha mengalihkan pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya. "Kamu tidak bisa belajar bahasa Indonesia, Mas? Sebuah pertanyaan harusnya dijawab, bukannya justru di beri sebuah pertanyaan?""Maaf, Li. Mas tidak bisa menahan emosi. Mas kesal melihatnya dapat tertawa lepas sementara Rara merasakan sakit. Bahkan dia berjuang antara hidup dan mati.""Mas bilang ke semua orang jika Rara hamil anaknya begitu?""Tidak, Li. Hanya bicara empat mata dan berakhir cekcok. Dia tidak mengakui jika bayi itu anaknya. Dia kurang ajar, Li!"Mas Reza tertunduk, tangan kanannya mengepal, netranya menatap tajam ke depan. Siapa yang tak marah jika adiknya diperlakukan seperti itu. Aku benci dengan Guntur, dia pecundang. "Mas tahu, saat Mas Reza pergi Rara me

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Rara Mengamuk

    "Bangun, Li! Bangun!"Aku terperanjat, seketika terbangun dari ranjang. Namun kembali memejamkan mata saat nyeri terasa di kepala."Bagus ya kamu, Li! Adik masuk rumah sakit, suami capek-capek nungguin tapi kamu enak-enak tidur."Ya Allah ... Drama apa lagi ini?"Apa sih, Bu? Lili tu capek.""Capek dari mana? Kamu saja tiduran begini. Yang capek itu Reza karena udah nungguin Rara. Kalau di rumah harusnya bersih-bersih. Ini malah enak-enakan sementara rumah udah kayak kapal pecah. Istri macam apa kamu ini!"Ya Allah ....Aku mengelus dada yang terasa berdenyut. Ibu dan Mas Reno tidak tahu lelahnya tubuhku tak tidur semalaman. Mereka berbicara tanpa mengetahui kenyataan yang ada. Selalu aku yang salah dan mereka yang benar."Aku baru pulang dari rumah sakit, Bu. Semalaman aku gak tidur karena menunggu Rara. Apa aku salah jika istirahat sebentar sebelum membersihkan rumah dan ke rumah sakit?"Ibu dan Mas Reno terdiam. Mereka membalikkan badan lalu pergi dari kamarku. Tidak ada rasa ber

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Biaya Rumah Sakit Rara

    "Cepat kemari, Li. Rara mengamuk lagi.""Ada ibu dan Mas Reno, kan?""Rara ngamuk lihat ibu dan Mas Reno. Kamu atau Reza cepat kemari!"Aku mendongak, menatap benda kotak yang menempel di dinding kamar. Jarum panjang dan pendek berkolaborasi hingga menunjukkan pukul 21.00 WIB."Cepet, Li!" seru ibu dari balik sambungan telepon."Iya, Bu."Segera aku ganti daster dengan gamis berwarna coksu. Tidak lupa hijab instan warna senada aku kenakan. Setalah mengambil kunci dan tas, dengan hati-hati aku keluar kamar. Aku tidak ingin Mas Reza terbangun, dia sudah kelelahan berjaga sendirian di rumah sakit.Semilir angin malam menemani perjalananku. Jalanan masih ramai dengan kendaraan yang melintas. Ada rasa tenang karena aku aman mengendarai sepeda motor malam-malam seorang diri. Ya, di sepanjang jalan bukan hanya aku yang sendirian.Rumah sakit menjadi tujuanku saat ini. Mungkin hingga beberapa hari ke depan. Tergantung kesehatan Rara dan bayinya.Suasana bangunan tingkat lima ini terlihat leng

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Ibu Kabur

    "Aku tidak salah dengar kan, Mas? Mas Reno minta rumah kita di jual, Mas? Rumah yang baru kita bangun. Dia benar-benar berkata begitu? Ya Allah ... Entah di mana pikiran saudaramu itu. Masalah bukannya dicari solusi tapi malah nambah perkara baru."Lepas sudah amarah yang aku pendam. Cukup sudah aku diam selama ini. Nyatanya mereka justru semakin menjadi. Kini aku tahu sifat asli keluarga suamiku. Tidak ada lagi topeng yang mampu menutupi bobroknya hati dan pikiran mereka.Selama ini aku selalu mengalah. Berusaha menjadi ipar dan menantu yang baik. Namun tetap tak ada artinya. Lelah, rasanya aku ingin menyerah.Bisa gak sih ganti mertua dan ipar tanpa harus ganti suami?"Mas juga gak ngerti kenapa Mas Reno bisa tega berkata demikian. Padahal dia tahu, tanah sawah yang kita bangun adalah hak Mas. Bapak yang memberikannya.""Tapi aku gak pernah lihat sertifikat rumah kita, Mas. Serifikat rumahnya ada, kan?"Kalimat tanya itu tiba-tiba muncul di kepala. Tiba-tiba ada kekhawatiran yang

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Bapak Meninggal

    "Maaf, Li. Ibu dan Mas pulang tanpa pamit. Bapak sedang tidak enak badan. Kasihan bapak jika ditinggal terlalu lama."Kalimat yang keluar dari mulut ibu saat kutanyakan kenapa pulang tanpa berpamitan. Bahkan ia tak menjenguk Rara sebelum pulang ke Salatiga. Aku tak mengerti arah dan pikiran Mas Reno dan ibu. Mereka tua tapi tidak dewasa sama sekali. Di sini yang tua siapa sih? Heran aku. Aku pijit kepala yang terasa berdenyut. Masalah satu belum selesai tapi muncul masalah yang baru. Tuhan, sampai kapan aku harus bersabar? Pantas saja tiket surga mahal harganya. Sabar saja sudah luar biasa, apalagi maaf dan ikhlas. TingSebuah pesan kembali masuk di aplikasi hijau milikku. Aku masih diam di tempat. Perasaan malas dan kesal menahan jemariku untuk menggapai ponsel itu. Aku tidak mau moodku kembali berantakan setelah membaca pesan dari ibu atau Mas Reno. Ponsel itu kembali bergetar dan berbunyi. Lagi-lagi sebuah pesan masuk di aplikasi yang sama. Dengan berat hati aku ambil benda pi

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Rara dipojokkan

    "Bapak, Li ... Bapak meninggal."Allah.... Tubuhku lunglai, ambruk di lantai rumah sakit. Tangisku pecah, meski tak sampai menjerit histeris. Namun sikapku memancing semua orang menatap kemari. Terserah mereka mau berkata apa, fokusku hanya satu ... kabar kematian bapak. "Li ... Lili! Kamu masih di situ, kan? Cepat kemari, Li. Nomor Reza tidak bisa dihubungi," ucap Mbak Risma panik. "I-iya, Mbak."Sambungan telepon telah dimatikan Mbak Risma. Namun aku masih terpaku. Kaki terasa lunglai, tak kuat menahan beban tubuh yang tak seberapa ini. Aku masih tak percaya jika bapak telah berpulang. "Ada apa, Mbak?" tanya seorang perempuan paruh baya yang melewatiku. Perempuan itu menatapku lekat, seolah ia kasihan melihat kondisiku saat ini. Mungkin aku terlalu memelas. "Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih."Aku beranjak, melangkah perlahan meski tubuh sempoyongan. Kakiku benar-benar tak bertenaga. Kematian bapak adalah pukulan terhebat untukku. "Terima kasih sudah menerima Reza, Li. Maaf ji

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Kabar dari Rumah Sakit

    "Pergi kamu, Ra! Bapak gak butuh anak seperti kamu!"Ya Allah ... tega betul Mas Reno mengatakan hal demikian. Bahkan kalimat itu meluncur di hadapan jenazah bapak. "Bapak, maafkan Rara!"Rara kian terisak, merangkul peti mati berwarna putih tersebut. Dia terus memanggil bapak seraya mengucapkan kata maaf. Namun sayang, lelaki itu tak akan terbangun. Sesal tak akan mengubah keadaan, karena sesuatu yang telah pergi tidak mungkin bisa kembali lagi. Tangis dan jerit Rara memancing semua mata menatap ke arah mereka. Bisik-bisik kembali terdengar jelas di telinga. Situasi takziah tak lagi kondusif, jenazah bapak bukan lagi menjadi fokus. Namun tangis dan jerit Rara menjadi topik utama. "Bawa Rara ke kamarnya, Za!" Suara bariton membuatku menoleh ke belakang, tepat ke arah pintu masuk. Mas Raka melangkah mendekat, disusul istri dan kedua anak lelakinya. "Reza, bawa Rara ke kamarnya!" Aku senggol lengan Mas Reza. Untuk sekian detik suamiku terpaku, sehingga sentuhan tanganku membuatnya

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Bunuh Diri

    Aku mengabaikan ucapan mereka. Fokusku hanya satu, kamar Rara. Pintu kubuka sedikit kencang, pintu otomatis terdorong ke dalam hingga nampak jelas pemandangan di sana. Aku tercengang, mulut terbuka lebar, bahkan tubuhku mendadak luruh di lantai. Ya Allah ... Rara. Perempuan yang baru saja melahirkan itu tertidur di atas ranjang dengan mata melotot dan mulut berbusa putih. "Tolong! Tolong!" teriakku tapi tubuh masih terpaku. Bahkan kaki tak mampu menopang tubuh ini. "Ada apa, Li?""Kenapa teriak-teriak?"Hentakan kaki terdengar begitu jelas, tidak hanya satu tapi tiga atau empat orang. "Kenapa teriak-teriak, Li? Mbak dah pusing tambah pusing dengar suara kamu," pekiknya dengan suara yang kian mendekat. Mas Reza, Mbak Risma, Mas Reno dan Mas Raka menunduk, menatapku penuh tanda tanya. Tanpa menjawab jari telunjuk aku arahkan ke kamar Rara. Seketika mereka menoleh tepat ke arah tatapan mataku. "Rara!"Semua berteriak dan berlari masuk ke kamar adik iparku. Mas Raka memeriksa keada

Latest chapter

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Kamu Bukan Kandung Kami

    20 tahun kemudian"Maaf, Papa tidak bisa menjadi wali nikahmu nanti."DEG! Jantungku seakan berhenti memacu oksigen. Hingga rasa sesak memenuhi rongga dada. Kenapa papa tak bisa menjadi wali nikahku? "Kenapa, Pa? Apa karena calon Asyifa bukan anak pengusaha seperti mama?"Entah sejak kapan butiran-butiran bening nan hangat jatuh membasahi pipi. Mereka seolah berlomba-lomba terjun ke bawah. Awalnya aku kira keinginan kami akan disambut bahagia oleh mama dan papa. Karena aku tahu, mereka tidak menyukai anak-anaknya pacaran terlalu lama. Namun ternyata salah, mereka justru tak menyetujui hubungan kami. "Bukan karena papa dan mama tidak menyetujui hubungan kalian, Nak tapi ...."Papa menjeda kalimatnya, seolah kata-kata yang hendak keluar begitu berat untuk di sampaikan? Tunggu ... apa jangan-jangan aku hanya anak angkat? Tidak, akta kelahiranku dan tanggal pernikahan mereka terpaut dua tahun lebih, itu tandanya mama tidak hamil di luar nikah. Kalau bukan anak haram, apa mungkin aku

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Sesal

    5 Tahun Kemudian. "Papa!" teriakku lantang ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00."Hem!" Mas Reza hanya bergumam tanpa bergerak sedikit pun, membuka mata saja tidak. Dia masih terbuai dalam mimpi, entah mimpi yang seperti apa. "Mas sudah jam enam!" teriakku. Seketika Mas Reza terperanjat, dia berlari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tidak hanya Mas Reza, aku pun segera beranjak menuju kamar anak-anak. "Asyifa ... Alma, bangun!"Aku goncangkan tubuh kedua putriku. Mereka menggeliat tapi enggan membuka mata. Terlalu lama libur sekolah membuat Asyifa sulit bangun pagi ini. "Bangun, Kak.""Syifa masih ngantuk, Ma. Bentar lagi.""Mama siapkan air panas, ya. Nanti kamu terlambat."Tidak ada jawaban, baik Asyifa atau pun Alma masih terlelap di atas ranjang. Aku segera berjalan ke dapur untuk menyiapkan air panas. Sambil menunggu air mendidih, dengan cepat aku siapkan menu sarapan. Tidak ada nasi seperti biasanya, hanya ada roti dan segelas susu. Aku rasa itu cu

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Menyadari Kesalahan

    Mbak Risma menoleh ke arahku dan Mas Reza, dia menatap tajam pada kami. "Ini gara-gara kalian!"Allahu Akbar ... apa lagi ini? Mereka yang berbuat tapi justru aku dan Mas Reza yang kena dampaknya."Maksud Mbak Risma apa? Kenapa justru kami yang disalahkan? Kami saja gak tahu apa-apa," jawab Mas Reza kesal."Semua gara-gara kalian! Gara-gara kalian!" pekiknya dengan jari telunjuk mengarah ke arah kami."Maaf sebelumnya, bapak-bapak tolong pulang terlebih dahulu. Besok kami ganti uang yang dipinjam Reno."Empat orang itu mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tentu dengar perasaan kesal karena hak mereka belum diberikan."Diam kalian semua! Kamu juga Risma, duduk!"Seketika semua diam, tak ada yang berani bergerak. Semua tahu kemarahan Mas Raka tak pernah ada duanya. Diam adalah solusi terbaik dari pada terkena imbas kemarahannya."Mas mau bicara, kalian jawab yang jujur, terutama kamu Risma!"Spontan semua orang menatap Mbak Risma yang tengah duduk di dekat pintu yang

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Tagihan hutang

    Sekian detik aku mematung. Aku abaikan suara dari seberang sana. Diri ini masih tak percaya dengan berita yang baru saja Mas Raka katakan. Mas Reno meninggal secepat ini."Li ... Lili! Kamu masih disitu, kan?"Aku tersentak, "i-iya, Mas.""Tolong beritahu Reza dengan hati-hati. Mas tidak sampai hati memberitahu kabar buruk ini."Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Namun seketika tersadar jika Mas Raka tak mampu melihat anggukan kepala ini. Sayangnya sebelum kata iya terucap, sambungan telepon telah ia matikan.Aku atur napas seraya menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku dan Mas Reno memang tidak akur akhir-akhir ini, tapi bukan menjadi alasan aku bahagia atas kepergiannya. Aku justru sedih karena hingga ia pegi, kami belum berbaikan."Oweek ... Oweek ....""Ya Allah ... anaknya nangis itu, Li!"Aku terperanjat lalu berlari menuju kamar, tempat di mana Asyifa tadi tidur terlelap."Buatkan susu, Li!"Langkahku terhenti, lalu kembali putar arah. Masih dengan ke

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Kabar Buruk di Pagi hari

    "Saya hanya ingin adil. Wajar jika Reno mendapat bagian jauh lebih banyak. Dia yang merawat saya hingga tua nanti."Bunda meletakkan empat cangkir teh hangat di atas meja kemudian duduk di sampingku. Wajah bunda ditekuk dengan menatap tajam perempuan di hadapannya.Ruang tamu bunda tertata dengan rapi. Ada sebuah bunga cukup besar di sudut ruangan. Kursi kayu di tatap berhadapan dengan sebuah meja menjadi pembatasnya."Adil ibu bilang? Kalau memang tanah itu akan dijual, seharusnya ibu melarang Reza dan Lili untuk membangun rumah di sana. Ini malah tidak, eh ... giliran sudah jadi malah dijual.""Ibu kalau tidak tahu gak usah banyak ngomong."Seketika bunda diam, tangannya mengepal dengan mata melotot mau copot. Kalau didiamkan perang dunia an benar-benar terjadi."Sudah, Bun," ucapku seraya menggenggam tangan yang sempat mengepal di samping."Mertua kamu keterlaluan, Li," bisiknya tapi terdengar begitu jelas di telingaku."Sudah, Bun. Capek kalau adu mulut sama mereka, gak bisa mena

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Pamer Mobil

    "Memang berapa hasil penjualan rumah dan tanah itu?" tanya Mas Reza pelan, tapi tersirat kemarahan yang berusaha ia tahan."Gak perlu tahu. Bagian kamu, hanya laku segitu.""Rumah yang aku bangun harganya bisa lebih dari itu, Mas.""Kalau mau ambil, kalau gak mau ya sudah. Mas gak akan maksa kamu. Tanpa kamu tanda tangan pun, Mas bisa jual tanah itu. Di dunia ini kalau ada uang semua bisa dilakukan."Seketika tangan Mas Reza mengepal, gigi gemeretak dengan sorot mata tajam. Suamiku benar-benar marah dengan ketidakadilan ini."Sudah, Mas. Kita terima saja dari pada tidak sama sekali.""Apa mau bicara sama ibu. Ini gak adil untukku."Dengan cepat Mas Reza mengambil smartphone miliknya. Tidak lama sambungan telepon diangkat oleh ibu."Apa benar warisan untukku hanya Rp. 170.000.000,- Bu?" tanya Mas Reza setelah mengucapkan salam."Ibu gak tahu, semua sudah diurus Masmu. Kamu tinggal terima. Masih untung kamu diberi segitu banyaknya, Za.""Ini gak adil, Bu.""Itu sudah adil. Salah sendiri

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Hanya 170juta

    "Bapak sudah memberikan tanah itu pada Reza, Bu. Bukankah rumah dan kebun bisa dibagi dua untuk Mas Raka dan Mas Reno. Apa masih kurang juga?" "Maksud kamu ibu harus terlunta-lunta di jalan karena sudah tidak memiliki rumah. Begitu mau kamu?"Allahu Akbar ... Aku mengelus dada sambil terus beristighfar. Perkataan ibu tidak hanya melukai hatiku tapi menghancurkan hati Mas Reza. Apa setelah harta warisan dibagi ibu akan terlunta-lunta? Kami tidak sejahat itu. Kami masih memiliki hati meski kadang ibu melukai berulang kali. "Reza ingat perkataan bapak dulu. Bukankah ibu juga tahu?""Bapak sudah gak ada, jangan bawa-bawa bapak. Semua keputusan di tangan ibu, bukan bapak.""Terserah Ibu mau apakan tanah itu. Tapi aku mau uang 200 juta untuk membangun rumah harus kalian kembalikan padaku.""Gak bisa gitu dong, Za. Itu namanya gak adil. Siapa suruh buat rumah dengan sertifikat orang tua!"Entah ingin aku apakan lelaki di hadapanku itu. Andai dia berada di posisi kami, apa kalimat itu jug

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Menjual Rumah

    "Boleh kan, Za?"Aku menggeleng pelan dengan tingkah kakak iparku. Ini mobil siapa ... tapi pinjamnya ke siapa? Mereka seolah tak menganggap keberadaanku. Padahal mobil itu milik Mas Cahyo, kakak kandungku."Maaf, Mas. Itu bukan mobil saya. Saya tidak berhak meminjamkan pada siapa pun, termasuk kepada Mas Reno dan Mbak Risma.""Itu mobil kamu yang bawa, kan?""Iya, tapi itu bukan milikku, Mas. Mobil itu milik kakak kandung Lili. Kalau pun pengen pinjam seharusnya kalian pinjam ke Lili. Bukan kepadaku.""Apa bedanya kamu dan Lili. Bukankah kalian suami istri, apa yang Lili punya berarti punya kamu juga, Za. Jadi aku pinjam ke kamu gak masalah, yang penting izin untuk pinjam, kan?"Aku mengelus dada, menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam sana. Aku benar-benar tidak mengerti dengan teori yang Mas Reno pelajari. Hal yang benar adalah harta milik suami ada hak istri di dalamnya. Namun jika harta atau penghasilan istri, itu murni milik istri."Gimana, Za boleh gak? Risma pengen jal

  • Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku   Pinjam Mobil

    "Kamu gak ngelarang ibu pulang, Za?""Lha, katanya Ibu yang gak betah tinggal di sini? Kalau gak betah buat apa Reza larang, Bu. Reza pengen ibu nyaman saja."Aku lihat ibu menelan ludah, mendadak ia kebingungan. Namun malu untuk mengatakan tidak, apalagi membatalkan perkataan yang baru saja ia ucapkan. Mana mungkin ibu menjilat ludahnya sendiri."Sarapan dulu sebelum berangkat, Bu.""Ibu gak lapar. Pesankan taksi online sekarang, Za! Ibu gak mau naik bis," ucapnya kesal."Yakin pulang, Bu?" tanyaku memastikan."Kalau ibu bilang pulang ya puang! Ngerti gak to!"Aku memilih diam, lalu melanjutkan sarapan pagi. Mas Reza pun menyudahi sarapan, dia beranjak mengikuti ibu yang sudah berjalan menuju teras. Sementara aku masih terdiam di depan televisi. Ada rasa enggan mengantar ibu meskipun hanya sampai di teras.Fitnah yang ibu katakan pada Mas Reza membuat aku kehilangan respect padanya. Aku memang sudah memaafkan, tapi jujur saja aku tak mampu melupakan setiap luka yang ibu torehkan.

DMCA.com Protection Status