"Maaf, Li. Ibu dan Mas pulang tanpa pamit. Bapak sedang tidak enak badan. Kasihan bapak jika ditinggal terlalu lama."Kalimat yang keluar dari mulut ibu saat kutanyakan kenapa pulang tanpa berpamitan. Bahkan ia tak menjenguk Rara sebelum pulang ke Salatiga. Aku tak mengerti arah dan pikiran Mas Reno dan ibu. Mereka tua tapi tidak dewasa sama sekali. Di sini yang tua siapa sih? Heran aku. Aku pijit kepala yang terasa berdenyut. Masalah satu belum selesai tapi muncul masalah yang baru. Tuhan, sampai kapan aku harus bersabar? Pantas saja tiket surga mahal harganya. Sabar saja sudah luar biasa, apalagi maaf dan ikhlas. TingSebuah pesan kembali masuk di aplikasi hijau milikku. Aku masih diam di tempat. Perasaan malas dan kesal menahan jemariku untuk menggapai ponsel itu. Aku tidak mau moodku kembali berantakan setelah membaca pesan dari ibu atau Mas Reno. Ponsel itu kembali bergetar dan berbunyi. Lagi-lagi sebuah pesan masuk di aplikasi yang sama. Dengan berat hati aku ambil benda pi
"Bapak, Li ... Bapak meninggal."Allah.... Tubuhku lunglai, ambruk di lantai rumah sakit. Tangisku pecah, meski tak sampai menjerit histeris. Namun sikapku memancing semua orang menatap kemari. Terserah mereka mau berkata apa, fokusku hanya satu ... kabar kematian bapak. "Li ... Lili! Kamu masih di situ, kan? Cepat kemari, Li. Nomor Reza tidak bisa dihubungi," ucap Mbak Risma panik. "I-iya, Mbak."Sambungan telepon telah dimatikan Mbak Risma. Namun aku masih terpaku. Kaki terasa lunglai, tak kuat menahan beban tubuh yang tak seberapa ini. Aku masih tak percaya jika bapak telah berpulang. "Ada apa, Mbak?" tanya seorang perempuan paruh baya yang melewatiku. Perempuan itu menatapku lekat, seolah ia kasihan melihat kondisiku saat ini. Mungkin aku terlalu memelas. "Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih."Aku beranjak, melangkah perlahan meski tubuh sempoyongan. Kakiku benar-benar tak bertenaga. Kematian bapak adalah pukulan terhebat untukku. "Terima kasih sudah menerima Reza, Li. Maaf ji
"Pergi kamu, Ra! Bapak gak butuh anak seperti kamu!"Ya Allah ... tega betul Mas Reno mengatakan hal demikian. Bahkan kalimat itu meluncur di hadapan jenazah bapak. "Bapak, maafkan Rara!"Rara kian terisak, merangkul peti mati berwarna putih tersebut. Dia terus memanggil bapak seraya mengucapkan kata maaf. Namun sayang, lelaki itu tak akan terbangun. Sesal tak akan mengubah keadaan, karena sesuatu yang telah pergi tidak mungkin bisa kembali lagi. Tangis dan jerit Rara memancing semua mata menatap ke arah mereka. Bisik-bisik kembali terdengar jelas di telinga. Situasi takziah tak lagi kondusif, jenazah bapak bukan lagi menjadi fokus. Namun tangis dan jerit Rara menjadi topik utama. "Bawa Rara ke kamarnya, Za!" Suara bariton membuatku menoleh ke belakang, tepat ke arah pintu masuk. Mas Raka melangkah mendekat, disusul istri dan kedua anak lelakinya. "Reza, bawa Rara ke kamarnya!" Aku senggol lengan Mas Reza. Untuk sekian detik suamiku terpaku, sehingga sentuhan tanganku membuatnya
Aku mengabaikan ucapan mereka. Fokusku hanya satu, kamar Rara. Pintu kubuka sedikit kencang, pintu otomatis terdorong ke dalam hingga nampak jelas pemandangan di sana. Aku tercengang, mulut terbuka lebar, bahkan tubuhku mendadak luruh di lantai. Ya Allah ... Rara. Perempuan yang baru saja melahirkan itu tertidur di atas ranjang dengan mata melotot dan mulut berbusa putih. "Tolong! Tolong!" teriakku tapi tubuh masih terpaku. Bahkan kaki tak mampu menopang tubuh ini. "Ada apa, Li?""Kenapa teriak-teriak?"Hentakan kaki terdengar begitu jelas, tidak hanya satu tapi tiga atau empat orang. "Kenapa teriak-teriak, Li? Mbak dah pusing tambah pusing dengar suara kamu," pekiknya dengan suara yang kian mendekat. Mas Reza, Mbak Risma, Mas Reno dan Mas Raka menunduk, menatapku penuh tanda tanya. Tanpa menjawab jari telunjuk aku arahkan ke kamar Rara. Seketika mereka menoleh tepat ke arah tatapan mataku. "Rara!"Semua berteriak dan berlari masuk ke kamar adik iparku. Mas Raka memeriksa keada
"Aa ...," teriak seseorang dari dalam kamar mandi.Seketika aku menoleh ke arah kamar mandi yang letakkan tepat di samping dapur. Pintu berwarna biru muda itu masih tertutup rapat. Tak lama Mbak Risma keluar dengan wajah pucat pasi, dia ketakutan."Ada apa to, Mbak?" tanyaku."A-aku lihat Rara, Li. Di ... di sana!" ucapnya seraya menunjuk kamar mandi."Mana ada orang mati hidup lagi, Mbak. Mbak kebanyakan nonton sinteron sih," jawabku sekenanya.Sebenarnya ada rasa takut yang tiba-tiba hadir. Aku kembali teringat sebuah film horor yang pernah kutonton. Orang yang bunuh diri arwahnya akan gentayangan. Namun aku tidak yakin akan hal itu. Sinetron dan film hanya cerita fiksi yang ditulis seseorang."Lihat saja kalau gak percaya!" ucapnya kesal.Mendadak aku membatu. Tidak ... tidak, nyaliku tidak sekuat itu. Bagaimana kalau bukan Rara, tapi sosok kuntilanak penunggu kamar mandi? Ah, aku bisa mati berdiri."Nah kamu aja takut, Li!""Gak, Mbak!"Dengan menguatkan nyali aku berjalan ke kama
"Lili, kurang ajar kamu ya!"PLAK!Panas menjalar dari pipi hingga dadaku. Amarah kian menjadi karena sikap kakak iparku. Mbak Risma menamparku setelah kenyataan yang terungkap di depan semua orang."Kamu punya hutang sama Rara, Risma? Kenapa gak bilang sama aku?" tanya Mas Reno seraya menatap tajam. Kemarahan tergambar jelas di netra lelaki itu."Bohong, Mas! Mana pernah aku hutang Rara! Lili fitnah!"Ck! Aku tersenyum sinis ke arahnya. Pandai sekali dia tak mengakui hanya karena Rara telah meninggal dan aku tak memiliki bukti. Dia pandai memutar balikkan kenyataan yang ada."Mana buktinya kalau aku punya hutang, Li? Kalau gak bisa kasih bukti tandanya kamu bohong!" serunya seraya tersenyum mengejek padaku.Sudah kuduga Mbak Risma akan mengatakan demikian. Dia pandai mengambil kesempatan atas tidak adanya bukti yang kumiliki."Aku memang tidak memiliki bukti, Mbak. Rara mengatakannya sebelum ia keluar dari rumah sakit. Aku yakin dia tak berbohong. Kalau pun Mbak Risma tidak mengakui
"Siapa lelaki itu? Kalau Guntur, kenapa dia harus datang setelah membuang Rara dan Asyifa?"Kalimat itu terus bermain di kepalaku. Memaksa diriku mencari sebuah jawaban. Namun hingga kepala mengepul, tak satu pun jawaban yang mampu kutemukan. "Tak usah khawatir, Li. Dia tidak akan bisa mengambil Asyifa dari kita. Dia bukan ayahnya," ucap Mas Reza seolah mengerti isi kepalaku. Aku mengangguk, lalu menghapus kekhawatiran yang sempat mendera. Kini aku mengalihkan pandangan pada keramaian di luar mobil. Lalu lintas yang padat di siang ini. Taksi yang kami naiki berjalan perlahan menuju rumah. Dinginnya AC kian menambah rasa kantuk. Apalagi dari semalam aku tidak bisa tidur nyenyak. Akhirnya tanpa sadar aku terlelap di dalam mobil. "Bangun, Li. Sudah sampai."Sebuah sentuhan di pundak membuatku terperanjat. Seketika mata melebar kemudian mengamati setiap sudut kendaraan yang kami naiki ini. "Sudah sampai, Li. Ayo turun!"Setelah kesadaranku terkumpul sempurna, kami pun turun dari kend
Detik itu pula aku terpaku. Rangkaian kata yang dulu pernah aku siapkan seketika lenyap. Pertanyaan itu justru kembali membuka luka yang berusaha kututup rapat."Adik ipar Lili sudah meninggal, Bu," jawab bunda seolah tahu ada kemelut yang menetap dalam dada."Inalillahi wa innailaihi rajiun, maaf Mbak Lili saya tidak tahu. Memangnya meninggal karena apa? Apa pendarahan atau sakit? cecar Bu Siti."Meninggal karena kecelakaan, Bu.""Ya Allah, semoga amal ibadahnya diterima Allah ya, Mbak, Mas.""Makasih, Bu Siti. Saya permisi dulu, kasihan bayinya kepanasan."Aku dan bunda segera menyusul Mas Cahyo yang sudah masuk terlebih dahulu. Sementara Mas Reza masih dibelakang untuk mengambil hadiah pemberian bunda dan Mas Cahyo.Kamar utama telah berubah. Sudah ada lemari kecil untuk pakaian Asyifa yang terletak berjejer dengan lemariku. Namun tidak ada box bayi dalam kamar ini. Kamar ini tidak cukup jika ditambah sebuah box bayi. Ya, kamar kami tidak terlalu luas layaknya kamar utama dalam se
20 tahun kemudian"Maaf, Papa tidak bisa menjadi wali nikahmu nanti."DEG! Jantungku seakan berhenti memacu oksigen. Hingga rasa sesak memenuhi rongga dada. Kenapa papa tak bisa menjadi wali nikahku? "Kenapa, Pa? Apa karena calon Asyifa bukan anak pengusaha seperti mama?"Entah sejak kapan butiran-butiran bening nan hangat jatuh membasahi pipi. Mereka seolah berlomba-lomba terjun ke bawah. Awalnya aku kira keinginan kami akan disambut bahagia oleh mama dan papa. Karena aku tahu, mereka tidak menyukai anak-anaknya pacaran terlalu lama. Namun ternyata salah, mereka justru tak menyetujui hubungan kami. "Bukan karena papa dan mama tidak menyetujui hubungan kalian, Nak tapi ...."Papa menjeda kalimatnya, seolah kata-kata yang hendak keluar begitu berat untuk di sampaikan? Tunggu ... apa jangan-jangan aku hanya anak angkat? Tidak, akta kelahiranku dan tanggal pernikahan mereka terpaut dua tahun lebih, itu tandanya mama tidak hamil di luar nikah. Kalau bukan anak haram, apa mungkin aku
5 Tahun Kemudian. "Papa!" teriakku lantang ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00."Hem!" Mas Reza hanya bergumam tanpa bergerak sedikit pun, membuka mata saja tidak. Dia masih terbuai dalam mimpi, entah mimpi yang seperti apa. "Mas sudah jam enam!" teriakku. Seketika Mas Reza terperanjat, dia berlari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tidak hanya Mas Reza, aku pun segera beranjak menuju kamar anak-anak. "Asyifa ... Alma, bangun!"Aku goncangkan tubuh kedua putriku. Mereka menggeliat tapi enggan membuka mata. Terlalu lama libur sekolah membuat Asyifa sulit bangun pagi ini. "Bangun, Kak.""Syifa masih ngantuk, Ma. Bentar lagi.""Mama siapkan air panas, ya. Nanti kamu terlambat."Tidak ada jawaban, baik Asyifa atau pun Alma masih terlelap di atas ranjang. Aku segera berjalan ke dapur untuk menyiapkan air panas. Sambil menunggu air mendidih, dengan cepat aku siapkan menu sarapan. Tidak ada nasi seperti biasanya, hanya ada roti dan segelas susu. Aku rasa itu cu
Mbak Risma menoleh ke arahku dan Mas Reza, dia menatap tajam pada kami. "Ini gara-gara kalian!"Allahu Akbar ... apa lagi ini? Mereka yang berbuat tapi justru aku dan Mas Reza yang kena dampaknya."Maksud Mbak Risma apa? Kenapa justru kami yang disalahkan? Kami saja gak tahu apa-apa," jawab Mas Reza kesal."Semua gara-gara kalian! Gara-gara kalian!" pekiknya dengan jari telunjuk mengarah ke arah kami."Maaf sebelumnya, bapak-bapak tolong pulang terlebih dahulu. Besok kami ganti uang yang dipinjam Reno."Empat orang itu mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tentu dengar perasaan kesal karena hak mereka belum diberikan."Diam kalian semua! Kamu juga Risma, duduk!"Seketika semua diam, tak ada yang berani bergerak. Semua tahu kemarahan Mas Raka tak pernah ada duanya. Diam adalah solusi terbaik dari pada terkena imbas kemarahannya."Mas mau bicara, kalian jawab yang jujur, terutama kamu Risma!"Spontan semua orang menatap Mbak Risma yang tengah duduk di dekat pintu yang
Sekian detik aku mematung. Aku abaikan suara dari seberang sana. Diri ini masih tak percaya dengan berita yang baru saja Mas Raka katakan. Mas Reno meninggal secepat ini."Li ... Lili! Kamu masih disitu, kan?"Aku tersentak, "i-iya, Mas.""Tolong beritahu Reza dengan hati-hati. Mas tidak sampai hati memberitahu kabar buruk ini."Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Namun seketika tersadar jika Mas Raka tak mampu melihat anggukan kepala ini. Sayangnya sebelum kata iya terucap, sambungan telepon telah ia matikan.Aku atur napas seraya menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku dan Mas Reno memang tidak akur akhir-akhir ini, tapi bukan menjadi alasan aku bahagia atas kepergiannya. Aku justru sedih karena hingga ia pegi, kami belum berbaikan."Oweek ... Oweek ....""Ya Allah ... anaknya nangis itu, Li!"Aku terperanjat lalu berlari menuju kamar, tempat di mana Asyifa tadi tidur terlelap."Buatkan susu, Li!"Langkahku terhenti, lalu kembali putar arah. Masih dengan ke
"Saya hanya ingin adil. Wajar jika Reno mendapat bagian jauh lebih banyak. Dia yang merawat saya hingga tua nanti."Bunda meletakkan empat cangkir teh hangat di atas meja kemudian duduk di sampingku. Wajah bunda ditekuk dengan menatap tajam perempuan di hadapannya.Ruang tamu bunda tertata dengan rapi. Ada sebuah bunga cukup besar di sudut ruangan. Kursi kayu di tatap berhadapan dengan sebuah meja menjadi pembatasnya."Adil ibu bilang? Kalau memang tanah itu akan dijual, seharusnya ibu melarang Reza dan Lili untuk membangun rumah di sana. Ini malah tidak, eh ... giliran sudah jadi malah dijual.""Ibu kalau tidak tahu gak usah banyak ngomong."Seketika bunda diam, tangannya mengepal dengan mata melotot mau copot. Kalau didiamkan perang dunia an benar-benar terjadi."Sudah, Bun," ucapku seraya menggenggam tangan yang sempat mengepal di samping."Mertua kamu keterlaluan, Li," bisiknya tapi terdengar begitu jelas di telingaku."Sudah, Bun. Capek kalau adu mulut sama mereka, gak bisa mena
"Memang berapa hasil penjualan rumah dan tanah itu?" tanya Mas Reza pelan, tapi tersirat kemarahan yang berusaha ia tahan."Gak perlu tahu. Bagian kamu, hanya laku segitu.""Rumah yang aku bangun harganya bisa lebih dari itu, Mas.""Kalau mau ambil, kalau gak mau ya sudah. Mas gak akan maksa kamu. Tanpa kamu tanda tangan pun, Mas bisa jual tanah itu. Di dunia ini kalau ada uang semua bisa dilakukan."Seketika tangan Mas Reza mengepal, gigi gemeretak dengan sorot mata tajam. Suamiku benar-benar marah dengan ketidakadilan ini."Sudah, Mas. Kita terima saja dari pada tidak sama sekali.""Apa mau bicara sama ibu. Ini gak adil untukku."Dengan cepat Mas Reza mengambil smartphone miliknya. Tidak lama sambungan telepon diangkat oleh ibu."Apa benar warisan untukku hanya Rp. 170.000.000,- Bu?" tanya Mas Reza setelah mengucapkan salam."Ibu gak tahu, semua sudah diurus Masmu. Kamu tinggal terima. Masih untung kamu diberi segitu banyaknya, Za.""Ini gak adil, Bu.""Itu sudah adil. Salah sendiri
"Bapak sudah memberikan tanah itu pada Reza, Bu. Bukankah rumah dan kebun bisa dibagi dua untuk Mas Raka dan Mas Reno. Apa masih kurang juga?" "Maksud kamu ibu harus terlunta-lunta di jalan karena sudah tidak memiliki rumah. Begitu mau kamu?"Allahu Akbar ... Aku mengelus dada sambil terus beristighfar. Perkataan ibu tidak hanya melukai hatiku tapi menghancurkan hati Mas Reza. Apa setelah harta warisan dibagi ibu akan terlunta-lunta? Kami tidak sejahat itu. Kami masih memiliki hati meski kadang ibu melukai berulang kali. "Reza ingat perkataan bapak dulu. Bukankah ibu juga tahu?""Bapak sudah gak ada, jangan bawa-bawa bapak. Semua keputusan di tangan ibu, bukan bapak.""Terserah Ibu mau apakan tanah itu. Tapi aku mau uang 200 juta untuk membangun rumah harus kalian kembalikan padaku.""Gak bisa gitu dong, Za. Itu namanya gak adil. Siapa suruh buat rumah dengan sertifikat orang tua!"Entah ingin aku apakan lelaki di hadapanku itu. Andai dia berada di posisi kami, apa kalimat itu jug
"Boleh kan, Za?"Aku menggeleng pelan dengan tingkah kakak iparku. Ini mobil siapa ... tapi pinjamnya ke siapa? Mereka seolah tak menganggap keberadaanku. Padahal mobil itu milik Mas Cahyo, kakak kandungku."Maaf, Mas. Itu bukan mobil saya. Saya tidak berhak meminjamkan pada siapa pun, termasuk kepada Mas Reno dan Mbak Risma.""Itu mobil kamu yang bawa, kan?""Iya, tapi itu bukan milikku, Mas. Mobil itu milik kakak kandung Lili. Kalau pun pengen pinjam seharusnya kalian pinjam ke Lili. Bukan kepadaku.""Apa bedanya kamu dan Lili. Bukankah kalian suami istri, apa yang Lili punya berarti punya kamu juga, Za. Jadi aku pinjam ke kamu gak masalah, yang penting izin untuk pinjam, kan?"Aku mengelus dada, menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam sana. Aku benar-benar tidak mengerti dengan teori yang Mas Reno pelajari. Hal yang benar adalah harta milik suami ada hak istri di dalamnya. Namun jika harta atau penghasilan istri, itu murni milik istri."Gimana, Za boleh gak? Risma pengen jal
"Kamu gak ngelarang ibu pulang, Za?""Lha, katanya Ibu yang gak betah tinggal di sini? Kalau gak betah buat apa Reza larang, Bu. Reza pengen ibu nyaman saja."Aku lihat ibu menelan ludah, mendadak ia kebingungan. Namun malu untuk mengatakan tidak, apalagi membatalkan perkataan yang baru saja ia ucapkan. Mana mungkin ibu menjilat ludahnya sendiri."Sarapan dulu sebelum berangkat, Bu.""Ibu gak lapar. Pesankan taksi online sekarang, Za! Ibu gak mau naik bis," ucapnya kesal."Yakin pulang, Bu?" tanyaku memastikan."Kalau ibu bilang pulang ya puang! Ngerti gak to!"Aku memilih diam, lalu melanjutkan sarapan pagi. Mas Reza pun menyudahi sarapan, dia beranjak mengikuti ibu yang sudah berjalan menuju teras. Sementara aku masih terdiam di depan televisi. Ada rasa enggan mengantar ibu meskipun hanya sampai di teras.Fitnah yang ibu katakan pada Mas Reza membuat aku kehilangan respect padanya. Aku memang sudah memaafkan, tapi jujur saja aku tak mampu melupakan setiap luka yang ibu torehkan.