"Kak, aku berangkat, ya." Riana menyembulkan kepalanya di pintu sebuah ruangan yang sudah disulap menjadi area bermain Raisa. Berbagai mainan ada di dalamnya. Mulailah dari ayunan yang terbuat dari plastik, perosotan, rumah-rumahan, berbagai macam boneka, dan masih banyak lagi."Iya. Hati-hati. Jangan boros boros. Beli apa yang dibutuhkan bukan diinginkan," pesan Tuan Raihan tanpa keluar ruangan."Siap, bos," timpal Riana sambil menutup kembali pintu itu."Ayo, Rindu," ajaknya.Aku pun mengikuti langkah kaki Riana menuju luar rumah.Sebuah mobil berwarna putih bertuliskan Alphard sudah terparkir di depan rumah. Riana langsung masuk ke dalam mobil itu. Di susul olehku. Kami sama-sama duduk di belakang. Bersisian."Ke mall ya, Pak," ujar Riana pada sang supir."Baik, Non," jawab sang supir sambil menyalakan mesin mobil.Sepanjang perjalanan, aku tertunduk memainkan kuku kuku tanganku yang mulai panjang untuk mengurangi ketegangan. Rasa dingin dan wangi yang menguar dari pengharum mobil
Langkahku semakin cepat ketika kulihat bapak mulai membuka pintu mobilnya."Bapak ...." Aku kembali berteriak sambil berlari. Air mata sudah mengalir deras membasahi kedua pipi.Laki-laki yang kini terlihat lebih tegap dan berwibawa itu menoleh ke arahku. Namun, seper sekian detik kemudian, masuk ke dalam mobil hitam miliknya. Diikuti wanita yang usianya tampak lebih muda dari ibu.Aku masih berusaha untuk mengejarnya. Berharap bapak masih mengenali anak perempuannya yang dulu ditinggalkan kini sudah beranjak dewasa.Langkahku sudah sangat dekat ketika mobil yang bapak kendarai mulai melaju perlahan. Namun, sesaat kemudian melesat semakin kencang mengabaikan panggilanku yang terus meneriakkan namanya.Aku pasrah. Tungkai kakiku melemah dan ambruk ke lantai. Terduduk lemas menatap kepergian mobil bapak yang keluar dari area mall. Aku tergugu. Menangis sesenggukan. Tertunduk seorang diri.Tak ku hiraukan tatapan iba dari orang-orang yang melewati tubuhku. Aku hanya ingin menangis. Ingin
Hari pertama di sekolah, aku masih merasa begitu canggung. Apalagi teman-teman di sini terlihat jauh berbeda dengan teman-teman saat di kampung dulu. Penampilan anak sekolah di sini lebih modis dan gaya. Membuatku merasa minder untuk bercampur baur dengan mereka.Waktu pulang sudah tiba. Riana terlihat telah menungguku di luar kelas. Majikan rasa teman itu melambaikan tangan saat aku baru saja keluar ruangan. Dengan senyum mengembang, dia menghampiriku dan mengajakku untuk segera pulang.Riana pernah bercerita, jika Tuan Raihan begitu over protective padanya. Tuan Raihan tidak mengizinkan Riana untuk pergi keluyuran sehabis pulang sekolah sekalipun itu ke rumah temannya. Tuan Raihan tidak mau adik perempuan satu-satunya itu terjerumus dalam pergaulan bebas yang marak terjadi akhir-akhir ini.Itulah sebabnya, Riana sangat senang ketika aku bekerja di rumahnya. Dia merasa punya teman sekadar untuk berbagai cerita."Ri, kenapa kamu bilang kalau aku ini masih sepupu kamu? Aku gak apa-apa,
Bibir masih mengembangkan seuntai senyuman saat aku melangkah memasuki rumah. Aku bagai seorang yang sedang dimabuk asmara. Tak sabar menanti untuk kembali bertemu dengan lelaki yang setia bertahta di hati. Bapak.Meski begitu banyak menorehkan luka dan kecewa, tetap saja jiwa ini masih mendamba untuk kembali mereguk manis kasih sayangnya. Tetap saja hati ini masih merindu belai lembutnya. "Bibi Lindu ...." Si cantik Raisa yang sedang menonton TV ditemani Mbok Sumi berlari kecil menghampiriku dengan merentangkan kedua tangannya. Rambut kriwilnya yang dibiarkan tergerai bergerak-gerak bagai sebuah per besi. Matanya yang bulat berbinar melihat kedatanganku. Ya, sedekat ini kami sekarang. Bagaimana tidak. Setiap waktu aku selalu ada di sisinya, kecuali jika aku sedang bersekolah. Bahkan setiap malam aku yang menemaninya tidur dan memeluk tubuhnya. Terkadang aku terjaga mendengar rengekannya yang minta susu di tengah malam.Bagiku, merawat dan mengasuhnya sama sekali tidak melelahkan.
Tuan Raihan berjalan menghampiri Riana yang masih menatapnya."Kakak kapan datang? Kok, gak kedengaran?" tanya Riana."Belum lama. Kamu sudah sehat?" Tuan Raihan membelai pucuk kepala adiknya itu."Lumayan, kak. Siapa dulu dong yang ngerawat?" Riana melirik ke arahku sambil terkekeh."Memangnya siapa?" Tuan Raihan bertanya sambil menuang air putih ke dalam gelas."Rindu, dong. Ternyata, selain pinter ngurus anak, pinter masak, dia juga telaten merawat orang sakit," papar Riana antusias."Bagus itu. Kamu harus mencontoh dia. Banyak-banyak belajar dari Rindu." Tuan Raihan duduk di kursi yang berada di hadapan Riana, lalu meneguk air putihnya sampai tandas. Kebiasaan yang sangat baik. Tuan Raihan tidak pernah terlihat minum sambil berdiri."Diminum dong susunya. Kakak mau ganti baju dulu." Tuan Raihan bangkit lalu berlalu meninggalkan dapur."Ri, aku ke depan dulu, ya. Gak enak ninggalin Icha sama Bu Sandra," ujarku.Riana hanya mengangguk lalu meneguk susu coklat yang dari tadi digengga
Aku yang merasa ditatap sedemikian rupa oleh Tuan Raihan langsung salah tingkah. Antara malu dan segan. "Astaghfirullah." Tuan Raihan mengusap wajahnya. "Maafkan saya, Rindu. Saya benar-benar terkesiap melihat kamu memakai pakaian istri saya. Ternyata pas banget di tubuh kamu. Sampai pangling lihatnya," tuturnya sambil memalingkan muka."Maafkan saya, Tuan, kalau saya lancang memakai pakaian milik nyonya." Aku menunduk merasa bersalah."Gak apa-apa. Saya yang mengizinkan Riana untuk memberikannya sama kamu, kok. Alhamdulillah kalau ternyata bermanfaat buat kamu," jawab Tuan Raihan tulus."Tuh, kan. Aku bilang juga apa. Kakak udah ngizinin," sahut Riana."Udah, yuk, ah. Kak, aku sama Rindu berangkat dulu," pamit Riana sambil sedikit menarik lenganku."Pulangnya jangan terlalu malam." Tuan Raihan sedikit berteriak."Apaan sih, Kak. Orang tempatnya juga cuma beberapa meter dari sini," jawab Riana tak kalah kencang tanpa menoleh.Tak sampai lima menit, aku dan Riana sudah berada di luar
"Papah hanya mengingatnya, Ma. Apa itu juga salah? Bertemu dengan seorang gadis belia yang kebetulan bernama dan berusia sama dengan anak kandung Papah, membuat ingatan Papah langsung tertuju padanya. Rindu, anakku juga pasti sudah remaja." Suara bapak terdengar bergetar, seolah menahan tangis yang siap meledak."Sudahlah, Pah. Jangan ngajak berdebat di tengah acara penting seperti ini. Ingat, di dalam sana, Erik sedang merayakan ulang tahunnya dengan bahagia. Jangan rusak kebahagiaannya dengan pembahasan tidak bermutu seperti ini." Istri bapak nampak tidak suka bapak terus membicarakan diriku."Papah sama sekali tidak ingin berdebat. Papah hanya mengungkapkan kerinduan Papah pada anak kandung Papah yang sudah delapan tahun tidak bertemu. Mama tidak pernah mengalaminya. Jadi, Mama tidak mungkin bisa mengerti apa yang Papah rasakan." Suara bapak terdengar kian parau."Mama sudah bilang jangan pernah bahas anak itu lagi. Anggap saja Papah hanya punya Erik dan Erika. Tidak ada anak yang
"Astaghfirullah, Mbak Sandra. Pagi-pagi udah nongol aja," sindir Riana. Matanya mendelik ke arah Sandra yang sedang berjalan dengan gemulai mendekat ke meja makan."Iya, nih. Sengaja. Biar bisa lari pagi bareng sama Mas Raihan," jawab Mbak Sandra dengan memamerkan senyum manisnya."Maaf, ya, San. Pagi ini aku kayaknya gak lari pagi dulu," tutur Tuan Raihan."Ya ... kok, gitu, Mas? Aku kan sengaja ke sini pagi banget buat lari pagi sama kamu," ujar Mbak Sandra dengan manja. Bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala sedikit mengerucut."Mbak, nih saya kasih tau. Berduaan dengan yang bukan muhrim itu dilarang. Nanti yang ketiganya setan, loh. Mbak kan bukan muhrim sama Kak Raihan. Mana boleh pergi berdua. Bahaya," tutur Riana sok bijak."Ya ampun, Ri. Kamu ini ada-ada saja. Mana ada pergi berduaan. Kalau jalan pagi ya pasti banyak orang. Kalau perginya ke hotel baru bahaya," elak Mbak Sandra tak mau kalah."Maaf ya, San. Aku benar-benar udah niat dari semalam buat libur lari pagi," uca
Untuk sesaat, Andika sempat tertegun. Namun, sesaat kemudian, dia langsung berdiri dan menyambut uluran tangan Mas Raihan meskipun terlihat salah tingkah. Mereka berdua bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing."Yuk, kita pulang," ajak Mas Raihan sambil merangkul bahuku.Aku mengangguk."Dik, aku pulang dulu, ya," pamitku pada Andika yang berubah muram.Andika mengangguk lesu. Ada lengkungan senyum yang terlihat dipaksakan di sudut bibirnya.Aku berjalan bersisian dengan Mas Raihan. Tangannya merangkul bahuku mesra. Saat akan masuk ke dalam mobil, aku kembali menoleh ke arah Andika. Dia masih duduk termenung memandangiku sendu. Ada rasa bersalah yang menggelayut hebat di dada. Pertemuan pertama kami, dilandasi kecanggungan seperti ini."Apa dia Andika yang sama dengan sahabatmu dulu?" tanya Mas Raihan saat kami sudah di dalam mobil. Ada nada cemburu dalam suaranya."Iya. Kenapa?" Tanyaku pura-pura tak bisa membaca aura cemburu yang dipancarkannya."Oh, gak apa-apa. Mas seneng
KETIKA IBUKU MENIKAH LAGIBab 69Hamil? Rasanya gak mungkin. "Kamu ini ngomong apa sih, Ri? Lihat, kakak iparmu sampai kaget gitu!" tegur Mas Raihan sambil meraih tissue dan mengelap sisa teh yang tersisa di bibirku."Loh, apanya yang salah? Wajar kan kalau Rindu hamil? Dia kan sudah punya suami. Kalau masih gadis, baru panik," sahut Riana tak terima. "Kalian ini aneh," gerutunya sambil berlalu pergi.Aku dan Mas Raihan hanya saling pandang. Tentu saja kami sama-sama bungkam tentang rahasia ranjang kami. Tidak ada yang tau bahwa belum pernah terjadi pertempuran apapun di ranjang itu. Hingga bisa dipastikan aku masih tersegel sampai detik ini.Mas Raihan benar-benar menepati janjinya untuk tidak meminta haknya sampai aku benar-benar siap. Kami hanya menghabiskan malam bersama dengan mendekap tubuh satu sama lain. Setelah Riana pergi, kami sama-sama tertawa. Menyadari bahwa apa yang disangkakan Riana itu mustahil."Kamu gak apa-apa kan, Sayang?" Mas Raihan memindai wajahku.Aku mengge
Handel pintu mulai bergerak. Dan pintu pun terbuka."Wa'alaikum salam. Maaf cari --."Pertanyaan ibu terhenti saat memandangku. Matanya mulai berkaca-kaca. Kedua tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka.Aku tertegun. Terkesiap menatap wajah ibu yang sudah sekian lama kurindukan. Buliran bening pun mulai lolos satu persatu dari pelupuk. "Apa kamu Rindu anak ibu?" tanyanya dengan pipi tirus yang bersimbah air mata.Dalam hati aku terenyuh. Ibu masih mengenali putrinya ini meski jarak memisahkan kami tiga tahun lamanya. Mungkin karena memang tidak terlalu banyak yang berubah dariku.Aku mengangguk sambil bercucuran air mata. Sedetik kemudian aku menghambur memeluk tubuhnya. "Ibu ...." Aku menangis dalam dekapannya. Dekapan hangat yang selama ini aku rindukan bahkan sejak aku masih kecil.Isakan ibu makin lirih dengan bertambah eratnya pelukan kami. Tangan ibu mengusap-usap punggungku."Rindu anakku!" Ibu merintih menyebut namaku. Seakan selama ini ia begitu terluka saat jauh da
Kakiku rasanya berat untuk melangkah membuka pintu. Namun, suara ketukan lagi-lagi terdengar meskipun pelan. Setelah mengatur pernapasan setenang mungkin, akhirnya pintu itu kubuka. Aku sedikit bernapas lega saat melihat Riana yang berdiri, bukan Mas Raihan."Kenapa, Ri?" tanyaku setenang mungkin."Icha udah tidur?" Kepalanya mengintip ke dalam kamar."Udah.""Syukurlah. Biar aku yang tidur di sini. Kamu ke atas saja. Masa pengantin baru tidurnya terpisah gini?" tutur Riana sambil menerobos masuk ke dalam kamar."Tapi, Ri ...." "Udah. Gak usah pake tapi segala. Sana buruan!" Riana mendorong tubuhku untuk keluar dari kamar.Karena bingung sekaligus malu harus ke kamar atas, akhirnya aku memilih duduk di sofa ruang TV. Menikmati tayangan yang sama sekali tidak menarik untuk ditonton. "Hai, kenapa malah di sini?"Karena terlalu fokus pada lamunan, hingga aku tak sadar kalau Mas Raihan sudah ada di belakangku.Aku menoleh. Tersenyum kikuk."Iya, Mas. Icha baru saja tertidur."Ya, tadi R
Bapak langsung terkejut mendengar penuturan Tuan Raihan. Matanya menatapku dengan kening berkerut. Menyelidik memandangku dengan tatapan rasa tak percaya."Benarkah kamu Rindu, anak bapak?" tanya bapak dengan suara bergetar.Aku diam. Hanya air mata yang mengalir deras yang berbicara. Seolah berkata, benar. Ini aku putrimu. Putri yang kau terlantarkan lebih dari sepuluh tahun lamanya."Katakan, Nak! Benarkah kamu putriku?" Bapak sekali lagi bertanya. Matanya sudah nampak berkabut. Ah, bapak. Saking lamanya sampai tidak mengenali sedikit pun anakmu ini.Aku hanya mengangguk lemah. Buliran bening semakin deras membasahi pipi."Ya Alloh ... Nak. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu anak bapak?" Bapak mulai menangis. Lelaki yang menjadi cinta pertamaku itu berjalan mendekat ke arahku. Tiba-tiba tubuhnya ambruk dan berlutut di kakiku."Maafkan bapak, Nak. Maafkan bapak! Bapak Rindu sekali sama Rindu. Maafkan bapak. Bapak memang bukan ayah yang baik. Selama ini bapak tega mengabaikanmu sampa
POV RinduMendengar perkataan Tuan Raihan, jantungku serasa berhenti berdetak untuk sejenak. Namun, sesaat kemudian, kembali berdebar dengan begitu hebatnya. Apa aku tak salah dengar? Tuan Raihan melamarku? Memintaku menjadi istrinya? Aku mencubit lenganku dengan sedikit keras."Awww." Sakit. Ternyata ini nyata dan bukan mimpi. "Rindu. Maukah kamu menikah denganku?" Lagi Tuan Raihan bertanya. Membuatku kembali limbung dan seolah terperosok ke pusat bumi. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Bibirku kelu. Ini terlalu mendadak. Aku bahkan tidak pernah terpikirkan hal ini sebelumnya.Menikah? Di usiaku yang baru saja menginjak remaja. Aku mematung. Otakku berputar berpikir keras untuk menentukan jawaban. Tuan Raihan berjalan menghampiri Raisa. Menuntun tangannya, kemudian berhenti tepat di hadapanku. Berjongkok."Sekali lagi aku bertanya. Maukah kamu menjadi istriku dan ibu dari anakku?" Tatapan Tuan Raihan begitu memohon. Pun si cantik Raisa. Ada harapan besar yang terlukis di
"Apa yang kamu katakan, Ri? Menikah?" Kak Raihan bangkit dari duduknya, lalu berjalan mondar-mandir dengan ekspresi bingung."He'em. Rindu udah lulus SMA. Dia bukan gadis dibawah umur lagi. Gak ada yang salah kan?" Aku ikut berdiri."Tapi, Ri. Yang kakak lihat, Rindu begitu semangat mengejar cita-citanya. Kakak gak mau jadi penghalang dia untuk mewujudkan cita-citanya itu." Aku berjalan beberapa langkah, berhenti tepat di depan Kak Raihan."Kak, memangnya kalau sudah menikah, Rindu gak bisa mengejar cita-citanya, ya? Dia kan masih bisa kuliah meskipun sudah menikah." Aku meyakinkan Kak Raihan."Coba kakak pikir. Di mana lagi kakak mau cari wanita seperti Rindu? Dia cantik, pintar, solehah, sudah diterima semua keluarga kakak terutama Icha. Apalagi yang kurang dari Rindu?" lanjutku menggebu-gebu.Kak Raihan nampak berpikir. "Beri kakak waktu untuk memikirkannya.""Kak! Waktu kita tuh gak banyak. Beberapa hari lagi Rindu udah mau pergi. Kopernya aja udah disiapin di sudut kamar. Kalau
Ditatap seperti itu oleh dua orang, nyaliku mendadak ciut. Keringat dingin mulai keluar dari sela-sela jilbab. Jantungku tak hentinya berlompatan serasa mau keluar dari tempatnya."Katakan saja, Rindu. Ada apa?" Tuan Raihan yang dari tadi diam akhirnya bersuara. Mungkin sudah jenuh menungguku yang tak kunjung berkata."Sebenarnya ... saya mau bilang, kalau saya keterima beasiswa di perguruan tinggi di Jogjakarta. Dan bulan depan, saya harus sudah di sana." Aku berkata dengan suara gemetar."Maksud kamu apa? Saya belum paham?" tanya Tuan Raihan."Maksud saya, saya mau mengundurkan diri sebagai pengasuh Raisa. Makanya saya bilang dari sekarang, agar Tuan punya waktu untuk mencari pengasuh baru," sahutku hati-hati."Loh. Kenapa mendadak seperti ini, Rindu? Saya pikir kamu mau melanjutkan kuliah di Jakarta saja bareng Riana. Kenapa kamu juga tidak pernah membicarakan ini sebelumnya?" tanya Tuan Raihan."Saya sudah pernah membicarakan ini dengan Riana, Tuan." Aku melirik Riana yang masih t
Aku sedikit tergagap mendapat banyak pertanyaan sekaligus dari Riana. Karena sebenarnya aku juga belum siap untuk menceritakannya. Toh masih ada waktu beberapa bulan ke depan."Rin, kok diam?" Riana mengguncang tubuhku pelan. Wajahnya nampak tegang menunggu jawaban dariku."Eh, itu Ri. Aku kan cuma tanya. Itu juga seandainya. Siapa tau nanti aku keterima kuliah di luar kota kan?" "Memangnya kamu berniat daftar kuliah di luar kota?""Ya ... namanya juga nyari beasiswa. Jadi harus dicoba di semua universitas negeri.""Tapi kamu kan bisa nyari beasiswa di Jakarta aja," protes Riana tampak tak terima."Kalau gak keterima gimana?""Kak Rai masih sanggup kok biayain kuliah kamu.""Ri ... aku tuh gak enak kalau harus terus-terusan merepotkan Tuan Raihan. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku bukan tanggung jawabnya. Aku cuma seorang pengasuh anaknya. Jadi harus tau diri. Aku gak mau dianggap ngelunjak. Apalagi dianggap memanfaatkan keadaan untuk meraih cita-cita aku. Setelah lulus SMA nanti, setid