Tak bisa dipungkiri, kerinduan akan kampung halaman sudah tak terbendung. Tapi, ke mana aku akan pulang? Ke rumah ibu pun rasanya tidak mungkin. Tak ingin lagi rasanya bertemu dengan laki-laki bejad yang hampir mengoyak kehormatan diriku. Padahal, bayangan ibu dan Rindi yang sudah semakin bertumbuh sudah menari-nari di pelupuk mata. Ah, betapa aku merindukan mereka."Rin ... Rindu, kok, malah bengong?" Riana mengibaskan tangannya di depan wajahku."Eh, maaf," jawabku gugup."Gimana tawaran kak Raihan tadi. Mau gak?" Riana kembali bertanya."Lihat nanti saja, ya. Lagi pula, aku juga tidak punya siapa-siapa yang akan dikunjungi di kampung halaman. Kecuali--." Aku menunduk. Tenggorokanku rasanya tercekat untuk melanjutkan perkataan."Kecuali apa?" tanya Riana seolah penasaran."Kecuali makam nenekku, Ri," jawabku sendu. Air bening sudah menggenang di sudut mata. Hati ini masih saja bersedih jika mengingat tentang nenek."Maafkan aku, ya, Rin, sudah membuatmu bersedih," ujar Riana penuh r
BrukkBarang-barang yang sedang aku jinjing jatuh saat tubuhku bertabrakan dengan Tuan Raihan di pintu."Maaf Tuan. Maaf. Saya, tidak sengaja." Gara-gara mataku terus menoleh ke belakang, jadinya aku tidak tau kalau Tuan Raihan juga mau ke luar."Gak apa-apa. Sudah semua barangnya?" tanya Tuan Raihan sambil meraih sebagian barang yang terjatuh. Duh, kenapa ada orang sebaik ini."Sudah, Tuan," jawabku sambil menunduk."Ya, sudah. Ayo, masuk." Lelaki yang mengenakan kaos tangan pendek abu tua dipadukan celana jeans hitam ini kembali masuk ke dalam sambil menjinjing barang bawaan. Aku mengikutinya dari belakang.Seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan ibuku datang membawa minuman dan beberapa macam camilan di atas nampan."Teh Asih, gimana kabarnya?" tanya Tuan Raihan pada wanita dengan tampilan sangat sederhana itu."Alhamdulillah sehat, A. Aa sama Eneng Riana gimana kabarnya? Si cantik Raisa sudah besar ternyata." Teh Asih bertanya dengan ramah."Alhamdulillah sehat juga teh," j
Malam terasa begitu sunyi. Jauh dari suara kebisingan seperti di ibukota. Sesekali hanya terdengar suara jangkrik memekik kepekatan malam. Di sampingku, Raisa dan Riana sudah terbuai ke alam mimpi. Dengkuran halus terdengar dari mulut wanita cantik yang beranjak remaja ini. Aku melirik jam yang menempel di dinding kamar. Sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Namun, mata tak kunjung mau terpejam. Ingatan melanglang buana ke percakapan antara aku dan Teh Asih waktu tadi. Menurut cerita dari Teh Asih, Om Haryo tidak sepenuhnya tinggal di sini. Hanya di akhir pekan saja dia akan datang mengunjungi istri mudanya itu. Apa itu artinya, hari-hari selainnya dia masih tinggal bersama ibu? Apa ibu tau jika suaminya itu kini sudah bermain api dan mengkhianatinya? Memikirkan semua ini, membuat kepalaku berdenyut nyeri. Ah, ibu. Andai aku sudah dewasa dan mampu mereguk kesuksesan, aku pastikan akan membawamu dan Rindi menjauh dari laki-laki buaya seperti Om Haryo.Turun perlahan dari ranj
"Kamu jangan salah paham. Setelah kamu menjadi bagian dari keluarga saya, saya merasa kalau kamu sama saja dengan Riana. Sama-sama adik saya. Saya bertanggung jawab terhadap kalian berdua." Tuan Raihan kembali menjelaskan. Padahal tidak perlu dijelaskan pun, aku sadar diri. Mana mungkin Tuan Raihan menyukai gadis ingusan sepertiku. Masih banyak wanita cantik berkelas di luar sana yang pasti rela mengantre untuk bisa menjadi pendamping Tuan Raihan."Saya, tidak enak Tuan kalau harus merepotkan Tuan. Apalagi Tuan pasti belum tau seluk beluk jalanan di kota kelahiran saya." Aku berusaha untuk menolak tawarannya."Kamu ini ada-ada saja. Kan sekarang ada google. Semuanya jadi mudah." Tuan Raihan terkekeh. "Kita ajak Riana sekalian.""Terserah Tuan saja kalau begitu," jawabku akhirnya pasrah. Lega. Karena ternyata kami bukan hanya pergi berdua sesuai dugaanku.Tuan Raihan mengangguk, lalu berlalu dari hadapanku.Pagi ini aku sedang bersiap-siap saat Riana menghampiriku ke dalam kamar."Aku
"Rindu. Kenapa masih berdiri di sini?" Tiba-tiba Tuan Raihan sudah berdiri di sampingku. Matanya memandangku heran."Saya ... saya." Lidahku kelu. Bingung harus menjawab apa. "Santi." Sebuah suara terdengar menggelegar dari dalam rumah ibu. Suara yang tak asing lagi di telinga. Om Haryo."Ngapain kamu di situ? Ajak Rindi masuk. Di luar cuacanya panas. Lihat tuh, dia nangis pasti gara-gara kepanasan." Om Haryo berkata lantang di ambang pintu depan. Bahkan aku yang berjarak beberapa meter saja bisa menangkap suaranya dengan jelas.Ibu terlihat mengangguk. Menggendong Rindi kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Om Haryo pun ikut masuk. Diikuti suara dentuman pintu yang ditutup cukup keras.Aku mengusap dada. Bisa terlihat dengan jelas, kalau sekarang sikap Om Haryo pada ibu tidak selembut dulu. Ingin aku mengajakmu pergi jauh, Bu. Namun, aku bisa apa. Aku pun hanya hidup bergantung pada orang lain.Keinginanku bertemu ibu dan Rindi langsung, pupus sudah. Aku tak ingin lagi berurusan
Aku tertegun. Bimbang antara jujur atau tetap menutupinya. Bapak nampak sudah bahagia dengan keluarga barunya. Apa jadinya kalau orang lain tau tentang kebusukan yang selama ini ditutupinya? Ah, meski bagaimana pun, dia tetap bapakku. Aku tak ingin orang lain mengetahui keburukannya."Apa ... Tuan bisa berjanji satu hal?" tanyaku ragu. Menatap manik hitam legam yang juga sedang menatapku."Janji?" ulangnya.Aku mengangguk. "Saya mau berkata jujur pada Tuan, kalau Tuan sudah berjanji tidak akan mengatakan hal ini pada siapapun. Termasuk Riana.""Insyaallah saya berjanji," jawab Tuan Raihan mantap. Tentu saja aku percaya. Bukankah selama ini dia orang yang amanah?"Bapak saya baik-baik saja. Bahkan sangat baik. Setiap hari saya selalu berada dekat dengannya. Hanya saja, tak pernah bisa menyentuhnya." Aku berkata sendu. Ada perih yang menggores hati saat mengatakannya."Maksudnya? Dekat bagaimana?" Tuan Raihan seolah tak sabar mendengar lanjutan ceritaku."Bapak saya adalah ... Pak Ari W
Aku tersenyum menatap deretan huruf tulisan tangan Andika. Rapi. Persis tulisan cewek. Hai, Rindu. Apa kabar? Aku berharap kamu selalu baik-baik saja di manapun kamu berada. Selalu bahagia dan selalu dalam perlindungan Alloh SWT. Aamiin. Aku menulis surat ini, tepat sebulan setelah kepergianmu. Kamu tau gak, sebulan yang aku lalui tanpamu, bagai setahun lamanya. Bukan gombal ya, tapi kenyataan, hehe. Setiap hari aku selalu teringat sama kamu. Berharap kita akan segera kembali bertemu. Setiap waktu, aku selalu menatap layar ponsel. Berharap dapat kabar dari kamu meski sebatas SMS. Nihil. Tak ada sama sekali. Aku yakin itu bukan karena kamu melupakan aku. Tapi karena suatu hal yang kamu sendiri pun tak ingin. Aku sudah mengenalmu begitu lama. Sama sekali bukan tipe-mu membiarkan orang yang mempedulikan dirimu merasa cemas. Oh, iya. Hari ini adalah hari terakhir aku ada di Tasik. Ayahku dipindah tugaskan oleh perusahaannya ke Jawa Tengah. Aku sengaja menulis surat ini karen
Aku dan Tuan Raihan duduk di sofa ruang TV. Berjauhan. Wajahku menunduk dengan jantung bertalu-talu. Jari-jari tangankan bertautan satu sama lain, mengurai sedikit ketegangan yang menggelayut di hati."Ehhmmm." Tuan Raihan sedikit berdehem. Lalu mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak."Saya tadi habis ketemu teman. Janjian di restoran dekat kantor, makanya pulangnya telat." Tuan Raihan memulai percakapan. "Waktu saya akan pulang, saya tidak sengaja ketemu Pak Ari yang habis meeting sama rekannya. Jadilah kami ngobrol-ngobrol dulu sambil minum kopi." Tuan Raihan melanjutkan kembali.Aku mendengarkan dengan seksama. Sesekali menatap wajahnya tapi kemudian buru-buru menunduk lagi. Apalagi kalau tanpa sengaja pandangan kami beradu. Menambah ketegangan menjadi lebih kuat lagi. Suasana rumah yang sudah sunyi senyap membuatku begitu grogi. Hanya suara gemericik air yang membasahi genteng yang terdengar."Saya tadi sempat mendapat beberapa informasi, mudah-mudahan bermanfaat buat kamu.
Untuk sesaat, Andika sempat tertegun. Namun, sesaat kemudian, dia langsung berdiri dan menyambut uluran tangan Mas Raihan meskipun terlihat salah tingkah. Mereka berdua bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing."Yuk, kita pulang," ajak Mas Raihan sambil merangkul bahuku.Aku mengangguk."Dik, aku pulang dulu, ya," pamitku pada Andika yang berubah muram.Andika mengangguk lesu. Ada lengkungan senyum yang terlihat dipaksakan di sudut bibirnya.Aku berjalan bersisian dengan Mas Raihan. Tangannya merangkul bahuku mesra. Saat akan masuk ke dalam mobil, aku kembali menoleh ke arah Andika. Dia masih duduk termenung memandangiku sendu. Ada rasa bersalah yang menggelayut hebat di dada. Pertemuan pertama kami, dilandasi kecanggungan seperti ini."Apa dia Andika yang sama dengan sahabatmu dulu?" tanya Mas Raihan saat kami sudah di dalam mobil. Ada nada cemburu dalam suaranya."Iya. Kenapa?" Tanyaku pura-pura tak bisa membaca aura cemburu yang dipancarkannya."Oh, gak apa-apa. Mas seneng
KETIKA IBUKU MENIKAH LAGIBab 69Hamil? Rasanya gak mungkin. "Kamu ini ngomong apa sih, Ri? Lihat, kakak iparmu sampai kaget gitu!" tegur Mas Raihan sambil meraih tissue dan mengelap sisa teh yang tersisa di bibirku."Loh, apanya yang salah? Wajar kan kalau Rindu hamil? Dia kan sudah punya suami. Kalau masih gadis, baru panik," sahut Riana tak terima. "Kalian ini aneh," gerutunya sambil berlalu pergi.Aku dan Mas Raihan hanya saling pandang. Tentu saja kami sama-sama bungkam tentang rahasia ranjang kami. Tidak ada yang tau bahwa belum pernah terjadi pertempuran apapun di ranjang itu. Hingga bisa dipastikan aku masih tersegel sampai detik ini.Mas Raihan benar-benar menepati janjinya untuk tidak meminta haknya sampai aku benar-benar siap. Kami hanya menghabiskan malam bersama dengan mendekap tubuh satu sama lain. Setelah Riana pergi, kami sama-sama tertawa. Menyadari bahwa apa yang disangkakan Riana itu mustahil."Kamu gak apa-apa kan, Sayang?" Mas Raihan memindai wajahku.Aku mengge
Handel pintu mulai bergerak. Dan pintu pun terbuka."Wa'alaikum salam. Maaf cari --."Pertanyaan ibu terhenti saat memandangku. Matanya mulai berkaca-kaca. Kedua tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka.Aku tertegun. Terkesiap menatap wajah ibu yang sudah sekian lama kurindukan. Buliran bening pun mulai lolos satu persatu dari pelupuk. "Apa kamu Rindu anak ibu?" tanyanya dengan pipi tirus yang bersimbah air mata.Dalam hati aku terenyuh. Ibu masih mengenali putrinya ini meski jarak memisahkan kami tiga tahun lamanya. Mungkin karena memang tidak terlalu banyak yang berubah dariku.Aku mengangguk sambil bercucuran air mata. Sedetik kemudian aku menghambur memeluk tubuhnya. "Ibu ...." Aku menangis dalam dekapannya. Dekapan hangat yang selama ini aku rindukan bahkan sejak aku masih kecil.Isakan ibu makin lirih dengan bertambah eratnya pelukan kami. Tangan ibu mengusap-usap punggungku."Rindu anakku!" Ibu merintih menyebut namaku. Seakan selama ini ia begitu terluka saat jauh da
Kakiku rasanya berat untuk melangkah membuka pintu. Namun, suara ketukan lagi-lagi terdengar meskipun pelan. Setelah mengatur pernapasan setenang mungkin, akhirnya pintu itu kubuka. Aku sedikit bernapas lega saat melihat Riana yang berdiri, bukan Mas Raihan."Kenapa, Ri?" tanyaku setenang mungkin."Icha udah tidur?" Kepalanya mengintip ke dalam kamar."Udah.""Syukurlah. Biar aku yang tidur di sini. Kamu ke atas saja. Masa pengantin baru tidurnya terpisah gini?" tutur Riana sambil menerobos masuk ke dalam kamar."Tapi, Ri ...." "Udah. Gak usah pake tapi segala. Sana buruan!" Riana mendorong tubuhku untuk keluar dari kamar.Karena bingung sekaligus malu harus ke kamar atas, akhirnya aku memilih duduk di sofa ruang TV. Menikmati tayangan yang sama sekali tidak menarik untuk ditonton. "Hai, kenapa malah di sini?"Karena terlalu fokus pada lamunan, hingga aku tak sadar kalau Mas Raihan sudah ada di belakangku.Aku menoleh. Tersenyum kikuk."Iya, Mas. Icha baru saja tertidur."Ya, tadi R
Bapak langsung terkejut mendengar penuturan Tuan Raihan. Matanya menatapku dengan kening berkerut. Menyelidik memandangku dengan tatapan rasa tak percaya."Benarkah kamu Rindu, anak bapak?" tanya bapak dengan suara bergetar.Aku diam. Hanya air mata yang mengalir deras yang berbicara. Seolah berkata, benar. Ini aku putrimu. Putri yang kau terlantarkan lebih dari sepuluh tahun lamanya."Katakan, Nak! Benarkah kamu putriku?" Bapak sekali lagi bertanya. Matanya sudah nampak berkabut. Ah, bapak. Saking lamanya sampai tidak mengenali sedikit pun anakmu ini.Aku hanya mengangguk lemah. Buliran bening semakin deras membasahi pipi."Ya Alloh ... Nak. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu anak bapak?" Bapak mulai menangis. Lelaki yang menjadi cinta pertamaku itu berjalan mendekat ke arahku. Tiba-tiba tubuhnya ambruk dan berlutut di kakiku."Maafkan bapak, Nak. Maafkan bapak! Bapak Rindu sekali sama Rindu. Maafkan bapak. Bapak memang bukan ayah yang baik. Selama ini bapak tega mengabaikanmu sampa
POV RinduMendengar perkataan Tuan Raihan, jantungku serasa berhenti berdetak untuk sejenak. Namun, sesaat kemudian, kembali berdebar dengan begitu hebatnya. Apa aku tak salah dengar? Tuan Raihan melamarku? Memintaku menjadi istrinya? Aku mencubit lenganku dengan sedikit keras."Awww." Sakit. Ternyata ini nyata dan bukan mimpi. "Rindu. Maukah kamu menikah denganku?" Lagi Tuan Raihan bertanya. Membuatku kembali limbung dan seolah terperosok ke pusat bumi. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Bibirku kelu. Ini terlalu mendadak. Aku bahkan tidak pernah terpikirkan hal ini sebelumnya.Menikah? Di usiaku yang baru saja menginjak remaja. Aku mematung. Otakku berputar berpikir keras untuk menentukan jawaban. Tuan Raihan berjalan menghampiri Raisa. Menuntun tangannya, kemudian berhenti tepat di hadapanku. Berjongkok."Sekali lagi aku bertanya. Maukah kamu menjadi istriku dan ibu dari anakku?" Tatapan Tuan Raihan begitu memohon. Pun si cantik Raisa. Ada harapan besar yang terlukis di
"Apa yang kamu katakan, Ri? Menikah?" Kak Raihan bangkit dari duduknya, lalu berjalan mondar-mandir dengan ekspresi bingung."He'em. Rindu udah lulus SMA. Dia bukan gadis dibawah umur lagi. Gak ada yang salah kan?" Aku ikut berdiri."Tapi, Ri. Yang kakak lihat, Rindu begitu semangat mengejar cita-citanya. Kakak gak mau jadi penghalang dia untuk mewujudkan cita-citanya itu." Aku berjalan beberapa langkah, berhenti tepat di depan Kak Raihan."Kak, memangnya kalau sudah menikah, Rindu gak bisa mengejar cita-citanya, ya? Dia kan masih bisa kuliah meskipun sudah menikah." Aku meyakinkan Kak Raihan."Coba kakak pikir. Di mana lagi kakak mau cari wanita seperti Rindu? Dia cantik, pintar, solehah, sudah diterima semua keluarga kakak terutama Icha. Apalagi yang kurang dari Rindu?" lanjutku menggebu-gebu.Kak Raihan nampak berpikir. "Beri kakak waktu untuk memikirkannya.""Kak! Waktu kita tuh gak banyak. Beberapa hari lagi Rindu udah mau pergi. Kopernya aja udah disiapin di sudut kamar. Kalau
Ditatap seperti itu oleh dua orang, nyaliku mendadak ciut. Keringat dingin mulai keluar dari sela-sela jilbab. Jantungku tak hentinya berlompatan serasa mau keluar dari tempatnya."Katakan saja, Rindu. Ada apa?" Tuan Raihan yang dari tadi diam akhirnya bersuara. Mungkin sudah jenuh menungguku yang tak kunjung berkata."Sebenarnya ... saya mau bilang, kalau saya keterima beasiswa di perguruan tinggi di Jogjakarta. Dan bulan depan, saya harus sudah di sana." Aku berkata dengan suara gemetar."Maksud kamu apa? Saya belum paham?" tanya Tuan Raihan."Maksud saya, saya mau mengundurkan diri sebagai pengasuh Raisa. Makanya saya bilang dari sekarang, agar Tuan punya waktu untuk mencari pengasuh baru," sahutku hati-hati."Loh. Kenapa mendadak seperti ini, Rindu? Saya pikir kamu mau melanjutkan kuliah di Jakarta saja bareng Riana. Kenapa kamu juga tidak pernah membicarakan ini sebelumnya?" tanya Tuan Raihan."Saya sudah pernah membicarakan ini dengan Riana, Tuan." Aku melirik Riana yang masih t
Aku sedikit tergagap mendapat banyak pertanyaan sekaligus dari Riana. Karena sebenarnya aku juga belum siap untuk menceritakannya. Toh masih ada waktu beberapa bulan ke depan."Rin, kok diam?" Riana mengguncang tubuhku pelan. Wajahnya nampak tegang menunggu jawaban dariku."Eh, itu Ri. Aku kan cuma tanya. Itu juga seandainya. Siapa tau nanti aku keterima kuliah di luar kota kan?" "Memangnya kamu berniat daftar kuliah di luar kota?""Ya ... namanya juga nyari beasiswa. Jadi harus dicoba di semua universitas negeri.""Tapi kamu kan bisa nyari beasiswa di Jakarta aja," protes Riana tampak tak terima."Kalau gak keterima gimana?""Kak Rai masih sanggup kok biayain kuliah kamu.""Ri ... aku tuh gak enak kalau harus terus-terusan merepotkan Tuan Raihan. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku bukan tanggung jawabnya. Aku cuma seorang pengasuh anaknya. Jadi harus tau diri. Aku gak mau dianggap ngelunjak. Apalagi dianggap memanfaatkan keadaan untuk meraih cita-cita aku. Setelah lulus SMA nanti, setid