"Kamu bisa nggak berpikir positif? Kenapa kamu malah menyalahkan Novi? Tadi Bapak menemui Dina, Novi sedang pergi ke pasar. Jadi Dina bercerita sesuai kemauannya sendiri. Baru kemudian Novi pulang. Tahu kamu, apa yang dikatakan Dina? Katanya ayahnya sudah melupakan Dina, ketemu di minimarket, disapa tidak mau membalas. Bapak yang mendengarkan itu sangat sedih dan kecewa. Kalau kamu membenci Novi, itu hakmu. Tapi Dina itu kan anakmu, darah dagingmu. Kamu kok tega sekali sih? Kalau suatu saat, Dina sukses, bisa-bisa ia tidak akan mau mengakuimu sebagai ayah." Pak Harno berkata dengan kesal.Ahmad hanya diam saja. Pikirannya sekarang memang sedang kacau, memikirkan kehamilan Indah."Kamu sudah menikah dengan Indah?" tanya Pak Harno.Dhuar! Serasa petir menyambar tubuhnya, jantungnya berdetak dengan kencang. Pak Harno mengamati perubahan ekspresi wajah Ahmad.Ahmad menggelengkan kepala."Kok Indah bisa sampai disini lagi? Apa kamu menghubunginya dan memintanya kesini?" tanya Pak Harno."I
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s
Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif. Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak.Bu Wulan menarik nafas panjang."Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya.""Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera."Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung ma
"Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo."Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi."Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi."Terima kasih, Pak."Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi.Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang.K
"Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan."Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam.Novi melihat Ekta menghapus air matanya."Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar.""Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu."Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu."Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi."Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni."Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya."Apa saja yang diomongin Ekta tadi.
"Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali."Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli."Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku."Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana."Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi."Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada."Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini."Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti
"Kamu bisa nggak berpikir positif? Kenapa kamu malah menyalahkan Novi? Tadi Bapak menemui Dina, Novi sedang pergi ke pasar. Jadi Dina bercerita sesuai kemauannya sendiri. Baru kemudian Novi pulang. Tahu kamu, apa yang dikatakan Dina? Katanya ayahnya sudah melupakan Dina, ketemu di minimarket, disapa tidak mau membalas. Bapak yang mendengarkan itu sangat sedih dan kecewa. Kalau kamu membenci Novi, itu hakmu. Tapi Dina itu kan anakmu, darah dagingmu. Kamu kok tega sekali sih? Kalau suatu saat, Dina sukses, bisa-bisa ia tidak akan mau mengakuimu sebagai ayah." Pak Harno berkata dengan kesal.Ahmad hanya diam saja. Pikirannya sekarang memang sedang kacau, memikirkan kehamilan Indah."Kamu sudah menikah dengan Indah?" tanya Pak Harno.Dhuar! Serasa petir menyambar tubuhnya, jantungnya berdetak dengan kencang. Pak Harno mengamati perubahan ekspresi wajah Ahmad.Ahmad menggelengkan kepala."Kok Indah bisa sampai disini lagi? Apa kamu menghubunginya dan memintanya kesini?" tanya Pak Harno."I
Pagi ini Novi pergi ke pasar bersama dengan Septi. Novi ingin memasak rendang, karena itu ia ke pasar untuk membeli daging. Sebenarnya Novi malas ke pasar, karena ia suka bingung mau membeli apa. Ia lebih senang berbelanja di tukang sayur keliling. Tapi karena Septi yang mengajak atau lebih tepatnya memaksa, akhirnya Novi pun ikut pergi ke pasar.Ketika sedang membeli daging, Novi mendengar orang berbisik-bisik."Nggak punya malu ya? Hamil tanpa suami tapi cuek saja. Malah keluyuran ke pasar. Apa ia sengaja memamerkan kehamilannya ya?""Jadi nggak ada yang mau bertanggung jawab ya?""Mana ada laki-laki mau bertanggung jawab, kalau perempuan itu main dengan banyak laki-laki.""Katanya setelah bayi lahir mau tes DNA.""Terus yang membiayai tes DNA siapa? Tes DNA itu mahal.""Siapa sih yang dibicarakan," kata Novi dalam hati."Bang, dagingnya setengah kilo ya?" kata seseorang yang berada di sebelah Novi. Novi menoleh."Ngapain lihat-lihat!" bentak orang itu, yang ternyata adalah Weni. Or
Akhirnya Ahmad pun pulang, Indah tetap terdiam. Setelah mengunci pintu, ia pun merebahkan diri di kasur yang ada. Dipandanginya langit-langit kamarnya, pikirannya menerawang jauh. Indah pergi dari rumah orang tuanya, pamitnya ia mau merantau di kota. Tentu saja ia tidak bilang kalau mau mencari Ahmad. Dari kemarin Indah merasa tidak enak badan, ia juga tidak ingat kapan terakhir menstruasi. Karena itu, tadi pagi ia sengaja ke apotek untuk membeli tespek. Pulang dari apotek, ia segera melakukan tes dan hasilnya positif. Ia senang melihat garis dua di tespek itu. Ia sudah membayangkan hal-hal yang indah tentang masa depannya bersama Ahmad. Ternyata kenyataan tak seindah harapan. Ahmad bukannya senang dan antusias, malah menyalahkan Indah. Itulah yang membuat Indah sangat kesal.Sementara di tempat lain, Vera tampak tidak bisa tidur. Ia masih teringat akan kedatangan Shifa. "Apa benar kata Shifa tadi ya, kalau Richard membohongiku dengan berkata kalau pernikahan Richard tidak bahagia.
"O, iya. Ada apa ya?" tanya Vera berusaha menguasai keadaan dirinya sendiri."Begini, Mbak Vera yang saya hormati. Saya ingin berbicara sebagai sesama perempuan. Pasti Mbak Vera tahu maksud saya. Saya sudah lama mendengar selentingan hubungan antara Mbak Vera dengan suami saya. Awalnya saya tidak mempercayainya. Saya benar-benar percaya dengan suami saya. Tapi ternyata kepercayaan saya dikhianati. Saya tidak menyalahkan Mbak Vera sepenuhnya, karena Mas Richard yang punya andil besar dalam hal ini. Sebenarnya apa sih yang Mbak cari sampai mau berhubungan dengan Mas Richard? Padahal Mas Richard sudah beristri. Apakah suami Mbak Vera tidak mampu membuat Mbak bahagia? Sehingga Mbak butuh pelampiasan? Ataukah Mbak hanya mencari sensasi, ingin merasakan bagaimana sensasinya berselingkuh dengan suami orang?" Shifa berkata panjang lebar."Saya nggak ada hubungan dengan Richard," kilah Vera."Sudahlah Mbak, nggak usah mengelak. Saya punya banyak bukti. Apa perlu bukti itu saya berikan pada sua
Halo!" kata Ahmad dengan keras."Halo, Mas dimana?" tanya Indah."Lagi nganter barang, kenapa?""Nanti pulang dari toko kesini nggak?" tanya Indah."Belum tahu, lihat situasi dulu. Memangnya kenapa?""Aku jenuh, Mas, disini sendirian. Nanti malam menginap disini ya?" kata Indah."Nggak bisa! Aku kalau malam pulang ke rumah," kata Ahmad."Sebenarnya aku ini pacaran dengan duda atau anak mami sih? Mau pergi keluar saja takut dengan orang tua. Umur Mas tuh sudah berapa? Nggak perlu lah apa-apa harus dengan persetujuan orang tua," kata Indah dengan kesal."Sayang, aku kan tinggal dengan orang tua, ya harus nurut dengan orang tua. Kalau nggak nurut, nanti aku bisa diusir." Ahmad berkata dengan kesal. Panggilan langsung dimatikan sepihak oleh Indah, ia juga tampak kesal."Huh! Nggak pengertian banget sih," gerutu Ahmad."Dasar laki-laki buaya, baru bercerai dengan istrinya, sekarang sudah sayang-sayangan dengan orang lain. Pantas saja kalau Mbak Novi meminta cerai. Memang kelakuan Ahmad ini
Bedengan ini kayaknya cocok untuk tempat tinggal kamu," kata Ahmad pada Indah. Mereka sedang melihat-lihat kontrakan untuk tempat tinggal Indah. Sebelum waktu istirahat tadi Ahmad sudah pergi dari toko. Tanpa berpamitan pada bapaknya atau teman yang lain.Indah tampaknya kurang menyukai kontrakan yang dimaksud Ahmad ini. Bedeng yang mereka lihat terdiri dari tiga ruangan. Ruang tamu, kamar dan dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Tidak ada pilihan lain karena memang segitu kemampuan keuangan Ahmad. Ada sekitar delapan bedengan disini."Kecil sekali, Mas," keluh Indah. "Namanya juga bedengan, tentu saja kecil. Kalau mau besar ya rumah," kata Ahmad dalam hati. Ia tidak berani mau berkata seperti itu, nanti Indah akan semakin merajuk."Nanti kalau kita sudah menikah, kita cari kontrakan yang satu rumah. Sekarang yang sederhana dulu," kata Ahmad dengan hati-hati untuk meyakinkan Indah supaya setuju tinggal disini."Bukannya kalau menikah nanti kita tinggal sama Bapak dan Ibu?" tan
"Kenapa Mbak? Kaget ya? Mbakku yang cantik ternyata juga agak bego!" Ahmad berkata sambil tertawa."Enak saja kamu bilang bego! Kamu tuh yang bego!" teriak Vera."Mbak, Mas Alif memang gaptek! Ia nggak bakal buka-buka storymu. Tapi kamunya nggak nyadar, kalau apa yang kamu buat story' itu dilihat banyak orang. Memang kamu tidak menampakkan wajah selingkuhanmu itu. Tapi aku sangat paham Mas Alif itu seperti apa. Pernah kamu buat story' pegangan tangan dengan laki-laki. Aku tahu kalau itu bukan tangan Mas Alif. Tangan Mas Alif nggak seperti itu. Kamu memang konyol, Mbak. Kamu sengaja membangunkan macan tidur. Kalau Bapak tahu, habislah kamu." Ahmad menjelaskan panjang lebar."Jadi kamu mengancamku?" tantang Vera."Aku nggak mengancam, aku hanya minta tolong pinjamkan uang. Kalau Mbak nggak mau menolongku, ya nggak apa-apa. Aku bisa mendapatkan uang dengan cara lain. Aku sebarkan foto ini pada istri selingkuhanmu, bagaimana? Pasti ia akan memberiku uang," ejek Ahmad.Vera hanya terdiam.
"Novi itu kesayangan Bapak dan Ibu. Lagi pula rumah itu kan haknya anak-anak.""Makanya kita segera menikah, nanti kalau kita punya anak, pasti kan anak kita punya hak yang sama dengan anak-anak Novi." Indah membujuk dan merayu Ahmad untuk menikahinya."Jangan sekarang ya? Situasi belum memungkinkan. Nanti kalau sudah pas waktunya, pasti kita akan menikah." Ahmad pun mulai bergerilya lagi. Entah berapa kali mereka melakukannya, setan pun bersorak gembira, bisa menggoda anak manusia yang tidak memiliki iman.Jam sembilan malam, Ahmad baru sampai di rumah."Dari mana kamu?" tanya Pak Harno."Dari rumah teman," sahut Ahmad, kemudian masuk ke kamarnya. Entah ia mandi atau tidak, yang jelas ia sudah tertidur dengan mimpi yang sangat indah.Tengah malam ia terbangun dari tidurnya memikirkan Indah dan mencarikan Indah tempat tinggal. Ia sendiri bingung, darimana mendapatkan uang untuk mengontrak rumah? Belum lagi membeli isinya. Setidaknya kasur, lemari pakaian dan peralatan dapur. Ahmad men
"Nggak tahu, Bu. Yang jelas aku merasa lega. Sekarang fokusku hanya pada anak-anak saja." Novi berkata sambil sesenggukan. Pak Budi yang baru pulang dari sawah terheran-heran melihat Novi mengeluarkan air mata. Bu Murni pun menjelaskan apa yang terjadi. Ekspresi wajah Pak Budi sulit untuk ditebak. Apakah ia senang ataupun sedih."Apapun yang terjadi padamu, apapun keputusanmu, Bapak dan Ibu tetap mendukungmu. Asalkan kamu berada di jalur yang benar. Sekarang statusmu itu akan dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Tetap jaga perilaku, karena apapun yang kamu kerjakan pasti menjadi sorotan banyak orang." Pak Budi memberikan nasihat pada Novi.Novi hanya mengangguk saja. Terdengar suara Haikal menangis, Novi segera masuk ke kamar, tak lupa ia membawa masuk akta cerai tadi untuk disimpan. Haikal terbangun dari tidurnya, Novi pun menyusul Haikal. Mungkin karena terlalu lelah, akhirnya ia pun tertidur."Nov, bangun! Ada yang nyariin tuh," panggil Bu Murni.Novi membuka matanya dan