"Astaghfirullahaladzim," sahut Novi, kemudian membalikkan badan lagi, dan menatap Septi."Nggak nyangka ya?" kata Septi."Pura-pura nggak melihat, Mbak. Kasihan kalau sampai kepergok," kata Novi.Septi dan Novi melangkah perlahan sambil berusaha ngobrol. Supaya tidak menarik perhatian."Septi!" panggil seseorang. Mau tidak mau Septi pun menoleh ke arah suara. Novi juga menoleh. Ada dua perempuan dan satu laki-laki. Perempuan yang sedang bergandengan tangan dengan laki-laki, segera melepaskan pegangan tangannya. Kemudian laki-laki itu segera menyingkir dan menjauh dari mereka."Eh, Meri, apa kabar. Lho ada Vera juga ya?" sahut Septi dengan suara yang dibuatnya wajar. Perempuan yang namanya Meri itu pun mendekati Septi dan Novi. Mereka bersalaman dan cipika-cipiki. Vera yang disebut Septi langsung gelagapan dan berusaha tersenyum dan bersikap wajar. Vera yang dimaksud Septi adalah istrinya Alif, makanya tadi Novi sempat beristighfar karena melihat Vera bergandengan mesra dengan laki-la
"Berarti Mas Alif nggak tahu kalau Mbak Vera keluyuran dengan laki-laki lain? Ia tahunya kalau Vera pergi dengan teman-temannya. Pintar sekali Mbak Vera bersandiwara," kata Novi dalam hati.Drtt…drtt…. Ponsel Alif berdering. Sebuah nama terpampang di layar ponselnya, Alif segera menerima panggilan itu. "Assalamualaikum, Pak," kata Alif."Waalaikumsalam. Kamu dimana Alif?" tanya Pak Harno."Dirumah Novi, Pak. Mengantarkan pesanan Ibu untuk Novi dan anak-anaknya. Ada apa, Pak?" tanya Alif."Ibumu pingsan, sekarang sudah ada di rumah sakit. Kamu segera kesini ya?" kata Pak Harno."Iya, Pak." Alif pun menutup panggilan teleponnya. Ekspresi wajah Alif tampak sangat cemas."Ada apa, Mas? Tadi Bapak yang menelpon ya?" tanya Novi. "Iya, Nov. Ibu pingsan dan dibawa ke rumah sakit."Novi sangat kaget."Sekarang Mas mau ke rumah sakit?" tanya Novi."Iya," jawab Alif."Rumah sakit apa?" tanya Novi."Pratama.""O ya, nanti aku kesitu.""Kalau kamu nggak repot, sekarang saja bareng aku," kata Ali
"Kenapa Novi sekarang terlihat berbeda ya?" tanya Ahmad dalam hati. Novi merasa kalau Ahmad menatapnya, ia pun menoleh dan memergoki Ahmad sedang menatapnya tak berkedip. Ahmad kemudian memalingkan wajahnya, ia merasa malu.Tak lama kemudian muncul Vera, masih dengan pakaian yang dipakainya di mall tadi. Vera datang dengan wajah yang seolah-olah cemas."Ibu, kenapa Pa?" tanya Vera dengan mesra pada Alif."Ibu tadi pingsan, sekarang sedang tidur," kata Alif. Pak Harno menatap Vera dengan tatapan yang sulit diartikan. Vera melihat ke arah Pak Harno, Vera merasa kalau Pak Harno menatap tajam padanya. Kemudian ia melihat ke arah Novi. Novi hanya tersenyum basa-basi saja."Bu, Ibu sudah bangun?" tanya Alif ketika melihat ibunya sedang membuka matanya. "Ibu," panggil Pak Harno.Bu Wulan tampak melihat ke sekeliling ruangan. Semua tampak asing. Kemudian berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi “Aku dimana, Pak?” tanya Bu Wulan dengan pelan.“Ibu di rumah sakit, tadi Ibu pingsan.”Bu Wul
Hari ini Novi mengajak Dina dan Haikal ke rumah Pak Harno. Sesuai dengan janjinya kalau Bu Wulan pulang dari rumah sakit, ia akan menjenguk Bu Wulan bersama anak-anaknya.Bu Wulan sedang tiduran di sofa di ruang televisi. Sambil menonton televisi. "Assalamualaikum," ucap Novi."Waalaikumsalam, eh cucu-cucu Nenek datang. Sini, masuk," kata Bu Wulan, ia hanya mengubah posisinya menjadi duduk, tidak tiduran lagi. Dina pun mendekati neneknya dan memberikan salam pada neneknya."Ibu sendirian ya di rumah," tanya Novi."Enggak, tadi ada Bapak kok.""Cucu-cucu Kakek sudah datang ya? Sini Kakek gendong," kata Pak Harno mengulurkan tangan pada Haikal. Tapi Haikal berontak, ia tidak mau digendong. Akhirnya Haikal duduk di lantai."Haikal sudah mulai merambat, Pak. Susah sekali di gendong," kata Novi. "Sudah besar ya? Sudah mulai nakal ya?" kata Pak Harno sambil menjawil hidung Haikal. Haikal tertawa-tawa senang.Tak lama kemudian muncul Ahmad yang baru datang. Ia tampak terpaku menatap Novi
"Ma, jangan suka memojokkan orang seperti itu. Sama saja merendahkan diri Mama sendiri," kata Alif ketika mereka sudah sampai di rumah. Alif sedang tidur-tiduran. Vera langsung menoleh ke arah Alif."Maksudnya apa, Pa?" tanya Vera dengan nada yang tidak suka."Itu tadi nanya sama Novi, apa nggak capek buka warung. Kalau kayak gitu nggak perlu ditanyakan lagi. Itulah mata pencaharian Novi untuk menghidupi anak-anaknya," sahut Alif."Hmm, bau-baunya ada yang mulai jatuh cinta sama janda itu ya? Pa, walaupun berdandan kayak apa, Novi itu tetap kampungan. Mentang-mentang sekarang janda, terus mulai merubah penampilan. Demi apa coba? Demi menggaet laki-laki atau mungkin suami orang. Buktinya Papa mulai kepincut dengan Novi." Vera berkata dengan ketus dan tatapan sinis."Astaghfirullahaladzim, Ma. Nyebut! Novi dandan kan karena mau keluar rumah, mau bertemu dengan keluarga mertuanya. Mungkin juga untuk menunjukkan kalau ia walaupun mau berpisah dengan Ahmad, tapi tidak terpuruk. Melainkan b
"Nggak tahu, Bu. Yang jelas aku merasa lega. Sekarang fokusku hanya pada anak-anak saja." Novi berkata sambil sesenggukan. Pak Budi yang baru pulang dari sawah terheran-heran melihat Novi mengeluarkan air mata. Bu Murni pun menjelaskan apa yang terjadi. Ekspresi wajah Pak Budi sulit untuk ditebak. Apakah ia senang ataupun sedih."Apapun yang terjadi padamu, apapun keputusanmu, Bapak dan Ibu tetap mendukungmu. Asalkan kamu berada di jalur yang benar. Sekarang statusmu itu akan dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Tetap jaga perilaku, karena apapun yang kamu kerjakan pasti menjadi sorotan banyak orang." Pak Budi memberikan nasihat pada Novi.Novi hanya mengangguk saja. Terdengar suara Haikal menangis, Novi segera masuk ke kamar, tak lupa ia membawa masuk akta cerai tadi untuk disimpan. Haikal terbangun dari tidurnya, Novi pun menyusul Haikal. Mungkin karena terlalu lelah, akhirnya ia pun tertidur."Nov, bangun! Ada yang nyariin tuh," panggil Bu Murni.Novi membuka matanya dan
"Novi itu kesayangan Bapak dan Ibu. Lagi pula rumah itu kan haknya anak-anak.""Makanya kita segera menikah, nanti kalau kita punya anak, pasti kan anak kita punya hak yang sama dengan anak-anak Novi." Indah membujuk dan merayu Ahmad untuk menikahinya."Jangan sekarang ya? Situasi belum memungkinkan. Nanti kalau sudah pas waktunya, pasti kita akan menikah." Ahmad pun mulai bergerilya lagi. Entah berapa kali mereka melakukannya, setan pun bersorak gembira, bisa menggoda anak manusia yang tidak memiliki iman.Jam sembilan malam, Ahmad baru sampai di rumah."Dari mana kamu?" tanya Pak Harno."Dari rumah teman," sahut Ahmad, kemudian masuk ke kamarnya. Entah ia mandi atau tidak, yang jelas ia sudah tertidur dengan mimpi yang sangat indah.Tengah malam ia terbangun dari tidurnya memikirkan Indah dan mencarikan Indah tempat tinggal. Ia sendiri bingung, darimana mendapatkan uang untuk mengontrak rumah? Belum lagi membeli isinya. Setidaknya kasur, lemari pakaian dan peralatan dapur. Ahmad men
"Kenapa Mbak? Kaget ya? Mbakku yang cantik ternyata juga agak bego!" Ahmad berkata sambil tertawa."Enak saja kamu bilang bego! Kamu tuh yang bego!" teriak Vera."Mbak, Mas Alif memang gaptek! Ia nggak bakal buka-buka storymu. Tapi kamunya nggak nyadar, kalau apa yang kamu buat story' itu dilihat banyak orang. Memang kamu tidak menampakkan wajah selingkuhanmu itu. Tapi aku sangat paham Mas Alif itu seperti apa. Pernah kamu buat story' pegangan tangan dengan laki-laki. Aku tahu kalau itu bukan tangan Mas Alif. Tangan Mas Alif nggak seperti itu. Kamu memang konyol, Mbak. Kamu sengaja membangunkan macan tidur. Kalau Bapak tahu, habislah kamu." Ahmad menjelaskan panjang lebar."Jadi kamu mengancamku?" tantang Vera."Aku nggak mengancam, aku hanya minta tolong pinjamkan uang. Kalau Mbak nggak mau menolongku, ya nggak apa-apa. Aku bisa mendapatkan uang dengan cara lain. Aku sebarkan foto ini pada istri selingkuhanmu, bagaimana? Pasti ia akan memberiku uang," ejek Ahmad.Vera hanya terdiam.
“Bu, ini ada sarapan untuk Ibu dan Mbak Novi,” kata Farel memecahkan keheningan.“O iya Nak Farel, terima kasih. Malah ngerepotin Nak Farel," kata Bu Murni."Enggak kok, Bu." Farel menjawab sambil tersenyum. Farel menatap ke arah Pak Harno yang tampak tersenyum juga. Ketika melihat kearah Ahmad, terlihat wajah Ahmad yang tidak bersahabat. Sebenarnya dari tadi Farel penasaran dengan hubungan Novi dan Pak Harno. Mau bertanya tapi ia sungkan."Apakah mereka masih ada hubungan keluarga ya? Tapi dari tadi Ahmad hanya diam saja," kata Farel dalam hati.Suara dering ponsel membuyarkan lamunan Farel. Ia pun mengambil ponsel yang ada di saku kemejanya. Seketika ekspresi wajah Farel berubah, ketika melihat layar ponsel. Ia pun mengabaikan panggilan di ponsel tersebut dan memasukkan lagi ponsel itu ke saku kemeja. Ternyata ponsel Farel berdering lagi. Karena merasa tidak enak dengan semua yang ada di ruangan itu, akhirnya Farel pamit pulang.***"Ponselnya kok nggak aktif, Mas?" tanya Indah ke
"Siapa yang kecelakaan?" Pak Harno mengulangi pertanyaannya. Semua yang ada disitu terkejut mendengar suara Pak Harno. Pak Harno menatap empat orang itu satu persatu."Mbak Novi Pak," jawab Abdul dengan pelan, karena ia tahu kalau Novi itu menantu kesayangan bosnya."Novi? Novi anakku?" tanya Pak Harno lagi dengan ekspresi wajah yang sangat kaget."Iya, Pak. Mbak Novi ibunya Dina dan Haikal." Wawan ikut menjawab.Deg! Pak Harno memegang dadanya, Ahmad yang terkejut melihat bapaknya. Ia segera mendekati bapaknya, Wawan dan Wahyu ikut mendekati bos mereka, membantu Ahmad memapah bapaknya berjalan ke kursi terdekat. Abdul segera mengambil air putih untuk Pak Harno."Minum dulu, Pak," kata Abdul sambil menyerahkan gelas kepada Pak Harno. Pak Harno menyambut gelas tersebut dan segera meminumnya. Kemudian menarik nafas panjang."Bagaimana kondisi Novi?" tanya Pak Harno."Saya belum tahu, Pak," jawab Abdul."Kapan kejadiannya? Sendirian atau bersama anak-anak?" Pak Harno yang semakin penasar
"Bagi Ibu kamu masih anak kecil Ibu yang cengeng dan manja, juga mandiri. Maafkan Bapak dan Ibu yang tidak bisa memberikan kemewahan pada kalian," kata Bu Murni dengan mata berkaca-kaca."Pantesan Novi cengeng, keturunan dari Ibu," celetuk Pak Budi. Novi dan Septi tertawa mendengar celetukan bapaknya, sedangkan Bu Murni tampak bersungut-sungut kesal. "Tuh kan, hujan turun," lanjut Pak Budi ketika melihat air mata Bu Murni menetes di pipi. Novi dan Septi semakin lebar tertawanya. Novi sangat bahagia melihat orang tuanya masih bisa bercanda dan selalu terlihat bahagia. Terkadang Novi iri melihat orang tuanya yang sampai detik ini mereka masih seperti dulu. Selalu saling menggoda dan bercanda. Ia pun membandingkan dengan kehidupan rumah tangganya yang hancur berantakan. Seketika mata Novi menghangat, ia pun berusaha mati-matian supaya tidak menangis."Bu, Haikal kemana? Kok nggak diajak?" tanya Novi mengalihkan pembicaraan."Tadi pagi-pagi sudah dijemput Lastri. Katanya kasihan kalau
"Gimana Novi?" tanya Pak Budi dengan penasaran. "Sudah sadar, Pak. Aku mau cari ruangan dulu," kata Septi. Semua mata yang dari tadi memandang Septi, akhirnya bernafas lega mendengar kata-kata Septi."Biar saya yang mencari ruangan, Mbak," kata Farel mengajukan diri untuk membantu. Pak Budi memberi isyarat pada Septi untuk menuruti perkataan Farel."O iya, Mas. Silahkan," jawab Septi. Farel tersenyum dan melangkah pergi untuk mencari kamar. "Bapak, masuklah," ucap Septi mempersilahkan Pak Budi masuk ke ruang UGD. Pak Budi segera masuk ke ruangan."Mbak Septi, gimana Novi?" tanya Lastri yang masih setia menunggu."Tadi waktu Novi sadar, ia tampak tidak merespon kami. Aku cemas sekali, Mbak? Aku takut kalau Novi benar-benar tidak mengenali kami. Tapi Alhamdulillah, akhirnya Novi bisa mengingat kami. Kata perawat, Novi hanya syok saja." Novi menjelaskan pada Lastri."Syukurlah. Aku sangat cemas, takut terjadi sesuatu pada Novi." Lastri mengungkapkan kecemasannya. "Kita sama-sama berdo
Ceklek! Pintu UGD dibuka, tampak dokter dan satu orang perawat keluar dari UGD.Bu Murni segera mendekati dokter dan perawat itu."Dok, bagaimana kondisi anak saya?" tanya Bu Murni."Oh, anak Ibu yang mengalami kecelakaan ya?" tanya dokter perempuan yang cantik dengan hijab berwarna mustard. Dokter tersebut bertanya dengan suara yang lembut dan enak didengar."Iya, Dok," jawab Bu Murni sambil mengangguk. Sesekali tampak ia menghapus air mata yang mengalir dengan sendirinya. Matanya sampai bengkak karena kebanyakan menangis."Masa kritisnya sudah lewat, tapi masih belum sadar." Dokter berkata sambil tersenyum untuk menenangkan ibu pasien, "kami akan berusaha yang terbaik untuk anak Ibu.""Boleh saya melihatnya, Dok?" tanya Bu Murni dengan penuh harap. Melihat perempuan setengah baya itu dengan wajah sangat cemas, dokter pun mengizinkannya."Boleh, gantian ya? Dua orang saja." Dokter memberikan jawaban, wajah Bu Murni memperlihatkan senyum lebar."Baik, Dok. Terima kasih," kata Bu Murni
"Evi, tolong kamu sama Haikal dulu, ya? Mbah Kung mau mengurus Mbah Uti dulu," kata Pak Budi pada Evi."Iya, Mbah," kata Evi, kemudian ia masuk ke kamar Novi untuk menemani Haikal.Terdengar suara langkah kaki yang sangat tergesa-gesa, memasuki ruangan."Ada apa, Pak?" tanya Septi yang baru masuk ke dalam rumah, dibelakangnya ada Yanti."Adikmu kecelakaan," kata Pak Budi. Septi terkejut mendengar ucapan bapaknya, begitu juga Yanti."Kecelakaan? Kapan? Dimana? Bagaimana kondisinya? Sekarang Novi dimana?" cecar Septi dengan panik."Bapak juga nggak tahu kondisinya, sekarang Novi ada di rumah sakit. Yanti, kamu nggak usah buka warung. Tutup warungnya, beresin belanjaan Novi dan tolong tunggu di sini menemani Haikal." Pak Budi memberi arahan pada Yanti, Yanti pun mengangguk.Di rumah sakit, Lastri masih setia menunggu. Ia dan Pak Fahri beserta dua remaja berpakaian SMA menunggu di luar UGD. Novi sendiri masih ditangani oleh dokter.Lastri tampak mondar-mandir, sesekali duduk. Pak Fahri s
Tiiin…. Suara klakson motor mengagetkan Novi, ia tidak bisa mengendalikan diri."Mau mati ya?" teriak pengendara motor yang melaju dengan kencang.Novi yang mulai oleng mengendarai motor semakin kaget mendengar teriakan orang itu, jantungnya berdetak dengan kencang. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pikirannya benar-benar kosong, ia hanya menatap pengendara motor itu yang sudah menghilang dari pandangan matanya.Brak!! Yang ia rasakan, tubuhnya terkena benda keras dan ia pun terjatuh mencium kerasnya aspal jalanan.Orang-orang pun berlarian dan berteriak-teriak."Kecelakaan.""Oh, yang kecelakaan pelakor.""Karma seorang pelakor.""Biarin aja, nggak usah ditolong."Beberapa orang berkata-kata sambil menonton Novi yang mengalami kecelakaan. Air mata menetes di pipi Novi, menangis karena luka hati dan fisiknya."Hei, orang kecelakaan kok malah dilihat saja," teriak seorang laki-laki yang datang mendekati tempat kejadiam. Orang tersebut tampak cemas melihat darah yang keluar dari t
"Dasar laki-laki, tidak cukup dengan satu wanita. Maunya memiliki lebih dari satu, tanpa memikirkan perasaan istrinya," kata Novi dalam hati sambil melirik Pak Fahri yang menyandarkan kepala di sofa. Entah apa yang didengarkan oleh Pak Fahri, ia begitu menikmatinya. "Saya masih berharap Dek Novi memikirkannya lagi. Tidak usah terburu-buru mengambil keputusan."Novi hanya terdiam, ia bingung mau berkata apa lagi. Sepertinya Ustadz Yusuf tidak bisa menerima penolakan. "Benar-benar keras kepala," kata Novi dalam hati.Karena sudah mulai larut, Ustadz Yusuf akhirnya berpamitan pada Novi. Mau berpamitan dengan Pak Budi, ternyata sudah tidur."Assalamualaikum, Dek Novi," kata Ustadz Yusuf berpamitan pulang, sambil melangkah keluar dari ruang tamu."Waalaikumsalam," jawab Novi. Kemudian ia segera menutup pintu dan menguncinya. Kalau ia tetap di luar akan ada tetangga yang melihat dan ia bakal jadi bahan ghibahan lagi. Karena menerima tamu laki-laki yang merupakan suami orang."Sudah pulang
"Ini ayam geprek kesenanganku, Mas. Mas beli dimana?" tanya Indah dengan sumringah sambil menerima bungkusan dari Ahmad.Padahal dari tadi ia sudah emosi dan gelisah karena Ahmad tidak pulang-pulang. Mau menelponnya, tapi ponsel Ahmad ketinggalan di rumah. Ahmad sampai di rumah langsung memberikan dua porsi ayam geprek dari Novi tadi. Tidak mungkin ia berkata jujur, pasti Indah akan marah-marah. Tapi lambat laun ia akan memberitahu Indah kalau ia mengunjungi anak-anaknya."Ada deh. Makanlah semuanya," sahut Ahmad."Benar Mas? Untuk aku semua?" tanya Indah untuk memastikannya."Iya. Makanlah yang kenyang. Biar anak kita nggak kelaparan."Indah segera makan dengan lahap. Ia begitu menikmati ayam geprek ini. Ayam geprek kesukaannya, sudah beberapa hari ini ia tidak makan ayam geprek, karena Lala sedang sakit, jadi tidak mungkin menyuruh Lala membelikan ayam geprek. Perempuan yang sedang hamil itu tidak tahu kalau ayam geprek langganannya adalah milik Novi. Bisa dibayangkan kalau sampai