"Novi itu kesayangan Bapak dan Ibu. Lagi pula rumah itu kan haknya anak-anak.""Makanya kita segera menikah, nanti kalau kita punya anak, pasti kan anak kita punya hak yang sama dengan anak-anak Novi." Indah membujuk dan merayu Ahmad untuk menikahinya."Jangan sekarang ya? Situasi belum memungkinkan. Nanti kalau sudah pas waktunya, pasti kita akan menikah." Ahmad pun mulai bergerilya lagi. Entah berapa kali mereka melakukannya, setan pun bersorak gembira, bisa menggoda anak manusia yang tidak memiliki iman.Jam sembilan malam, Ahmad baru sampai di rumah."Dari mana kamu?" tanya Pak Harno."Dari rumah teman," sahut Ahmad, kemudian masuk ke kamarnya. Entah ia mandi atau tidak, yang jelas ia sudah tertidur dengan mimpi yang sangat indah.Tengah malam ia terbangun dari tidurnya memikirkan Indah dan mencarikan Indah tempat tinggal. Ia sendiri bingung, darimana mendapatkan uang untuk mengontrak rumah? Belum lagi membeli isinya. Setidaknya kasur, lemari pakaian dan peralatan dapur. Ahmad men
"Kenapa Mbak? Kaget ya? Mbakku yang cantik ternyata juga agak bego!" Ahmad berkata sambil tertawa."Enak saja kamu bilang bego! Kamu tuh yang bego!" teriak Vera."Mbak, Mas Alif memang gaptek! Ia nggak bakal buka-buka storymu. Tapi kamunya nggak nyadar, kalau apa yang kamu buat story' itu dilihat banyak orang. Memang kamu tidak menampakkan wajah selingkuhanmu itu. Tapi aku sangat paham Mas Alif itu seperti apa. Pernah kamu buat story' pegangan tangan dengan laki-laki. Aku tahu kalau itu bukan tangan Mas Alif. Tangan Mas Alif nggak seperti itu. Kamu memang konyol, Mbak. Kamu sengaja membangunkan macan tidur. Kalau Bapak tahu, habislah kamu." Ahmad menjelaskan panjang lebar."Jadi kamu mengancamku?" tantang Vera."Aku nggak mengancam, aku hanya minta tolong pinjamkan uang. Kalau Mbak nggak mau menolongku, ya nggak apa-apa. Aku bisa mendapatkan uang dengan cara lain. Aku sebarkan foto ini pada istri selingkuhanmu, bagaimana? Pasti ia akan memberiku uang," ejek Ahmad.Vera hanya terdiam.
Bedengan ini kayaknya cocok untuk tempat tinggal kamu," kata Ahmad pada Indah. Mereka sedang melihat-lihat kontrakan untuk tempat tinggal Indah. Sebelum waktu istirahat tadi Ahmad sudah pergi dari toko. Tanpa berpamitan pada bapaknya atau teman yang lain.Indah tampaknya kurang menyukai kontrakan yang dimaksud Ahmad ini. Bedeng yang mereka lihat terdiri dari tiga ruangan. Ruang tamu, kamar dan dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Tidak ada pilihan lain karena memang segitu kemampuan keuangan Ahmad. Ada sekitar delapan bedengan disini."Kecil sekali, Mas," keluh Indah. "Namanya juga bedengan, tentu saja kecil. Kalau mau besar ya rumah," kata Ahmad dalam hati. Ia tidak berani mau berkata seperti itu, nanti Indah akan semakin merajuk."Nanti kalau kita sudah menikah, kita cari kontrakan yang satu rumah. Sekarang yang sederhana dulu," kata Ahmad dengan hati-hati untuk meyakinkan Indah supaya setuju tinggal disini."Bukannya kalau menikah nanti kita tinggal sama Bapak dan Ibu?" tan
Halo!" kata Ahmad dengan keras."Halo, Mas dimana?" tanya Indah."Lagi nganter barang, kenapa?""Nanti pulang dari toko kesini nggak?" tanya Indah."Belum tahu, lihat situasi dulu. Memangnya kenapa?""Aku jenuh, Mas, disini sendirian. Nanti malam menginap disini ya?" kata Indah."Nggak bisa! Aku kalau malam pulang ke rumah," kata Ahmad."Sebenarnya aku ini pacaran dengan duda atau anak mami sih? Mau pergi keluar saja takut dengan orang tua. Umur Mas tuh sudah berapa? Nggak perlu lah apa-apa harus dengan persetujuan orang tua," kata Indah dengan kesal."Sayang, aku kan tinggal dengan orang tua, ya harus nurut dengan orang tua. Kalau nggak nurut, nanti aku bisa diusir." Ahmad berkata dengan kesal. Panggilan langsung dimatikan sepihak oleh Indah, ia juga tampak kesal."Huh! Nggak pengertian banget sih," gerutu Ahmad."Dasar laki-laki buaya, baru bercerai dengan istrinya, sekarang sudah sayang-sayangan dengan orang lain. Pantas saja kalau Mbak Novi meminta cerai. Memang kelakuan Ahmad ini
"O, iya. Ada apa ya?" tanya Vera berusaha menguasai keadaan dirinya sendiri."Begini, Mbak Vera yang saya hormati. Saya ingin berbicara sebagai sesama perempuan. Pasti Mbak Vera tahu maksud saya. Saya sudah lama mendengar selentingan hubungan antara Mbak Vera dengan suami saya. Awalnya saya tidak mempercayainya. Saya benar-benar percaya dengan suami saya. Tapi ternyata kepercayaan saya dikhianati. Saya tidak menyalahkan Mbak Vera sepenuhnya, karena Mas Richard yang punya andil besar dalam hal ini. Sebenarnya apa sih yang Mbak cari sampai mau berhubungan dengan Mas Richard? Padahal Mas Richard sudah beristri. Apakah suami Mbak Vera tidak mampu membuat Mbak bahagia? Sehingga Mbak butuh pelampiasan? Ataukah Mbak hanya mencari sensasi, ingin merasakan bagaimana sensasinya berselingkuh dengan suami orang?" Shifa berkata panjang lebar."Saya nggak ada hubungan dengan Richard," kilah Vera."Sudahlah Mbak, nggak usah mengelak. Saya punya banyak bukti. Apa perlu bukti itu saya berikan pada sua
Akhirnya Ahmad pun pulang, Indah tetap terdiam. Setelah mengunci pintu, ia pun merebahkan diri di kasur yang ada. Dipandanginya langit-langit kamarnya, pikirannya menerawang jauh. Indah pergi dari rumah orang tuanya, pamitnya ia mau merantau di kota. Tentu saja ia tidak bilang kalau mau mencari Ahmad. Dari kemarin Indah merasa tidak enak badan, ia juga tidak ingat kapan terakhir menstruasi. Karena itu, tadi pagi ia sengaja ke apotek untuk membeli tespek. Pulang dari apotek, ia segera melakukan tes dan hasilnya positif. Ia senang melihat garis dua di tespek itu. Ia sudah membayangkan hal-hal yang indah tentang masa depannya bersama Ahmad. Ternyata kenyataan tak seindah harapan. Ahmad bukannya senang dan antusias, malah menyalahkan Indah. Itulah yang membuat Indah sangat kesal.Sementara di tempat lain, Vera tampak tidak bisa tidur. Ia masih teringat akan kedatangan Shifa. "Apa benar kata Shifa tadi ya, kalau Richard membohongiku dengan berkata kalau pernikahan Richard tidak bahagia.
Pagi ini Novi pergi ke pasar bersama dengan Septi. Novi ingin memasak rendang, karena itu ia ke pasar untuk membeli daging. Sebenarnya Novi malas ke pasar, karena ia suka bingung mau membeli apa. Ia lebih senang berbelanja di tukang sayur keliling. Tapi karena Septi yang mengajak atau lebih tepatnya memaksa, akhirnya Novi pun ikut pergi ke pasar.Ketika sedang membeli daging, Novi mendengar orang berbisik-bisik."Nggak punya malu ya? Hamil tanpa suami tapi cuek saja. Malah keluyuran ke pasar. Apa ia sengaja memamerkan kehamilannya ya?""Jadi nggak ada yang mau bertanggung jawab ya?""Mana ada laki-laki mau bertanggung jawab, kalau perempuan itu main dengan banyak laki-laki.""Katanya setelah bayi lahir mau tes DNA.""Terus yang membiayai tes DNA siapa? Tes DNA itu mahal.""Siapa sih yang dibicarakan," kata Novi dalam hati."Bang, dagingnya setengah kilo ya?" kata seseorang yang berada di sebelah Novi. Novi menoleh."Ngapain lihat-lihat!" bentak orang itu, yang ternyata adalah Weni. Or
"Kamu bisa nggak berpikir positif? Kenapa kamu malah menyalahkan Novi? Tadi Bapak menemui Dina, Novi sedang pergi ke pasar. Jadi Dina bercerita sesuai kemauannya sendiri. Baru kemudian Novi pulang. Tahu kamu, apa yang dikatakan Dina? Katanya ayahnya sudah melupakan Dina, ketemu di minimarket, disapa tidak mau membalas. Bapak yang mendengarkan itu sangat sedih dan kecewa. Kalau kamu membenci Novi, itu hakmu. Tapi Dina itu kan anakmu, darah dagingmu. Kamu kok tega sekali sih? Kalau suatu saat, Dina sukses, bisa-bisa ia tidak akan mau mengakuimu sebagai ayah." Pak Harno berkata dengan kesal.Ahmad hanya diam saja. Pikirannya sekarang memang sedang kacau, memikirkan kehamilan Indah."Kamu sudah menikah dengan Indah?" tanya Pak Harno.Dhuar! Serasa petir menyambar tubuhnya, jantungnya berdetak dengan kencang. Pak Harno mengamati perubahan ekspresi wajah Ahmad.Ahmad menggelengkan kepala."Kok Indah bisa sampai disini lagi? Apa kamu menghubunginya dan memintanya kesini?" tanya Pak Harno."I
"Bingung mau menjawabnya, Mas. Kalau aku bilang tidak, eh tahu-tahu besok jodohku datang. Mau bilang iya tapi kok seperti sudah kebelet nikah, hihi. Yang jelas, aku mengikuti air yang mengalir saja. Kalau memang masih ada jodoh, ya akan aku jalani." Novi menjawab dengan diplomatis. Alif tersenyum mendengar jawaban Novi yang terkesan malu-malu."Kamu masih muda, hidupmu masih panjang. Kamu butuh pendamping untuk menemanimu membesarkan anak-anak, walaupun ada ayahnya. Setidaknya ada teman untuk berkeluh kesah." Alif berkata sambil memperhatikan Haikal yang asyik memainkan mainannya. Jantung Novi dari tadi terus bergemuruh, ia menjadi malu dan tersipu mendengar kata-kata Alif. "Kalau kamu mau mencari pendamping hidup, carilah yang mau menerima anak-anak. Terserah mau duda atau single. Jangan marah atau tersinggung kalau aku berkata seperti ini, aku sudah menganggapmu sebagai adik sendiri. Walaupun hubungan pernikahanmu dengan Ahmad sudah berakhir, tapi hubungan persaudaraan kita tidak
"Tapi dia itu seorang janda, kok kayak Farel sudah nggak laku aja. Dia kan bisa mencari perempuan lain, yang masih gadis dan sepadan dengan kita. Jangan-jangan waktu Alvaro menabrak perempuan itu sebenarnya disengaja oleh janda itu ya? Biar ia bisa dekat dengan Farel. Benar-benar cara murahan!" Irma berkata dengan nyerocos sambil mengomel."Satu lagi, Pa! Apa kata orang kalau sampai Farel menikah dengan janda itu? Mau ditaruh dimana muka Mama ini?" lanjut Irma dengan suara yang cukup tegas dengan emosi."Memangnya Mama mau menaruh muka Mama dimana? Oh kalau enggak, taruh saja di rumah. Jadi kalau Mama pergi ngemall, nggak usah bawa muka, kan nggak bakal malu." Pak Dewa berkata sambil tersenyum."Pa, Mama ini ngomong serius. Kok jawabnya kayak gitu." Irma tampak kesal mendengar jawaban suaminya yang menurutnya main-main dan tidak serius."Papa juga ngomong serius! Mama jangan suka menuduh orang sembarangan. Nggak mungkin Novi sengaja menabrakkan diri ke mobil Alvaro. Lagipula kenapa me
"Jadi selama ini aku mengidolakan ayam gepreknya Novi? Pantas saja waktu itu aku bertemu dengannya disana. Kok bisa-bisanya mereka menyembunyikan semuanya dariku. Awas saja kalau mereka masih menyebut-nyebut nama Novi di depanku. Aku akan membuat perhitungan." Indah hanya bisa berkata dalam hati, ia tidak berani lagi membantah kata-kata suami dan mertuanya.Setelah pertengkaran hebat waktu itu, Ahmad memang sudah berniat untuk berpisah dengan Indah. Tentu saja Indah tidak mau, karena kalau mereka berpisah, Indah pasti terusir dari rumah yang sudah beberapa bulan ini mereka tempati.Waktu itu Indah bersujud di kaki Ahmad untuk meminta maaf. Sebenarnya Ahmad sudah tidak mau lagi hidup bersama dengan Indah. Tapi Pak Harno dan Bu Wulan membujuk Ahmad, supaya memberinya kesempatan lagi. Akhirnya Ahmad pun mau memberinya kesempatan karena ia memikirkan nasib Salsa."Kenapa mesti nama Novi muncul lagi di dalam rumah tanggaku? Aku sudah sangat muak mendengar nama Novi. Tapi apa dayaku?" Indah
"Papa! Kok nggak bilang kalau mau kesini," kata Farel ketika melihat pintu ruangannya dibuka oleh sosok yang sudah beberapa hari tidak bertemu dengannya."Mau kasih kejutan," sahut Pak Dewa sambil berjalan mendekati Farel yang juga menghampiri papanya. Mereka pun berpelukan hangat."Maaf, Pa, Farel belum sempat menjenguk Papa," kata Farel sambil melonggarkan pelukannya. Pak Dewa mengangguk dan tersenyum. Farel pun mempersilahkan papanya untuk duduk di sofa yang ada."Bagaimana usahamu?" tanya Pak Dewa sambil melihat sekeliling ruangan Farel."Alhamdulillah, Pa. Ada proyek yang dikerjakan.""Syukurlah, Papa bahagia mendengarnya.""Bagaimana kabar Mama? Sehat kan?" Gantian Farel yang menanyakan kabar mamanya. Bagaimanapun juga, Farel sangat menyayangi mamanya. Hanya saja ia tidak menyukai rencana yang menjodohkannya dengan Nada."Alhamdulillah, Mama sehat. Tapi ya gitu deh, suka uring-uringan. Kalau bertemu dengan Alvaro selalu berdebat. Papa jadi pusing sendiri mendengar mereka selalu
"Tunggu saja, Minggu depan aku akan bertunangan dengan Farel. Jadi kubur impianmu untuk mendapatkan Farel," lanjut Nada."Semua itu nggak ada urusannya denganku. Kamu mau bertunangan dengan Farel atau menikah dengan Farel, tidak berpengaruh apa-apa denganku. Sekarang, silahkan kamu keluar dari sini, aku tidak mau berurusan denganmu." Novi berkata dengan tegas, ia sengaja mengusir Nada karena sudah muak dengan semua ucapan Nada."Nggak perlu kamu usir, aku juga akan pergi dari sini. Lama-lama disini membuatku terkontaminasi virus miskin kamu.""Haha, nggak ada yang menyuruhmu datang kesini." Novi tertawa walaupun hatinya menangis. Ia merasa sangat terhina dengan semua ucapan Nada."Ternyata jadi orang miskin itu tidak enak, selalu menjadi bahan ejekan orang lain," kata Novi dalam hati.Nada yang mendengar tawa mengejek dari Novi menjadi sangat kesal. Ia pun mendekati Novi dengan tangan diangkat keatas seperti mau menampar. Novi yang dari tadi bersikap waspada, segera mengelak. Nada ya
"Maaf Mbak, warungnya belum buka," kata Yanti pada seorang perempuan yang masuk ke warung geprek. Yanti sedang membersihkan warung ketika perempuan itu datang."Aku kesini bukan untuk membeli ayam geprek murahan. Aku mau ketemu dengan perempuan murahan itu," bentak perempuan yang terlihat dalam kondisi marah. Perempuan itu menatap tajam pada Yanti, Yanti berusaha bersikap tenang."Siapa yang Mbak maksud?" "Sudahlah, nggak usah basa-basi. Panggilkan pemilik warung ini," teriak perempuan itu.Novi yang sedang membuat sambal geprek kaget mendengar suara ribut di warungnya."Siapa sih yang datang sambil marah-marah? Pagi-pagi sudah bikin masalah di tempat orang," kata Novi dalam hati. Ia pun segera mencuci tangannya, dan kemudian berjalan menuju ke depan.Novi kaget ketika melihat siapa yang datang, apalagi perempuan itu langsung berteriak padanya."Hei kamu, aku dari tadi mencarimu. Tapi pembantumu ini menghalangiku," teriak seorang perempuan, yang ternyata adalah Nada.Novi menjadi san
"Tadi Mbak Novi kan mau membelikan es krim untuk anak-anak. Tapi sepertinya tidak jadi, makanya saya kesini membawa es krim untuk anak-anak.""Oh, memang saya sengaja. Biar cepat keluar dari minimarket itu. Maaf ya Mas, kalau gara-gara saya, Mas Farel sampai ribut dengan tunangan Mas Farel. Sekali lagi saya mohon maaf. Nanti jika diperlukan saya bisa mengklarifikasi pada tunangan Mas Farel." Novi berkata dengan perlahan. Entah kenapa sepertinya ia tidak rela kalau Farel bertunangan dengan perempuan tadi."Mbak Novi nggak perlu klarifikasi ke Nada. Ia memang suka kayak gitu, bertindak arogan dan sedikit bar-bar.""Yang sabar ya, Mas. Nanti kalau kalian sudah menikah, saya yakin Mas Farel dan istri akan saling melepaskan ego masing-masing. Karena setelah menikah itu bukan lagi aku atau kamu, tapi sudah menjadi kita." Novi menjelaskan pada Farel."Mbak Novi, Nada itu bukan tunangan saya. Memang Mama saya dan mamanya Nada mau menjodohkan kami. Tapi saya tidak mau, karena Nada bukan tipe p
"Oh, jadi perempuan ini ya yang membuatmu sekarang menghindariku? Padahal sebentar lagi kita akan bertunangan," kata Nada yang tiba-tiba muncul dihadapan Farel dan Novi. Nada tadi masuk ke minimarket untuk mencari sesuatu, malah bertemu dengan Farel. Nada pun mengamati Novi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Novi menjadi sangat risih, ia pun merasa kikuk sendiri."Sepertinya kita pernah bertemu ya? Tapi dimana?" kata Nada sambil mencoba untuk mengingat-ingat Novi. Novi hanya terdiam mendengar kata-kata Nada."Nada, semua ini nggak ada urusannya denganmu," kata Farel sambil mencoba mengajak Novi pergi."Oh, aku ingat. Kamu itu yang dulu pergi bersama dua orang anak waktu bertemu di mall. Ternyata begini Kelakuanmu. Kamu itu sudah bersuami, kok malah menggoda laki-laki. Dia itu calon tunanganku, paham kamu! Kalau masih menggodanya, nanti aku laporkan sama suamimu." Nada menjadi sangat emosi, ia semakin menatap tajam pada Novi."Sudahlah, Nada. Nggak usah mencari masalah. Ayo Nov kita
"Aku bisa berubah, kok. Apapun yang kamu mau, pasti aku lakukan," kata Nada dengan suara yang mulai melunak dan tentu saja terdengar manja. Ia berharap Farel akan luluh melihat sikapnya."O ya? Aku tidak yakin. Sekarang kamu ngomong kayak gini, terus nantinya kamu pasti akan berubah lagi. Nada, aku nggak mau kamu berubah demi aku. Tapi kamu kalau mau berubah itu memang dari dalam lubuk hatimu sendiri. Karena kemauanmu sendiri, bukan karena aku.""Ini orang ribet banget. Banyak sekali aturan," gumam Nada dalam hati. Ia sudah jenuh mendengar kata-kata dari Farel yang sok bijaksana.Farel menatap Nada, tapi Nada melirik ke arah lain."O ya, Farel, kata Tante Irma kamu keluar dari rumah orang tuamu? Kenapa?" tanya Nada mengalihkan topik pembicaraan. "Aku ingin mandiri. Sanggupkah kamu kalau menikah denganku nanti, kita mulai semuanya dari nol. Kita mengontrak dulu, sambil menabung untuk membangun rumah." Farel berkata seperti itu untuk melihat reaksi Nada."Kamu kan bisa minta rumah sama