Bedengan ini kayaknya cocok untuk tempat tinggal kamu," kata Ahmad pada Indah. Mereka sedang melihat-lihat kontrakan untuk tempat tinggal Indah. Sebelum waktu istirahat tadi Ahmad sudah pergi dari toko. Tanpa berpamitan pada bapaknya atau teman yang lain.Indah tampaknya kurang menyukai kontrakan yang dimaksud Ahmad ini. Bedeng yang mereka lihat terdiri dari tiga ruangan. Ruang tamu, kamar dan dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Tidak ada pilihan lain karena memang segitu kemampuan keuangan Ahmad. Ada sekitar delapan bedengan disini."Kecil sekali, Mas," keluh Indah. "Namanya juga bedengan, tentu saja kecil. Kalau mau besar ya rumah," kata Ahmad dalam hati. Ia tidak berani mau berkata seperti itu, nanti Indah akan semakin merajuk."Nanti kalau kita sudah menikah, kita cari kontrakan yang satu rumah. Sekarang yang sederhana dulu," kata Ahmad dengan hati-hati untuk meyakinkan Indah supaya setuju tinggal disini."Bukannya kalau menikah nanti kita tinggal sama Bapak dan Ibu?" tan
Halo!" kata Ahmad dengan keras."Halo, Mas dimana?" tanya Indah."Lagi nganter barang, kenapa?""Nanti pulang dari toko kesini nggak?" tanya Indah."Belum tahu, lihat situasi dulu. Memangnya kenapa?""Aku jenuh, Mas, disini sendirian. Nanti malam menginap disini ya?" kata Indah."Nggak bisa! Aku kalau malam pulang ke rumah," kata Ahmad."Sebenarnya aku ini pacaran dengan duda atau anak mami sih? Mau pergi keluar saja takut dengan orang tua. Umur Mas tuh sudah berapa? Nggak perlu lah apa-apa harus dengan persetujuan orang tua," kata Indah dengan kesal."Sayang, aku kan tinggal dengan orang tua, ya harus nurut dengan orang tua. Kalau nggak nurut, nanti aku bisa diusir." Ahmad berkata dengan kesal. Panggilan langsung dimatikan sepihak oleh Indah, ia juga tampak kesal."Huh! Nggak pengertian banget sih," gerutu Ahmad."Dasar laki-laki buaya, baru bercerai dengan istrinya, sekarang sudah sayang-sayangan dengan orang lain. Pantas saja kalau Mbak Novi meminta cerai. Memang kelakuan Ahmad ini
"O, iya. Ada apa ya?" tanya Vera berusaha menguasai keadaan dirinya sendiri."Begini, Mbak Vera yang saya hormati. Saya ingin berbicara sebagai sesama perempuan. Pasti Mbak Vera tahu maksud saya. Saya sudah lama mendengar selentingan hubungan antara Mbak Vera dengan suami saya. Awalnya saya tidak mempercayainya. Saya benar-benar percaya dengan suami saya. Tapi ternyata kepercayaan saya dikhianati. Saya tidak menyalahkan Mbak Vera sepenuhnya, karena Mas Richard yang punya andil besar dalam hal ini. Sebenarnya apa sih yang Mbak cari sampai mau berhubungan dengan Mas Richard? Padahal Mas Richard sudah beristri. Apakah suami Mbak Vera tidak mampu membuat Mbak bahagia? Sehingga Mbak butuh pelampiasan? Ataukah Mbak hanya mencari sensasi, ingin merasakan bagaimana sensasinya berselingkuh dengan suami orang?" Shifa berkata panjang lebar."Saya nggak ada hubungan dengan Richard," kilah Vera."Sudahlah Mbak, nggak usah mengelak. Saya punya banyak bukti. Apa perlu bukti itu saya berikan pada sua
Akhirnya Ahmad pun pulang, Indah tetap terdiam. Setelah mengunci pintu, ia pun merebahkan diri di kasur yang ada. Dipandanginya langit-langit kamarnya, pikirannya menerawang jauh. Indah pergi dari rumah orang tuanya, pamitnya ia mau merantau di kota. Tentu saja ia tidak bilang kalau mau mencari Ahmad. Dari kemarin Indah merasa tidak enak badan, ia juga tidak ingat kapan terakhir menstruasi. Karena itu, tadi pagi ia sengaja ke apotek untuk membeli tespek. Pulang dari apotek, ia segera melakukan tes dan hasilnya positif. Ia senang melihat garis dua di tespek itu. Ia sudah membayangkan hal-hal yang indah tentang masa depannya bersama Ahmad. Ternyata kenyataan tak seindah harapan. Ahmad bukannya senang dan antusias, malah menyalahkan Indah. Itulah yang membuat Indah sangat kesal.Sementara di tempat lain, Vera tampak tidak bisa tidur. Ia masih teringat akan kedatangan Shifa. "Apa benar kata Shifa tadi ya, kalau Richard membohongiku dengan berkata kalau pernikahan Richard tidak bahagia.
Pagi ini Novi pergi ke pasar bersama dengan Septi. Novi ingin memasak rendang, karena itu ia ke pasar untuk membeli daging. Sebenarnya Novi malas ke pasar, karena ia suka bingung mau membeli apa. Ia lebih senang berbelanja di tukang sayur keliling. Tapi karena Septi yang mengajak atau lebih tepatnya memaksa, akhirnya Novi pun ikut pergi ke pasar.Ketika sedang membeli daging, Novi mendengar orang berbisik-bisik."Nggak punya malu ya? Hamil tanpa suami tapi cuek saja. Malah keluyuran ke pasar. Apa ia sengaja memamerkan kehamilannya ya?""Jadi nggak ada yang mau bertanggung jawab ya?""Mana ada laki-laki mau bertanggung jawab, kalau perempuan itu main dengan banyak laki-laki.""Katanya setelah bayi lahir mau tes DNA.""Terus yang membiayai tes DNA siapa? Tes DNA itu mahal.""Siapa sih yang dibicarakan," kata Novi dalam hati."Bang, dagingnya setengah kilo ya?" kata seseorang yang berada di sebelah Novi. Novi menoleh."Ngapain lihat-lihat!" bentak orang itu, yang ternyata adalah Weni. Or
"Kamu bisa nggak berpikir positif? Kenapa kamu malah menyalahkan Novi? Tadi Bapak menemui Dina, Novi sedang pergi ke pasar. Jadi Dina bercerita sesuai kemauannya sendiri. Baru kemudian Novi pulang. Tahu kamu, apa yang dikatakan Dina? Katanya ayahnya sudah melupakan Dina, ketemu di minimarket, disapa tidak mau membalas. Bapak yang mendengarkan itu sangat sedih dan kecewa. Kalau kamu membenci Novi, itu hakmu. Tapi Dina itu kan anakmu, darah dagingmu. Kamu kok tega sekali sih? Kalau suatu saat, Dina sukses, bisa-bisa ia tidak akan mau mengakuimu sebagai ayah." Pak Harno berkata dengan kesal.Ahmad hanya diam saja. Pikirannya sekarang memang sedang kacau, memikirkan kehamilan Indah."Kamu sudah menikah dengan Indah?" tanya Pak Harno.Dhuar! Serasa petir menyambar tubuhnya, jantungnya berdetak dengan kencang. Pak Harno mengamati perubahan ekspresi wajah Ahmad.Ahmad menggelengkan kepala."Kok Indah bisa sampai disini lagi? Apa kamu menghubunginya dan memintanya kesini?" tanya Pak Harno."I
Ponselnya berdering, sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal.[Temui aku disini, hotel Kemuning, kalau mau melihat kelakuan istrimu.] Alif sangat kaget membaca pesan itu. "Siapa sih ini? Mungkin orang salah kirim pesan," kata Alif dalam hati.Kemudian ada pesan masuk lagi, berupa foto Vera dan Richard sedang bergandengan tangan.[Kamu siapa? Jangan main-main denganku ya?] Balas Alif dengan segera.Kemudian dua pesan langsung masuk ke ponsel Alif.[Benar kan kalau itu istrimu?][Kamu Alif kan? Istrimu bernama Vera yang selingkuh dengan Richard? Richard itu suamiku.] Belum sempat Alif membalas, sudah masuk pesan lagi. Kemudian ada foto Richard dan Vera yang sedang berpelukan dengan mesra.Alif tampak sangat geram melihat foto itu. Emosinya sudah ada di ubun-ubun. Ia ingin menelpon Vera, tapi masih ia tahan. Klunting…kluntingAda pesan lagi, dua buah foto Vera setengah bugil dan yang satunya hanya memakai pakaian dalam.[Segera kesini, kalau ingin menangkap basah istrimu.]A
Tindakan Alif memang patut diacungi jempol. Walaupun ia dalam keadaan marah dan emosi, tapi ia masih menjaga martabat istrinya, supaya tidak semakin malu terlihat auratnya. Semua menatap Vera dan Alif."Lihatlah, Mas. Pak Alif berusaha menutup aurat istrinya yang tadi sudah kamu jelajahi. Memalukan sekali perbuatanmu itu, Mas? Apa lagi alasanmu sekarang? Kamu mau berkata kalau aku terlalu cemburu dan mengada-ada lagi? Ngapain kalian berdua di dalam kamar kalau tidak berzina. Apakah hanya mengobrol saja? Kok sampai buka-buka pakaian segala?" kata Shifa panjang lebar. "Bukan urusanmu," sahut Richard."O ya? Kalau bukan urusanku, berarti itu urusannya Pak Alif. Karena kamu bersama dengan istrinya." Shifa tampak mengejek Richard.Tak lama kemudian, Vera sudah keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang lengkap."Kamu sudah siap keluar dari rumah, Shifa? Karena saat ini juga aku akan menceraikanmu," tantang Richard."Aku nggak takut dengan ancamanmu. Aku pun siap untuk keluar dari rumah i
Novi hanya menatap mereka yang sibuk mencari permainan lain. Hatinya masih terasa sakit dengan sikap Irma. Novi memang sudah biasa dihina dan direndahkan orang, tapi yang dilakukan Irma tadi benar-benar menyakiti hatinya karena dilakukan di depan anak-anaknya. Walaupun sebenarnya Dina dan Haikal belum paham dengan apa yang terjadi, tetap saja Novi merasa dipermalukan.Novi menunduk sambil menghapus air mata yang mulai menetes. Kejadian ini tidak luput dari perhatian Farel. Walaupun ia sedang mendampingi Haikal dan Dina bermain, tapi pandangan matanya tidak lepas dari sosok yang dicintainya itu."Maafkan aku, Novi. Aku janji tidak akan membuatmu menangis lagi," kata Farel dalam hati.Sementara itu, di mobil Pak Dewa sedang terjadi perdebatan. Tentu saja perdebatan antara Pak Dewa dan Irma."Mama nggak boleh bersikap seperti itu? Kayak orang nggak berpendidikan." Pak Dewa mengomel."Enak saja Papa bilang seperti itu! Yang Mama lakukan tadi benar. Mama kecewa dengan Farel! Farel pasti di
"Pacaran kok di tempat umum. Atau memang sengaja mau membuat pengumuman?" ledek Alvaro yang masih saja tampak cengengesan. Orang yang berdehem tadi memang Alvaro."Kami nggak pacaran, Al. Tapi sedang membicarakan tentang pernikahan" kata Farel."Alhamdulillah. Akhirnya ada kabar bahagia juga. Kapan rencananya?" tanya Alvaro."Insyaallah akhir bulan ini atau awal bulan depan."Novi kaget mendengar ucapan Farel, berarti hanya tiga Minggu lagi. Sedangkan ia belum tahu apapun tentang rencana itu."Eh, bukan seperti itu. Mas Farel ini bercanda," kilah Novi."Tapi aku lebih percaya ucapan Mas Farel, Mbak. Karena Papa sudah bilang sama aku," sahut Alvaro."Papa? Memang Papa bilang apa?" tanya Farel penasaran."Ada deh! Intinya kata Papa sebentar lagi Mas Farel mau menikah dengan Mbak Novi." Alvaro berkata penuh kemenangan karena berhasil membuat Farel dan Novi penasaran."Memang Mas Farel cerita apa dengan Pak Dewa?" tanya Novi penuh selidik."Bukan Pak Dewa, tapi Papa. Kamu harus terbiasa m
"Sudah siap? Ayo berangkat," kata seseorang yang membuat Novi berdebar-debar tidak karuan.Seseorang itu yang beberapa hari ini selalu ada dalam pikirannya. Ia masuk ke dalam rumah bersama dengan Pak Budi. Ia tampak gagah dengan pakaian casualnya yang terlihat sangat sederhana. Pak Budi tampak tersenyum. "Maaf, Mas. Aku dan anak-anak mau pergi," kata Novi."Iya, aku tahu. Makanya aku ngajak berangkat sekarang." Farel menjawab dengan tersenyum."Mbah Kung, ayo ikut," ajak Haikal."Mbah Kung dirumah sama Mbah Uti, nungguin warung. Kasihan kalau Bulek Yanti sendirian yang nungguin," kata Pak Budi."Tapi…." Belum selesai Novi berbicara sudah dipotong sama Pak Budi. "Buruan berangkat, kasihan Haikal sudah tidak sabar. Nak Farel, titip Novi dan anak-anaknya ya? Tolong jagain mereka di mall nanti," kata Pak Budi pada Farel."Siap, Pak. Saya akan menjaga mereka dengan sepenuh hati." Farel mantap sekali menjawabnya."Kami pergi dulu, Pak, Bu," pamit Farel.Pak Budi dan Bu Murni mengangguk. F
"Nggak usah ngegombal Mas. Aku bukan ABG yang mudah termakan rayuan. Perlu Mas ingat kalau aku ini seorang janda.""Bukan merayu, aku serius. Apa salahnya dengan status janda. Aku punya niat baik. Ingin membangun rumah tangga bersamamu dan mendampingi anak-anak sampai mereka sukses.""Mas, ingat, aku ini seorang janda dan punya anak dua. Seperti kata Nada, aku harus sadar diri. Apakah Mas sudah paham bagaimana resikonya menikahi seorang janda?" tanya Novi."Aku sudah sangat paham. Mengenai Nada, nggak usah kamu pikirkan. Sudah aku katakan kalau aku tidak punya hubungan spesial dengan Nada.""Assalamualaikum." Terdengar suara Dina mengucapkan salam. Farel dan Novi pun menoleh ke arah Dina."Waalaikumsalam Dina. Sudah pulang sekolah ya?" tanya Farel."Iya, Om." Dina mendekati Farel yang bersalaman dengan Farel."Dina mau ke kamar ya, Om." Dina berpamitan dengan Farel.Farel mengangguk, Dina pun melangkah keluar dari ruang tamu untuk menuju ke kamar."Tolong pikirkan semua ucapanku tadi.
"Berarti Mas Alif sudah bercerai dengan Mbak Vera ya?" Novi hanya berkata dalam hati. Ia tidak berani bertanya langsung pada Alif, nanti dikira tidak tahu informasi ini. Padahal memang Novi tidak tahu sama sekali. Kakek dan neneknya Haikal juga tidak pernah bercerita dengan Novi. Sejak kejadian Vera yang mengalami kecelakaan itu, Novi memang belum pernah bertemu dengan Vera. Beberapa kali ia bertemu dengan Alif, Alif tidak pernah bercerita dengannya. Mungkin Alif malu mau menceritakan masalah rumah tangga dengan Novi, karena Novi sendiri juga punya masalah."Selamat ya Mas! Semoga selalu bahagia." Farel mengucapkan selamat pada Alif."Terima kasih, semoga kalian berdua juga segera menyusul," sahut Alif."Amin! Semoga disegerakan." Ucapan Farel membuat Novi menjadi semakin bingung."Mimpi apa aku semalam, kok hari ini banyak sekali kejutan yang aku alami," kata Novi dalam hati."Tuh Nov, nggak usah lama-lama. Haikal juga sudah akrab dengan Mas Farel." Alif menimpali. Farel tersenyum.
"Mas Alif sudah kenal dengan Mas Farel ya?" tanya Novi ketika melihat Alif dan Farel saling bertegur sapa."Mas Farel ini pelanggan tetap di toko Bapak. Tentu saja aku kenal dengannya. Seorang kontraktor muda, mapan dan sukses. Hanya saja kok aku belum dapat kabar bahagia dari Mas Farel ya?" Alif berusaha menggoda Farel. Farel malah bingung sendiri."Maksudnya Mas?" tanya Farel."Nggak tahu atau pura-pura nggak tahu nih.""Beneran nggak tahu, Mas," sahut Farel."Maksudnya, ditunggu undangannya, Mas. Kira-kira kapan mau menikah, jangan terlalu pilih-pilih, yang penting akhlaknya bagus. Cantik itu relatif. Buat apa cantik kalau malah nggak bisa ngurus keluarga, sibuk dengan segala arisan.""Wah ada yang curhat nih," ledek Farel."Pernah mengalami, hehe." Alif berkata sambil tertawa. Farel pun ikut tertawa. Novi hanya mendengarkan saja obrolan dua lelaki itu. "Masalah jodoh, sedang diusahakan, Mas. Doakan saja biar disegerakan." Farel menjawab pertanyaan dari Alif tadi."Tapi harus dike
"Bingung mau menjawabnya, Mas. Kalau aku bilang tidak, eh tahu-tahu besok jodohku datang. Mau bilang iya tapi kok seperti sudah kebelet nikah, hihi. Yang jelas, aku mengikuti air yang mengalir saja. Kalau memang masih ada jodoh, ya akan aku jalani." Novi menjawab dengan diplomatis. Alif tersenyum mendengar jawaban Novi yang terkesan malu-malu."Kamu masih muda, hidupmu masih panjang. Kamu butuh pendamping untuk menemanimu membesarkan anak-anak, walaupun ada ayahnya. Setidaknya ada teman untuk berkeluh kesah." Alif berkata sambil memperhatikan Haikal yang asyik memainkan mainannya. Jantung Novi dari tadi terus bergemuruh, ia menjadi malu dan tersipu mendengar kata-kata Alif. "Kalau kamu mau mencari pendamping hidup, carilah yang mau menerima anak-anak. Terserah mau duda atau single. Jangan marah atau tersinggung kalau aku berkata seperti ini, aku sudah menganggapmu sebagai adik sendiri. Walaupun hubungan pernikahanmu dengan Ahmad sudah berakhir, tapi hubungan persaudaraan kita tidak
"Tapi dia itu seorang janda, kok kayak Farel sudah nggak laku aja. Dia kan bisa mencari perempuan lain, yang masih gadis dan sepadan dengan kita. Jangan-jangan waktu Alvaro menabrak perempuan itu sebenarnya disengaja oleh janda itu ya? Biar ia bisa dekat dengan Farel. Benar-benar cara murahan!" Irma berkata dengan nyerocos sambil mengomel."Satu lagi, Pa! Apa kata orang kalau sampai Farel menikah dengan janda itu? Mau ditaruh dimana muka Mama ini?" lanjut Irma dengan suara yang cukup tegas dengan emosi."Memangnya Mama mau menaruh muka Mama dimana? Oh kalau enggak, taruh saja di rumah. Jadi kalau Mama pergi ngemall, nggak usah bawa muka, kan nggak bakal malu." Pak Dewa berkata sambil tersenyum."Pa, Mama ini ngomong serius. Kok jawabnya kayak gitu." Irma tampak kesal mendengar jawaban suaminya yang menurutnya main-main dan tidak serius."Papa juga ngomong serius! Mama jangan suka menuduh orang sembarangan. Nggak mungkin Novi sengaja menabrakkan diri ke mobil Alvaro. Lagipula kenapa me
"Jadi selama ini aku mengidolakan ayam gepreknya Novi? Pantas saja waktu itu aku bertemu dengannya disana. Kok bisa-bisanya mereka menyembunyikan semuanya dariku. Awas saja kalau mereka masih menyebut-nyebut nama Novi di depanku. Aku akan membuat perhitungan." Indah hanya bisa berkata dalam hati, ia tidak berani lagi membantah kata-kata suami dan mertuanya.Setelah pertengkaran hebat waktu itu, Ahmad memang sudah berniat untuk berpisah dengan Indah. Tentu saja Indah tidak mau, karena kalau mereka berpisah, Indah pasti terusir dari rumah yang sudah beberapa bulan ini mereka tempati.Waktu itu Indah bersujud di kaki Ahmad untuk meminta maaf. Sebenarnya Ahmad sudah tidak mau lagi hidup bersama dengan Indah. Tapi Pak Harno dan Bu Wulan membujuk Ahmad, supaya memberinya kesempatan lagi. Akhirnya Ahmad pun mau memberinya kesempatan karena ia memikirkan nasib Salsa."Kenapa mesti nama Novi muncul lagi di dalam rumah tanggaku? Aku sudah sangat muak mendengar nama Novi. Tapi apa dayaku?" Indah