Sebisa mungkin Marwan bersikap tenang dihadapan Anita, agar tidak menimbulkan kecurigaan yang berlebihan. Setelah insiden yang hampir saja membuat mereka celaka, Anita dan Marwan sama-sama memilih diam sampai tiba di halaman rumah mereka. "Dek, Mas nanti sore berangkat lagi ya." ucap Marwan sebelum Anita turun dari dalam mobil, "Lho kok berangkat lagi, Mas? Baru saja sehari kamu pulang sudah kembali lagi." protes Anita, menatap Marwan dengan penuh arti. "Lagi banyak pekerjaan disana, Dek. Lagi pula sekarang aku harus lebih giat lagi bekerja untuk tabungan masa depan anak kita." jelas Marwan, "Oh begitu ya, Mas. Mas sepertinya sekarang aku kepikiran untuk ikut denganmu deh ke kota. Bagaimana kalau kita ngontrak saja disana?" ujar Anita memeberikan usulan yang sebenarnya itu keinginan dalam hatinya. "Ngaco kamu, Dek. Kalau kamu ikut ke kota, yang jaga rumah siapa? Yang merawat ibuku siapa? Kamu tahu sendiri kan, jika Mbakku tinggal bersama suaminya di kota lain." ucap Marwan dengan
"Kamu sudah menikah lagi, Mas?" tanya Anita lemas, ia mencari sandaran soffa dan langsung terduduk. "Maaf, Anita. Aku khilaf," jawab Marwan dengan suara pelan, "Khilaf kamu bilang, Mas?" tanya Anita tersenyum getir. "Aku terpaksa menikah lagi, Anita." jawab Marwan tanpa menatap Anita,"Terpaksa kamu bilang, Mas? Atas dasar apa, Mas?" teriak Anita, "Aku terpaksa menikahi, Yuni, Anita. Karena aku disana juga membutuhkan seseorang yang bisa melayani semua kebutuhan aku," ujar Marwan pelan, Mendengar penjelasan Marwan yang tidak masuk akal itu, membuat Anita terkekeh, "Melayani semua kebutuhan kamu, Mas?" tanya Anita mengulang kembali ucapan Marwan, Marwan hanya menganggukan Kepala pelan, sebagai jawabannya. "Kebutuhan yang mana yang kamu maksud, Mas? Kebutuhan lahirmu apa kebutuhan batinmu?" teriak Anita dengan suara bergetar menahan air mata, Namun Marwan hanya diam tidak menyahuti ucapan Anita, "Jawab, Mas. Kenapa kamu diam saja?" "Semua kebutuhanku, Anita. Termasuk lahir dan
Kabar tentang pernikahan Marwan sudah diketahui banyak orang, bahkan banyak juga emak-emak yang berbondong-bondong menyerbu akun media milik Yunita Indrisantika, yaitu istri keduanya Marwan. Berbagai upatan, Kata-kata kasar terlontar pada halaman media Yuni, membuat Yuni marah dan frustasi karena ulah Anita. "Pokoknya, Mama mau Papa ceraikan wanita itu, sekarang juga!" ucap Yuni pada Marwan diujung telpon. "Bagaimana bisa, Papa menceraikan dia dalam keadaan hamil, Ma?" tanya Marwan yang ikut kesal dengan tindakan Anita yang menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang suami. Kini banyak teman-teman Marwan yang menanyakan kebenaran berita itu, "Awas saja kalau kamu tetap memilih wanita itu dibanding aku, setelah kamu membuatku malu." ancam Yuni lagi, "Iya, Sayang. Kamu tenang saja aku tidak mungkin mempertahankan istri yang sudah menjatuhkan nama baik suaminya." jawab Marwan, berkata selembut mungkin agar hati Yuni melunak, "Sekarang aku harus memikirkan bagaimana caranya agar orang
Sehari setelah Anita melahirkan, dirinya diperbolehkan pulang oleh dokter. Namun satu hal yang membuat, Anita tidak habis pikir, yaitu kenapa Marwan tak kunjung datang? Apa dia sudah melupakan dirinya juga anak yang dikandung Anita? "Assalamu'alaikum, Mbah, kami pulang." Anita mengucapkan salam ketika tiba di rumah mertuanya. Anita memang sengaja datang terlebih dahulu ke rumah mertuanya, untuk mempertemukan anak yang baru saja ia lahirkan dengan neneknya. "Waalaikumsalam, Nita, kamu sudah pulang, Nak?" tanya bu Ida dengan linangan air mata, "Ibu, kenapa Ibu menangis?" tanya Anita cemas, dirinya ingin memeluk bu Ida, namun tidak bisa karena sedang menggendong baby-nya. "Apa, Marwan tidak pulang, Nak?" tanya bu Ida semakin sedih, ia merasa amat sangat bersalah pada, Anita. Anita mencoba menenangkan mertuanya, "Bu, Nita tidak apa-apa, Nita baik-baik saja. Anak yang Nita lahirkan juga Allhamdulilah selamat. Dia cantik sekali kan, Bu?" ujar Nita mengalihkannya kesedihan bu Ida. "Bo
Anita memilih meninggalkan Marwan sendiri di meja makan, ia segera bersiap untuk tidur di samping mertua-nya. Anita memeluk tubuh, yang sudah berkeriput dihadapannya. "Andai, Ibu tahu. Jika Nita sangat sayang sama, Ibu. Sampai kapan pun, Nita tidak rela kehilangan, Ibu. Sekali pun, Nita harus berpisah dengan, Mas Marwan." lirih Anita, dengan isak tangis dibelakang tubuh mertuanya. Sebisa mungkin bu Ida bersikap tenang, dirinya bukan tidak mendengar apa yang Anita sampaikan. Hanya saja bu Ida tidak ingin merusak momen Anita yang sedang menumpahkan seluruh isi dalam hatinya. 'Andai kamu tahu, jika Ibu juga lebih meyayangi kamu, melebihi anak Ibu sendiri.' gumam bu Ida dalam hati, ia menahan diri untuk tidak menangis yang akan membuat tubuhnya terguncang. 'Ibu rela mati, agar kamu bisa bebas dari cengkraman anak Ibu, yang sangat egois itu, Nak.' lirih bu Ida lagi, air mata semakin deras mengalir di pipinya yang sudah keriput. Namun setelah sekian lama, bu Ida tidak mendengar isak ta
"Ibu!" jerit Anita, ia berlari kearah bu Ida. "Ibu kenapa, Bu?" tanya Anita yang langsung memeluk tubuh lemah sang ibu mertua. "Ibu, ayo bangun, Bu. Jangan membuat Anita cemas."Tangisan Anita semakin pecah, tatkala dirinya merasakan darah segar yang terus mengalir dalam mulut bu Ida. "Ibu, Ibu bertahan sebentar saja ya, sebentar lagi kita akan segera membawa Ibu ke rumah sakit." Anita masih mengajak bu Ida berkomunikasi. Warga langsung menyiapkan kendaraan, untuk membawa bu Ida ke rumah sakit. Sayangnya belum sempat tubuh itu diangkat, sudah terdengar dengkuran kasar yang bu Ida hembuskan. "Ibu! Ibu, kenapa?" tanya Anita semakin panik. "Bapak-bapak, ayo bantu saya mengangkat tubuh Ibu saja." ucap Anita pada warga yang ada di sekitar sana. Seorang ustadz mendekati tubuh bu Ida, "Inalillahi wainnailaihi rojiun." ucap seorang ustadz yang mengecek nadi dan jantung bu Ida. "Maksud pak Ustadz apa, bicara seperti itu?" tanya Anita dengan linangan air mata. "Mohon maaf, Anita, mertua
Terjadi keributan antara ke tiga saudara itu, Hilman dan Marwan kekeh dengan pendiriannya yang tidak mau memberi hasil pada Anita dengan alasan Anita itu menantu. Sedangkan Sella dengan kekeh ingin memberikan Anita hasil itu, karena Anita lah yang selama ini merawat ibunya. "Kalian semua egois! Coba kalian pikirkan bagaimana nasib Ibu selama enam tahun ini, jika tak ada Anita yang merawatnya? teriak Sella dengan murka. Anita meraih tangan Sella, berusaha menenangkan kakak iparnya itu. "Mbak sudah, Mbak, aku tidak apa-apa." ujar Anita menenangkan Sella. "Kamu dengar sendiri kan, Mbak. Jika Anita saja tidak masalah, kenapa Mbak yang ribet sih? Lagi pula sudah kewajiban Anita mengurus Ibu, karena dia itu istriku." ucap Marwan, memojokkan Sella. "Hanya karena dia istrimu? Kamu bisa berbuat semena-mena pada, Anita begitu? Coba sekarang kita tukar posisi, bagaimana jika, Mbak Hanum, istrimu, Mas Hilman yang merawat Ibu. Mau apa tidak?" tunjuk Sella pada istrinya Hilman. "Aku?" ucap Han
Pov Anita. Mbak Sella menarik tanganku pergi dari rumahku sendiri, menuju ke rumah Ibu. "Kita harus segera mencari sertifikat rumah itu, Dek. Mbak enggak rela jika sertifikat itu jatuh ke tangan mereka." ucap mbak Sella buru-buru menuntun langkahku menuju kamar Ibu. "Kamu cari di lemari ini, Mbak di lemari sana ya." ucap mbak Sella lagi, sedangkan aku masih bingung dengan semua ini, hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. Kami berdua sibuk mencari sertifikat itu, semua barang-barang Ibu sudah kami keluarkan namun sama sekali tidak membuahkan hasil. "Bagaimana ini, Dek?" panik mhak Sella. "Aku juga bingung, Mbak!" jawabku lemas karena aku sama sekali belum sarapan. Ditambah lagi aku merasakan sakit di area produk asiku, mungkin anakku tengah kelaparan ingin meminum asi. "Kamu belum makan bukan? Mukamu pucat sekali?" tanya mbak Sella meraba pipiku. "Mbak!" teriakku karena mengingat sesuatu, yang beberapa bulan yang lalu aku titipkan pada Ibu, dan Ibu menyimpannya di lemari ya