"Allahuakbar ...," ucap suamiku dengan tangan gemetar setelah melihat garis dua di testpack yang aku pegang. Jika biasanya orang tua akan sangat bahagia ketika mengetahui putrinya mengandung, tapi tidak denganku dan Kang Surya. Dunia yang aku pijak seakan berhenti berputar, langit pun terasa runtuh dan menghimpit tubuh ini hingga sesak terasa nyata di dalam dada. Bagaimana aku akan bahagia, bagaimana kami akan gembira dengan kabar kehamilan Neng Rahma, jika anak itu tidak memiliki suami. Jangankan aku, atau ayahnya, dia sendiri pun tidak tahu siapa anak yang tumbuh di perutnya saat ini. "Gimana ini, Kang?" tanyaku, seraya terduduk dan memeluk tubuh Neng Rahma. Kang Surya melepaskan Saga. Dia menyugar rambutnya kasar, dan akhirnya terduduk juga dengan punggung bersandar pada tembok. Mata merah suamiku menatap putrinya yang menangis tersedu di pelukanku. Tidak ada kata dari bibir Kang Surya, yang pada akhirnya kami pun menangis bersama. Ini bukan tangisan bahagia, tapi bingung y
"Kang!"Aku menyebut suamiku yang barusan mengambil pisau dari tanganku. "Kamu mau menyakiti Neng Rahma?" "Tidak, Kang. Sama sekali tidak. Barusan aku—""Bukan Ibu yang mau menyakiti aku, Pak, tapi akulah yang ingin mengakhiri hidup," ujar Neng Rahma, memotong ucapanku. Tatapan tajam Kang Surya kini beralih pada putrinya. Kening suamiku mengkerut, lalu bertanya dengan nada yang pelan. "Kamu mau bunuh diri? Apa dengan bunuh diri semua masalah selesai, Rahma? Apa kamu pikir Tuhan akan langsung melempar kamu ke dalam surga setelah kamu mati?""Aku lebih baik mati daripada malu, Pak! Aku juga tidak mau membuat kalian tambah malu dengan membesarnya perutku!" Plak!"Akang!" Aku menjerit melihat tangan suamiku melayang dan mendarat di pipi bagian kiri Neng Rahma. Anak itu terhuyung. Dia terduduk di lantai setelah ditampar ayahnya. "Akang! Kenapa kamu menyakiti Neng Rahma?!" tanyaku, kemudian dengan cepat merangkul tubuh anak itu yang bergetar akibat menangis. "Biar dia sadar, Syah!
"Yadi.""Hah?" Aku tercengang mendengar satu nama yang disebut Kang Surya. "Iya, ternyata selama ini si Yadi menyukai Neng Rahma. Aku pun awalnya tidak percaya, tapi ... tadi anak itu mengatakannya langsung tentang perasaan dia, dan kesediaannya untuk menikahi Neng Rahma."Mendengar ada laki-laki yang mau menikah dengan Neng Rahma, membuat sebagian hatiku merasa senang. Apalagi, pria yang dibicarakan Kang Surya memanglah baik orangnya. Yadi pemuda yang giat bekerja, dia juga tidak neko-neko dan pastinya bertanggung jawab. Akan tetapi ... aku tidak yakin jika Neng Rahma mau. Apalagi setelah pembahasan aku dan dia. Pastilah anak itu akan memilih melanjutkan hidup sebagai wanita tanpa suami, daripada menjadi seorang istri. "Sebaiknya jangan bicarakan ini dulu, Kang. Kita fokuskan diri saja pada kehamilan Neng Rahma. Dia harus mendapatkan perhatian lebih banyak dari kita. Kalau tidak, akibatnya akan membahayakan dirinya, juga jabang bayi di dalam kandungan dia," ujarku kemudian. "Iya
"Kalau Teh Dela tidak mulai duluan, aku juga tidak akan melawan, Kang. Aku capek, direndahkan terus sama dia." Kang Surya menghela napas panjang saat aku menjawab pertanyaannya mengenai perkelahianku dengan tetangga menyebalkan itu. Kejadian tadi pagi, sudah tersebar ke seluruh kampung, hingga Kang Surya yang berada di pelabuhan pun tahu jika istrinya ini bertengkar dengan Teh Dela. "Orang kayak Teh Dela memang sesekali harus dilawan. Biar dia paham, kita diam bukan karena tidak berani, tapi menghargai dia sebagai tetangga. Kalau terus menerus direndahkan, diremehkan, ya aku capek juga, Kang. Aku juga punya keinginan untuk membela diri," ujarku lagi tanpa melihat pada Kang Surya. Tangan ini melipat pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran. Seraya bicara, aku tetep bekerja, meskipun hasilnya agak berantakan karena masih menahan kesal. "Yasudah, sekarang Akang mandi dulu lah. Bau ikan." Kang Surya menyudahi percakapan. Suamiku itu memang baru saja pulang. Dia belum sempat mand
"Ga, pijitin punggung Bapak, Ga!" Kang Surya yang baru saja pulang dari laut, langsung memanggil putranya yang tengah bermain ditemani Neng Rahma. Benar kata dia kemarin, ternyata Kang Surya pulang pagi. Padahal, tadi malam aku sampai begadang menunggu dia pulang. Aku tidak tahu kalau suamiku itu pulangnya pagi. "Minum, Kang." Aku memberikan satu gelas air pada Kang Surya. Dia yang tengah tengkurap, langsung bangun dan mengambil gelas dari tanganku."Makasih, Syah.""Sama-sama," jawabku, "Mau makan sekarang, nggak? Biar aku ambilkan.""Nanti saja, Syah. Akang mau mandi dulu. Saga main sama Teteh lagi, ya? Bapak badannya bau anyir," ujar Kang Surya, menyuruh putranya menjauh. Suamiku langsung pergi ke belakang, dan aku pun menyusulnya. Bukan untuk ikut mandi, tapi untuk menjemur pakaian yang beberapa menit yang lalu sudah aku cuci. Langit sangatlah cerah pagi ini. Padahal masih pukul tujuh, tapi sinar matahari sudah terasa panas dan sangat cocok untuk menjemur pakaian. Bukan hany
"Mak, ada?" Aku memanggil Mak Nia, yang sedari pagi pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Entah dia pergi atau tidak, aku ingin memastikan jika Mak Nia baik-baik saja. "Ada, Isah. Masuk saja, pintunya enggak Emak kunci."Lega rasanya mendengar suara Mak Nia. Aku bersama Saga pun masuk, menemui Mak Nia yang ternyata sedang berkutat dengan pekerjaannya di dapur. "Emak sedang apa? Aku kira, Emak sakit. Dari pagi enggak aku lihat Emak keluar rumah," kataku, saat melihat wanita paruh baya itu. "Emak lagi buat rengginang, Sah. Tadi pagi, Emak buat yang manis, sekarang yang asin.""Banyak banget, Mak. Kayak yang mau hajatan.""Lah iya. Harus banyak, Sah. Selain untuk Emak makan sendiri, ini Emak buat untuk syukuran empat bulanan Neng Rahma. Nanti bakalan ada pengajian, kan?" Aku tertegun dengan pernyataan Mak Nia. Bukan tersinggung, tapi justru merasa bodoh jadi orang tua yang belum mempersiapkan ke sana. Bahkan tidak terpikirkan sedikit pun dalam otakku mengenai acara empat bulanan Ne
"Jadi ... seperti itu, Kang? Pantas, barusan Neng Rahma menanyakan tentang Yadi."Kang Surya tersenyum dengan pipi yang mengambang penuh dengan makanan di mulutnya. Menurut penuturan Kang Surya, kemarin di pasar malam Neng Rahma dan Yadi sempat bertemu. Sebagai seorang lelaki yang menyukai lawan jenisnya, katanya Yadi sempat melakukan pendekatan kepada putri sulung suamiku itu. Meskipun hanya dengan perhatian kecil, tapi mampu membuat Neng Rahma tersipu-sipu. "Jangan dibiarkan terlalu deket banget, Kang. Ingat, loh anak kita itu sedang mengandung." Aku berucap kembali. "Akang, juga sudah mengatakan itu pada Yadi. Dan katanya, dia akan sabar menunggu. Itu, tadi bungkusan yang Akang bawa, dari Yadi. Dia menitipkan makanan untuk Neng Rahma."Aku diam beberapa saat, memikirkan bagaimana orang tua Yadi saat tahu anak bujangnya jatuh hati pada wanita yang ... ah, tidak usah aku perjelas. Semua orang pun tahu latar belakang Neng Rahma, juga jalan hidupnya yang penuh nestapa. "Kang ...."
"Bu!""Ibu!"Suara Neng Rahma dari kamarnya membuatku membuka mata. Aku langsung keluar dari kamarku seraya mengikat rambut, lalu pergi melihat Neng Rahma. "Kenapa, Neng?" tanyaku, merendahkan tubuh seraya menempelkan telapak tangan di keningnya."Perutku sakit, Bu," katanya. "Sakit?" Aku terkejut. "Apa sekarang waktunya?" "Waktu apa, Bu? Apa aku akan melahirkan sekarang? Aku takut, Ibu. Aku harus apa?""Tenang, Neng. Tenang, ya? Kamu tunggu dulu di sini, Ibu mau ke rumah Mak Nia. minta dia untuk nemenin kita di sini."Neng Rahma mengangguk pelan seraya meringis mengusap-usap perutnya. Aku beranjak. Keluar dari rumah, dan berjalan tergesa menuju rumah Mak Nia. Waktu yang masih malam, membuat kampung terasa sepi dan sunyi. Hanya ada suara binatang malam yang menjadi irama di sekitar. "Mak! Mak Nia, buka pintunya, Mak!" Aku mengetuk pintu dengan pelan dan beruntun seraya memanggil wanita di dalam rumah panggung ini. "Siapa?" tanyanya dari dalam. "Aisyah, Mak! Cepet buka!" kataku