*****
Mas Diky menyambar kunci kontak motornya dan jaket kulit yang tergantung di belakang pintu kamar.
“Aku berangkat, ya, Sayang!” ucapnya mengecup keningku. Lalu melangkah pergi.
“Berhenti!” teriakku tiba-tiba. Mas Diky terkejut, menghentikan langkah dan langsung berbalik menghadapku.
“Ai …,” sergahnya masih tak percaya.
“Dengar, Mas! Baru malam tadi kita berbaikan. Kita telah berhasil menghadapi masalah yang mendera hubungan kita. Pagi ini, kita akan merayakannya. Kenapa sekarang kau tiba-tiba ingin membatalkannya? Bahkan tanpa berpikir dua kali, kau langsung membuka peluang untuk munculnya masalah berikutnya!”
“Apa maksudmu, Sayang?”
****Ketukan halus di pintu kamar membuatku tersadar, bahwa ada Ibu dan Nenek yang masih menuggu di luar. Menuggu untuk diajak jalan-jalan, seperti janjiku dan janji sang menantu.“Ibu, masuk!” kataku berusaha mengulas senyum. Kubalikkan wajah pura-pura merapikan sepre kasur, agar berkesempatan menyeka air mata yang sempat tumpah di pipi.“Kenapa Nak Diky pergi dengn terburu-buru, Nduk?” tanyanya meletakkan tubuh di bibir ranjang.“Oh, iya. Tiba-tiba dia dipanggil mendadak oleh ibunya. Sepertinya ada yang penting. Kita jadi, kan jalan-jalannya?” tanyaku membentuk ekspresi riang.“Ibu kok, mendadak males, ya. Maaf, ya, Mala! Ibu mau bertanam sayuran aja di halaman belakang, boleh?”“Maksud Ibu?” tanyaku kaget.“Ibu dan nenek gak biasa jalan-jalan
****“Mas Diky …! Mas sudah datang?”Aku dan Mas Diky kaget. Kami sangat kenal suara itu. Rara.“Tante! Kenapa Mas Diky disuruh pulang?” teriaknya sambil berlari ke arah Mama mertuaku.Mama Ratna hanya terpaku di depan gerbang. Sebuah keranjang belanjaan ditenteng di tangan kanan. Sepertinya mereka baru kembali dari pasar. Jadi ini sebabnya, aku tak mendengar suara mereka dari tadi. Pantas mertuaku bilang mereka menampungnya, rupanya dijadikan pembantu.“Tante, bukankah Tante menyuruh Mas Diky, datang sendiri? Kenapa ada Kak Mala dan Papa juga?” protesnya menatapku sinis. Kedua mertuaku hanya membisu.Papa melangkah menghampiri aku dan Mas Diky. “Diky, ada yang ingin Om tanya sama kam
******POV RatnaTertatih aku dan Rara menyusuri jalanan kompleks. Entah ke mana kaki ini akan kubawa melangkah. Pulang ke kampung, aku malu. Orang kampung tahunya aku adalah nyonya. Nyanyo Ranto, pedagang dari Aceh yang sukses di kota Medan. Bagaimana tanggapan mereka bila aku pulang dengan tangan hampa, perhiasan mewah yang biasa melekat di badan pun dipreteli oleh Bang Ranto.Kejam! Bang Ranto memang kejam nian, tak hanya talak yang dia berikan, tapi juga kemiskinan dia sematkan di pundakku. Rara juga ikut-ikutan. Ngapaian coba dia ikuti aku. Harusya dia tetap bertahan di rumah itu! Keberadaannya di sana bisa kujadikan alasan untuk sering datang berkunjung. Sekalian aku bisa tebar pesona lagi di hadapan Bang Ranto. Secara, aku adalah perempuan yang pernah membuatnya terlelap dalam lautan madu asmara. Kalau dia kangen akan dasyatnya permainanku, pasti dia minta rujuk. Ta
*****POV Ratna“Maaf, Bang. Saya yang salah,” ucapku meniup tangannya. Kukecup lembut jari telunjuknya. Lelaki botak itu menggeliat. Spontan ditariknya telunjuk kasar dan besar itu dari mulutku.“Cukup, sudah sana!” usirnya.Aku mendongah, dasterku kian tak karuan. Kutatap tepat ke manik-manik mata tuanya. Bola mata itu menghindar bersetatap. Membuang pandangan kembali ke layar tv. Aku tahu, itu hanya trik. Sesungguhnya, kini dia gelisah, dadanya berdebar, terbukti dari napasnya yang kian tak teratur. Apa lagi melihat wajahnya yang kian memerah, kutahu dia sedang menahan hasrat.“Abang marah?” tanyaku sembari bangkit.“Tidak, hanya saja, mulai besok, kamu tak perlu lagi membuatkan aku kopi di malam hari. Aku merasa tidak nyaman
*****Kembali POV MalaAku tak habis pikir melihat ibu mertuaku. Bagaimana bisa dia datang ke rumah ini, padahal aku dan Mas Diky sedang tidak ada di rumah. Yang ada di rumah hanya Ibu dan Nenek. Dua wanita yang pernah ditolaknya saat kubawa ke rumahnya dulu. Dua orang perempuan sederhana yang pernah direndahkan bahkan dihina tanpa memikirkan perasaanku sedikit pun.“Ky, tolong Mama, Nak! Tolong cari Papamu!” katanya memohon pada putrnya, tak sedikitpun dia melihat ke arahku. Padahal aku berdiri tegak di samping Mas Diky.“Ma, tenang kenapa, sih! Papa udah sering kek gini, kan? Dua atau tiga hari enggak pulang, itu udah biasa Papa lakukan, kenapa sekarang Mama stress?” protes Mas Diky meski tetap berusaha menenangkan hati ibunya.“Tapi iasanya selalu pamit, Ky! P
*****“Kau di sini, Sayang?” Mas Diky terseyum lebar, sambil memelukku mesra di hadapan Rara.“Kenapa kau lakuin ini ke aku, Mala!” gadis itu menatapku tajam. Tentu saja suamiku langsung memalangkan tubuh untuk melindungiku. Dia pasti khawatir gadis itu kerasukan lalu tiba-tiba menyerang.“Aku basah! Mala! Cepat kau keringkan!” teriaknya histeris. Benar dugaan kami. Rara menarik kasar jilbab instan yang melekat di kepalaku.Mas Diky menyambar tangannya, lalu membuangnya dengan kasar. Hampir saja gadis itu tersungkur karena tenaga Mas Diky terlalu kuat.“Jangan ganggu istriku! Sedikit saja kau sentuh dia, kulempar kau ke penjara! Paham!” ancam Mas Diky tegas.Kasihan Rara. Jujur, masih ada sedikit rasa iba di
****Rekaman Percakapan Duo Ulat Bulu“Mana hapemu, La? Biar aku fotoin dan rekam percakapan mereka! Mungkin kita akan butuhkan nanti,” usul Rani, segera kuserahkan ponselku.“Bodoh banget si Herman botak itu, kan, Ra? Dengan mudahnya menyerahkan mobil ini ke mama. Cuma dengan beberapa kali permainan di ranjang, dia sudah klepek-klepek, hehehehe ….” Mama Ratna mengikatkan sabuk pengaman di pinggangnya.“Mungkin, Tante Lena yang sok kecakepan itu, udah letoi, Ma! Enggak pernah lagi bisa nyenengin suaminya. Om Herman ngeliat bokong dan dada Mama, langsung melayang dan lupa segalanya, deh!” timpal Rara. Keduanya tertawa lepas, mobil itu pun mulai melaju.“Ikuti mereka, Mas! Biar kita tahu di mana mereka tinggal!” pintaku kepada Mas Andy saat moil Papa mertua yang kini dikuasai duo ulat bulu mulai bergerak.
*****Mas Diky terlihat lemas lunglai. Kaki dan tangan gemetar. Hampir saja ponselku yang masih berada di tangannya terlepas dari pegangan. Segera kuraih benda pipih itu, kubimbing dia duduk di bibir ranjang.“Aku saja tak sanggup melihat ini, Tak percaya dengan kenyataan ini. Bagaimana pula dengan Mama? Mama pasti akan hancur bila melihat dan mengetahui perselingkuhan Papa dengan perempuan yang telah mati-matian ditolong dan dibelanya. Mala, tolong rahasiakan ini dari Mama!”Aku mengangguk, meski tidak sependapat dengannya. Biar bagaimanapun, Ibu mertuaku itu harus tahu yang sebenarnya. Ibarat menyembunyikan bangkai busuk, lambat laun pasti akan terendus juga. Tetapi, untuk mencari waktu yang tepat, mungkin akan diulur dulu. Kupenuhi permintaan Mas Diky.“Tega Papa membohongi kita semua. Membohongi Kak Rahma. Dia bilang mobilnya rusak parah
****Kuhirup udara kebebasan dalam-dalam, begitu diri ini berada di luar. Setelah tiga tahun lima bulan terkurung di balik tembok tinggi, terisolasi dari hiruk pikuknya dunia luar, kini aku kembali dipercaya untuk melanjutkan hidup.Aku tahu, masa tahanan ini cukup singkat, dibanding dengan kejahatan yang telah kulakukan. Papa dan Kak Mala, berjuang agar masa tahananku sesingkat mungkin. Padahal, andai seumur hdup di penjara pun, aku ikhlas.Bukan suatu masalah buatku, hidup di dalam penjara. Jujur, aku malah merasa, lebih baik hidup terisolasi di dalam sana dari pada terbuang di luar sini. Yah, aku pasti hidup terbuang di luar ini.Siapa yang peduli padaku, coba? Sapa yang akan mendampingi orang cacat sepertiku? Hanya akan menjadi beban buat orang lain. Bukankah lebih baik hidup di balik jeruji? Entah untuk apa Papa dan Kak Mala berj
*****POV Rara (Malam sebelum Ratna Tertusuk)“Tidur, Nak! Sudah malam, ayo!” Ibu Niken mendorong kursi rodaku menuju kamar.“Baik, Bu,” sahutku.Tante Lena dan Nenek mengikuti kami, setelah lelah berbincang tentang persiapan pernikahan Bu Niken dengan Papa esok pagi. Tante Lena dan Nenek masuk ke kamar mereka. Sedangkan aku dan BU NIken masuk ke kamar kami sendiri. Sejak aku tinggal di rumah Kak Mala, Bu Nikenlah yang merawatku. Dia sendiri yang menawarkan diri. Kmai sekamar berdua, Nennek dimintanya pindah ke kamar Tante Lena. Alasannya agar mugah melayani segala keperluanku.Sungguh tak kusangka, wanita yang pernah dihancurkan oleh Mama, justru bersikap begitu baik padaku. Saat aku tak berdaya, dia tampil sebagai. Tiada pamrih apa-apa, aku dapat merasakan ketulusan dari setiap tindakannya.Pantas Kak Mal
*****POV MalaTekad Papa untuk menikahi Ibu kembali sepertinya sudah sangat bulat. Dia memenuhi janjinya pada Ibu dan nenek. Sehari setelah surat cerai untuk Mama Ratna keluar, dia langsung datang ke rumah untuk melamar Ibu. Alhamdulillah, Ibu menerima lamaran Papa.Pernikahan mereka akan diadakan seminggu lagi. Ibu tak ingin ada pesta, cukup pernikahan sederhana saja.Bertolak belakang dengan Papa dan Mama mertua. Mereka justru diambang perceraian. Mama mertua tetap menggugat pisah. Segala bujukan dan jalan damai telah kutempuh. Bekerja sama dengan Kak Rahma, kami berusaha menyatukan mereka kembali, tetapi pintu hati mama mertua sepertinya sudah benar-benar tertutup. Anehnya Mas Diky malah mendukung.“Apapun akan Diky lakukan untuk Mama, asal itu membuat Mama bahagia,” janjinya pada ibunya.“Izinkan mama
*****POV RaraPerlahan kesadaranku telah kembali. Yang pertama, ternyata aku masih hidup. Saat ini berada di sebuah rumah sakit, tentu saja aku yakin ini adalah sebuah rumah sakit karena ada jarum inpus yang melekat di pergelangan tangan. Ada selang yang ikut bergerak, jika tangan ini kugerakkan. Sebuah botol berisi cairan tergantung di sebuah tiang besi, diatas tempat tidur. Berbagai selang dan wayar menempel di hidung dan tubuh. Aroma obat bercampur karbol menyerang penciuman, Aroma khas rumah sakit.Ingat bagimana tubuh ini terjatuh menyentuh aspal, langsung terlindas sebuah kendaraan. Kukira sudah berakhir. Kenapa, masih berlanjut? Kenapa derita ini masih berlanjut, bahkan efisode berikutnya lebih getir. Skenario yang telah disiapkan oleh Allah, di babak kedua hidup ini, pasti lebih getir. Tentu saja! Wajah-wajah penuh derita telah menyambut kedatanganku. Aku melihat itu.&n
*****POV RaraBenar kata orang, penyesalan itu datangnya selalu terlambat. Seperti halnya yang aku alami saat ini. Entah untuk apa dulu aku meminta preman ini mengobrak-abrik rumah Kak Mala. Usahnya gagal, aekarang malah aku terjebak di sini. Kini, aku harus membayar mahal perbuatan itu.Entah bagaimana caranya agar bisa lolos dari orang sangar ini. Katakutan ini membuatku tak dapat lagi berpikir. Dia akan menjualku kepada laki-laki yang entah siapa, bagaimana tampangnya, bagimana wataknya, dan aku takut. Mama … tolong Rara …. Papa … liat nasip Rara ini Pa!Kak Mala … biasanya kau selalu hadir dan menyelesaikan setiap masalahku. Jangankan masalah yang sulit, masalah yang gampang seklaipun kau sellau hadir untuk menyelesaikannya. Saat akum alas mengerjakan PR sekolah, kau pasti mengerjakannya untukku, saat aku bermasalah dengan teman, kau selal
*****“Tunggu!”Aku tersentak taget. Alat tulis yang sudah kupegang terlepas dari tangan. Serempak kami menoleh ke arah pintu. Papa dan Ibu berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan, Sayang?” Papa mendekat, meneliti gambar di layar, membaca kertas yang hampir saja kutandatangan.“Papa ….” Lirihku menyebut namanya. Wajah Papa memucat, segera mas Diky bangkit, menyeret kursi bekas didudukinya ke belakang Papa. Dengan lunglai, Papa mengjatuhkan tubuh di sana.“Kenapa Ibu membawa Papa ke sini?” tanya Mas Diky berbisik pada Ibu, tapi kami dapat mendengar.“Dia maksa, Nak Diky. Ibu sudah berusaha mencegah,” jawab Ibu membela diri.“Tidak apa-apa, Nak Diky. Papa baik-baik saja,” kata Papa dengan suara lemah.“Papa e
*****POV MalaBayangan saat Rara dibawa pergi oleh lelaki sangar itu tak bisa hilang juga. Sungguh aku tak habis pikir, kok mau-maunya si Rara pacaran dengan preman. Apa yang ada laki-laki yang lebih baik lagi?Usahaku membujuk Mama mertua juga sia-sia belaka. Percuma aku merekam percakapan antara Rara dengan Papa mertua di warung bakso tadi. Sedikitpun hati Mama tidak tersentuh. Dia hanya menatap layar dengan wajah membentuk segi delapan. Bibirnya mencibir, lalu mengembalikan ponselku tanpa ekspresi.Sudah tertutup rapat kah pintu hati wanita itu? Kenapa tiada maaf? Setelah pernikahan yang mereka bina selama puluhan tahun, tak bisa kah, dia mengesampingkan ego, demi Anak-anak dan cucu? Begitu sakitkah hatinya? Bukankah Papa mertuaku sudah meminta maaf?Kenapa Ibu bisa memaafkan Papa? Bukankah posisi mereka hampir sama? Sama-sama dihancurkan oleh Rat
*****POV RaraNyalang kutatap wajah perempuan yang berdiri di teras sudut warung. Sebenarnya aku sudah melihatnya sedari tadi, tak lama setelah Om Herman masuk ke dalam warung. Syal panjang dan lebar yang digunakannya untuk menutupi wajah dan sebagian tubuh, membuat aku tak mengenalinya. Kukira hanya seorang pelanggan warung bakso. Tanpa kusadari dia merekam semua pembicaraanku dengan Om Herman.Mereka keterlaluan! Sengaja menjebak aku rupanya. Om Herman juga, pura-pura jual mahal! Pura-pura tak perduli lagi pada Mama, rupanya karena takut pada Kak Mala dan Kak Rahma. Pasti mereka datang bersamaan tadi, sengaja untuk mempermalukan.Kak Rahma dan Kak Mala tersenyum puas. Panas rasa hatiku.“Oh, jadi kalian sengaja menjebakku! Om Herman bilang dia datang sendiri, dia sembunyi-sembunyi ke sini, padahal kalian sekongkol! Bangs*t kalian semua!” teriakku meradang. Semua meja yang
*****Kembali POV MalaSudah tiga hari Mama mertua tinggal di rumahku. Polisi membebaskannya berdasarkan permintaan keluarga korban, yaitu Papa. Ucapan terima kasih tak henti terucap dari mulutnya. Papa yang sudah mulai sering berkunjung untuk menemui Ibu, menanggapinya dengan santai.“Saya khilap, Bang. Gak nyangka banget, si Ratna setega itu. Saya sudah membela dia mati-matian di depan Abang waktu itu, kan? Berbulan-bulan dia dan anaknya itu saya kasih makan secara gratis, kok malah mencuri suami saya,” tuturnya saat baru pulang dari penjara tiga hari lalu.“Iya, Dek Lena, tapi, lain kali, jangan pernah main senjata tajam lagi. Masalah apapun, hadapilah dengan kepala dingin. Seperti halnya sekarang. Cobalah menghadapi Herman dengan kepala dingin!” kata Papa, sepertinya sengaja memancing isi hati Mama mertua.&