*****
POV Ratna
“Maaf, Bang. Saya yang salah,” ucapku meniup tangannya. Kukecup lembut jari telunjuknya. Lelaki botak itu menggeliat. Spontan ditariknya telunjuk kasar dan besar itu dari mulutku.
“Cukup, sudah sana!” usirnya.
Aku mendongah, dasterku kian tak karuan. Kutatap tepat ke manik-manik mata tuanya. Bola mata itu menghindar bersetatap. Membuang pandangan kembali ke layar tv. Aku tahu, itu hanya trik. Sesungguhnya, kini dia gelisah, dadanya berdebar, terbukti dari napasnya yang kian tak teratur. Apa lagi melihat wajahnya yang kian memerah, kutahu dia sedang menahan hasrat.
“Abang marah?” tanyaku sembari bangkit.
“Tidak, hanya saja, mulai besok, kamu tak perlu lagi membuatkan aku kopi di malam hari. Aku merasa tidak nyaman
*****Kembali POV MalaAku tak habis pikir melihat ibu mertuaku. Bagaimana bisa dia datang ke rumah ini, padahal aku dan Mas Diky sedang tidak ada di rumah. Yang ada di rumah hanya Ibu dan Nenek. Dua wanita yang pernah ditolaknya saat kubawa ke rumahnya dulu. Dua orang perempuan sederhana yang pernah direndahkan bahkan dihina tanpa memikirkan perasaanku sedikit pun.“Ky, tolong Mama, Nak! Tolong cari Papamu!” katanya memohon pada putrnya, tak sedikitpun dia melihat ke arahku. Padahal aku berdiri tegak di samping Mas Diky.“Ma, tenang kenapa, sih! Papa udah sering kek gini, kan? Dua atau tiga hari enggak pulang, itu udah biasa Papa lakukan, kenapa sekarang Mama stress?” protes Mas Diky meski tetap berusaha menenangkan hati ibunya.“Tapi iasanya selalu pamit, Ky! P
*****“Kau di sini, Sayang?” Mas Diky terseyum lebar, sambil memelukku mesra di hadapan Rara.“Kenapa kau lakuin ini ke aku, Mala!” gadis itu menatapku tajam. Tentu saja suamiku langsung memalangkan tubuh untuk melindungiku. Dia pasti khawatir gadis itu kerasukan lalu tiba-tiba menyerang.“Aku basah! Mala! Cepat kau keringkan!” teriaknya histeris. Benar dugaan kami. Rara menarik kasar jilbab instan yang melekat di kepalaku.Mas Diky menyambar tangannya, lalu membuangnya dengan kasar. Hampir saja gadis itu tersungkur karena tenaga Mas Diky terlalu kuat.“Jangan ganggu istriku! Sedikit saja kau sentuh dia, kulempar kau ke penjara! Paham!” ancam Mas Diky tegas.Kasihan Rara. Jujur, masih ada sedikit rasa iba di
****Rekaman Percakapan Duo Ulat Bulu“Mana hapemu, La? Biar aku fotoin dan rekam percakapan mereka! Mungkin kita akan butuhkan nanti,” usul Rani, segera kuserahkan ponselku.“Bodoh banget si Herman botak itu, kan, Ra? Dengan mudahnya menyerahkan mobil ini ke mama. Cuma dengan beberapa kali permainan di ranjang, dia sudah klepek-klepek, hehehehe ….” Mama Ratna mengikatkan sabuk pengaman di pinggangnya.“Mungkin, Tante Lena yang sok kecakepan itu, udah letoi, Ma! Enggak pernah lagi bisa nyenengin suaminya. Om Herman ngeliat bokong dan dada Mama, langsung melayang dan lupa segalanya, deh!” timpal Rara. Keduanya tertawa lepas, mobil itu pun mulai melaju.“Ikuti mereka, Mas! Biar kita tahu di mana mereka tinggal!” pintaku kepada Mas Andy saat moil Papa mertua yang kini dikuasai duo ulat bulu mulai bergerak.
*****Mas Diky terlihat lemas lunglai. Kaki dan tangan gemetar. Hampir saja ponselku yang masih berada di tangannya terlepas dari pegangan. Segera kuraih benda pipih itu, kubimbing dia duduk di bibir ranjang.“Aku saja tak sanggup melihat ini, Tak percaya dengan kenyataan ini. Bagaimana pula dengan Mama? Mama pasti akan hancur bila melihat dan mengetahui perselingkuhan Papa dengan perempuan yang telah mati-matian ditolong dan dibelanya. Mala, tolong rahasiakan ini dari Mama!”Aku mengangguk, meski tidak sependapat dengannya. Biar bagaimanapun, Ibu mertuaku itu harus tahu yang sebenarnya. Ibarat menyembunyikan bangkai busuk, lambat laun pasti akan terendus juga. Tetapi, untuk mencari waktu yang tepat, mungkin akan diulur dulu. Kupenuhi permintaan Mas Diky.“Tega Papa membohongi kita semua. Membohongi Kak Rahma. Dia bilang mobilnya rusak parah
*****“Itu bukan Papa, Mala!”“Ssst!” Kutempelkan telunjuk di bibirnya. “Diam! Kita bisa ketahuan!” bisikku. Kupapah suamiku agar berdiri.“Aku gak bisa!” Itu Papaku, Mala!” Kali ini dia berbisik.Suara cekikikan dari kamar semakin jelas terdengar. Kutarik paksa tangan Mas Diky menuju kamar. Dengan lemas dia terpaksa mengikuti.Kini kami berdua berdiri tepat di depan kamar. Suara cekikan tak lagi terdengar. Sunyi. Tak terdengar apa-apa. Hanya sesekali terdengar sayup suara erangan.Kuraih ponsel dari dalam tas sandang, kuaktifkan perekam video. Ketika suara erangan terdengar kian panjang dan jelas, saat itulah Mas Diky kesetanan.“Pa
*****“Mala! Coba kamu berpikir dengan waras! Sedikiiiit saja!”Gila, nih, perempuan sundal! Dia yang berbuat maksiat, aku yang disuruh berpikir secara waras. Apa maksudnya, coba? Kulirik dia sekilas. Daster terbalik melekat ditubuhnya, rambut keriting awut-awutan dan, ah, tadi sempat kulihat pakaian dalam berserakan di lantai kamar. Apakah itu artinya dia saat ini tak mengengenakan pakaian dalam? Siapa yang tidak waras sekarang?“Kamu enggak kasihan pada Mama? Lihat Mama sekarang, Mala!” Matanya kini mengembun. Sepertinya dia kan mulai episode baru sandiwaranya, openingnya dengan deraian air mata, tentu saja.“Waktu itu kau masih bayi merah. Mama yang merawatmu, mama yang meninabobokkanmu! Saat kau diserang demam, karena mulai tumbuh gigi, mama yang tidak tidur sing dan malam menjagamu, mengendongmu tiada henti,
*****Mama mertua masih menunggu jawabanku. Wajahnya terlihat begitu serius, seolah ucapan yang akan keluar dari mulutku begtu penting baginya. Kuputar otak segera, berusaha mengumpulkan perbendaharaan kata, untuk kurangkai untuknya.“Mala! Kenapa jawab gitu, aja, mikir, sih? Bagaimana hasilnya? Papa enggak mau pulang? Masih merajuk juga?”“Bukan, begitu, Ma. Tapi –“Belum selesai kuucapkan kalimatku, tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur. Repleks aku dan Mama mertua berlari ke sumber kegaduhan. Nenek tengah jambak-jambakan dengan Ratna. Ya, Tuhan … Nenekku yang terlihat sudah begitu uzur, ternyata tenaganya sangat kuat. Untuk sesaat aku hanya melongo menonton pertunjukan. Terpukau dengan kegesitan Nenek menghajar perempuan lacur itu.“Hentikan! Sudah!”Eit, Mama mertu
*****“Rahma! Bisa kau jelaskan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan papamu?” Mama mertua tiba-tiba menegakkan tubuh. Matanya berkilat dengan sorot tajam, menatap anak dan menantunya satu persatu.“Tidak ada apa-apa, Ma! Mama tenanglah!” bujuk Kak Rahma mengelus punggung ibunya.“Diky! Kau juga tak mau berkata jujur!” tuntutnya kepada suamiku.Mas Diky bergeming.“Anwar! Kau juga tak mau jujur?”Bang Anwar menatap istrinya, seolah minta persetujuan. Kak Rahma menggeleng.“Tinggal kau Mala! Kau juga tak mau menjelaskan pada Mama? Atau, jawaban ibumu adalah jawabanmu?” dia kini menatapku lekat.“Kak Rahma, Mas! Lebih baik kalian berterus terang saja! Untuk apa lagi, sih, kalian menyembunyikan hal
*****POV MalaBayangan saat Rara dibawa pergi oleh lelaki sangar itu tak bisa hilang juga. Sungguh aku tak habis pikir, kok mau-maunya si Rara pacaran dengan preman. Apa yang ada laki-laki yang lebih baik lagi?Usahaku membujuk Mama mertua juga sia-sia belaka. Percuma aku merekam percakapan antara Rara dengan Papa mertua di warung bakso tadi. Sedikitpun hati Mama tidak tersentuh. Dia hanya menatap layar dengan wajah membentuk segi delapan. Bibirnya mencibir, lalu mengembalikan ponselku tanpa ekspresi.Sudah tertutup rapat kah pintu hati wanita itu? Kenapa tiada maaf? Setelah pernikahan yang mereka bina selama puluhan tahun, tak bisa kah, dia mengesampingkan ego, demi Anak-anak dan cucu? Begitu sakitkah hatinya? Bukankah Papa mertuaku sudah meminta maaf?Kenapa Ibu bisa memaafkan Papa? Bukankah posisi mereka hampir sama? Sama-sama dihancurkan oleh Rat
*****POV RaraNyalang kutatap wajah perempuan yang berdiri di teras sudut warung. Sebenarnya aku sudah melihatnya sedari tadi, tak lama setelah Om Herman masuk ke dalam warung. Syal panjang dan lebar yang digunakannya untuk menutupi wajah dan sebagian tubuh, membuat aku tak mengenalinya. Kukira hanya seorang pelanggan warung bakso. Tanpa kusadari dia merekam semua pembicaraanku dengan Om Herman.Mereka keterlaluan! Sengaja menjebak aku rupanya. Om Herman juga, pura-pura jual mahal! Pura-pura tak perduli lagi pada Mama, rupanya karena takut pada Kak Mala dan Kak Rahma. Pasti mereka datang bersamaan tadi, sengaja untuk mempermalukan.Kak Rahma dan Kak Mala tersenyum puas. Panas rasa hatiku.“Oh, jadi kalian sengaja menjebakku! Om Herman bilang dia datang sendiri, dia sembunyi-sembunyi ke sini, padahal kalian sekongkol! Bangs*t kalian semua!” teriakku meradang. Semua meja yang
*****Kembali POV MalaSudah tiga hari Mama mertua tinggal di rumahku. Polisi membebaskannya berdasarkan permintaan keluarga korban, yaitu Papa. Ucapan terima kasih tak henti terucap dari mulutnya. Papa yang sudah mulai sering berkunjung untuk menemui Ibu, menanggapinya dengan santai.“Saya khilap, Bang. Gak nyangka banget, si Ratna setega itu. Saya sudah membela dia mati-matian di depan Abang waktu itu, kan? Berbulan-bulan dia dan anaknya itu saya kasih makan secara gratis, kok malah mencuri suami saya,” tuturnya saat baru pulang dari penjara tiga hari lalu.“Iya, Dek Lena, tapi, lain kali, jangan pernah main senjata tajam lagi. Masalah apapun, hadapilah dengan kepala dingin. Seperti halnya sekarang. Cobalah menghadapi Herman dengan kepala dingin!” kata Papa, sepertinya sengaja memancing isi hati Mama mertua.&
*****POV RaraBagaimana ini? Preman jelek dan menjijikkan itu mengancamku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ke mana kau bisa bersembunyi? Anak buahnya tersebar di mana-mana. Tak aka nada tempat bersembunyi yang aman bila berurusan dengannya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?Ardo, tinggal dia satu-satunya harapanku. Kepada siapa lagi aku bisa berharap, selain kepada dia. Mungkin dia bisa meminta maaf kepada Bang Gandi. Bukankah aku calon istrinya? Tentu dia mau melepaskan aku dari ancaman preman itu. Semoga Bang Gandi enggak membuka rahasia kalau kami pernah tidu bersama.Tidak! Tidak bisa dijamin Bang Gandi menjaga rahasia itu. Kalau Ardo tahu, bukan pertolongan yang kudapat, malah kecolongan nanti. Aku hanya bisa menangis melolong.Untuk sekarang, aku bisa bersembunyi di rumah sakit ini, hingga Mama sembuh. Bila nanti disuruh pulang, a
*****POV RaraLaki-laki itu menyenderkan tubuh di bagian kepala ranjang. Asap rokok mengepul di atas kepalanya. Dihisapnya dalam-dalam , lalu dikeluarkan kadang dari mulut, kadang dari hidung. Peluh masih membanjir di tubuhnya. Sorot kepuasan terpancar dari mata. Tangan kanan masih memegang bagian tubuhku.Menepis pelan tangan kasar berotot itu, lalu beringsut turun dari kasur yang teramat kasar. Sakit di sekujur tubuh ini. Laki-laki ini ternyata lebih buas dari yang kubayangkan. Tenaganya melebihi macan. Tubuhku dilumat habis, tak ada sisi yang luput dari sergapannya.Tertatih aku menuju kamar mandi sempit di sisi kamar, mengguyur seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Perih. Bekas gigitan di leher dan dada, terasa sangat pedih saat diterpa air dingin. Bekas gigitan itu tergambar jelas. Laki-laki menjijikkan itu sepertinya meninggalkan jeja
******POV Rara“Apa maksud Papa menempuh jalan damai?” tanyaku dengan nada ketus, setelah dia menyuruh menantunya cepat-cepat pulang. Mas Diky targetku malam telah lepas dari tangan.“Nak Rahma! Kamu ke ruangan Papamu saja! Biarkan Ratna ditunggui oleh Rara!” katanya tak menghiraukan pertanyaanku. Sebel! Papa tak pernah menganggap aku ada, apa lagi setelah kedatangan si Niken sialan itu.“Aku putri Mama, satu-satunya keluarganya! Aku tak mau berdamai dengan keluarga pembunuh itu!” tegasku melotot pada lelaki yang terakhir ini sangat kubenci.“Kau tak perlu ikut campur! Usiamu masih bau kencur! Tau apa kau tentang hukum!” sanggahnya membalas dengan melotot.“Tante Lena menusuk Mama, Pa! Dia mau membunuh Mama!”“Tindakannya spon
*****“Ibu mau ke mana?” tanyaku lembut.“Kamar mandi, ibu kebelet.”Kulepas pegangan di lengannya. Mungkin benar ibu kebelet, karena ancaman para preman menakutkan barusan. Mudah-mudahan, bukan karena kedatangan Papa.“Apa ini, Nak Anto?” tanya Nenek seraya menerima bungkusan dari Papa.Anto adalah nama panggilan Papa. Nama sebenarnya adalah Ranto, konon ceritanya, nama itu sengaja diberikan Kakek Almarhum kepada Papa. Dengan harapan Papa akan pergi merantau meninggalkan kampung halamannya di Aceh. Merantau untuk menuntut ilmu, pun belajar berbisnis. Harapan Kakek ternyata terwujud.“Ini ada martabak panas, rasa srikaya, makanan kesukaan –“ Papa tak melanjutkan ucapannya. Matanya menatap lurus ke arah pintu. Aku yakin, Ibulah yang sedang di carinya.
*****Kembali ke POV Mala“Kamu enggak usah jenguk Papa ke rumah sakit, Sayang! Hari ini dia sudah boleh pulang. Kak Rahma akan membawa Papa ke rumah Mama,” kata Mas Diky sambil mengenakan seragam.“Alhamdulillan, Mas. Papa cepat pulih.”“Ya, tapi dia belum boleh mikir, apalagi mendapat tekanan. Biar aja Kak Rahma yang merawat dia di rumah.”“Ya, kita juga harus ikut merawat, kan?”“Tidak! Aku masih malas bertemu Papa! Bisa emosi aku nanti, kuhajar pula dia. Gawat, kan?”“Masalah ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, Mas!”“Iya, tapi aku belum bisa, Sayang! Aku akan fokus ngurus kasus Mama, tadi malam Papamunelpon. Dia ngajak ketemuan di kantor pagi ini. Semoga usulannya untuk menyelesaikan kasus
******Masih diam terpaku, menatap tubuh menelungkup wanitaku. Bahu yang sedari tadi tak luput dari tatapan, terlihat mulai tenang. Tiada lagi goncangan. Isak, sedu dan sedan, raib sudah. Mungkinkah dia sudah berhenti menangis? Sepertinya iya. Kepala yang tanpa kerudung itu terangkat sedikit, tangan kanan mengusap wajah. Apakah istriku sedang mengusap air mata? Sepertinya, iya.Gegas aku bangkit dari bibir ranjang, berjingkat menuju pintu kamar, menggenggam handel pintu, membukanya pelan, berusaha tanpa derit. Lalu melangkah kembali keluar, menutup pintu dengan pelan, tetap berusaha agar tak menimbulkan deritan.Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Tiga kali, tiga kali aku melakukannya. Baru mulut bisa berucap.“Assalamualaikum! Mala ….”“Waalaikumusalam, Mas …!”