*****
“Mala! Coba kamu berpikir dengan waras! Sedikiiiit saja!”
Gila, nih, perempuan sundal! Dia yang berbuat maksiat, aku yang disuruh berpikir secara waras. Apa maksudnya, coba? Kulirik dia sekilas. Daster terbalik melekat ditubuhnya, rambut keriting awut-awutan dan, ah, tadi sempat kulihat pakaian dalam berserakan di lantai kamar. Apakah itu artinya dia saat ini tak mengengenakan pakaian dalam? Siapa yang tidak waras sekarang?
“Kamu enggak kasihan pada Mama? Lihat Mama sekarang, Mala!” Matanya kini mengembun. Sepertinya dia kan mulai episode baru sandiwaranya, openingnya dengan deraian air mata, tentu saja.
“Waktu itu kau masih bayi merah. Mama yang merawatmu, mama yang meninabobokkanmu! Saat kau diserang demam, karena mulai tumbuh gigi, mama yang tidak tidur sing dan malam menjagamu, mengendongmu tiada henti,
*****Mama mertua masih menunggu jawabanku. Wajahnya terlihat begitu serius, seolah ucapan yang akan keluar dari mulutku begtu penting baginya. Kuputar otak segera, berusaha mengumpulkan perbendaharaan kata, untuk kurangkai untuknya.“Mala! Kenapa jawab gitu, aja, mikir, sih? Bagaimana hasilnya? Papa enggak mau pulang? Masih merajuk juga?”“Bukan, begitu, Ma. Tapi –“Belum selesai kuucapkan kalimatku, tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur. Repleks aku dan Mama mertua berlari ke sumber kegaduhan. Nenek tengah jambak-jambakan dengan Ratna. Ya, Tuhan … Nenekku yang terlihat sudah begitu uzur, ternyata tenaganya sangat kuat. Untuk sesaat aku hanya melongo menonton pertunjukan. Terpukau dengan kegesitan Nenek menghajar perempuan lacur itu.“Hentikan! Sudah!”Eit, Mama mertu
*****“Rahma! Bisa kau jelaskan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan papamu?” Mama mertua tiba-tiba menegakkan tubuh. Matanya berkilat dengan sorot tajam, menatap anak dan menantunya satu persatu.“Tidak ada apa-apa, Ma! Mama tenanglah!” bujuk Kak Rahma mengelus punggung ibunya.“Diky! Kau juga tak mau berkata jujur!” tuntutnya kepada suamiku.Mas Diky bergeming.“Anwar! Kau juga tak mau jujur?”Bang Anwar menatap istrinya, seolah minta persetujuan. Kak Rahma menggeleng.“Tinggal kau Mala! Kau juga tak mau menjelaskan pada Mama? Atau, jawaban ibumu adalah jawabanmu?” dia kini menatapku lekat.“Kak Rahma, Mas! Lebih baik kalian berterus terang saja! Untuk apa lagi, sih, kalian menyembunyikan hal
****“Maaaa! Mama kenapa senekat ini?” Mas Diky berteriak.Ratna ambruk, darah segar merembes membasahi dasternya yang terbalik. Mama mertuaku tersenyum seperti menyeringai.Ibu dan Nenek berlari dari kamar mereka. Menatap pemandangan yang tak diduga sama sekali.“Sudah, Ken! Sudah kutuntaskan dendammu! Aku tahu kau tidak pernah sakit, hatimulah yang terluka, bukan jiwamu! Tolong jaga Diky putraku, juga cucuku di perut putrimu! Biar aku saja yang menanggung semua ini. Kau di sini saja, jaga cucu kita, ya!” Mama menatap Ibu sendu.“Kak Lena? Kau? Jadi?” Ibu terperangah, dia kesulitan untuk berkata-kata. Bola matanya membulat sempurna.“Ya, Ken. Iya. Maaf, mengagetkanmu.”“Bang! Cepat bawa dia ke rumah sakit! Cepat!” perintahku kepada Bang Anwar. Segera
*****Jujur, aku mulai lelah menjalani rumah tangga ini. Sudah mulai timbul rasa bosan dalam membina hubungan ini. Sikap dan watak Mas DIky teramat menyebalkan. Sifat kanak-kanaknya tak juga berubah. Gampang meledak-ledak seperti anak kecil, yang jiwanya belum matang. Aku masih harus terus menerus mempelajari sifat dan karakternya. Harus berusaha memahami segala kekurangannya, dan berusaha menempa jiwanya agar matang dan dewasa.Tetapi, kenapa hal ini tidak berlaku sebaliknya, coba? Harusnya dia juga berbuat yang sama! Dia juga harus memahami sifat dan karakterku. Bagaimana mungkin dia berfikir aku menelepon Reno, lalu mencurahkan isi hatiku, mengadukan keluh kesahku. Mala bukan type perempuan seperti itu, kan? Kenapa dia langsung meledak-ledak menuduh?Jika dia menduga seperti itu, bukankah harus bertanya dul
*****Aku segera meraih jaket dan jilbab instan yang tergantung di balik pintu kamar. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas sandang, meraih kunci motor di atas nakas, lalu setengah berlari keluar dari kamar.“Mala!”Duh! Aku lupa di rumah ini aku tidak sendiri, meski suamiku berulah lagi. Masih ada Ibu dan Nenek yang begitu peduli.“Mau ke mana? Buru-buru amat?” tanya Ibu seraya bangkit dari sofa di ruang tengah. Nenek mengalihkan tatapannya dari layar tv, kini menatapku dengan teliti.“Aku mau … eh, anu, Bu. Aku mau ….”“Mala …. Sayang? Kamu baik-baik saja, kan, Nak?” Ibu meraba pipiku.“Aku baik, Bu. Aku Cuma mau ke rumah sakit, mau liat keadaan perempuan itu,” jawabku berdallih.
*****POV DikyAku masih tak percaya dengan kenyataan yang terjadi sekarang ini. Papa berselingkuh dengan perempuan lain saja sudah membuatku sesak napas. Ternyata Papaku begitu menjijikkan. Saat aku ingin meminta pertanggung jawab, dia malah memilih pingsan. Serangan jantung, kata dokter. Padahal menurutku, itu hanya taktik diaa untuk lari dari masalah. Pasti dia enggan berurusan denganku setelah rahasianya terbongkar. Tertangkap basah lagi. Iya, tertangkap basahlah namanya, karena aku dan istriku menangkap mereka dalam keadaan sudah basah. Basah karena peluh dan mungkin cairan lainnya. Yang menjijikkan tentu saja.Sekarang timbul lagi masalah yang jauh lebih rumit. Mamaku ternyata sama parahnya. Dia nekat menusuk selingkuhan Papaku yang juga pernah menjadi selingkuhan Papa istriku. Rumit, ya? Mamaku menusuk mertua tiriku, yang ternyata selingkuh dengan papaku. Arrrrgh! Sakit kepalaku
****Mala bolak-balik nelpon, tapi kuhiraukan. Biar saja dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Masih terlalu dini untuk meminta maaf padanya sekarang. Tetapi, panggilan dari Kak Rahma tak boleh kuhiraukan. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan Papa, atau Tante Ratna.“Dik, kamu ke rumah sakit, deh, sekarang!” perintah Kak Rahma mengagetkan.“Kenapa, Kak. Papa baik-baik aja, kan?” tanyaku was-was.“Papa baik, kondisinya semakin stabil. Ini tentang Tante Ratna.”“Kenapa dia?” cecarku.“Kata Dokter, lukanya cukup dalam, dia belum sadar juga, terlalu banyak ngeluarin darah. Tadi, putrinya si Rara nelpon ke hape Tante Ratna, aku angkat. Sekarang dia di sini, ngamuk-ngamuk gak jelas. Ngancam-ngancam gitu.”“Bilang aj
******Masih diam terpaku, menatap tubuh menelungkup wanitaku. Bahu yang sedari tadi tak luput dari tatapan, terlihat mulai tenang. Tiada lagi goncangan. Isak, sedu dan sedan, raib sudah. Mungkinkah dia sudah berhenti menangis? Sepertinya iya. Kepala yang tanpa kerudung itu terangkat sedikit, tangan kanan mengusap wajah. Apakah istriku sedang mengusap air mata? Sepertinya, iya.Gegas aku bangkit dari bibir ranjang, berjingkat menuju pintu kamar, menggenggam handel pintu, membukanya pelan, berusaha tanpa derit. Lalu melangkah kembali keluar, menutup pintu dengan pelan, tetap berusaha agar tak menimbulkan deritan.Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Tiga kali, tiga kali aku melakukannya. Baru mulut bisa berucap.“Assalamualaikum! Mala ….”“Waalaikumusalam, Mas …!”
*****Kembali ke POV Mala“Kamu enggak usah jenguk Papa ke rumah sakit, Sayang! Hari ini dia sudah boleh pulang. Kak Rahma akan membawa Papa ke rumah Mama,” kata Mas Diky sambil mengenakan seragam.“Alhamdulillan, Mas. Papa cepat pulih.”“Ya, tapi dia belum boleh mikir, apalagi mendapat tekanan. Biar aja Kak Rahma yang merawat dia di rumah.”“Ya, kita juga harus ikut merawat, kan?”“Tidak! Aku masih malas bertemu Papa! Bisa emosi aku nanti, kuhajar pula dia. Gawat, kan?”“Masalah ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, Mas!”“Iya, tapi aku belum bisa, Sayang! Aku akan fokus ngurus kasus Mama, tadi malam Papamunelpon. Dia ngajak ketemuan di kantor pagi ini. Semoga usulannya untuk menyelesaikan kasus
******Masih diam terpaku, menatap tubuh menelungkup wanitaku. Bahu yang sedari tadi tak luput dari tatapan, terlihat mulai tenang. Tiada lagi goncangan. Isak, sedu dan sedan, raib sudah. Mungkinkah dia sudah berhenti menangis? Sepertinya iya. Kepala yang tanpa kerudung itu terangkat sedikit, tangan kanan mengusap wajah. Apakah istriku sedang mengusap air mata? Sepertinya, iya.Gegas aku bangkit dari bibir ranjang, berjingkat menuju pintu kamar, menggenggam handel pintu, membukanya pelan, berusaha tanpa derit. Lalu melangkah kembali keluar, menutup pintu dengan pelan, tetap berusaha agar tak menimbulkan deritan.Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Tiga kali, tiga kali aku melakukannya. Baru mulut bisa berucap.“Assalamualaikum! Mala ….”“Waalaikumusalam, Mas …!”
****Mala bolak-balik nelpon, tapi kuhiraukan. Biar saja dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Masih terlalu dini untuk meminta maaf padanya sekarang. Tetapi, panggilan dari Kak Rahma tak boleh kuhiraukan. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan Papa, atau Tante Ratna.“Dik, kamu ke rumah sakit, deh, sekarang!” perintah Kak Rahma mengagetkan.“Kenapa, Kak. Papa baik-baik aja, kan?” tanyaku was-was.“Papa baik, kondisinya semakin stabil. Ini tentang Tante Ratna.”“Kenapa dia?” cecarku.“Kata Dokter, lukanya cukup dalam, dia belum sadar juga, terlalu banyak ngeluarin darah. Tadi, putrinya si Rara nelpon ke hape Tante Ratna, aku angkat. Sekarang dia di sini, ngamuk-ngamuk gak jelas. Ngancam-ngancam gitu.”“Bilang aj
*****POV DikyAku masih tak percaya dengan kenyataan yang terjadi sekarang ini. Papa berselingkuh dengan perempuan lain saja sudah membuatku sesak napas. Ternyata Papaku begitu menjijikkan. Saat aku ingin meminta pertanggung jawab, dia malah memilih pingsan. Serangan jantung, kata dokter. Padahal menurutku, itu hanya taktik diaa untuk lari dari masalah. Pasti dia enggan berurusan denganku setelah rahasianya terbongkar. Tertangkap basah lagi. Iya, tertangkap basahlah namanya, karena aku dan istriku menangkap mereka dalam keadaan sudah basah. Basah karena peluh dan mungkin cairan lainnya. Yang menjijikkan tentu saja.Sekarang timbul lagi masalah yang jauh lebih rumit. Mamaku ternyata sama parahnya. Dia nekat menusuk selingkuhan Papaku yang juga pernah menjadi selingkuhan Papa istriku. Rumit, ya? Mamaku menusuk mertua tiriku, yang ternyata selingkuh dengan papaku. Arrrrgh! Sakit kepalaku
*****Aku segera meraih jaket dan jilbab instan yang tergantung di balik pintu kamar. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas sandang, meraih kunci motor di atas nakas, lalu setengah berlari keluar dari kamar.“Mala!”Duh! Aku lupa di rumah ini aku tidak sendiri, meski suamiku berulah lagi. Masih ada Ibu dan Nenek yang begitu peduli.“Mau ke mana? Buru-buru amat?” tanya Ibu seraya bangkit dari sofa di ruang tengah. Nenek mengalihkan tatapannya dari layar tv, kini menatapku dengan teliti.“Aku mau … eh, anu, Bu. Aku mau ….”“Mala …. Sayang? Kamu baik-baik saja, kan, Nak?” Ibu meraba pipiku.“Aku baik, Bu. Aku Cuma mau ke rumah sakit, mau liat keadaan perempuan itu,” jawabku berdallih.
*****Jujur, aku mulai lelah menjalani rumah tangga ini. Sudah mulai timbul rasa bosan dalam membina hubungan ini. Sikap dan watak Mas DIky teramat menyebalkan. Sifat kanak-kanaknya tak juga berubah. Gampang meledak-ledak seperti anak kecil, yang jiwanya belum matang. Aku masih harus terus menerus mempelajari sifat dan karakternya. Harus berusaha memahami segala kekurangannya, dan berusaha menempa jiwanya agar matang dan dewasa.Tetapi, kenapa hal ini tidak berlaku sebaliknya, coba? Harusnya dia juga berbuat yang sama! Dia juga harus memahami sifat dan karakterku. Bagaimana mungkin dia berfikir aku menelepon Reno, lalu mencurahkan isi hatiku, mengadukan keluh kesahku. Mala bukan type perempuan seperti itu, kan? Kenapa dia langsung meledak-ledak menuduh?Jika dia menduga seperti itu, bukankah harus bertanya dul
****“Maaaa! Mama kenapa senekat ini?” Mas Diky berteriak.Ratna ambruk, darah segar merembes membasahi dasternya yang terbalik. Mama mertuaku tersenyum seperti menyeringai.Ibu dan Nenek berlari dari kamar mereka. Menatap pemandangan yang tak diduga sama sekali.“Sudah, Ken! Sudah kutuntaskan dendammu! Aku tahu kau tidak pernah sakit, hatimulah yang terluka, bukan jiwamu! Tolong jaga Diky putraku, juga cucuku di perut putrimu! Biar aku saja yang menanggung semua ini. Kau di sini saja, jaga cucu kita, ya!” Mama menatap Ibu sendu.“Kak Lena? Kau? Jadi?” Ibu terperangah, dia kesulitan untuk berkata-kata. Bola matanya membulat sempurna.“Ya, Ken. Iya. Maaf, mengagetkanmu.”“Bang! Cepat bawa dia ke rumah sakit! Cepat!” perintahku kepada Bang Anwar. Segera
*****“Rahma! Bisa kau jelaskan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan papamu?” Mama mertua tiba-tiba menegakkan tubuh. Matanya berkilat dengan sorot tajam, menatap anak dan menantunya satu persatu.“Tidak ada apa-apa, Ma! Mama tenanglah!” bujuk Kak Rahma mengelus punggung ibunya.“Diky! Kau juga tak mau berkata jujur!” tuntutnya kepada suamiku.Mas Diky bergeming.“Anwar! Kau juga tak mau jujur?”Bang Anwar menatap istrinya, seolah minta persetujuan. Kak Rahma menggeleng.“Tinggal kau Mala! Kau juga tak mau menjelaskan pada Mama? Atau, jawaban ibumu adalah jawabanmu?” dia kini menatapku lekat.“Kak Rahma, Mas! Lebih baik kalian berterus terang saja! Untuk apa lagi, sih, kalian menyembunyikan hal
*****Mama mertua masih menunggu jawabanku. Wajahnya terlihat begitu serius, seolah ucapan yang akan keluar dari mulutku begtu penting baginya. Kuputar otak segera, berusaha mengumpulkan perbendaharaan kata, untuk kurangkai untuknya.“Mala! Kenapa jawab gitu, aja, mikir, sih? Bagaimana hasilnya? Papa enggak mau pulang? Masih merajuk juga?”“Bukan, begitu, Ma. Tapi –“Belum selesai kuucapkan kalimatku, tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur. Repleks aku dan Mama mertua berlari ke sumber kegaduhan. Nenek tengah jambak-jambakan dengan Ratna. Ya, Tuhan … Nenekku yang terlihat sudah begitu uzur, ternyata tenaganya sangat kuat. Untuk sesaat aku hanya melongo menonton pertunjukan. Terpukau dengan kegesitan Nenek menghajar perempuan lacur itu.“Hentikan! Sudah!”Eit, Mama mertu