2. Maafkan Aku Qilla
“Apa Kau sudah yakin akan pergi kesana?” tanya Ahmad.
“Entahlah, aku belum pastikan apa aku akan pergi atau tidak! Tapi melihat kondisiku yang sekarang, aku tidak bisa terus - terusan berdiam diri di kota ini. Kau sendiri tahukan! Sebulan terakhir ini kerjaanku hanya makan dan tidur. Aku merasa tidak enak denganmu, terutama Ayah dan Ibumu. Keluarga kalian sudah terlalu baik padaku. Aku harap suatu hari nanti aku bisa membalas kebaikan kalian.”
Sejak aku memutuskan berhenti kuliah, aku pindah ke rumahnya Ahmad. Tempat yang sangat nyaman untuk menenangkan diri. Letaknya di kebun cengkeh, Jl. Perempatan Batu Merah. Keluarga Ahmad sangat baik padaku. Ahmad adalah salah satu teman yang sudah cukup lama ku kenal.
Awal mula perkenalan kami terasa sedikit kaku. Saat itu aku sedang asyik latihan basket bersama teman - temanku. Kebetulan salah satu temanku datang bersama Ahmad__dengan alasan Ahmad ingin ikut latihan bersama kami jika di izinkan. Kami pun setuju, di saat itulah aku dan Ahamd mulai berteman baik.
Aku pindah ke rumahnya bukan tanpa alasan__hubungan yang awalnya memang sudah buruk__menjadi semakin memburuk. Ayahku mengusirku dari rumah. Ibuku juga sangat kecewa dengan keputusanku untuk berhenti kuliah.
Alasannya karena Beliau sudah mengeluarkan banyak uang. Kebiasaannya yang suka mengungkit masalah biaya semakin membuatku ingin benar – benar pergi dari rumah. Tanpa diusirpun__aku memang sudah berniat untuk pergi.
Selama aku tinggal bersama Ahmad__tak ada lagi rutinitas__hanya makan tidur. Sesekali juga keluar mencari angin. 2 minggu setelah kepindahanku, Ibuku menelfon ku__bertanya tentang kabarku.
Ternyata, Beliau sedikit khawatir selama aku meninggalkan rumah. Biar bagaimanapum beliau tetaplah Ibuku. Perasaan khawatirnya sedikit berkurang setelah mendengar ceritaku!! Beliau sudah mengenal keluarga Ahmad dengan baik__tidak ada masalah. Syukurlah, hubunganku dengan Ibu sudah membaik.
Sejak hari itu, Setiap minggu aku pergi berkunjung. Dan setiap aku datang, tak bosan – bosannya beliau memintaku untuk segera pulang. Aku hanya tersenyum, bukan sesuatu yang serius. setidaknya aku dan Ibu sudah berdamai. Itu yang terpenting.
Ayahku? Tak ada kata damai. Bahkan setelah aku meniggalkan kota Ambon, aku tidak menemuinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Tapi aku benar – benar membencinya, sangat membencinya.
Perlakuan kasar yang aku terima membuatku tidak melihatnya sebagai seorang Ayah. Bagiku, dia adalah monster. Itu yang aku rasakan saat masih Anak – Anak.
Bukankah seorang anak akan selalu merasa bahagia saat melihat Ayah mereka pulang kerumah dan selalu merasa terlindungi berada disamping sang Ayah! Tapi yang aku rasakan sangat berbeda, setiap kali melihatnya, perasaan takut menyelimuti diriku.
Aku benar – benar takut. Kesalahan sedikit saja akan membuatku dipukuli__tak ada ampun. Perlakuan yang kudapat membuatku mengalami gangguan psikis__mentalku rusak__meskipun tidak nampak__itu membuatku garang diluar.
Aku melampiaskan semua amarahku diluar. Setiap hari aku berkelahi, tak terkendali, layaknya sebuah mobil kehilangan kontrol, rem blong, kecepatan penuh, siap menabrak apapun yang ada didepan, terjun kejurang, sungai, bahkan lebih dari itu, bisa meledak.
Beruntung, Tuhan masih menolongku, 2 sahabat yang tidak akan pernah terlupakan. Membantu melewati hari – hari kelam dalam hidupku. Terima kasih Tuhan. Mereka berdua jugalah yang melepas kepergianku.
“Ciang! Ciang! Ciang! Hey, kau kenapa? Kau baik – baik saja kan?” Ahmad memutus lamunanku.
“Akhir – akhir ini aku perhatikan kau sering melamun, ada apa?”
“Ah, tidak ap-apa!” Aku menjawab datar.
“Terus gimana! Apa kau jadi pergi?”
Sambil tersenyum aku berdiri dari sofa, berjalan menuju halaman depan rumah, segera mengenekan sepatu futsal.
“Sudah sore, waktunya kita main bola" aku mencoba mengalihkan pembicaraan. akhir – akhir ini Ahmad selalu mempertanyakan tentang apa aku jadi pergi atau tidak.
“Hey, kau belum menjawab pertanyaanku Ciang.”
“Ahmad, bukannya aku tidak mau menjawab pertanyaanmu, tapi untuk saat ini aku juga belum tahu apa aku jadi pergi atau tidak. Cepat pakai sepatumu. Aku duluan.” Aku segera berjalan menuju lapangan.
Di depan rumahnya__ada halaman luas__halaman itu dijadikan lapangan untuk bermain bola. Setiap sore kami selalu menghabiskan waktu untuk bermain. Bahkan teman-teman yang menetap dikota sesekali juga ikut bergabung.
Sangat menyenangkan, bukan karena permainannya, tapi lebih dari itu, aku merasa damai. Sejenak melepaskan beban di kepalaku.
Ahmad benar, akhir – akhir ini aku memang sering melamun, sebenarnya bukan dia saja yang mempertanyakan kepergianku. Aku sendiri mempertanyakan itu. Apa aku benar – benar akan pergi? Apa itu mungkin? Entahlah.
Kota ini adalah kota kelahiranku, terlepas dari semua masalah yang datang silih berganti, aku sangat mencintai kota ini.
Pikiran ini muncul setelah aku berdamai dengan Ibuku__Beliau memberiku saran agar aku menghubungi kakak ku. Barangkali saja aku bisa kesana dan mendapat pekerjaan.
Beliau tidak ingin aku berdiam diri, jika tidak ingin kuliah, aku harus kerja. Itulah yang di inginkannya. Usiaku sudah menginjak 20. Sesuatu yang lazim bagi seorang anak laki – laki untuk mencari pekerjaan.
Aku bukan lagi seorang mahasiswa. Mutlak bagiku untuk mencari pekerjaan. Aku bukan lagi anak kecil. Tidak mungkin aku terus – terusan mengharapkan keluarga Ahmad. Terutama mengharapkan kedua orang Tuaku. Ah, maksudku adalah Ibuku. Aku harus punya penghasilan sendiri untuk membiayai hidupku. Baiklah, sudah saatnya mebuat keputusan babak baru dalam hidupku.
Beberapah hari kemudian tepatnya di malam hari, aku memutuskan menghubungi Kakak ku. “Hallo!" Sudah lama aku tidak mendengar suara itu, suara yang entah kenapa membuatku merasa bangga menjadi adik kandungnya. Kisah perjalanan hidup yang membuatku kagum sekaligus merasa prihatin padanya, bukan karena aku kasihan, hanya saja semua terlalu rumit bagiku untuk memahami semua yang terjadi, terlalu menyedihkan. Aku masih terlalu mudah untuk memahami pikiran orang dewasa. "Halo Kak, apa kabar?” Andai bisa jujur, setiap berbicara dengannya aku merasa seperti orang yang tidak tahu apa – apa di muka bumi ini, dia selalu unggul dalam segala hal, serba tahu, dan mmmm entahlah. Kadang dia seperti cerminan dari Ayahku. “Baik, kau sendiri gimana? Apa kau baik – baik saja disitu setelah meninggalkan kuliahmu, kalau boleh jujur aku sangat kece__”dia menarik napas dalam - dalam, aku diam saja, aku tahu dia akan mengatakan itu. Aku sudah mendengar semuanya
“Aku ingin datang kesitu.” “H-ha, apa? Apa aku tidak salah dengar? Kau ingin datang kesini? Yang benar saja Ciang! Bagaimana mungkin seorang Ciang yang sangat mencintai kota kelahirannya ingin datang kesini!” Dia terkejut, lebih tepatnya merasa heran atau mmm entahlah. “Aku serius Kak, aku ingin kesitu, aku ingin mencari pekerjaan. Dan lagian aku rasa tidak ada yang bisa kulakukan di kota ini.” Aku mencoba meyakinkannya. Setidaknya__untuk sementara__ “Kau yakin? Aku khawatir kau tidak akan merasa nyaman disini!" “Aku sudah yakin dan aku akan berusaha bertahan selama yang aku bisa” Aku menjawab tanpa keraguan__ sejujurnya dari di lubuk hati, aku tidak siap, tapi aku merasa tidak punya pilihan, aku harus berangkat. “Mmmmmm baiklah kalau begitu, kapan kau kesini?” “Secepatnya Kak” Aku segera mematikan telfon setelah semua obrolanku dengan Kakak ku selesai. Obrolan kami di malam itu berjalan dengan baik. Dia setuju, dia mem
“Hallo,,!!” Suaranya terdengar berat, mungkin karena masih setengah sadar. “Apa aku mengganggu tidurmu?” jelas aku mengganggu tidurnya, ini sudah larut, tapi untuk sebuah hubungan asmara, terlebih jalinan hubungan yang sudah berjalan dua tahun lebih, itu bisa ada sedikit pengecualian. “Tidak kok, tumben telfon jam segini, ada apa yank?” Suaranya masih terdengar berat di telingaku. Apa kalian bisa bayangkan sebesar apakah rasa cintanya padaku? Dalam keadaan setengah sadar, dia masih memanggilku dengan panggilan sayangnya. Aku benar – benar beruntung, lebih dari itu dia juga cantik. “Ada yang ingin ku sampaikan padamu, besok jam 8 malam kita bertemu di tempat biasa.” “Ia, yank” “Baiklah, mat bobo, love you!” "Love you to!" "Tut tut tut.." Tadinya aku ingin mengatakannya secara langsung via telfon, tapi urung, lebih baik jika langsung bertemu, aku rasa itu juga jauh le
“Oh iya, aku lupa!” Dia membuka tas, mengambil sesuatu. Itu adalah toples, ukurun mini. Tas yang dia pakai adalah tas yang biasa di gunakan cewe - cewe pada umumnya. “Ini, ada oleh – oleh dari Kakak ku, dia baru tiba dari belanda siang ini.” Aku membukanya, isinya adalah cokelat. Dia tahu aku sangat menyukai cokelat. Sudah umum bagi dua insan untuk lebih peka, apalagi untuk soal apa saja yang di suka dan yang tidak di sukai. “Makasih ya, salam untuk Kakak mu! Aku juga punya sesuatu untukmu, sekarang tutup matamu”dia menurut, aku segera berdiri dari tempat kami duduk, berlari - lari kecil menuju tempat parkiran, membuka jok motor dan mengambil hadiah yang akan kuberikan padanya. “Sekarang buka matamu” SURPRISE!!! Raut wajahnya terlihat senang saat tahu hadiah yang kuberikan adalah buku yang selama ini dia tunggu. Matanya sampai bekaca – kaca karena bahagia. Sebelum bertemu, aku menyempatkan diri untuk membelikan buku, sebagai hadiah sebelum aku berangkat. Gara – gara buku itu, mala
3. Sentani, Jayapura “...Bangun! Ciang, hari ini aku harus menang. Aku tidak akan membiarkan si Umar brengsek itu mendahului kita lagi kali ini.”Fahri berusaha membangunkanku dari tidur. “Ayo Ciang, bangun!” dia menarik selimut, menggoyang – goyang tubuhku, dengan rasa ngantuk yang masih berat, aku mengucak mataku, segera melirik jam. “Damn it,,! Kau sudah gila Fahri, ini jam berapa?” mataku terbelalak melihat jarum jam, bagaimana mungkin kami ke pasar jam segini. Jam 5 pagi, ini gila. Pembeli mana yang mau belanja. Aku ingin melanjutkan tidurku. “Kau harus menemaniku Ciang, ayolah!” dia berusaha kembali membangunkanku. Memaksa menopangku untuk berdiri. Ini gila. Aku ber_huft. Ini tidak masuk akal. Sebenarnya aku bisa melanjutkan tidurku, tapi urung. Fahri adalah teman terbaik sejak
Hari ini Umar kalah dalam pertarungan adu cepat buka kios dengan Fahri, otomatis dia harus membayar makanan kami berdua, sebenarnya aku dan Juli tidak ada kaitannya dengan rivalitas mereka. Tapi semenjak kedatanganku, Fahri memilihku sebagai partnernya dan Umar memilih Juli. “Assalamualaikum Seli,,! Baru pulang dari kampus ya?” wajah Umar memerah__ entah kenapa, mendengar Umar menyapa seseorang di kios sebelah, tiba–tiba saja Juli dan Fahri bersikap cool__naluri kelaki-lakian mereka ingin terlihat keren. Selama sebulan terakhir baru kali ini aku melihat perubahan itu, aku tidak sempat memikirkannya, aku asyik menyantap makan siangku. Lagi pula bukan urusanku untuk memikirkan itu. Aku segera menghabiskan jatah makananku, meninggalkan mereka, aku harus cepat–cepat, hari ini aku belum dapat pembeli, hanya satu dua orang calon pembeli yang mampir, sekedar bertanya, jualanku belum ada yang laku. “Eh, aku duluan ya!” aku segera berjalan meninggalkan kios makanan, sepertinya mereka bertig
Sudah sebulan aku berada disini, tepatnya di kabupaten Sentani, kota Jayapura. Bertemu orang – orang baru, teman baru__terasa seperti dunia baru bagiku. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan disini__apapun keadaannya. Sejujurnya aku belum terlalu nyaman dengan tempat ini. Aku juga belum tau apa yang menjadi penyebabnya__bisa juga mungkin karena sebelumnya aku tidak pernah keluar kota. Kalaupun pernah, tidak lebih dari sekedar liburan. Sambil memikirkan itu aku belum terlalu yakin apa aku bisa bertahan__ Sebelum aku berangkat, Kakak ku sudah berjanji akan membantuku agar bisa bekerja di Bandara, dan itu cukup membuatku senang__entalah. Sudah sebulan berlalu sejak aku tiba disini, belum ada kejelasan yang pasti. Terakhir, satu minggu yang lalu aku sempat bertanya soal bantuan yang dia tawarkan, dan dia hanya menjawab dengan basa basi seakan itu tidak terlalu penting__hanya soal waktu aku akan segera menyadari semua gambaran di lingkungan ini. *** Tiga hari setelah aku tiba di kota
"Iya, Kak! Aku rasa tidak ada kecocokan lagi di antara kami! Jadi sebaiknya kami akhiri saja sebelum hubungan ini terlalu jauh." Jawab Elsa. Sebenarnya, andai saja aku tidak meningat bahwa dia pernah menolongku__dalam artian bukan secara pribadi__ aku ingin sekali bertanya dengan nada acuh tak acuh 'LAH! TERUS, URUSANNYA SAMA AKU ITU APA?' Aku merasa ini hanya buang - buang waktu. "Oh, gitu...! Ya, terserah kalian berdua saja! Selama tidak saling menyinggung, aku rasa kedepannya pasti baik - baik saja. Lagi pula kau masih mudah, sebaiknya kau fokus belajar, hanya tersisa beberapa bulan lagi kalian akan ujian Nasional kan! Persiapkan saja dirimu supaya bisa lanjut ke perguruan tinggi!" Sial! Kenapa aku jadi menasehatinya?! Aku segera mengumpat diriku. Jika aku tidak salah menebaknya, saat ini Elsa dan Qilla berada di tahun ketiga__bangku SMA. Tapi, aku bisa melihat ada perbedaan yang cukup mencolok di antara mereka berdua. Cara berpikir Qilla agak lebih matang dari Elsa. Aku bisa me