Liana terlihat cemberut saat aku dan papanya pamit pergi untuk liburan ke Bali selama tiga hari. "Liana mau ikut ibu aja. Liana ga mau ditinggal," rengeknya sambil terus memelukku. Sebenarnya tak tega melihatnya menangis seperti ini, tapi Mas Daffi bersikeras tidak mengajak Liana, karena ia harus sekolah. Untuk sementara Liana akan tinggal bersama Mama Juwita. Itu pun ditolak Liana yang mulai tidak menyukai sikap neneknya itu karena masih memusuhiku. Akhirnya dengan bujukanku yang berjanji akan membelikannya banyak hadiah, aku berhasil membuat Liana menurut. Ia juga bilang tidak akan mengatakan apapun pada neneknya soal kepergian kami ke Bali. "Kamu tunggu di sini, dulu, ya. Aku mau mengantar Liana ke tempat Mama. Aku katakan kalau ada dinas ke luar kota selama tiga hari." "Kenapa buru-buru, Mas?" tanyaku penasaran. "Pesawat kita, kan, jam tujuh malam. Ini masih jam sepuluh pagi.""Ga apa, lebih cepat lebih baik," lirih Mas Daffi sambil mencium keningku. Kupeluk erat putriku yang
Mataku mengerjap pelan. Sinar kekuningan yang berasal dari lampu yang tergantung di atasku terasa menyilaukan. Rasanya lama sekali aku tak sadarkan diri hingga tubuh ini terasa sangat lemas. Bahkan untuk membuka mata saja begitu sulit. Kucoba untuk bangkit dari posisi tidur. Beruntung orang yang sudah membawaku ke sini tidak mengikat tangan dan kakiku. Namun, ini di mana?Nampak berbagai lukisan kuno mendominasi ruangan yang kira-kira berukuran sembilan meter persegi ini. Sepertinya ini galeri lukisan yang sudah lama tidak terpakai. Warna dinding bercat hijau tosca tampak sudah memudar di beberapa bagiannya. Bau cat kanvas bercampur debu terasa sangat menusuk penciuman. Perlahan dadaku terasa sangat sesak seperti ditekan oleh benda yang sangat berat. Air mata sudah tak terbendung, turun bergantian membasahi pipi. Teringat kembali saat tadi aku membukakan pintu apartemen untuk seseorang yang kukira adalah Mas Daffi, sampai dengan aku tak sadarkan diri setelah menghirup cairan di sapu
"Yah, hanya mencicip sedikit saja. Ternyata kau boleh juga. Manis." Ia mengendikkan bahu hingga membuatku merasa jijik. "Aku hampir saja tidak mampu menahan diri.""Apa?! Bre**sek, Kau! Kurang ajar! Jangan-jangan kau sudah memperkosaku saat tadi aku tak sadarkan diri!" makiku penuh emosi. Masih dalam posisi jongkok, kulempari ia dengan pigura kecil yang berada di dekatku. Tak peduli jika itu berharga sangat mahal. Dia mengerang kesakitan saat salah satu pigura berhasil mengenai kepalanya. "Hei! Hentikan! Aku tidak melakukan hal yang kau tuduhkan itu, ya!""Bohong!" Nyalang mataku memandangnya. "Aduh, kau itu pengacara tapi bodoh, ya. Memangnya alat intimmu itu terasa sakit?"Ia benar. Di bawah sini tidak terasa apa-apa seperti saat aku baru melakukannya bersama Mas Daffi."Atau kau mau aku melakukan hal yang lebih jauh daripada yang sudah kulakukan tadi? Seperti yang ada dalam pikiranmu? Lagipula, pria normal mana yang tidak tergoda melihat pemandangan indah seperti tubuh polosmu i
Otakku terasa beku saat fakta di depanku terkuak. Penjahat paling berbahaya yang pernah kukenal dulu kini ada di hadapan. Namun, benarkah itu dia? Tetap saja setelah berada bersamanya beberapa jam ke belakang, hati kecilku menolak untuk mengakui. Enggak, enggak mungkin dia Frans. Frans yang kutahu adalah sosok yang sangat kejam. Dia tak segan-segan menghabisi siapapun yang dia anggap menghalangi urusannya. Bahkan dulu, tanpa rasa kasihan sedikitpun, dengan tangannya sendiri dia telah membuat wajahku ini terluka. Setauku dia juga tak pernah sendirian, para ajudan dan teman-temannya selalu berada di dekatnya. Bukan seperti sosok yang ada di depanku ini. Namun, walaupun pria bertopeng itu penculik, harus kuakui dia tidak sekejam Frans. Kalaupun itu Frans, apa mungkin setelah dipenjara sekian lama, sudah membuat perilakunya berubah dan otaknya menjadi mampu berpikir lebih manusiawi? Lalu, di mana pengawal dan teman-temannya? Ah, pikiranku lagi-lagi buntu. Mendengar pertanyaanku barusan,
Pov Author**Daffi baru saja tiba di apartemen tempat mereka tinggal. Setelah turun dari mobil, ia berjalan sambil bersiul. Senyuman seolah tak pernah lepas dari wajah tampannya. Tak lupa ia membawa coklat pesanan Riana yang tadi sudah dibelinya. Dalam benak Daffi, ia terus membayangkan bahwa sesaat lagi akan menikmati indahnya 'surga dunia' bersama sang istri, terlebih setelahnya mereka juga akan segera berangkat liburan ke Bali. Entah kenapa setelah mereka kembali bersama, Daffi seakan candu pada tubuh istrinya. Hampir setiap hari ia selalu mengajak Riana untuk berhubungan. "Ah, Riana, kau membuatku gila!" gumamnya sambil menaiki lift menuju lantai lima, lantai tempat unit mereka berada. Ia bermaksud untuk memberi kejutan pada istrinya itu dengan cara langsung masuk ke dalam dengan menggunakan kunci cadangan. Riana pasti sudah menunggunya dengan menggunakan lingerie merah muda sesuai dengan yang ia pinta tadi. Dada Daffi berdegup kencang, walaupun sudah berumah tangga selama tujuh
Pov Author***"Apa maksud kamu kalau Riana hilang?" cecar Sahid Anwar. Setelah melihat rekaman CCTV, Daffi memutuskan untuk segera menemui pengacara itu. Ia lalu menceritakan kejadian di apartemen sekaligus menunjukkan rekaman CCTV kepada Om Sahid. "S*it! Siapa pria itu? Kalau benar Riana di dalam koper, apa maksudnya menculik Riana dengan cara begitu?!" geram Sahid. "Fikri, cepat bawakan catatan kasus yang sedang dan sudah selesai ditangani Riana. Cepat!" seru Sahid pada staffnya melalui telepon. Pengacara berusia lima puluh tahunan itu berpikir keras. Ia tidak menemukan hal yang mencurigakan dari berkas yang sedang dibacanya. Semuanya nampak normal dan biasa. Ia juga sudah bertanya pada Fikri dan rekan kerja Riana yang lain, tapi petunjuk masih nihil. Sahid juga merasa bahwa Riana tidak memiliki musuh, begitupun dengan Daffi. "Riana, semoga kau baik-baik saja." Sahid mendengkus kasar sambil memijit pelipisnya. Ia terlihat begitu khawatir. Biar bagaimanapun, Riana sudah dianggap
Sepeninggal pria asing itu, aku duduk terdiam beberapa saat di atas ranjang, mencoba mencerna fakta yang baru saja kutemukan di depanku. Bahkan saat ia pergi berlari menjauh dan mengunci pintunya pun tak kuhiraukan lagi. Di tengah kebingunganku, kira-kira beberapa menit kemudian, terdengar decit ban kendaraan yang berhenti di dekat tempatku berada kini. Ramai langkah kaki bergerak semakin mendekat. Kedengarannya mereka ada empat sampai lima orang. "Ri, Riana! Lo ada di dalam?" Terdengar suara Rafif yang tiba-tiba sudah menggedor pintu yang tadi sempat dikunci oleh si penculik. Suaranya sontak menyadarkanku dari lamunan. Cepat kubangkit dan berusaha mendekati sumber suara. "Fif, gue di dalam!" pekikku. Kucoba untuk menggerakkan handel pintu tapi pintu tidak mau terbuka."Daf, Riana udah ketemu, dia ada di sini!" teriaknya lagi. Sepertinya ia memanggil Mas Daffi. "Ri, lo mundur, ya. Biar gue dobrak pintunya!" titah Rafif yang langsung kupatuhi. Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar.
"Apa Sayang? Siapa dia?""Mmh, nggak tahu, Mas. Aku masih belum yakin. Maaf kalau aku bikin bingung, ya, Mas.""Kamu pasti syok banget, ya? Dasar penjahat s**lan! Coba saja kemarin Mas datang lebih awal, mungkin Mas bisa mencegah peristiwa itu. Lagi pula, dia berani sekali menculikmu sore hari dan datang ke apartemen!" geramnya. "Sudahlah, Mas. Semuanya sudah terjadi, yang penting aku ga kenapa-napa dan bisa kembali sama Mas lagi." Suasana kembali hening. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan pada Mas Daffi mengenai banyak hal. Mengenai bagaimana cara penjahat itu bisa membawaku tanpa diketahui oleh petugas keamanan apartemen, bagaimana sampai akhirnya Mas Daffi bisa datang menyelamatkanku dan yang paling membuatku penasaran mengapa saat itu Mas Daffi bisa bersama dengan Rafif. Tapi ragaku terasa begitu lelah. ***"Ibu, Liana kangen. Ibu perginya lama banget, si," ujar gadis kecil itu sambil menyandarkan kepalanya di dadaku yang kubalas dengan memeluknya penuh kasih. "Ibu
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal