"Yah, hanya mencicip sedikit saja. Ternyata kau boleh juga. Manis." Ia mengendikkan bahu hingga membuatku merasa jijik. "Aku hampir saja tidak mampu menahan diri.""Apa?! Bre**sek, Kau! Kurang ajar! Jangan-jangan kau sudah memperkosaku saat tadi aku tak sadarkan diri!" makiku penuh emosi. Masih dalam posisi jongkok, kulempari ia dengan pigura kecil yang berada di dekatku. Tak peduli jika itu berharga sangat mahal. Dia mengerang kesakitan saat salah satu pigura berhasil mengenai kepalanya. "Hei! Hentikan! Aku tidak melakukan hal yang kau tuduhkan itu, ya!""Bohong!" Nyalang mataku memandangnya. "Aduh, kau itu pengacara tapi bodoh, ya. Memangnya alat intimmu itu terasa sakit?"Ia benar. Di bawah sini tidak terasa apa-apa seperti saat aku baru melakukannya bersama Mas Daffi."Atau kau mau aku melakukan hal yang lebih jauh daripada yang sudah kulakukan tadi? Seperti yang ada dalam pikiranmu? Lagipula, pria normal mana yang tidak tergoda melihat pemandangan indah seperti tubuh polosmu i
Otakku terasa beku saat fakta di depanku terkuak. Penjahat paling berbahaya yang pernah kukenal dulu kini ada di hadapan. Namun, benarkah itu dia? Tetap saja setelah berada bersamanya beberapa jam ke belakang, hati kecilku menolak untuk mengakui. Enggak, enggak mungkin dia Frans. Frans yang kutahu adalah sosok yang sangat kejam. Dia tak segan-segan menghabisi siapapun yang dia anggap menghalangi urusannya. Bahkan dulu, tanpa rasa kasihan sedikitpun, dengan tangannya sendiri dia telah membuat wajahku ini terluka. Setauku dia juga tak pernah sendirian, para ajudan dan teman-temannya selalu berada di dekatnya. Bukan seperti sosok yang ada di depanku ini. Namun, walaupun pria bertopeng itu penculik, harus kuakui dia tidak sekejam Frans. Kalaupun itu Frans, apa mungkin setelah dipenjara sekian lama, sudah membuat perilakunya berubah dan otaknya menjadi mampu berpikir lebih manusiawi? Lalu, di mana pengawal dan teman-temannya? Ah, pikiranku lagi-lagi buntu. Mendengar pertanyaanku barusan,
Pov Author**Daffi baru saja tiba di apartemen tempat mereka tinggal. Setelah turun dari mobil, ia berjalan sambil bersiul. Senyuman seolah tak pernah lepas dari wajah tampannya. Tak lupa ia membawa coklat pesanan Riana yang tadi sudah dibelinya. Dalam benak Daffi, ia terus membayangkan bahwa sesaat lagi akan menikmati indahnya 'surga dunia' bersama sang istri, terlebih setelahnya mereka juga akan segera berangkat liburan ke Bali. Entah kenapa setelah mereka kembali bersama, Daffi seakan candu pada tubuh istrinya. Hampir setiap hari ia selalu mengajak Riana untuk berhubungan. "Ah, Riana, kau membuatku gila!" gumamnya sambil menaiki lift menuju lantai lima, lantai tempat unit mereka berada. Ia bermaksud untuk memberi kejutan pada istrinya itu dengan cara langsung masuk ke dalam dengan menggunakan kunci cadangan. Riana pasti sudah menunggunya dengan menggunakan lingerie merah muda sesuai dengan yang ia pinta tadi. Dada Daffi berdegup kencang, walaupun sudah berumah tangga selama tujuh
Pov Author***"Apa maksud kamu kalau Riana hilang?" cecar Sahid Anwar. Setelah melihat rekaman CCTV, Daffi memutuskan untuk segera menemui pengacara itu. Ia lalu menceritakan kejadian di apartemen sekaligus menunjukkan rekaman CCTV kepada Om Sahid. "S*it! Siapa pria itu? Kalau benar Riana di dalam koper, apa maksudnya menculik Riana dengan cara begitu?!" geram Sahid. "Fikri, cepat bawakan catatan kasus yang sedang dan sudah selesai ditangani Riana. Cepat!" seru Sahid pada staffnya melalui telepon. Pengacara berusia lima puluh tahunan itu berpikir keras. Ia tidak menemukan hal yang mencurigakan dari berkas yang sedang dibacanya. Semuanya nampak normal dan biasa. Ia juga sudah bertanya pada Fikri dan rekan kerja Riana yang lain, tapi petunjuk masih nihil. Sahid juga merasa bahwa Riana tidak memiliki musuh, begitupun dengan Daffi. "Riana, semoga kau baik-baik saja." Sahid mendengkus kasar sambil memijit pelipisnya. Ia terlihat begitu khawatir. Biar bagaimanapun, Riana sudah dianggap
Sepeninggal pria asing itu, aku duduk terdiam beberapa saat di atas ranjang, mencoba mencerna fakta yang baru saja kutemukan di depanku. Bahkan saat ia pergi berlari menjauh dan mengunci pintunya pun tak kuhiraukan lagi. Di tengah kebingunganku, kira-kira beberapa menit kemudian, terdengar decit ban kendaraan yang berhenti di dekat tempatku berada kini. Ramai langkah kaki bergerak semakin mendekat. Kedengarannya mereka ada empat sampai lima orang. "Ri, Riana! Lo ada di dalam?" Terdengar suara Rafif yang tiba-tiba sudah menggedor pintu yang tadi sempat dikunci oleh si penculik. Suaranya sontak menyadarkanku dari lamunan. Cepat kubangkit dan berusaha mendekati sumber suara. "Fif, gue di dalam!" pekikku. Kucoba untuk menggerakkan handel pintu tapi pintu tidak mau terbuka."Daf, Riana udah ketemu, dia ada di sini!" teriaknya lagi. Sepertinya ia memanggil Mas Daffi. "Ri, lo mundur, ya. Biar gue dobrak pintunya!" titah Rafif yang langsung kupatuhi. Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar.
"Apa Sayang? Siapa dia?""Mmh, nggak tahu, Mas. Aku masih belum yakin. Maaf kalau aku bikin bingung, ya, Mas.""Kamu pasti syok banget, ya? Dasar penjahat s**lan! Coba saja kemarin Mas datang lebih awal, mungkin Mas bisa mencegah peristiwa itu. Lagi pula, dia berani sekali menculikmu sore hari dan datang ke apartemen!" geramnya. "Sudahlah, Mas. Semuanya sudah terjadi, yang penting aku ga kenapa-napa dan bisa kembali sama Mas lagi." Suasana kembali hening. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan pada Mas Daffi mengenai banyak hal. Mengenai bagaimana cara penjahat itu bisa membawaku tanpa diketahui oleh petugas keamanan apartemen, bagaimana sampai akhirnya Mas Daffi bisa datang menyelamatkanku dan yang paling membuatku penasaran mengapa saat itu Mas Daffi bisa bersama dengan Rafif. Tapi ragaku terasa begitu lelah. ***"Ibu, Liana kangen. Ibu perginya lama banget, si," ujar gadis kecil itu sambil menyandarkan kepalanya di dadaku yang kubalas dengan memeluknya penuh kasih. "Ibu
"Eh, gak kenapa-napa, kok, Mas. Aku cuma mematikan alarm aja tadi," ucapku terpaksa berbohong. Dengan gerakan cepat, segera kumatikan kembali layar ponsel. Untung saja Mas Daffi masih setengah sadar jadi ia belum melihat secara jelas gambar yang nampak di layar ponselku. Bergegas kuletakkan kembali ponsel di atas nakas di samping tempat tidur dan kembali keperaduan agar Mas Daffi tidak curiga, meskipun tadi aku belum sempat menghapus semua foto-foto itu. "Mas, kita tidur lagi aja, yuk, masih larut malam," ujarku seraya memeluk pelan tubuh Mas Daffi dan mengajaknya kembali berbaring. Dalam sekejap, Mas Daffi kembali terlelap. Duh, hampir saja. Kalau sampai Mas Daffi tau mengenai foto ini, bisa kacau semuanya. Besok setelah bangun tidur, akan kuhapus semua foto memalukan itu dan mencari tau siapa pemilik nomor asing yang telah mengirimnya. Apakah benar itu adalah nomor lain dari seseorang yang saat ini sedang terbersit di pikiranku? Tega sekali jika benar dia yang melakukannya. ***"
Hari minggu itu, kami pindah dari apartement ke rumah di daerah Jakarta Selatan. Rumah yang Mas Daffi belikan khusus untukku. Lokasinya lumayan dekat dengan sekolah Liana dan kantor Mas Daffi. Liana begitu bahagia karena akhirnya bisa kembali tinggal di rumah yang cukup besar, karena ia juga sudah tidak mau kembali tinggal di rumah lamanya. "Liana males tinggal di sana lagi. Nenek dan Tante Friska masih sering datang," celotehnya waktu itu. Rumah baru kami cukup besar, walaupun memang tidak sebesar rumah lama. Namun, menurutku ini sudah lebih dari cukup. Rumah bergaya Eropa klasik yang terdiri dari beberapa tiang. Di dalamnya Mas Daffi sengaja meletakkan banyak sekali ornamen dan ukiran unik yang merupakan ciri khas dari daerah Jepara. Daerah asal Papa Asmoro. Rumah ini memiliki langit-langit yang cukup jauh sehingga dari luar, rumah terlihat sangat tinggi. Membuat siapapun yang berada di dalamnya terasa sejuk dan nyaman. Tidak hanya pada bagian interiornya saja, pada bagian ukiran