"Apa Sayang? Siapa dia?""Mmh, nggak tahu, Mas. Aku masih belum yakin. Maaf kalau aku bikin bingung, ya, Mas.""Kamu pasti syok banget, ya? Dasar penjahat s**lan! Coba saja kemarin Mas datang lebih awal, mungkin Mas bisa mencegah peristiwa itu. Lagi pula, dia berani sekali menculikmu sore hari dan datang ke apartemen!" geramnya. "Sudahlah, Mas. Semuanya sudah terjadi, yang penting aku ga kenapa-napa dan bisa kembali sama Mas lagi." Suasana kembali hening. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan pada Mas Daffi mengenai banyak hal. Mengenai bagaimana cara penjahat itu bisa membawaku tanpa diketahui oleh petugas keamanan apartemen, bagaimana sampai akhirnya Mas Daffi bisa datang menyelamatkanku dan yang paling membuatku penasaran mengapa saat itu Mas Daffi bisa bersama dengan Rafif. Tapi ragaku terasa begitu lelah. ***"Ibu, Liana kangen. Ibu perginya lama banget, si," ujar gadis kecil itu sambil menyandarkan kepalanya di dadaku yang kubalas dengan memeluknya penuh kasih. "Ibu
"Eh, gak kenapa-napa, kok, Mas. Aku cuma mematikan alarm aja tadi," ucapku terpaksa berbohong. Dengan gerakan cepat, segera kumatikan kembali layar ponsel. Untung saja Mas Daffi masih setengah sadar jadi ia belum melihat secara jelas gambar yang nampak di layar ponselku. Bergegas kuletakkan kembali ponsel di atas nakas di samping tempat tidur dan kembali keperaduan agar Mas Daffi tidak curiga, meskipun tadi aku belum sempat menghapus semua foto-foto itu. "Mas, kita tidur lagi aja, yuk, masih larut malam," ujarku seraya memeluk pelan tubuh Mas Daffi dan mengajaknya kembali berbaring. Dalam sekejap, Mas Daffi kembali terlelap. Duh, hampir saja. Kalau sampai Mas Daffi tau mengenai foto ini, bisa kacau semuanya. Besok setelah bangun tidur, akan kuhapus semua foto memalukan itu dan mencari tau siapa pemilik nomor asing yang telah mengirimnya. Apakah benar itu adalah nomor lain dari seseorang yang saat ini sedang terbersit di pikiranku? Tega sekali jika benar dia yang melakukannya. ***"
Hari minggu itu, kami pindah dari apartement ke rumah di daerah Jakarta Selatan. Rumah yang Mas Daffi belikan khusus untukku. Lokasinya lumayan dekat dengan sekolah Liana dan kantor Mas Daffi. Liana begitu bahagia karena akhirnya bisa kembali tinggal di rumah yang cukup besar, karena ia juga sudah tidak mau kembali tinggal di rumah lamanya. "Liana males tinggal di sana lagi. Nenek dan Tante Friska masih sering datang," celotehnya waktu itu. Rumah baru kami cukup besar, walaupun memang tidak sebesar rumah lama. Namun, menurutku ini sudah lebih dari cukup. Rumah bergaya Eropa klasik yang terdiri dari beberapa tiang. Di dalamnya Mas Daffi sengaja meletakkan banyak sekali ornamen dan ukiran unik yang merupakan ciri khas dari daerah Jepara. Daerah asal Papa Asmoro. Rumah ini memiliki langit-langit yang cukup jauh sehingga dari luar, rumah terlihat sangat tinggi. Membuat siapapun yang berada di dalamnya terasa sejuk dan nyaman. Tidak hanya pada bagian interiornya saja, pada bagian ukiran
"Duh, istri siapa si ini? Hatinya mulia sekali," lirihnya tepat di telingaku hingga mampu membuat rambut halus di beberapa bagian tubuhku jadi terbangun."Istri Mas Daffi," jawabku malu-malu."Nanti, ya, Sayang. Kalau mas rasa waktunya sudah tepat, mas janji kita akan menemui mama dan mengatakan kalau kita sudah kembali bersama lagi."Lalu tanpa kata lagi kami pun sudah tak berjarak. Diiringi untaian tasbih yang senantiasa terucap di dalam hati, di dalam kamar yang baru malam ini kami tempati dan di atas ranjang yang cukup besar, raga dan jiwa dua orang insan yang saling mencinta kemudian menyatu. ***Pandanganku terasa kabur. Kepala pun terasa begitu berat. Kucoba untuk membuka mata tapi sangat sulit. Ada apa denganku? Kenapa badan rasanya pegal semua? Beberapa detik kemudian, terasa gejolak aneh dalam perut. Membuatku terbangun dan langsung menuju ke toilet. "Hoek, hoek!" Napasku tersengal naik turun menahan rasa mual yang mendadak muncul. "Hoek!""Sayang, kamu kenapa?" tanya Mas
Supaya ia segera pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Semoga saja sebentar lagi Mas Daffi pulang. Jujur, aku bingung bagaimana harus menghadapi mereka berdua yang mendadak muncul seperti ini. "Mana Daffi!" tanya Mama Juwita dengan angkuh. "Mas Daffi belum pulang, Ma. Mungkin sebentar lagi. Oh iya, gimana kabar Mama?" ucapku sesopan mungkin sambil berusaha mencium punggung tangannya. "Baik," jawab Mama Juwita sambil menyilangkan kaki dan menepis kasar tanganku. Sabar, Riana. Sabar. "Silahkan diminum Nyonya, Non." Untung saja Bik Sumi segera datang dengan membawakan minuman untuk mereka. Menghilangkan rasa canggungku berada di tengah-tengah mereka. "Terima kasih," ucap Friska tanpa menyentuh minumannya."Pantas saja selama ini Daffi sudah tidak pernah lagi mengunjungiku. Ternyata karena kamu, tho." Dengan sorot mata yang merendahkan, Mama Juwita memindaiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sikapnya tidak berubah. Masih sama seperti dulu sebelum aku meninggalkan rumah Mas Daff
Loh, kenapa foto itu bisa ada sama Friska? Ada hubungan apa dia dengan penculik itu? Degup jantungku mendadak melaju cepat. Membayangkan bagaimana reaksi Mas Daffi setelah melihat foto di tangannya. Belum tuntas rasa penasaranku, Mas Daffi kembali bicara. "Jadi ... penculikan kemarin itu hanya akal-akalanmu saja, Ri? Mas pikir kamu sedang dalam bahaya. Ini malah asyik selingkuh dengan pria lain!" "Mas, denger dulu! Aku juga ga tau apapun mengenai foto-foto itu. Dia tidak berbuat apa-apa padaku, Mas. Aku ....""Lihat, buktinya kamu sekarang membelanya! Sudah cukup Riana! Mas, ga mau dengar penjelasan apapun lagi dari kamu! Mulai sekarang, pergi dari rumahku!" "Bagus, Daf!" cibir Friska. "Rasakan kau wanita jelek!" Mama Juwita tersenyum bangga. Tiba-tiba Mas Daffi tertawa. "Sudah puas, Ma? Lo juga, Fris, seneng? Kalimat seperti tadi, kan, yang ingin kalian dengar dari mulutku?" Ha? Mas Daffi kenapa? "Nih, Ser! Ambil kembali ponselmu!""Daf, maksud kamu apa?" geram Mama Juwita. "
Setelah mendengar kalimat Mas Daffi barusan, ikatan di dada ini perlahan mengendur. Syukurlah dia tidak meragukanku. Kuhela napas dalam berkali-kali untuk membuat hatiku semakin membaik. "Jadi, sekarang Mas Daffi maunya gimana?" lirihku."Biarkanlah dulu seperti ini. Semoga seiring waktu, perasaanku bisa segera membaik."***Akhirnya kami sepakat untuk pisah rumah sementara. Mas Daffi memutuskan untuk kembali tinggal sementara di rumah lamanya, dengan masih sesekali mengunjungiku. Sedangkan Liana akan tetap tinggal bersamaku.Sedih memang, tapi tidak ada yang bisa kuperbuat. Berkali aku membujuknya agar ia tetap di sisiku, tapi egonya terlalu tinggi. Harga dirinya sudah terlalu jatuh dengan kejadian penculikan kemarin. Bahkan rengekan dari Liana pun tak dapat membatalkan rencananya. "Papa cuma pergi sementara aja, Sayang, lagi ada kerjaan yang cukup rumit dan butuh konsentrasi." Itu alasan yang Mas Daffi kemukakan pada Liana. "Doakan aja biar cepat selesai, ya. Papa juga berharap bisa
"Kan, udah mas bilang kalau kamu ga salah, Ri. Kemarin mas cuma kecewa. Tepatnya kecewa sama diri mas sendiri. Udah kita lupain aja. Ga usah dibahas lagi, ya." Mas Daffi semakin erat memeluk bahu polosku, dilekatkan ke dadanya yang juga polos. Aku mengangguk patuh. "Tapi, Mas, Riana masih penasaran kenapa foto itu bisa ada sama Friska, ya? Ada hubungan apa penculik itu sama Friska." Mas Daffi mendengkus kasar. "Sebenarnya, kemarin selain mas menjauhimu, Mas juga mendekati Friska lagi."Seketika aku bangkit dari posisi semula, menatap langsung ke arah wajah pria di sebelahku. "Mas bermaksud mencari tahu mengenai foto itu dari mulutnya langsung. Selain itu, Mas juga baru ingat kalau kemarin tidak langsung menghapus foto itu dari ponsel Friska. Mas takut dia menyebarkannya ke orang lain. Tapi ....""Tapi apa, Mas?""Dia mau mengatakan yang sebenarnya dengan syarat mas mau menikahinya. Dia bahkan tidak keberatan menjadi madumu.""Apa! Terus, mas setuju?" tanyaku. "Maaf, Ri, mas ga bisa
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal