"Mungkin papa masih sibuk, Bu. Nanti juga papa telepon.""Iya, sayang," jawabku pada Liana kemudian tersenyum. Anak itu sikapnya semakin hari semakin dewasa saja. "Ya sudah, Liana makan yang banyak, ya, dihabiskan."Kami kembali fokus pada sajian di atas meja makan. Malam itu, entah kenapa Bik Sumi memasak makanan favorit Mas Daffi, ayam rica-rica, tempe bacem dan oseng-oseng buncis. Padahal Mas Daffi sedang tidak ada di rumah."Bahan makanan di kulkas cocoknya dimasak itu, Bu. Ya sudah, bibik masak aja makanan kesukaan bapak," ujar Bik Sumi.Tuh, kan, Bik Sumi jadi bikin aku makin rindu Mas Daffi saja, si.***Sudah pukul 20.00, Mas Daffi masih belum juga menghubungiku. Ponselnya pun masih tidak aktif. Perasaanku yang semula tenang perlahan bergolak. Ditambah lagi geliat halus janin yang sudah memasuki tiga bulan di dalam kandungan juga sudah mulai terasa sejak tadi, mungkin karena ia ikut merasakan kegelisahan ibunya.Jam dinding kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi belum
Setelah berdebat beberapa menit, akhirnya Om Sahid mengalah dan mengizinkanku masuk setelah aku berjanji akan menahan diri dan menjaga emosi agar tidak sampai membahayakan calon bayiku. Kulangkahkan kaki lebar-lebar mengikuti Om Sahid yang sudah lebih dulu berjalan di depan. Bau cairan antiseptik seketika merasuk ke penciuman. Lalu lalang petugas jaga di ruang UGD mendominasi pemandangan di sini. Sesampainya di dalam, Om Sahid langsung menghampiri meja informasi. "Suster, pasien atas nama Daffi Radityaputra, apa benar di rawat di sini?" Petugas wanita berseragam putih itu segera memeriksa data pasien yang baru masuk melalui layar monitor di hadapan. "Oh, korban kecelakaan beruntun di Tol Sedyatmo, ya? Iya benar, Pak. sekarang korban berada di ruang ICU karena kondisinya cukup parah," jelas perawat itu. "Makasi, Sus." Om Sahid kemudian mengajakku untuk menuju ruang ICU di lantai dua. Setibanya di sana, ternyata sudah ada Mama Juwita dan Friska. Kenapa mereka berdua bisa ada di sin
Dokter itu mengerutkan dahinya lagi. "Jadi, kalian berdua adalah istri Pak Daffi?""Bukan, Dok, istri Mas Daffi itu cuma saya. Jangan ngaku-ngaku kamu, Fris!""Heh, kamu, tuh, yang jangan kege-eran. Memangnya pantas wanita sepertimu jadi istri Daffi?""Sudah, sudah, begini saja. Kalian berdua ikut ke ruangan saya. Ada yang mau saya sampaikan mengenai kondisi dari Pak Daffi."Dokter itu mengajakku dan Friska ke sebuah ruangan yang di pintunya tercantum tulisan, dr. Sandi Prabowo, Sp. N. Ruangan berukuran sekitar 2 x 2 m2, yang didominasi warna putih. Di dalamnya banyak terdapat properti yang berkaitan dengan sistem saraf manusia, seperti poster bergambarkan saraf tepi dan saraf pada otak, miniatur bentuk otak dan tulang belakang, dan berbagai buku dengan judul berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris. "Silakan duduk, Bu," ujar dokter itu mempersilakan. "Jadi begini, Bu. Sepertinya Pak Daffi mengalami kondisi yang dinamakan dengan amnesia atau hilang ingatan, yaitu gangguan yang me
Selamat Membaca, semoga suka yaa.... ***Mas Daffi mengangguk yakin. "Mas capek dengan masalah yang ga ada habisnya, Run. Mas mau segera hidup tenang bersamamu dan anak-anak kita kelak.""Sejak kapan, Mas, curiga sama mereka?""Sebenarnya sudah cukup lama. Sejak almarhum papa meninggal dunia, tapi waktu itu mas terlalu sibuk memupuk rasa benci mas padamu dan masih terperdaya pada Friska, jadi Mas mengabaikan apa yang hati mas rasa janggal," jelasnya. Aku berpikir sesaat, menurutku rencana Mas Daffi cukup beresiko. Aku bahkan berat untuk memberikan persetujuan. Namun, akhirnya aku setuju. Keesokan harinya, Friska datang lagi ke rumah sakit, kali ini ia datang bersama Mama Juwita. Terdengar dari dua buah suara yang berasal dari dalam kamar Mas Daffi. Aku yang baru saja tiba di sana dan ingin menemui Mas Daffi urung masuk dan menghentikan langkah tepat di depan pintu. "Daffi, kamu ingat mama?" terdengar suara Mama Juwita dari dalam ruangan. "Ingat, Ma.""Syukurlah, kamu ingat. Mama
Pov Author"Om, turut berduka cita ya, Daf." Sahid menepuk pelan bahu Daffi dan hanya dibalas Daffi dengan anggukan pelan. Asmoro, ayah Daffi baru saja meninggal dunia. Daffi tampak begitu terpukul dan berduka dengan kepergian Asmoro yang cukup mendadak. Sahid bermaksud untuk menyapa Juwita juga, tapi urung, karena Juwita masih menangis di pelukan Friska yang juga baru saja datang bersama keluarganya. "Iya, Om, makasi udah datang. Maafin papa selama ini kalau banyak menyusahkan dan banyak berhutang budi sama, Om.""Kau itu bicara apa? Asmoro itu sudah kuanggap sebagai saudaraku. Sesama saudara tentu saja harus saling bantu. Oh, ya, di mana Riana?"Mendengar nama Riana disebut, Juwita langsung menjauh dari Friska. Ia beringsut mendekati Sahid. "Dia tadi di belakang, Om. Daffi minta dia mengurus hidangan untuk tamu saja.""Sahid, buat apa, si, kau repot-repot bertanya tentang perempuan itu? Biar saja dia di belakang. Di sana memang tempat yang pantas untuknya."Sahid menggeleng pelan m
Pov Author**Beberapa minggu setelah pemakaman Asmoro, Daffi berkunjung ke restoran milik Friska. Ia memang rutin datang ke sana untuk makan siang di sela waktu istirahat kantor. Namun, di sana ia melihat ada mamanya dan seorang pria muda sedang berbicara serius pada Friska. Sayangnya, ia tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. "Ma, udah lama?" Daffi muncul dari arah yang membelakangi Juwita dan Friska, hingga membuat sebagian air mineral di dalam mulut Juwita tersembur keluar. "Eh, Daf. Gak kok, mama tadi abis belanja, trus kebetulan lewat sini. Ya udah mama mampir aja." Juwita tampak salah tingkah seperti baru saja tertangkap basah karena melakukan sesuatu yang buruk. "Daf, udah lama? Kok, ga, nelpon dulu kalau mau ke sini?" Friska berdiri dan berusaha mengalihkan perhatian Daffi. Ia lalu mencium pipi pria yang dicintainya itu. "Baru sampe. Biasa, aku mau makan siang di sini, kangen sama masakan kamu," ujar Daffi sambil tersenyum hangat. "Kalau gitu, mama pulang
Pov Author**Setelah mendapat informasi dari Sahid dan Rafif kalau Frans, musuh lamanya dulu, sudah bebas, Daffi berinisiatif untuk menghubunginya lebih dulu. Ia mencari tahu nomor terbaru Frans dari lembaga pemasyarakatan tempat Frans pernah ditahan dulu. Untungnya petugas di sana mau bekerja sama sesuai dengan harapan Daffi. "Frans, bisa kita ketemu? Dari Daffi anak SMA Budi Luhur. Mantan anak motor yang dulu sering ngadu balapan sama lo."Centang dua dan beberapa detik kemudian berubah warna menjadi centang biru. "Ok. Di mana?"Balasan dari Frans datang sesaat kemudian.***Daffi nampak terkejut melihat penampilan Frans saat ini. Ia terlihat lebih .... religius. Tidak ada lagi jambang di kedua pipinya. Rambutnya yang dulu selalu klimis sudah dipangkas habis. Sangat berbeda dengan Frans yang dulu ia kenal saat masih SMA. "Masih inget, gue?" tanya Daffi dengan sikap yang waspada sejak tadi. Biar bagaimanapun di antara mereka ada masalah yang belum terselesaikan hingga kini. Frans
Pov AuthorMata Friska yang semula redup sudah berbinar kembali. "Makasi, ya, Ma," ujar Friska seraya menghambur ke pelukan Santi. ***Keesokan harinya Santi menghubungi Juwita untuk membicarakan masalah Friska. "Aduh, gila, kamu, San! Mana mungkin Daffi mau menikah dengan Friska kalau dia tau Friska lagi hamil?""Terserah. Pokoknya aku ga mau tau, tugas kamulah selanjutnya untuk meyakinkan anakmu itu, apapun caranya! " Santi menatap Juwita dengan sorot mata mengancam. "Aku mau Friska dan Daffi segera menikah."Juwita bingung tak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi ia ingin menjadikan Friska, anak yang dulu pernah diasuhnya saat kecil, sebagai menantunya, tapi ia juga tidak mau menipu Daffi.Santi dan Juwita adalah sahabat baik yang sama-sama berasal dari daerah Karawang. Santi lebih dulu berangkat ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Di Jakarta, lah, ia bertemu dengan Indra dan kemudian menikah. Beberapa tahun kemudian, Juwita yang juga ingin mengubah nasib di Jakarta, mengikuti
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal