Pov Author**Setelah mendapat informasi dari Sahid dan Rafif kalau Frans, musuh lamanya dulu, sudah bebas, Daffi berinisiatif untuk menghubunginya lebih dulu. Ia mencari tahu nomor terbaru Frans dari lembaga pemasyarakatan tempat Frans pernah ditahan dulu. Untungnya petugas di sana mau bekerja sama sesuai dengan harapan Daffi. "Frans, bisa kita ketemu? Dari Daffi anak SMA Budi Luhur. Mantan anak motor yang dulu sering ngadu balapan sama lo."Centang dua dan beberapa detik kemudian berubah warna menjadi centang biru. "Ok. Di mana?"Balasan dari Frans datang sesaat kemudian.***Daffi nampak terkejut melihat penampilan Frans saat ini. Ia terlihat lebih .... religius. Tidak ada lagi jambang di kedua pipinya. Rambutnya yang dulu selalu klimis sudah dipangkas habis. Sangat berbeda dengan Frans yang dulu ia kenal saat masih SMA. "Masih inget, gue?" tanya Daffi dengan sikap yang waspada sejak tadi. Biar bagaimanapun di antara mereka ada masalah yang belum terselesaikan hingga kini. Frans
Pov AuthorMata Friska yang semula redup sudah berbinar kembali. "Makasi, ya, Ma," ujar Friska seraya menghambur ke pelukan Santi. ***Keesokan harinya Santi menghubungi Juwita untuk membicarakan masalah Friska. "Aduh, gila, kamu, San! Mana mungkin Daffi mau menikah dengan Friska kalau dia tau Friska lagi hamil?""Terserah. Pokoknya aku ga mau tau, tugas kamulah selanjutnya untuk meyakinkan anakmu itu, apapun caranya! " Santi menatap Juwita dengan sorot mata mengancam. "Aku mau Friska dan Daffi segera menikah."Juwita bingung tak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi ia ingin menjadikan Friska, anak yang dulu pernah diasuhnya saat kecil, sebagai menantunya, tapi ia juga tidak mau menipu Daffi.Santi dan Juwita adalah sahabat baik yang sama-sama berasal dari daerah Karawang. Santi lebih dulu berangkat ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Di Jakarta, lah, ia bertemu dengan Indra dan kemudian menikah. Beberapa tahun kemudian, Juwita yang juga ingin mengubah nasib di Jakarta, mengikuti
Setelah mendapat informasi dari Sahid dan Rafif kalau Frans, musuh lamanya dulu, sudah bebas, Daffi berinisiatif untuk menghubunginya lebih dulu. Ia mencari tahu nomor terbaru Frans dari lembaga pemasyarakatan tempat Frans pernah ditahan dulu. Untungnya petugas di sana mau bekerja sama sesuai dengan harapan Daffi. "Frans, bisa kita ketemu? Dari Daffi anak SMA Budi Luhur. Mantan anak motor yang dulu sering ngadu balapan sama lo."Centang dua dan beberapa detik kemudian berubah warna menjadi centang biru. "Ok. Di mana?"Balasan dari Frans datang sesaat kemudian.***Daffi nampak terkejut melihat penampilan Frans saat ini. Ia terlihat lebih .... religius. Tidak ada lagi jambang di kedua pipinya. Rambutnya yang dulu selalu klimis sudah dipangkas habis. Sangat berbeda dengan Frans yang dulu ia kenal saat masih SMA. "Masih inget, gue?" tanya Daffi dengan sikap yang waspada sejak tadi. Biar bagaimanapun di antara mereka ada masalah yang belum terselesaikan hingga kini. Frans masuk penjara
Pov Author"Oh, jadi dulu dia emang berniat nyelamatin lo karena dia pacar lo? Salut gue ama tu cewek. Hebat. Ga ada takutnya.""Ya, bukan gitu. Dulu gue ga kenal siapa dia. Gue juga baru tau kalau dia yang udah nolongin gue waktu itu beberapa bulan belakangan ini. Bokap cuma nyuruh gue nikah sama dia tanpa ngasi tau apapun, dan lo bener, Frans, dia emang cewek hebat.""Gimana kondisi mukanya? Masih rusak atau sudah dioperasi? "Masih kayak dulu. Gue sengaja minta dia untuk ga operasi biar gue bisa inget terus peristiwa waktu dia nyelamatin gue dulu, yang bikin gue makin cinta sama dia.""Mau muntah gue jadinya." Frans tertawa lagi, begitu pula Daffi. Daffi lalu menceritakan pada Frans kalau bertepatan dengan bebasnya Frans dari penjara, Riana diculik. Daffi bermaksud mencari tahu ada hubungan apa antara Frans dengan peristiwa penculikan Riana. "Gue ga tau apa-apa soal itu, Bro. Sumpah! Abis keluar dari penjara, gue langsung ke masjid dan balik ke rumah om gue. Hmm, ada yang aneh. Ken
Pov Author“Jangan anggap remeh dia, Frans. Kita tetep harus hati-hati.”“Iya. Gue jamin bisa bikin dia percaya sama gue.”“Baguslah kalau gitu. Oh, iya, jangan lupa janji kita ntar siang di tempat biasa."“Sip. Udah, ya, gue tutup dulu, takut nanti si Daffi curiga.”“Kenapa dia nyebut-nyebut nama gue?” gumam Daffi yang hanya dapat terdengar olehnya.Melihat Frans akan memutus panggilan, Daffi segera bergegas menuju ke posisinya semula. “Udah gue duga, dia pasti nyembunyiin sesuatu,” pikirnya lagi.“Sorry, lama. Biasa bokap, suka masih nganggap gue anak kecil.”“Santai. Emang bokap lo sekarang di mana, Frans?” tanya Daffi mencoba bersikap biasa seakan ia tidak mengetahui apa-apa.“Bokap sama Nyokap masih di Jambi,” jawab Frans sambil melihat arloji di pergelangan tangan kanan.Daffi dan Frans akhirnya tidak meneruskan pembicaraan mereka. Frans bilang ada urusan penting yang mendadak harus segera ia selesaikan.“Ok, Frans. Kalau lo ada info soal yang tadi gue tanyain, lo contact gue, ya
"Bung ...." Rafif bicara lagi. "Kalau, lo, ga, ngakuin Riana sebagai istri, gue siap kapan aja menerimanya di hidup gue. Gue, ga, peduli apapun kondisinya, gue cuma mau dia."Wajah Mas Daffi mulai memerah, lalu ia membuka mulutnya, siap untuk berkata sesuatu. Namun, bukannya berkata sesuatu, ia malah tertawa lepas, hingga membuatku merasa heran. "Lo, mau bawa pergi dia dari sisi gue?" Mas Daffi menunjukku dengan dagu. "Masalahnya, keputusannya bukan sama gue, sih. Coba lo tanya Riana, mau ga dia sama, Lo? Orang dari kemaren dia nempelin gue mulu. Padahal udah gue bilang kalau gue ga inget dia," ujar Mas Daffi dengan sombongnya sambil melipat kedua tangan. Refleks, kulepaskan tanganku yang masih berada dalam genggaman tangan Rafif. Lalu perlahan mendekat kepada Mas Daffi. Mas Daffi sontak tertawa lagi. "Tuh, kan, dia ngedeketin gue lagi. So sorry, Bro," ejek Mas Daffi. "Ok, kita buktiin aja. Mungkin ga sekarang, tapi suatu hari nanti, gue akan bawa dia pergi jauh dari, Lo!" Raut waj
Selamat membaca, Terima kasih yang masih setia mengikuti cerita ini. **Cerutu yang sedari tadi berada di tangan kanannya hanya ia mainkan dengan jari, tanpa ia nyalakan sama sekali. Mungkin karena ia tahu asap rokok tidak baik untuk ibu hamil sepertiku. "Kenapa tidak biarkan polisi saja yang menyelesaikan, sih. Bagaimana kalau mereka curiga?" tanya Om Sahid. Sepertinya Mas Daffi sudah menceritakan mengenai rencananya pada Om Sahid. "Menurut, Om, itu terlalu beresiko, Ri. Apa dia tidak belajar dari pengalamanmu dulu itu?" "Riana juga keberatan, Om, tapi Om kan tau sendiri gimana sikap keras Mas Daffi.""Hah, kalian berdua itu sama saja. Sama-sama keras kepala. Cocoklah sudah."Om Sahid lalu meminum sajian kopi hitam di depannya. "Daffi juga bilang agar Om waspada sama si Rafif, tapi dia belum bilang apa alasannya," bisik Om Sahid. Walaupun saat ini Rafif sedang diperintahkan Om Sahid untuk mengantar berkas ke pengadilan, Om Sahid bilang tidak ada salahnya waspada. Kita tidak akan pe
"Selamat malam, Ibu Riana." Suara seorang pria yang rasanya tak asing di telinga, tapi siapa? "Malam, dengan siapa saya bicara?""Anda tidak perlu tahu siapa saya. Maksud saya menghubungi anda hanya ingin menyampaikan sesuatu." Terdengar ia sedang menghela napas. "Suamimu dalam bahaya. Kalau anda tidak ingin kehilangan suamimu untuk selamanya, cepat bawa dia pulang." Panggilan terputus. Kucoba untuk menelepon balik tapi tidak tersambung. Sepertinya ia langsung mematikan ponsel setelah selesai bicara denganku tadi. Ah, satu lagi kabar yang membuat gundah mendatangiku. Mas Daffi dalam bahaya? Apa maksudnya? Walaupun mencoba untuk tidak menggubris apa yang dikatakan orang asing tadi, tetap saja jantung ini memberi tanda kalau aku sedang panik. Ponsel yang berada di genggaman kucengkeram kuat. Ingin sekali langsung menelepon Mas Daffi saat itu juga, tapi suamiku bilang kalau dia yang akan menghubungiku. ***"Sayang, makan pakai apa tadi? Maafin ya, harus gangguin kamu tengah malam gini
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal