Loh, kenapa foto itu bisa ada sama Friska? Ada hubungan apa dia dengan penculik itu? Degup jantungku mendadak melaju cepat. Membayangkan bagaimana reaksi Mas Daffi setelah melihat foto di tangannya. Belum tuntas rasa penasaranku, Mas Daffi kembali bicara. "Jadi ... penculikan kemarin itu hanya akal-akalanmu saja, Ri? Mas pikir kamu sedang dalam bahaya. Ini malah asyik selingkuh dengan pria lain!" "Mas, denger dulu! Aku juga ga tau apapun mengenai foto-foto itu. Dia tidak berbuat apa-apa padaku, Mas. Aku ....""Lihat, buktinya kamu sekarang membelanya! Sudah cukup Riana! Mas, ga mau dengar penjelasan apapun lagi dari kamu! Mulai sekarang, pergi dari rumahku!" "Bagus, Daf!" cibir Friska. "Rasakan kau wanita jelek!" Mama Juwita tersenyum bangga. Tiba-tiba Mas Daffi tertawa. "Sudah puas, Ma? Lo juga, Fris, seneng? Kalimat seperti tadi, kan, yang ingin kalian dengar dari mulutku?" Ha? Mas Daffi kenapa? "Nih, Ser! Ambil kembali ponselmu!""Daf, maksud kamu apa?" geram Mama Juwita. "
Setelah mendengar kalimat Mas Daffi barusan, ikatan di dada ini perlahan mengendur. Syukurlah dia tidak meragukanku. Kuhela napas dalam berkali-kali untuk membuat hatiku semakin membaik. "Jadi, sekarang Mas Daffi maunya gimana?" lirihku."Biarkanlah dulu seperti ini. Semoga seiring waktu, perasaanku bisa segera membaik."***Akhirnya kami sepakat untuk pisah rumah sementara. Mas Daffi memutuskan untuk kembali tinggal sementara di rumah lamanya, dengan masih sesekali mengunjungiku. Sedangkan Liana akan tetap tinggal bersamaku.Sedih memang, tapi tidak ada yang bisa kuperbuat. Berkali aku membujuknya agar ia tetap di sisiku, tapi egonya terlalu tinggi. Harga dirinya sudah terlalu jatuh dengan kejadian penculikan kemarin. Bahkan rengekan dari Liana pun tak dapat membatalkan rencananya. "Papa cuma pergi sementara aja, Sayang, lagi ada kerjaan yang cukup rumit dan butuh konsentrasi." Itu alasan yang Mas Daffi kemukakan pada Liana. "Doakan aja biar cepat selesai, ya. Papa juga berharap bisa
"Kan, udah mas bilang kalau kamu ga salah, Ri. Kemarin mas cuma kecewa. Tepatnya kecewa sama diri mas sendiri. Udah kita lupain aja. Ga usah dibahas lagi, ya." Mas Daffi semakin erat memeluk bahu polosku, dilekatkan ke dadanya yang juga polos. Aku mengangguk patuh. "Tapi, Mas, Riana masih penasaran kenapa foto itu bisa ada sama Friska, ya? Ada hubungan apa penculik itu sama Friska." Mas Daffi mendengkus kasar. "Sebenarnya, kemarin selain mas menjauhimu, Mas juga mendekati Friska lagi."Seketika aku bangkit dari posisi semula, menatap langsung ke arah wajah pria di sebelahku. "Mas bermaksud mencari tahu mengenai foto itu dari mulutnya langsung. Selain itu, Mas juga baru ingat kalau kemarin tidak langsung menghapus foto itu dari ponsel Friska. Mas takut dia menyebarkannya ke orang lain. Tapi ....""Tapi apa, Mas?""Dia mau mengatakan yang sebenarnya dengan syarat mas mau menikahinya. Dia bahkan tidak keberatan menjadi madumu.""Apa! Terus, mas setuju?" tanyaku. "Maaf, Ri, mas ga bisa
"Mungkin papa masih sibuk, Bu. Nanti juga papa telepon.""Iya, sayang," jawabku pada Liana kemudian tersenyum. Anak itu sikapnya semakin hari semakin dewasa saja. "Ya sudah, Liana makan yang banyak, ya, dihabiskan."Kami kembali fokus pada sajian di atas meja makan. Malam itu, entah kenapa Bik Sumi memasak makanan favorit Mas Daffi, ayam rica-rica, tempe bacem dan oseng-oseng buncis. Padahal Mas Daffi sedang tidak ada di rumah."Bahan makanan di kulkas cocoknya dimasak itu, Bu. Ya sudah, bibik masak aja makanan kesukaan bapak," ujar Bik Sumi.Tuh, kan, Bik Sumi jadi bikin aku makin rindu Mas Daffi saja, si.***Sudah pukul 20.00, Mas Daffi masih belum juga menghubungiku. Ponselnya pun masih tidak aktif. Perasaanku yang semula tenang perlahan bergolak. Ditambah lagi geliat halus janin yang sudah memasuki tiga bulan di dalam kandungan juga sudah mulai terasa sejak tadi, mungkin karena ia ikut merasakan kegelisahan ibunya.Jam dinding kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi belum
Setelah berdebat beberapa menit, akhirnya Om Sahid mengalah dan mengizinkanku masuk setelah aku berjanji akan menahan diri dan menjaga emosi agar tidak sampai membahayakan calon bayiku. Kulangkahkan kaki lebar-lebar mengikuti Om Sahid yang sudah lebih dulu berjalan di depan. Bau cairan antiseptik seketika merasuk ke penciuman. Lalu lalang petugas jaga di ruang UGD mendominasi pemandangan di sini. Sesampainya di dalam, Om Sahid langsung menghampiri meja informasi. "Suster, pasien atas nama Daffi Radityaputra, apa benar di rawat di sini?" Petugas wanita berseragam putih itu segera memeriksa data pasien yang baru masuk melalui layar monitor di hadapan. "Oh, korban kecelakaan beruntun di Tol Sedyatmo, ya? Iya benar, Pak. sekarang korban berada di ruang ICU karena kondisinya cukup parah," jelas perawat itu. "Makasi, Sus." Om Sahid kemudian mengajakku untuk menuju ruang ICU di lantai dua. Setibanya di sana, ternyata sudah ada Mama Juwita dan Friska. Kenapa mereka berdua bisa ada di sin
Dokter itu mengerutkan dahinya lagi. "Jadi, kalian berdua adalah istri Pak Daffi?""Bukan, Dok, istri Mas Daffi itu cuma saya. Jangan ngaku-ngaku kamu, Fris!""Heh, kamu, tuh, yang jangan kege-eran. Memangnya pantas wanita sepertimu jadi istri Daffi?""Sudah, sudah, begini saja. Kalian berdua ikut ke ruangan saya. Ada yang mau saya sampaikan mengenai kondisi dari Pak Daffi."Dokter itu mengajakku dan Friska ke sebuah ruangan yang di pintunya tercantum tulisan, dr. Sandi Prabowo, Sp. N. Ruangan berukuran sekitar 2 x 2 m2, yang didominasi warna putih. Di dalamnya banyak terdapat properti yang berkaitan dengan sistem saraf manusia, seperti poster bergambarkan saraf tepi dan saraf pada otak, miniatur bentuk otak dan tulang belakang, dan berbagai buku dengan judul berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris. "Silakan duduk, Bu," ujar dokter itu mempersilakan. "Jadi begini, Bu. Sepertinya Pak Daffi mengalami kondisi yang dinamakan dengan amnesia atau hilang ingatan, yaitu gangguan yang me
Selamat Membaca, semoga suka yaa.... ***Mas Daffi mengangguk yakin. "Mas capek dengan masalah yang ga ada habisnya, Run. Mas mau segera hidup tenang bersamamu dan anak-anak kita kelak.""Sejak kapan, Mas, curiga sama mereka?""Sebenarnya sudah cukup lama. Sejak almarhum papa meninggal dunia, tapi waktu itu mas terlalu sibuk memupuk rasa benci mas padamu dan masih terperdaya pada Friska, jadi Mas mengabaikan apa yang hati mas rasa janggal," jelasnya. Aku berpikir sesaat, menurutku rencana Mas Daffi cukup beresiko. Aku bahkan berat untuk memberikan persetujuan. Namun, akhirnya aku setuju. Keesokan harinya, Friska datang lagi ke rumah sakit, kali ini ia datang bersama Mama Juwita. Terdengar dari dua buah suara yang berasal dari dalam kamar Mas Daffi. Aku yang baru saja tiba di sana dan ingin menemui Mas Daffi urung masuk dan menghentikan langkah tepat di depan pintu. "Daffi, kamu ingat mama?" terdengar suara Mama Juwita dari dalam ruangan. "Ingat, Ma.""Syukurlah, kamu ingat. Mama
Pov Author"Om, turut berduka cita ya, Daf." Sahid menepuk pelan bahu Daffi dan hanya dibalas Daffi dengan anggukan pelan. Asmoro, ayah Daffi baru saja meninggal dunia. Daffi tampak begitu terpukul dan berduka dengan kepergian Asmoro yang cukup mendadak. Sahid bermaksud untuk menyapa Juwita juga, tapi urung, karena Juwita masih menangis di pelukan Friska yang juga baru saja datang bersama keluarganya. "Iya, Om, makasi udah datang. Maafin papa selama ini kalau banyak menyusahkan dan banyak berhutang budi sama, Om.""Kau itu bicara apa? Asmoro itu sudah kuanggap sebagai saudaraku. Sesama saudara tentu saja harus saling bantu. Oh, ya, di mana Riana?"Mendengar nama Riana disebut, Juwita langsung menjauh dari Friska. Ia beringsut mendekati Sahid. "Dia tadi di belakang, Om. Daffi minta dia mengurus hidangan untuk tamu saja.""Sahid, buat apa, si, kau repot-repot bertanya tentang perempuan itu? Biar saja dia di belakang. Di sana memang tempat yang pantas untuknya."Sahid menggeleng pelan m