“Sudah sarapan Naya? Jangan lupa diminum susunya. Walaupun tidak enak, tetap harus di minum ya.” Bastian mengingatkan Kanaya dengan mengirim pesan singkat saat ia tengah menunggu penerbangannya di dalam executive lounge bandara.Pagi ini ia akan pergi ke Dubai, dan mungkin untuk beberapa hari ini ia tidak akan menjumpai Kanaya dan bayi yang ada di dalam kandungannya.Bastian melirik jam tangannya melihat jika tidak lama lagi ia akan segera masuk pesawat.Bastian sudah tertinggal pesawat jadwal pertama ke Dubai pagi itu, karena ia bangun kesiangan.Ia tidak tahu kenapa semalam tidur begitu lelap. Bahkan ia tidak ingat bagaimana ia tertidur.Hal terakhir yang ia ingat adalah ia sesang bercakap-cakap dengan Elsie mengenai kegiatan mereka seharian. Tetapi setelah itu, ia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi.Dan saat terbangun pagi ini, ia merasa kepalanya sedikit pusing. Apa mungkin karena ia begitu sibuk bekerja seminggu terakhir ini? Atau karena ia tidur terlalu lama tadi malam?Ti
Di Sunset Summit, Kanaya berdiri di tepi kolam ikan koi, membaca pesan dari Bastian. “Bilang pada anakku, aku akan kembali bahkan sebelum dia sempat merindukanku.” Kanaya membaca kembali pesan itu. “Apa maksudnya?” Ia tidak mengerti maksud pesan Bastian itu. Apa dia akan langsung balik hari ini juga dari Dubai? Tapi apa mungkin? Penerbangannya saja memakan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Jadi tidak mungkin Bastian menemuinya hari ini. Tidak bisa menebak arti pesan itu, Kanaya pun tidak memikirkannya lagi. Ia turun dan duduk bersila di tepi kolam. Sinar matahari yang hangat dan semilir angin menerpa kulitnya, sementara suara gemericik air kolam, membuat suasana saat itu begitu tentram dan menenangkan. Satu tangan Kanaya berada di atas perutnya, sesuatu yang refleks ia lakukan sejak dinyatakan positif hamil. Sementara satu tangan lagi asik bermain-main dengan ikan-ikan koi yang berenang menghampirinya setiap kali tangannya itu masuk ke dalam kolam. Kanaya sangat menyukai
Kanaya sedang menonton televisi. Ada sebuah kuis di sebuah stasiun televisi yang kerap ditontonnya. Ia menoleh saat mendengar suara pintu kamar di buka dan ditutup, dan Kanaya melihat Bastian keluar dari dalam kamar itu. Selepas makan siang, Bastian berada di dalam kamar itu untuk menghadiri teleconference, dan ia baru keluar saat ini. “Nonton apa?” tanya Bastian sambil duduk di sebelah Kanaya, bergabung dengannya. Kanaya menunjuk kuis di televisi. “Kuis ini lumayan menghibur. Pembawa acaranya lucu dan bintang tamunya juga kocak. Beda dari acara kuis lainnya,” tutur Kanaya. Bastian yang jarang menonton televisi, tidak pernah menyaksikan kuis itu. Untuk beberapa saat ia ikut menontonnya bersama Kanaya, dan ia pun ikut tertawa. Saat jeda iklan, Bastian mendapat panggilan telepon dari Ezra yang melaporkan pekerjaannya hari itu. Sementara itu, Kanaya duduk di sampingnya sambil menonton iklan, menunggu hingga kuis itu kembali ditampilkan. Berbagai macam iklan lewat di layar kaca, na
Bastian mendorong keranjang belanjaan sementara Kanaya berjalan di sampingnya. Mereka berdua tampak seperti sepasang suami istri normal yang sedang berbelanja kebutuhan dapur. Bahkan outfit mereka pun sekilas tampak serasi. Atasan hitam dan sneaker putih serta sepasang kaca mata yang mereka kenakan. “Pak Bas, sebenarnya kita mau beli apa sih? Katanya tadi mau beli makan malam, tetapi kenapa kita justr berputar-putar di sini?” tanya Kanaya dengan nada protes. Pasalnya Bastian sudah mengajaknya mengelilingi supermarket itu beberapa kali, namun tidak ada satu pun barang yang diambilnya. Lagipula seingat Kanaya, Sifa sudah menyetok bahan makanan yang cukup untuk makanan mereka sehari-hari. Apa sebenarnya yang dicari Bastian? Bastian yang sudah lama tidak berbelanja sendiri, kebingungan mencari di mana letak bahan yang ia perlukan. Alhasil ia dan Kanaya sudah mengelilingi supermarket itu, namun tidak menemukannya. Bastian menggaruk tengkuknya. “Bapak cari apa?” tanya Kanaya sambil be
Kanaya duduk di sofa dengan tidak tenang. Meskipun layar televisi menyala, namun pikiran Kanaya tidak berada di sana. Sebentar-sebentar ia melirik ke arah dapur di mana Bastian sedang membuat burger untuknya. Ia memegang perutnya, meraskan bayi dalam kandungannya bergerak. Rupanya bayi itu sama antusiasnya dengan dirinya. Mereka berdua begitu tidak sabar untuk segera menyantap burger buatan Bastian. Kanaya berdiri. Ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Apalagi setelah mencium bau sedap daging yang terpanggang api, begitu menggugah selera dan rasa laparnya. Sambil menelan ludah, Kanaya berjalan ke dapur mendekati Bastian. Pria itu tengah sibuk memasak, memotong sayuran, menghangatkan roti bun dan memanggang daging patty yang dia olah sendiri. “Masih lama, Pak?” tanya Kanaya. Ia lalu membungkuk mendekati daging burger yang dipanggang di atas sebuah wajan datar anti lengket dan menghirup wanginya. Ya ampun, anak sekali baunya! Batin Kanaya dengan perut yang meronta, begitu ingi
“Ba-bapak pasti salah lihat. Naya… Naya hanya melihat daging di panggangan itu,” jawab Kanaya beralasan dengan kikuk. Ia berharap wajahnya sedang tidak memerah saat itu, namun ia sungguh meragukannya karena ia bisa merasakan wajahnya memanas saat itu juga. Bastian terkekeh pelan mendengar alasan Kanaya. “Alasan yang cukup bagus. Tapi sayangnya daging ini sudah tidak lagi ada di pemanggang,” timpal Bastian sambil menunjuk dua buah burger yang sudah siap di atas dua buah piring saji, lengkap dengan tumpukan kentang goreng di sampingnya. “Ta-tadi kan masih di sana…” alasan Kanaya dengan salah tingkah. Ia tidak mungkin mengakui apa yang ada dalam pikirannya tadi. Mau ditaruh di mana mukanya? Bastian tertawa. “Aku hanya bercanda, Naya. Ayo, kamu pasti sudah tidak sabar ingin makan ini,” sahut Bastian sambil ia mengangkat kedua piring itu dan mulai berjalan. Kanaya turun dari stool dengan menghembuskan nafas lega. “Naya ambil minuman. Bapak mau jus?” “Sure!” Kanaya pun mengambil dua
Degup jantung Kanaya begitu cepat tatkala Bastian menurunkan wajahnya dan memagut bibirnya. Bibir hangat dan lembut milik Bastian itu menyentuhnya dengan sangat lembut, menyesapinya perlahan, menunggu respon darinya. Godaan itu terasa begitu besar bagi Kanaya. Apakah ia akan membalasnya? Bukankah ini yang selalu dirindukannya? Kanaya benar-benar merindukan Bastian. Merindukan kecupan, pelukannya dan bahkan sentuhan tangan dan bibir Bastian di tubuhnya. Perlahan Kanaya memejamkan mata, dan ia membalas pagutan bibir Bastian itu. Ia mengikuti ritme pria itu, menyesap dengan perlahan. Merasakan respon Kanaya, Bastian semakin dalam menyesapnya. Tangan yang ada di tengkuk Kanaya pun menarik gadis itu lebih dekat, memperdalam pagutan bibir mereka. Desahan dan tarikan nafas keduanya di sela-sela cesapan bibir terdengar mengisi keheningan malam di rumah di jalan Sunset Summit itu. “Pak Bas…” Kanaya memanggil nama pria itu dalam suaranya yang mendesah serak. “Ya Naya? Katakan apa yang
Bastian mengangkat pandangannya menatap Kanaya. Ia seperti mendengar Kanaya mengucapkan sesuatu. “Apa?” Kanaya menatap balik Bastian. “Kenzo. Nama itulah yang sering aku pikirkan saat aku punya anak nanti,” tuturnya menjelaskan. Mendengar penuturan Kanaya, Bastian kembali berbaring di samping gadis itu. Dia ingin mendengar lebih lanjut apa yang akan dikatakan Kanaya. “Kenapa? Apa nama itu mempunyai arti istimewa?” Kanaya mengangkat bahunya, tidak yakin kenapa ia memilih nama itu. “Nama itu terdengar bagus diucapkan. Aku menyukainya dan artinya pun tidak jelek.” “Kenzo berarti kuat dan sehat. Selain itu, nama itu juga berarti bijaksana, cerdas dan sempurna,” tambah Kanaya sambil melirik pria di sampingnya. Secara refleks ia mengelus perutnya seakan menyapa bayi mungil yang ada di sana. “Dan kalau perempuan? Nama apa yang kamu pilih?” tanya Bastian dengan penuh perhatian. “Freya,” jawab Kanaya pendek. “Freya?” Bastian mengulang nama itu dengan tanda tanya besar. Ia pikir Kanaya a
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un
Di pinggiran Emerald City, tiga buah mobil berjalan beriringan. Di iringan mobil kedua, Reno duduk bersama beberapa orang pria dan seorang supir. Mobil berhenti di depan sebuah aparteman lima lantai dan Reno membuka kaca mobilnya saat Heri dan Agus, anak buah Reno, berjalan menghampirinya. “Bos, apartemen mereka ada di lantai 5,” ujar Heri melaporkan. Reno membuka pintu mobil dan keluar. “Apa anak buah Ravioli ada di sana?” “Menurut pengamatan saya, ada 1 atau 2 orang yang berada di sana,” jawab Agus sambil menunjuk arah sebuah apartemen di lantai 5 dengan ibu jarinya. Reno mengikuti arah jari Agus menunjuk dan ia menatap jendela sebuah apartemen yang tampak temaram. “Kalian ikut denganku. Biar yang lain tunggu di sini!” perintah Reno sambil menunjuk Heri, Agus dan seorang anak buah Agus. Ia berpikir jika hanya satu atau dua orang anak buah ravioli, mereka masih bisa mengatasinya. Yang ia khawatirkan sebelumnya adalah jika ada banyak anak buah Ravioli di sana, sedangkan ia
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu