Tingkah kekanak-kanakan dua orang itu membuat Jeremy terus tersenyum canggung.'Mereka berdua saat nggak bersama, terlihat sangat elite, tapi kenapa bisa begitu kekanak-kanakan saat bersama?'Mobil melaju ke Mal Reufa, pusat perbelanjaan internasional yang besar. Meskipun tidak sebagus dengan merek-merek terkenal dan mahal di Parleen Street, barang-barang di sana jugalah tidak murah. Membeli satu pakaian di sana sudah setara dengan gaji pekerja kantoran selama sebulan."Lebih baik jangan beli di sini, deh." Karina terlihat tidak begitu senang, dia tahu bahwa harga pakaian di sini tidak murah.Selain itu, dia juga tidak akan bisa pakai ke luar.Rafael memandang Karina dengan kesal, "Pakaian-pakaian di sini sudah diambang batas yang bisa kutoleransi! Apa dengan memakai pakaian yang diproduksi secara massal dan di jual di kios-kios, kamu baru merasa senang?"'Bukankah wanita zaman sekarang senang mengenakan pakaian desainer terkenal? Kenapa dia sangat berbeda?'Karina menarik napas dalam-
Namun, setiap satu pakaian sudah setara dengan biaya hidup Karina selama dua atau tiga bulan. Di selalu merasa sangat sakit hati saat memakainya.Dia tidak punya pilihan selain memilih yang termurah. Ketika dia berbalik, dia melihat Rafael sedang menelepon, seperti sedang membahas kerjaan.Karina berjalan ke arah Jeremy dengan tenang dan bertanya dengan suara rendah, "Apa dia sangat sibuk hari ini?""Tuan Muda Rafael sangat sibuk setiap hari," ujar Jeremy."Serius?" Karina sedikit tidak percaya. Alasannya, sejak dia tinggal di vila, Rafael hampir selalu pulang lebih awal, sama sekali tidak terlihat seperti orang yang harus lembur.Jeremy tersenyum dan berkata, "Nona Karina mengira dia sangat senggang?""Menurutku ... dia nggak sesibuk yang kubayangkan ....""Haha, Tuan Muda Rafael adalah CEO Grup Stalin. Dia harus menangani banyak kerjaan setiap hari. Sering kali, dia langsung tinggal di kamar kecil di kantornya."Karina pun bertanya, "Kalau sangat sibuk, kenapa dia masih pulang tepat
"Eh ...."Jeremy mengagumi kejelian Karina. Dia tersenyum canggung dan berkata, "Nona Karina, meskipun aku memuji memang ada niat untuk menyanjung Tuan Muda Rafael, tapi semua yang kukatakan itu benar.""Benar atau nggak, aku bisa melihatnya sendiri. Pak Jeremy, aku harap kamu nggak lupa diri dan membuat kesalahan karena merasa sangat pintar."Setelah mengatakan itu, Karina berjalan ke samping untuk lanjut memilih pakaian.Sementara Jeremy, dia terus menatap Karina sambil tersenyum penuh arti.Setelah selesai telepon, Rafael mengernyit ketika melihat Karina masih memilih pakaian. "Kenapa baru memilih begitu sedikit? Kenapa lambat sekali sih?" tanyanya.Karina tidak menganggapnya serius. "Sering kali wanita pergi ke mal itu hanya lihat-lihat, nggak beli apa pun."Dia sudah berbaik hati menjawab seperti itu."Kenapa hanya lihat-lihat? Kenapa nggak beli?" tanya Rafael lagi."Eh, ada banyak alasan .... "Sebagian besar karena kondisi keuangan yang kurang memadai, tetapi ada juga karena tid
Saat Karina hendak mengangkat, Rafael mendekat dan ingin melihat layar ponselnya. "Siapa yang telepon?" tanyanya.Karina merasa kesal dan menutup layar ponselnya. "Teman kampusku," jawabnya."Teman kampus?" Rafael mengernyit dan lanjut bertanya, "Pria atau wanita?""Wanita!"'Kenapa dia mengatur-ngatur hidupku sih?'Karina memelototi Rafael, lalu berjalan ke samping dan menjawab telepon, "Halo?""Karina, kenapa kamu nggak datang ke kelas hari ini?" tanya Safira."Ada urusan pribadi .... Kenapa? Dosen melakukan absensi?" tanya karina dengan gugup. Dosen yang kelasnya santai seperti ini sangat mengutamakan kehadiran para mahasiswa.Jika dia ketahuan membolos, dia mungkin akan gagal dalam kelas tersebut"Nggak kok, hanya putar film di kelas. Oh ya, ada hal bagus yang ingin kuberi tahu. Kamu harus tenang dan jangan terlalu bersemangat setelah mendengarnya," ujar Safira.Karina menjadi penasaran apa yang bisa membuat Safira begitu bersemangat. Safira pun melanjutkan ucapannya, "Pak Neo diun
"Aku nggak ada maksud seperti itu." Karina berbalik, dia tidak ingin melanjutkan topik ini dengan Rafael.Namun, sikap Karina itu dianggap Rafael sebagai jawaban ya.Rafael menatap Karina cukup lama, mengepalkan tangannya dengan erat dan melepaskannya. Dia melakukan ini beberapa kali. Setelah pergulatan di dalam hati berlangsung beberapa saat, pada akhirnya, dia melepaskan kepalan tangannya.Kekecewaan yang mendalam terpancar dari matanya. Meskipun begitu, dia masih tidak sanggup menyakiti Karina sama sekali."Ayo pulang," ujar Rafael yang suaranya terdengar begitu lelah.Melihat reaksi Rafael, Karina merasa sepertinya Rafael salah paham lagi. Namun, dia tidak tahu harus berkata apa untuk menghilangkan suasana canggung ini.Selain itu, dari awal sampai akhir, dia tidak berpikir dirinya telah melakukan kesalahan.Karina tahu bahwa Rafael begitu marah hanya karena otoritasnya telah diusik orang, bukan karena dia sendiri yang telah melakukan kesalahan.Meskipun berpikir seperti itu, ketik
Di sebuah kamar hotel VIP, suasana di dalamnya dipenuhi ambiguitas kenikmatan dan beberapa pakaian berserakan di lantai.Sinar matahari yang masuk dari jendela, samar-samar menyinari selimut yang menutupi pria dan wanita yang sedang tidur di kasur yang besar.Suara ketukan pintu yang tergesa-gesa membuat kening Karina Valerio berkerut. Dia membalikkan badannya dengan perasaan tidak nyaman.Kepalanya terasa sangat sakit, tubuhnya terasa nyeri seperti habis tertindih sesuatu. Ketika dia mengangkat tangannya untuk mengusap kepalanya, dia menyadari ada sesuatu yang hangat menempel di belakangnya.Karina Valerio pun terbangun dengan kaget, tubuhnya menjadi kaku seperti patung. Dia perlahan menundukkan kepalanya, mendapati ada sebuah tangan besar terlentang di depan dadanya.Sekujur tubuhnya seketika merinding. Ketika rasa panik menyerang dirinya, dia pun berteriak dengan keras.Suara teriakan itu langsung membuat pria di sampingnya terbangun. Begitu si pria melihat Karina, sorot matanya sek
Semua orang menghela napas lega, seolah-olah mereka mendapatkan pengampunan. Mereka terbirit-birit keluar dari kamar, seolah-olah mereka akan ditelan oleh binatang buas jika mereka terlambat selangkah.Karina juga buru-buru mengambil pakaiannya yang terlempar ke mana-mana. Dia masih bingung dengan situasi ini, tetapi nalurinya mengatakan bahwa dia harus segera meninggalkan tempat berbahaya ini. Dia masih memegang erat selimut yang menutupi dirinya dengan satu tangan.Rafael tidak bergerak, hanya menatap Karina yang sedang panik itu. Terlihat jelas ada beberapa bekas merah di bagian punggung Karina yang tidak tertutup selimut. Melihat itu, Rafael merasa sedikit kesal. Dia pun memanggil Karina dengan dingin, "Hei!"Karina seketika membeku di tempat dan mulai gemetar. Dia tidak berani berbalik untuk melihat Rafael.Dia ketakutan dan merasa tidak berdaya. Dia ingat dengan jelas bahwa kemarin dia sedang merayakan ulang tahun Simon bersama teman-teman sekampus. Namun, mengapa pagi ini begitu
'Penjahat?''Pelanggan bordil?''Atau pria mesum?'Karina terlalu takut untuk melanjutkan pemikirannya. Dia menyalakan pancuran dan membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya.Di bawah air pancuran, warna bekas ciuman di tubuhnya semakin merah, seperti bunga mawar merah yang baru mekar. Seakan-akan menunjukkan betapa gila dan intensnya semalam. Melihat semua bekas ciuman itu, sekujur tubuh Karina semakin gemetar.Dia merasa dunianya menjadi gelap dan orang yang selama ini dia kagumi semakin menjauh darinya.Perlahan-lahan dia menurunkan tubuhnya, meringkuk seperti anak kecil yang tidak berdaya. Hanya ada satu hal yang muncul di benak Karina sekarang.Hidupnya sudah tamat.Di sisi lain, Rafael sudah berpakaian lengkap, hanya rambutnya masih sedikit berantakan. Meskipun begitu, dia tidak terlihat seperti orang yang baru saja bangun. Dia duduk di sofa dengan menyilangkan kakinya yang jenjang itu di atas meja kopi sambil memainkan sebuah liontin berantai perak. Liontin itu berbentuk hati d