“Jadi ini karena penyakit ramahmu yang di atas normal itu?”
Radit langsung manyun saat sikapnya yang ramah pada semua orang dibilang penyakit. Dia hanya ingin mempraktekkan apa yang diajarkan guru agamanya waktu SD bahwa senyum itu sama dengan shodaqoh, jadi kita harus banyak senyum biar pahala shodaqoh kita tambah banyak.Waktu itu uang sakunya tiap hari tak banyak, orang tuanya memang kaya raya tapi bukan berarti memberikan uang saku yang berlimpah padanya.Jadi dia yang pingin banget bershodaqoh berusaha mencari jalan lain, salah satunya dengan banyak senyum.“Itu bukan penyakit kali, Honey. Orang senyum itu dapat pahala.”“Iya tapi kalau terlalu banyak senyum dikira orang gila.”“Mana ada orang gila seganteng aku.” Nirmala memutar bola matanya mendengar kenarsisan Radit.“Memang penyakit gila itu tahu orang tampan atau enggak.”Ini mereka lagi ngomongin apa sih,Pagi ini Nirmala kembali menyambangi butik larisa, jika kemarin dia datag sendiri dan bertemu Bu Lastri di sini, kali ini dia tak mau lagi, bukan karena dia terlalu manja, tapi karena males mendengar mulut cerewet Radit. Bagaimana tidak kemarin dia tak datang saat fitting baju untuk lamaran, dan saat hari H, melihat bagaimana Nirmala memakai gaun itu, bukannya pujian yang dia lontarkan malah nyinyiran.“Kenapa bajunya terbuka banget kayak gitu, Hon? Dan modelnya juga kenapa ketat banget kamu jadi kayak lontong tinggal dikasih kuah saja.”Nirmala hanya cemberut sambil menatap gaunnya, dia tidak mengerti terbuka dari mana coba. “Makanya kalau disuruh datang fitting itu datang jangan kebanyakan alasan untung Nirmalanya nggak batalin.” Bu Lastri yang saat itu bersama Nirmala melotot pada putranya itu. “Banyak kerjaan, Ma. Nggak bisa diundur.”“Ya sudah diam saja kalau begitu jangan banyak omong, kalau nggak suka ya jangan dilihat.” Nirmala tersenyum geli saat melihat Radit yang tak be
“Kami sepakat akan menikah pekan depan.” Radit menjawab dengan tenang pertanyaan para tetua tentang kapan kira-kira mereka bisa menikah. Semua orang terkejut tentu saja termasuk juga Nirmala, seharusnya kami yang dimaksud Radit adalah dia dan laki-laki itu, tapi Nirmala malah tak tahu apa-apa. Nirmala memandang Radit yang duduk di depannya dengan tajam, memberi isyarat bahwa dia tak setuju dengan ide gila Radit, bagaimana bukan ide gila kalau pertunangan mereka yang hanya menjadi pertemuan dua keluarga saja Nirmala sudah kalang kabut sendiri, bagaimana jika itu pesta pernikahan pasti persiapan lebih kompleks. Dan jangan berpikir untuk melakukan pesta sederhana, karena belum apa-apa saja Bu Lastri sudah mengira-ngira akan mengundang setidaknya lima ratus orang.“Kalian tidak menyembunyikan sesuatu, kan?” tanya ayah Radit yang disetujui oleh semua orang yang datang. Nirmala langsung merapatkan kedua tangannya menutupi perut. Bukan karena ada sesuatu yang ingin dia sembunyikan tapi
Radit menggenggam tangan Nirmala dengan lembut, bersama mereka melangkah memasuki rumah sakit. Pagi ini memang sengaja Radit mengosongkan jadwalnya untuk mendukung Sazi melakukan pengobatannya, karena dia sudah berjanjian tidak akan terlalu dekat dengan gadis itu yang nantinya akan menimbulkan kesalahpahaman maka Radit mengajak Nirmala turut serta bersamanya. Nirmala tentu saja menolak ide itu, karena dia sendiri tidak terlalu mengerti dengan penanganan orang seperti itu dan takutnya kalau dia ikut nongol malah akan menambah masalah. Tapi Radit merasa Nirmala harus ikut. Dan di sinilah mereka sekarang melangkah bergandengan tangan.“Apa Sazi dirawat di sini?” tanya Nirmala saat mereka memasuki lorong rumah sakit.“Tidak.”“Lalu untuk apa kita ke sini kamu bilang akan menjenguk Sazi.”“Bukan menjenguk tepatnya menemani Sazi mengunjungi dokter.”Nirmala menarik tangannya dari genggaman Radit dia berhenti melangkah dan memandang Radit dengan tajam. “Kamu yakin aku harus ikut? Secara
Nirmala melangkah ke bangku panjang yang ada di sana lalu mengeluarkan ponselnya dan mencoba bermain apa pun yang ada di sana, melihat-lihat postingan orang lain, me-like-nya atau bahkan memainkan permainan ular yang ada di ponselnya apa pun asalkan dia terlihat sibuk. Nirmala tahu tante Radit makin menatapnya dengan sinis, tapi apa pedulinya dia hanya ke sini atas permintaan Radit untuk membantu sepupunya, jadi tantenya mau menerima atau pun tidak itu bukan urusannya. “Kamu lihatkan bahkan dia tak punya sopan santun, main pergi begitu saja.” Masih bisa didengar Nirmala perkataan tante Radit yang menudingnya. “Memangnya dia harus ngapain, ngladeni Tante marah-marah? Percuma juga capek banget ingat, Tan kami hanya membantu di sini jadi aku harap Tante tidak keterlaluan.” Radit langsung melangkah menghampiri Nirmala dan duduk di sebelahnya, tak memedulikan tantenya yang menjerit kesal karena ulahnya. “Kamu tema
Sejak pagi rumah Nirmala telah ramai, banyak saudara dan para tetangga yang hilir mudik di sana, dapur yang biasanya menjadi tempat kerja Nirmala dan para pegawainya pagi ini juga masih tampak sama dan bertambah ramai dengan tambahan beberapa orang. Mereka bukan sedang bekerja keras untuk menyelesaikan pesanan, bahkan toko roti Nirmala juga tutup hari ini. Iya hari ini memang hari istimewa, setelah banyak drama yang terjadi akhirnya mereka sepakat untuk menggelar acara akad nikah saja, hanya mengundang tetangg dan kerabat dekat. Budhelah orang yang paling sibuk di dapur, menyiapkan segala sesuatu yang menjadi keperluan acara. Sedangkan Nirmala sendiri pagi ini sudah cantik dengan polesan make up dari MUA ternama yang sengaja dia datangkan. “Cantik banget adik aku.” Gita menatap Nirmala yang sudah berdandan rapi. Akad nikah akan diadakan pada pukul sembilan pagi dua jam lagi dari sekarang. “Aku
Radit menarik sebuah koper berisi pakaian dan barang-barang Nirmala, di belakangnya Nirmala berjalan pelan dengan menenteng dua buah tas kresek di masing-masing tangannya. “Heran dulu saja masih pacaran dibukain pintu, digandeng sekarang boro-boro malah ditinggalin,” dumel Nirmala. “Kamu ngomong apa, Hon?” tanya Radit yang mendengar Nirmala berbicara tak jelas.“Nggak,” jawabnya ketus. Radit mengangkat alisnya memperhatikan Nirmala yang berjalan pelan mengikutinya. “Masih sakit memangnya, Hon?” Nirmala yang menyadari ke mana arah pandangan Radit, langsung menutup bagian depan tubuhnya dengan kantong plastik yang ada di tangan kanannya. Lalu menoleh kanan kiri, khawatir ada yang mendengar ucapan Radit.Rumah Radit memang ada di sebuah perumahan meski tergolong mewah tapi tetap saja tembok tetangga tanpa sekat. “Sttt ngomong gitu jangan keras-keras malu tahu.” Dengan k
“Kamu nanti pulang jam berapa?”Nirmala memandang Radit yang sedang bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit. Hari masih terlalu pagi memang, pukul enam pagi dan Nirmala yang sudah terbiasa bangun terlalu pagi untuk membuat kue , sudah segar pagi ini tinggal membantu Radit bersiap dan dia sendiri juga akan bersiap ke toko. Selama sebulan pernikahan mereka, Nirmala memang harus terbiasa dengan jam kerja Radit yang tidak beraturan, kadang dia berangkat pagi-pagi sekali, pulang siang hari kemudian berangkat lagi atau sebaliknya. Nirmala yang belum terbiasa dengan jam kerja Radit memang sedikit mengeluh, dia yang memang tidak pernah bekerja untuk orang lain, tentu sulit memahami hal itu. “Setelah makan malam aku usahakan sudah pulang.” Radit memandang wajah istrinya yang cemberut dengan rasa bersalah, setelah mereka menikah memang hanya sedikit cuti yang bisa dia ajukan karena banyaknya pasien di rumah sakit. Dan tiap hari j
Dua tahun kemudian.Nirmala memandang rumah mewah khas jawa yang berdiri megah ini dengan pandangan datar, dua tahun sudah dia menjadi menantu di keluarga ini. Sudah ke sekian kalinya dia berkunjung ke mari, tapi tetap saja ada perasaan tak nyaman saat sampai di sini bukan karena pemilik rumah ini yang tak menerimanya, tapi justru karena orang lain yang selalu memicu pertengkaran di rumah ini. Nirmala mendesah lagi, seharusnya dia tak datang saja, atau menunggu suaminya sampai pulang ke rumah dan datang bersama-sama. Tapi Nirmala juga tak bisa menutup mata mertuanya pasti ingin dia di sini sekedar membantu menyapa tamu, bagaimanapun dia juga bagian dari keluarga ini.“Lho, Mbak Mala ibu di dalam, Mbak silahkan masuk.” Bi Darmi, assisten rumah tangga mertuanya menyapa.“Bibi mau ke mana?” “Mau beli garam ke warung sebentar, Mbak.”Nirmala hanya mengangguk dipandangi sejenak bi darmi yang berjalan kelua
“Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R
Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me
Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k
Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d
Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi
Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial. Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam
“Aku benar-benar minta maaf untuk siang tadi tapi jangan lagi mengatakan perpisahan, itu membuat aku kesakitan.”“Lalu untuk apa hubungan kita ini jika selama ini kamu seperti menjauhiku?”Radit menatap Nirmala tak mengerti. “Apa kamu masih nggak percaya sama aku dan lebih percaya pada Sazi?”“Apa hubungan permbicaraan kita dengan Sazi?” “Kejadian dua tahun yang lalu,” jawab Nirmala lirih. Mengingat kejadian itu seolah mengorek luka yang masih basah. Kehilangan memang bukan hal yang mudah untuk dilupakan apalagi dia harus kehilangan anak, meski wujudnya belum dapat dia lihat. Tapi rasa bersalah itu terus bercokol dalam hatinya, dan semakin kuat berakar saat sampai sekarang belum ada yang tumbuh di rahimnya. Tak ingin Radit tahu serapuh apa dirinya saat mengingat kejadian itu, Nirmala memutar tubuhnya membelakangi sang suami. Air matanya menetes tak bisa ditahan lagi. Radit menghela nafasnya sedih, kejadian dua tahun yang lalu juga masih membekas dalam ingatannya, bukan dia menyal
Nirmala memandang Radit tajam. “Kamu sok tahu banget ini, aku dari tadi juga istirahat. Sudahlah aku mau menyelesaikan ini kamu sebaiknya pulang dulu, Mas. Aku bisa tidur di sini besok pagi pasti kamu berangkat pagi sekali.” Nirmala menekankan ucapannya pada kata ‘pasti’ yang dia yakini sebagai kebiasaan Radit. Dia bukan sedang ingin membalas dendam atau membantah suaminya sekali lagi bukan, dia hanya ingin sekali dimengerti sekali saja. Kali ini dia ingin egois, tak mau menjadi orang yang pengertian, dia sudah lelah, sangat lelah dengan semua ini. Andai saja sang suami mau sedikit berbagi dengannya membicarakannya secara baik-baik mungkin Nirmala akan bisa mengerti. Hanya itu. Dia bukan ibu peri yang selalu bisa mengerti dan memaklumi dengan sikapnya. Sesekali dia juga ingin dimengerti dan dipahami. Dia wanita yang sudah bersuami jadi selayaknya kalau dia ingin seperti orang-orang lain yang bisa sesekali pergi dengan suaminya, menghabisk
Nirmala merebahkan tubuhnya yang lelah di sebuah sofa yang memang dia sedikan untuk tempat istirahat saat sibuk di toko. Belanja bersama Gita ternyata sama lelahnya dengan berbelanja dengan Bu Lastri, mertuanya. Nirmala harus rela diseret ke sana ke mari hanya untuk membeli sebuuah gaun yang diinginkan Gita. Meski begitu Nirmala senang pergi bersama gita hari ini sedikit banyak dia bisa melupakan masalahnya. “Mbak Mala, nggak pulang?” Mbak Ratna menyapa Nirmala yang masih duduk bersandar dengan nyaman. “Mbak Ratna duluan saja, masih ada yang harus aku kerjakan.” Mbak Ratna memandang sejenak pada Nirmala, tapi kemudian menelan kembali apapun kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya.“Ya sudah, Mbak kalau begitu aku pamit, dulu . Mbak Mala benar nggak apa-apa ditinggal sendiri atau perlu saya hubungi Nia biar kemari.” “Lah buat apa wong saya cuma mau selesaikan cupcake saja, tenang saja, Mba