Radit memarkirkan mobilnya di halaman rumah orang tuanya yang luas, sejak kembali ke kota ini dan mendapat pekerjaan, dia memang memilih tinggal terpisah dari orang tuanya.
Meski pada awalnya sang ibu keberatan karena dengan tiga orang anak yang sudah dewasa memilih untuk tinggal terpisah.Kakak Radit yang bekerja sebagai seorang akuntan memilih ikut suaminya tinggal di Jakarta.Demikian juga dengan adiknya yang tahun ini memasuki tahun ketiga di bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota Bogor.Untuk laki-laki seperti Radit yang memiliki berbagai kesibukan, bukan hal mudah kalau dia harus kembali tinggal bersama orang tua.Profesinya menuntut jam kerja yang tidak normal, dia bisa saja mendapat panggilan pekerjaan pada jam satu malam, setelah sebelumnya baru pulang setelah lewat waktu makan malam. Dan sebagai kompensasi laki-laki itu setuju untuk menginap di rumah orang tuanya saat libur kerja.Nia memandang kakaknya dengan khawatir, dia tahu benar mobil siapa yang memasuki halaman rumah mereka, toyota camry warna hitam mengkilat yang dulu sering kali berkunjung ke rumah ini. Bisma.Nia segera menegakkan tubuhnya, bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Meski dia sendiri bingung apa yang akan terjadi, jika mengandalkan kekutan fisik mereka berdua jelas kalah tenaga dengan Bisma yang seorang laki-laki dengan tinggi 170 cm. Tidak. Nia takkan membiarkan hal itu terjadi apa dia bersiap-siap lari saja panggil tetangga. Tapi Bisma belum tentu mengandalkan fisik sih kalau para tetangga tahu permasalahan ini bisa jadi gosip se-RT.Berbeda dengan Nia yang panik dengan kedatangan Bisma, Nirmala nampak tenang, meski dalam hati dia sudah was-was. Sejak kedatangan ibu Bisma waktu itu Nirmala memang mengabaikan semua pesan dan telpon Bisma. Bahkan dia juga sudah menghapus nomer laki-laki itu dari d
"Kamu benar pacaran dengan Nirmala, Dit?"Agha yang sore itu berkunjung ke rumah orang tua Radit, mencecar laki-laki yang sibuk dengan sebuah buku tebal."Tahu dari mama?""Yup tante cerita begitu aku sampai tadi.""Kamu serius sama dia?"Radit yang sedang serius membaca bukunya memandang sepupunya tajam. "Ya tentu saja, kamu meragukanku.""Yah bukannya begitu, kulihat dia wanita baik-baik dan pekerja keras.""Lalu, aku nggak boleh gitu macari wanita baik-baik.""Ya bukan begitu, Dit aku hanya takut seperti yang sudah-sudah kamu hanya main-main.”Radit menghela nafas rekornya sebagai playboi memang tak diragukan lagi, dalam satu bulan saja dia bisa berganti pacar sebanyak dua kali. Dan sepupunya ini tau benar akan hal itu, Agha sosok yang dingin dan terkesan serius, dia hanya pernah pacaran sekali dengan seorang gadis yang dipacarinya dari kelas sat
Nirmala berbaring dengan nyaman di atas ranjang kamarnya, matanya masih terlihat sembab sisa- sisa tangis yang dia tumpahkan sejak sore tadi, jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.Badannya capek semua, setelah seharian membantu di toko dan bertambah capek hatinya dengan kedatangan sang mantan yang masih mampu menguras emosinya.Nirmala tak menyangga pengaruh Bisma masih begitu besar untuknya, hatinya masih begitu sakit saat ditinggalkan begitu saja.Cinta sama aku tapi lebih pilih dia yang membuatnya nyaman. Omong kosong, apa dia berani bilang begitu di depan wanita pilihannya itu. Selama ini dia begitu bodoh mau saja menerima alasan Bisma yang sibuk tak bisa berkunjung, nyatanya Bisma sibuk dengan orang lain. Sebagian hatinya merasa bersyukur karena mereka belum memiliki ikatan resmi yang melibatkan dua keluarga besar, setidaknya dia sudah terhindar dari rasa malu. Hibur hatinya. Dan sekarang dia sudah mem
“Kamu serius mau ajak aku ke alun-alun naik bianglala?” Nirmala yang sudah duduk manis di kursi penumpang mobil Radit bertanya pada laki-laki itu. Dia masih bisa melihat Nia yang berdiri di teras depan rumahnya dengan senyum geli. Yang benar saja umurnya tiga puluh something bukan umur yang ideal untu naik bianglala, meski Nirmala tak yakin berapa umur yang idela untuk naik wahana itu. Jangan-jangan nanti mereka diusir lagi sama petugasnya kan malu-maluin. “Pakai sabuk pengaman dulu, La.” Dengan cekatan Radit membantu Nirmala memasangkan sabuk pengaman, “kamu nggak mau ya ke sana?” Radit memandang Nirmala yang diam membeku. “Mala, kamu nggak papa.” Dengan lembut Radit menyentuh pipi Nirmala. Maksudnya sih karena khawatir karena Nirmala diam saja, tapi yang dia dapat malah tabokan di tangannya. Ya ampun pacarnya ini galak benar. Kecil-kecil begitu tabokannya sakit juga.“Apa, sih aku nggak papa kok.” Nirmala memalingkan wajahnya, memandan
Ini bukan kali pertama Nirmala mengunjungi alun-alun kota, Cacalah yang biasanya merengek mengajak ke sini. Alun-alun kota memang selalu ramai bukan hanya taman dengan banyak bunga-bunga indah yang ada di sana tapi juga banyak penjual yang hilir mudik menajajakan barang dagangannya di pinggir. Dan jangan lupakan pula wahana bermain anak yang membuat alun-alun ini tak kekurangan pengunjung, harganya yang terjangkau dan tempat yang indah menjadi daya tarik tersendiri. Nirmala sang tante kesayanganlah yang selalu menjadi sopir untuk mengantar Caca dan ibunya ke alun-alun dan itupun di sore atau pagi hari bukan malam hari seperti ini. Dan perlu dicatat juga Nirmala hanya mengantar mereka berdua sedangkan Caca dan mbak Gitalah yang akan naik bianglala jangan tanyakan kenapa karena Nirmala takut ketinggian. Dia merasa akan jatuh, apalagi bianglala yang hanya ditompang dengan beberapa besi lalu kita diputar membentuk lingkaran membayangkannya membuat Nirmala n
Radit memintanya duduk dengan nyaman di kursi taman, menunggunya kembali untuk membeli makanan dan minuman hangat. Nirmala memejamkan matanya sejenak kepalanya terasa pusing dan perutnya mual. Entah bagaimana rupanya saat ini, pastinya sangat tidak enak dilihat dia menyesal tadi tidak membawa pounch make upnya. Semoga saja Radit tidak langsung lari setelah ini.“Minum dulu, Yang.” Radit menyerahkan segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya. Entah apa saja yang dibeli Radit selain teh hangat dia juga menenteng kantong plastik berlogo salah satu minimarket. “Terima kasih,” Nirmala menerima gelas teh yang masih panas itu. Menghirup aromanya sejenak sebelum kemudian menghabiskan isi gelas. “Makan ini dulu, kalau sudah agak enakan kita cari makan yang enak.” Radit membuka satu bungkus roti isi dan menyerahkan pada Nirmala.“Kamu tidak makan?” tanya Nirmala saat melihat Radit hanya melihatnya menghabiskan roti. “A
Bukan hal mudah bagi Nirmala mengikhaskan semuanya, perlu usaha dan air mata. Tapi hidupnya yang memang tak pernah mudah. Saat ayahnya masih hidup, mereka tak pernah kekuranga suatu apapun meski bukan tergolong keluarga kaya raya yang memiliki sawah dimana-mana, atau uang yang melimpah ruah, tapi setidaknya Nirmala tak pernah merasakan kelaparan karena tak punya uang untuk makan. Ayahnya selalu berusaha memenuhi semua kebutuhan mereka disamping pekerjaan utama yang dilakoni. Beliau juga berjualan sayur mayur dan berbagai hasil bumi yang dia tanam sendiri di pekarangan rumah yang tak seberapa. Kadang-kadang ada beberapa tetangga juga yang menitipkan hasil bumi mereka, cabe, tomat, terong ataupun sekedar daun pisang dia terima yang penting bisa dijual, dan jadi uang. Sang ibu meski hanya sebagai ibu rumah tangga tapi perannya dalam mengelola keuangan keluarga patut diacungi jempol. Sebelum subuh tiba sang ibu sudah menyiapkan semua barang
Macarons memang cantik, bentuknya mungil dan warna warni yang cantik memang banyak disukai orang terutama kalangan milenial. Tapi Nirmala yang hanya belajar membuat kue dari ibu-ibu yang ada di toko tempat kerjanya dulu, masih terasa asing dengan kue yang satu ini, jangankan membuat makan pun Nirmala belum pernah dan sekarang mau tak mau dia harus membuat kue itu ditambah lagi waktu yang ditentukan tinggal besok saja. Sempat terpikirkan oleh Nirmala membeli macarons jadi saja lalu dikemas ulang, tapi dimana dia harus memasan, kue jenis ini belum banyak ditemui bahkan di toko roti terkenal sekalipun. Kota tempat tinggalnya hanya kota kecil dengan penduduk yang rata-rata lebih memilih makanan lokal yang sudah pas di lidah daripada makanan kekinian yang memang belum terbukti rasanya.“Kamu pernah buat macarons, Rin?” Rina yang sedang mengolesi loyang dengan mentega menoleh pada Nirmala. Lalu berkata dengan menyesal. “Belum pernah, mbak aku h
“Jadi ini karena penyakit ramahmu yang di atas normal itu?”Radit langsung manyun saat sikapnya yang ramah pada semua orang dibilang penyakit. Dia hanya ingin mempraktekkan apa yang diajarkan guru agamanya waktu SD bahwa senyum itu sama dengan shodaqoh, jadi kita harus banyak senyum biar pahala shodaqoh kita tambah banyak. Waktu itu uang sakunya tiap hari tak banyak, orang tuanya memang kaya raya tapi bukan berarti memberikan uang saku yang berlimpah padanya. Jadi dia yang pingin banget bershodaqoh berusaha mencari jalan lain, salah satunya dengan banyak senyum. “Itu bukan penyakit kali, Honey. Orang senyum itu dapat pahala.” “Iya tapi kalau terlalu banyak senyum dikira orang gila.” “Mana ada orang gila seganteng aku.” Nirmala memutar bola matanya mendengar kenarsisan Radit. “Memang penyakit gila itu tahu orang tampan atau enggak.” Ini mereka lagi ngomongin apa sih,
Dirapatkannya jaket tebal yang dia kenakan, kenapa harus sedingin ini sekarang. Dia berdo’a dalam hati semoga saja Nirmala tidak langsung mengusirnya. Paling tidak, ada secangkir minuman hangat untuknya. Tok… tokRadit mengetuk pintu itu dengan sedikit ragu, beberapa kali dia ulangi, tapi tetap saja pintu itu tak mau terbuka. Dia menoleh ke arah samping tempat yang dia ketahui sebagai dapur yang digunakan untuk memproduksi kue yang mereka jual. Nirmala pasti ada di sana sedang sibuk dengan berbagai kue. Radit tersenyum mengingat Nirmala yang selalu bersemangat membuat kue.“Apa sebaiknya aku ketuk pintu dapur saja,” gumamnya.Jalanan masih sangat lengang, jam dinding masih menunjukkan pukul lima pagi, sholat subuh telah dia tunaikan tadi di rumah. Udara yang dingin masih setia menyelimuti, bahkan untuknya yang terbiasa dengan AC yang sangat dingin masih merasakan tubuhnya menggigil. Ini bukan pertama kalinya dia berkendara dini hari, dia bahkan sering mendapat panggilan tugas yang
Pukul sembilan malam Radit sampai di rumah orang tuanya, seharian ini dia disIbukkan dengan banyaknya pasien yang datang, saat ini memang sedang musim hujan banyak anak-anak yang terkenal flu dan batuk. Dan mereka datang berduyun-duyun ke rumah sakit tempat Radit bekerja. Melihat anak-anak yang terbaring lemah membuatnya selalu tak tega, jadi dia berusaha membantu mereka sebaik mungkin, dan inilah yang menyebabkannya sangat sIbuk dan sedikit melupakan persoalan tadi siang. “Kenapa malam sekali baru pulang, Dit. Kami sudah menunggumu dari tadi?” Bu Lastri langsung menyambut putranya saat mobil laki-laki itu berhenti di halaman rumah, sejak pukul lima sore tadi memang Bu Lastri sdah mengirimkan pesan pada Radit untuk segera pulang dan membahas masalah tadi siang. Radit hanya membacanya tak berkeinginan membalas, Ibunya bukan tipe Ibu-Ibu obsesif yang kalau anaknya tak membalas pesan akan langsung menelepon, Bu Lastri tipe Ibu yang simple, asalkan pesannya sudah tersampaikan dia tak a
Radit melajukan mobilnya dengan kencang, wajahnya sudah merah dan tangannya memegang kemudi dengan sangat kencang, kalau saja kemudi itu tak dibuat dengan bahan yang baik pasti sudah bengkok. “Pelankan mobilnya, Mas aku takut!” teriak suara dari penumpang belakang tapi mana mau Radit mendengarkan, dia malah menambah kecepatan mobilnya meliuk ke kanan dan ke kiri menyalip kendaraan lain di depannya. “Hentikan,Dit, kamu bisa membunuh kita semua!” teriak wanita paruh baya yang tadi datang bersama Radit. Tangannya terasa kebas mencengkeram erat besi pegangan di atap mobil. Tapi telinga dan hati Radit seolah tertutup dengan teriakan dua orang wanita yang semobil dengannya. Bahkan dia juga tak memperdulikan pengendara sepeda motor yang juga melaju kencang dari arah yang berlawanan, menyerempet bagian samping mobilnya. Mobil keluaran eropa yang biasanya dia sayang, seolah tak berharga lagi. yang dia tahu saat ini hanyalah ingin le
"Aku mau tiga mangkuk es krim, tambahkan potongan strawberry yang besar dan kue coklat untuk kami, tolong cepat, ya Mbak siang ini panas banget," keluh Nia dengan senyuman manis di akhir kalimatnya."Segera, Mbak tunggu sebentar."Pelayan itu berlalu setelah mencatat pesanan Nia.Benar saja tak sampai sepuluh menit mereka menunggu pesanan sudah tersedia.Tiga mangkuk es krim, dengan saus strawberry dan ditambah potongan strawberry yang besar, terlihat sangat lezat.Nirmala memandangnya dengan berbinar, es krim strawberry tak pernah membuatnya bosan bahkan di saat suasana hatinya sedang tergores pisau tajam.Suasana cafe yang cozy membuat banyak pengunjung yang datang kemari."Lupakan diet dan mari habiskan es krim!""Yeiii lupakan jerawat juga, mari have fun!""Kalian serius mau menghabiskan es krim itu," Nirmala bertanya dengan wajah tak yakin, pasalnya dua wanita yang saat ini duduk bersamanya sangat anti makan es krim.Mbak Gita yang sejak melahirkan Caca menjadi gampang sekali gem
Nirmala menatap ke sekelilingnya dengan pandangan pias, orang-orang mulai berdatangan dan berbisik-bisik. Tentu saja kamu mereka biasanya tenang dan damai jarang sekali ada kejadian yang menghebohkan. Dan itu pun hanya seputar maling yang tertangkap warga saat mencuri atau tikus sebesar anak kambing yang nekat masuk rumah warga. Dan kali ini kedatangan wanita itu pasti sangat menggelitik rasa ingin tahu mereka apalagi posisi wanita itu yang berlutut di hadapan Nirmala dengan tangis yang berderai, pasti semua orang mengira bahwa Nirmala merebut suami orang dan istrinya sekarang datang memohon padanya. Ditambah lagi semua tetangganya sudah tahu tentang kabar pertunangannya dengan Radit, laki-laki tampan yang kaya raya, dan pastinya usianya jauh di bawah Nirmala, lengkap sudah penderitaannya.“Mbak, Mbaknya bangun dulu kita bicara di dalam saja.” Gita yang sejak tadi berdiri di samping Nirmala juga ikut membujuk, tak enak rasanya menjadi bahan tontonan warga sekitar. Dia memandang adi
Seperti hari-hari sebelumnya pagi ini Nirmala sudah disibukkan dengan berbagai tepung dan bahan pembuatan kue. Dengan adanya tiga orang tambahan, membuat Nirmala bisa bernafas dengan lega. dia tak perlu lagi menolak pesanan karena dirasa masih mampu mengerjakannya. Tapi semangat Nirmala untuk terus bereksperimen dengan berbagai jenis kue tak pernah pudar. Dan sekarang dia malah mempunyai banyak waktu untuk melanjutkan hobinya itu. Apalagi menjelang hari pertunangannya, dia semakin sibuk saja di dapur baik Mbak Gita maupun budhe sudah melarang Nirmala ke dapur tapi yang namanya Nirmala tetap saja keras kepala.“Aku bertanggung jawab dalam produksi kue tokoku bagaimana mungkin aku tak ke dapur,” kata Nirmala suatu hari saat Gita datang berkunjung dan melihatnya yang sudah bermain dengan bahan-bahan kesayangannya itu di dapur.“Ya paling tidak kamu kurangi, buat apa kamu bayar tiga orang karyawan kalu ujung-ujungnya kamu sendiri yang harus turun tangan.”“Aku cuma bantu, Mbak biar cepa
Siang ini matahari memang tidak bersinar terlalu terik, meski tak hujan, tapi awan kelabu sudah mulai berjalan-jalan, menemani burung-burung yang terbang mencari makan. Siang ini memang tak terlalu panas tapi tidak demikian dengan suasana hati Nirmala, wanita itu sudah setengah jam mondar mandir di depan sebuah butik ternama, tangan kanannya memegang ponsel lalu menempelkannya ke telinga begitu dari tadi tapi tak ada jawaban dari seseorang yang dia hubungi di seberang sana. “Kemana orang ini, katanya bisa datang kenapa sekarang tak menjawab telepon?” keluhnya kesal. “Sudah jawab, La?” “Belum, Ma.”“Coba hubungi terus, kemana anak itu katanya bisa datang kok nggak ada kabar.”Nirmala tak bisa menjawab pertanyaan yang sama juga sudah dia tanyakan berkali-kali tapi hanya semilir angin yang menjawab. Dia kembali sibuk menelepon lagi. “Kamu ada nomer perawat yang membantunya? Mungkin sa
“Ayo turun, La.” tanpa diminta dua kali Nirmala langsung turun dari dalam mobil, dia berniat membantu sopir Bu Lastri untuk mengangkat barang belanjaan mereka tapi, laki-laki itu melarangnya jadi Nirmala hanya mengikuti Bu Lastri dari belakang.Rumah ini masih tetap sama seperti beberapa waktu lalu saat dia pertama kali datang kesini, asri dan elegan. Dan satu hal yang selalu dirasakan Nirmala saat memasuki rumah ini adalah misterius, entah mengapa dia merasa kalau rumah ini banyak menyimpan misteri di dalamnya.Mungkin karena ini rumah kuno, yang banyak menyimpan rahasia para pendahulunya.“Ayo masuk.” suara Bu Lastri menyadarkan Nirmala tujuannya datang ke rumah ini. Setelah membeli semua perlengkapan seserahan tadi Nirmala memang diminta ikut ke rumah Bu Lastri, beliau bilang ada sesuatu yang ingin dia berikan pada Nirmala dan sekalian membicarakan rencana pernikahannya. Bagaimanapun mereka tak bisa mengandal