Bukan hal mudah bagi Nirmala mengikhaskan semuanya, perlu usaha dan air mata. Tapi hidupnya yang memang tak pernah mudah. Saat ayahnya masih hidup, mereka tak pernah kekuranga suatu apapun meski bukan tergolong keluarga kaya raya yang memiliki sawah dimana-mana, atau uang yang melimpah ruah, tapi setidaknya Nirmala tak pernah merasakan kelaparan karena tak punya uang untuk makan.
Ayahnya selalu berusaha memenuhi semua kebutuhan mereka disamping pekerjaan utama yang dilakoni. Beliau juga berjualan sayur mayur dan berbagai hasil bumi yang dia tanam sendiri di pekarangan rumah yang tak seberapa.Kadang-kadang ada beberapa tetangga juga yang menitipkan hasil bumi mereka, cabe, tomat, terong ataupun sekedar daun pisang dia terima yang penting bisa dijual, dan jadi uang.Sang ibu meski hanya sebagai ibu rumah tangga tapi perannya dalam mengelola keuangan keluarga patut diacungi jempol. Sebelum subuh tiba sang ibu sudah menyiapkan semua barangMacarons memang cantik, bentuknya mungil dan warna warni yang cantik memang banyak disukai orang terutama kalangan milenial. Tapi Nirmala yang hanya belajar membuat kue dari ibu-ibu yang ada di toko tempat kerjanya dulu, masih terasa asing dengan kue yang satu ini, jangankan membuat makan pun Nirmala belum pernah dan sekarang mau tak mau dia harus membuat kue itu ditambah lagi waktu yang ditentukan tinggal besok saja. Sempat terpikirkan oleh Nirmala membeli macarons jadi saja lalu dikemas ulang, tapi dimana dia harus memasan, kue jenis ini belum banyak ditemui bahkan di toko roti terkenal sekalipun. Kota tempat tinggalnya hanya kota kecil dengan penduduk yang rata-rata lebih memilih makanan lokal yang sudah pas di lidah daripada makanan kekinian yang memang belum terbukti rasanya.“Kamu pernah buat macarons, Rin?” Rina yang sedang mengolesi loyang dengan mentega menoleh pada Nirmala. Lalu berkata dengan menyesal. “Belum pernah, mbak aku h
“Jadi pangkatnya sudah naik nih, dari pengagum rahasia jadi calon suami?” Nia datang sambil membawakan teh manis dan sepiring kue untuk Radit dilihatnya laki-laki itu sedang serius menatap gawainya, Suasana hatinya yang buruk sedikit demi sedikit membaik. Sekarang sifat jahilnya yang keluar dan ada korban yang siap dia jadikan sasaran kejahilannya.Radit mengusap tengkuknya salah tingkah. “Ya, do’ain saja, kakakmu segera setuju.” “Minta didoain saja nggak mau minta bantuan, padahal aku dengan senang hati lho mau bantu.” “Wah benar kamu mau bantu aku, apa syaratnya?”Nia tertawa. “Wah yang dikatakan ibumu benar ya kamu memang cerdas langsung bisa menangkap maksudku.”“Jelaslah, Nirmala beruntung bangetkan ditaksir orang kayak aku.” Radit berkata dengan gaya sombong sambil menaik-naikkan alisnya.“Benar…benar mbak Mala beruntung banget, sudah pinter setia lagi. Eh kamu
Sore sudah berganti malam, dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara azan isya. Nirmala mengemudikan motornya dengan tenang, terdapat sekotak macarons yang nangkring di setang motornya. Ternyata rumah penjual macarons cukup sulit dicari dia harus tersasar tiga kali, syukurlah penjualnya sangat baik, meski mereka tadi tidak secara langsung membuat macarons karena proses produksi memang sudah berakhir, tapi Nirmala cukup puas karena penjualnya mau berbagi ilmu, memberi tahukan tahapan membuat macarons apa yang boleh dan tak boleh dilakukan, bahkan dengan baik hatinya dia menawarkan supaya Nirmala melihat proses produksinya esok hari, tapi karena besok dia juga sangat sibuk maka Nirmala menunda dulu kunjuangannya untuk yang kedua kali, dan sebagai gantinya dia mempersilahkan Nirmala menelpon jika butuh bantuan.Benar kata Rina rasanya memang gurih dan tepung almond yang digunakan sangat terasa. Meski ini pertama kalinya bagi Nirmala makan kue ini tapi dia sudah bisa mempr
Malam kian beranjak tua, sinar bulan sabit terlihat mengintip dengan malu-malu dibalik awan, mungkin jika angin tidak berkenan menyapa hujan pasti akan datang dengan lebatnya, jalanan juga mulai tampak sepi, semua orang lebih memilih tenggelam dalam selimut hangatnya dari pada berkeliaran di jalanan. Sebuah mobil sedan berwarna sepekat malam, terparkir di pinggir jalan tepat di depan gang yang menuju rumah Nirmala, sudah satu jam mobil itu terparkir diam di sana, tak ada pengendara atau penumpang yang terlihat keluar, jika saja tidak ada bunyi musik yang keras dari dalam mobil orang mungkin tak akan mengira bahwa masih ada orang di dalamnya.Entahlah apa yang dilakoni orang itu di malam yang sunyi ini, bahkan dering telepon yang dari tadi terdengar tak dipedulikannya, kepalanya menelungkup pada setir, lengan kemejanya telah digulung asal. Terdengar helaan nafasnya yang terasa berat. Kenapa hidupnya menjadi rumit seperti ini dua minggu lalu
Nirmala bersiap mengocok putih telur dalam wadah, wajahnya terlihat sangat serius seolah semua masa depan dunia tergantung padanya, Rina yang sedari subuh sudah nongol menampilkan wajah tak kalah serius.Dengan menarik nafas panjang dan tak lupa mengucap basmalah Nirmala mulai menyalakan mixer pada mode sedang, diputarnya wadah ke kiri dan ke kanan berusaha seadil mungkin agar tak ada putih telur yang cemburu, karena ini bagian penting dalam membuat macarons begitulah kata pembuat macarons yang dia temui kemarin."Jangan sekali-kali membuat putih telur ngambek, kalau itu sampai terjadi kamu akan dalam masalah." karena itu dia butuh konsentrasi penuh tanpa intervensi, dan Rina yang memang pernah melihat temannya membuat macarons, bertindak sebagai penilai merangkap pemberi nasehat.Nia saja yang tadi sempat ke dapur untuk mengambil gunting buru-buru pergi supaya tidak mengganggu mereka berdua."Aku masukkan air jeruk nipis sama gula
Namanya Radit Harjanto, putra kedua dari bapak Hendra Harjanto dan ibu Lastri, lahir 25 tahun yang lalu, sekarang bekerja di rumah sakit Harapan Kita dan klinik tumbuh kembang anak sebagai dokter catat ya dokter bukan tukang jualan obat. Meski Nirmala penasaran bagaimana orang secerewet Radit menghadapi pasiennya, apa mereka tidak kabur.”Single, pernah beberapa kali pacaran, dia tak tahu berapa tepatnya karena dia sendiri malas menghitung. Tapi sekarang dia sedang sendiri tak ada pacar free as a bird. Mantan pacar memang banyak tapi dia berkomitmen tidak akan pernah selingkuh, jadi jika ingin pacaran dengan wanita lain dia harus putus dulu dengan pacarnya saat itu.Nirmala tersenyum sendiri mengingat cara Radit memperkenalkan diri, laki-laki yang saat ini sibuk menyetir di sampingnya dengan tenang, meski cerewet dan cenderung pecicilan Radit adalah tipe orang yang sabar, saat mengemudi, dia hanya akan menggelengkan kepala pelan saat sebuah motor menyalip
Melupakan sejenak persoalan pribadinya, Nirmala bertekad untuk menyelesaikan masalah pembukaan tokonya terlebih dahulu. Persoalan mendasar yang sempat dia lupakan begitu saja, untung Radit mengingatkannya. Seperti biasa saat malam tiba, dan semua pekerjaan sudah terselesaikan Nia dan Nirmala akan bersantai sambil nonton televisi, kebiasaan yang sering mereka lakukan saat kedua orang tua mereka masih lengkap, dulu Nia dan Nirmala akan dengan manja tidur di pangkuan ibunya. Dan beliau akan dengan senang hati membelai lembut rambut sang putri, meski seiring dengan kesibukan mereka kebiasaan itu sering dilewatkan tapi sebisa mungkin mereka akan menyempatkan diri paling tidak seminggu sekali, sekaligus sebagai ajang observasi dan diskusi tindakan mereka selanjutnya mengenai toko yang akan di buka.“Ni bagaimana dengan nama toko kita?” Tanya Nirmala sambil meletakkan coklat panas dan sepiring gorengan.Nia terdiam sejenak, “Di prop
Nirmala bangun keesokan harinya dengan wajah pucat dan kantong mata tebal, “mbak nggak tidur semalam?” Tanya Nia yang mendapati kakaknya menunggui kue matang sambil memejamkan mata.“Masih ngantuk saja, semalamkan tidur terlalu malam.” Nia memandang Nirmala tajam, bukan hal aneh Nirmala tidur tengah malam karena menyelesaikan pembuatan kue pesanan, tapi paginya pasti sudah on fire lagi bukan pucat dan mengantuk seperti sekarang ini.“Aku mau bikin kopi mbak mau aku buatkan coklat panas atau teh mungkin.” Percuma saja mendesak Nirmala, kakaknya adalah tipe yang keras kepala sekali bilang tidak maka akan tidak. Dari pada gondok karena tidak ditanggapi dengan benar mending dia membuat minuman pagi, sebentar lagi mbak Ratna dan Rina akan datang mungkin nanti dia bisa meminta Nirmala istirahat sebentar.Tapi keinginan Nia sepertinya tidak akan terwujud tepat pukul tujuh pagi cik mei suplayer bahan kue tempat yang biasa Nirmala memb
“Jadi ini karena penyakit ramahmu yang di atas normal itu?”Radit langsung manyun saat sikapnya yang ramah pada semua orang dibilang penyakit. Dia hanya ingin mempraktekkan apa yang diajarkan guru agamanya waktu SD bahwa senyum itu sama dengan shodaqoh, jadi kita harus banyak senyum biar pahala shodaqoh kita tambah banyak. Waktu itu uang sakunya tiap hari tak banyak, orang tuanya memang kaya raya tapi bukan berarti memberikan uang saku yang berlimpah padanya. Jadi dia yang pingin banget bershodaqoh berusaha mencari jalan lain, salah satunya dengan banyak senyum. “Itu bukan penyakit kali, Honey. Orang senyum itu dapat pahala.” “Iya tapi kalau terlalu banyak senyum dikira orang gila.” “Mana ada orang gila seganteng aku.” Nirmala memutar bola matanya mendengar kenarsisan Radit. “Memang penyakit gila itu tahu orang tampan atau enggak.” Ini mereka lagi ngomongin apa sih,
Dirapatkannya jaket tebal yang dia kenakan, kenapa harus sedingin ini sekarang. Dia berdo’a dalam hati semoga saja Nirmala tidak langsung mengusirnya. Paling tidak, ada secangkir minuman hangat untuknya. Tok… tokRadit mengetuk pintu itu dengan sedikit ragu, beberapa kali dia ulangi, tapi tetap saja pintu itu tak mau terbuka. Dia menoleh ke arah samping tempat yang dia ketahui sebagai dapur yang digunakan untuk memproduksi kue yang mereka jual. Nirmala pasti ada di sana sedang sibuk dengan berbagai kue. Radit tersenyum mengingat Nirmala yang selalu bersemangat membuat kue.“Apa sebaiknya aku ketuk pintu dapur saja,” gumamnya.Jalanan masih sangat lengang, jam dinding masih menunjukkan pukul lima pagi, sholat subuh telah dia tunaikan tadi di rumah. Udara yang dingin masih setia menyelimuti, bahkan untuknya yang terbiasa dengan AC yang sangat dingin masih merasakan tubuhnya menggigil. Ini bukan pertama kalinya dia berkendara dini hari, dia bahkan sering mendapat panggilan tugas yang
Pukul sembilan malam Radit sampai di rumah orang tuanya, seharian ini dia disIbukkan dengan banyaknya pasien yang datang, saat ini memang sedang musim hujan banyak anak-anak yang terkenal flu dan batuk. Dan mereka datang berduyun-duyun ke rumah sakit tempat Radit bekerja. Melihat anak-anak yang terbaring lemah membuatnya selalu tak tega, jadi dia berusaha membantu mereka sebaik mungkin, dan inilah yang menyebabkannya sangat sIbuk dan sedikit melupakan persoalan tadi siang. “Kenapa malam sekali baru pulang, Dit. Kami sudah menunggumu dari tadi?” Bu Lastri langsung menyambut putranya saat mobil laki-laki itu berhenti di halaman rumah, sejak pukul lima sore tadi memang Bu Lastri sdah mengirimkan pesan pada Radit untuk segera pulang dan membahas masalah tadi siang. Radit hanya membacanya tak berkeinginan membalas, Ibunya bukan tipe Ibu-Ibu obsesif yang kalau anaknya tak membalas pesan akan langsung menelepon, Bu Lastri tipe Ibu yang simple, asalkan pesannya sudah tersampaikan dia tak a
Radit melajukan mobilnya dengan kencang, wajahnya sudah merah dan tangannya memegang kemudi dengan sangat kencang, kalau saja kemudi itu tak dibuat dengan bahan yang baik pasti sudah bengkok. “Pelankan mobilnya, Mas aku takut!” teriak suara dari penumpang belakang tapi mana mau Radit mendengarkan, dia malah menambah kecepatan mobilnya meliuk ke kanan dan ke kiri menyalip kendaraan lain di depannya. “Hentikan,Dit, kamu bisa membunuh kita semua!” teriak wanita paruh baya yang tadi datang bersama Radit. Tangannya terasa kebas mencengkeram erat besi pegangan di atap mobil. Tapi telinga dan hati Radit seolah tertutup dengan teriakan dua orang wanita yang semobil dengannya. Bahkan dia juga tak memperdulikan pengendara sepeda motor yang juga melaju kencang dari arah yang berlawanan, menyerempet bagian samping mobilnya. Mobil keluaran eropa yang biasanya dia sayang, seolah tak berharga lagi. yang dia tahu saat ini hanyalah ingin le
"Aku mau tiga mangkuk es krim, tambahkan potongan strawberry yang besar dan kue coklat untuk kami, tolong cepat, ya Mbak siang ini panas banget," keluh Nia dengan senyuman manis di akhir kalimatnya."Segera, Mbak tunggu sebentar."Pelayan itu berlalu setelah mencatat pesanan Nia.Benar saja tak sampai sepuluh menit mereka menunggu pesanan sudah tersedia.Tiga mangkuk es krim, dengan saus strawberry dan ditambah potongan strawberry yang besar, terlihat sangat lezat.Nirmala memandangnya dengan berbinar, es krim strawberry tak pernah membuatnya bosan bahkan di saat suasana hatinya sedang tergores pisau tajam.Suasana cafe yang cozy membuat banyak pengunjung yang datang kemari."Lupakan diet dan mari habiskan es krim!""Yeiii lupakan jerawat juga, mari have fun!""Kalian serius mau menghabiskan es krim itu," Nirmala bertanya dengan wajah tak yakin, pasalnya dua wanita yang saat ini duduk bersamanya sangat anti makan es krim.Mbak Gita yang sejak melahirkan Caca menjadi gampang sekali gem
Nirmala menatap ke sekelilingnya dengan pandangan pias, orang-orang mulai berdatangan dan berbisik-bisik. Tentu saja kamu mereka biasanya tenang dan damai jarang sekali ada kejadian yang menghebohkan. Dan itu pun hanya seputar maling yang tertangkap warga saat mencuri atau tikus sebesar anak kambing yang nekat masuk rumah warga. Dan kali ini kedatangan wanita itu pasti sangat menggelitik rasa ingin tahu mereka apalagi posisi wanita itu yang berlutut di hadapan Nirmala dengan tangis yang berderai, pasti semua orang mengira bahwa Nirmala merebut suami orang dan istrinya sekarang datang memohon padanya. Ditambah lagi semua tetangganya sudah tahu tentang kabar pertunangannya dengan Radit, laki-laki tampan yang kaya raya, dan pastinya usianya jauh di bawah Nirmala, lengkap sudah penderitaannya.“Mbak, Mbaknya bangun dulu kita bicara di dalam saja.” Gita yang sejak tadi berdiri di samping Nirmala juga ikut membujuk, tak enak rasanya menjadi bahan tontonan warga sekitar. Dia memandang adi
Seperti hari-hari sebelumnya pagi ini Nirmala sudah disibukkan dengan berbagai tepung dan bahan pembuatan kue. Dengan adanya tiga orang tambahan, membuat Nirmala bisa bernafas dengan lega. dia tak perlu lagi menolak pesanan karena dirasa masih mampu mengerjakannya. Tapi semangat Nirmala untuk terus bereksperimen dengan berbagai jenis kue tak pernah pudar. Dan sekarang dia malah mempunyai banyak waktu untuk melanjutkan hobinya itu. Apalagi menjelang hari pertunangannya, dia semakin sibuk saja di dapur baik Mbak Gita maupun budhe sudah melarang Nirmala ke dapur tapi yang namanya Nirmala tetap saja keras kepala.“Aku bertanggung jawab dalam produksi kue tokoku bagaimana mungkin aku tak ke dapur,” kata Nirmala suatu hari saat Gita datang berkunjung dan melihatnya yang sudah bermain dengan bahan-bahan kesayangannya itu di dapur.“Ya paling tidak kamu kurangi, buat apa kamu bayar tiga orang karyawan kalu ujung-ujungnya kamu sendiri yang harus turun tangan.”“Aku cuma bantu, Mbak biar cepa
Siang ini matahari memang tidak bersinar terlalu terik, meski tak hujan, tapi awan kelabu sudah mulai berjalan-jalan, menemani burung-burung yang terbang mencari makan. Siang ini memang tak terlalu panas tapi tidak demikian dengan suasana hati Nirmala, wanita itu sudah setengah jam mondar mandir di depan sebuah butik ternama, tangan kanannya memegang ponsel lalu menempelkannya ke telinga begitu dari tadi tapi tak ada jawaban dari seseorang yang dia hubungi di seberang sana. “Kemana orang ini, katanya bisa datang kenapa sekarang tak menjawab telepon?” keluhnya kesal. “Sudah jawab, La?” “Belum, Ma.”“Coba hubungi terus, kemana anak itu katanya bisa datang kok nggak ada kabar.”Nirmala tak bisa menjawab pertanyaan yang sama juga sudah dia tanyakan berkali-kali tapi hanya semilir angin yang menjawab. Dia kembali sibuk menelepon lagi. “Kamu ada nomer perawat yang membantunya? Mungkin sa
“Ayo turun, La.” tanpa diminta dua kali Nirmala langsung turun dari dalam mobil, dia berniat membantu sopir Bu Lastri untuk mengangkat barang belanjaan mereka tapi, laki-laki itu melarangnya jadi Nirmala hanya mengikuti Bu Lastri dari belakang.Rumah ini masih tetap sama seperti beberapa waktu lalu saat dia pertama kali datang kesini, asri dan elegan. Dan satu hal yang selalu dirasakan Nirmala saat memasuki rumah ini adalah misterius, entah mengapa dia merasa kalau rumah ini banyak menyimpan misteri di dalamnya.Mungkin karena ini rumah kuno, yang banyak menyimpan rahasia para pendahulunya.“Ayo masuk.” suara Bu Lastri menyadarkan Nirmala tujuannya datang ke rumah ini. Setelah membeli semua perlengkapan seserahan tadi Nirmala memang diminta ikut ke rumah Bu Lastri, beliau bilang ada sesuatu yang ingin dia berikan pada Nirmala dan sekalian membicarakan rencana pernikahannya. Bagaimanapun mereka tak bisa mengandal