Beberapa hari berikutnya, 200 tambahan pasukan dengan empat Lurah Prajurit yang dipimpin oleh seorang Bekel* bernama Aruna Mulaprana, masih keponakan langsung dari Panglima Bramanti, datang ke Benteng Matuwiru. Ada sebanyak sepuluh Prajurit Khusus Pengintai, sebanyak 50 Prajurit Khusus Pemanah, 30 pasukan berkuda, dan sisanya adalah prajurit biasa yang masing-masingnya dikomandoi oleh satu Lurah Prajurit**. Dengan kedatangan mereka, Senopati Bayantika sekarang memiliki sekitar 800 prajurit di bawah kepemimpinannya. Sekitar 500 akan dibawanya untuk melakukan penyerangan ke benteng perbatasan Cindani, di mana sisanya menetap menjaga Benteng Matuwiru. Sebelum memberangkatkan prajuritnya, Bayantika meninggalkan benteng tepat setelah menyelesaikan rapatnya dengan Bekel dan para Lurah Prajurit lainnya. Dia pergi menemui Rangkahasa yang masih ditemani oleh Indra dan Dharma di tepi hutan tak terlalu jauh dari Benteng Maruwiru. “Ada apa Kangmas? Apa semua prajurit yang ingin dikerahkan ke p
Mengetahui pergerakan pasukan yang dipimpin oleh Senopati Bayantika, kerajaan Cindani meresponnya dengan memperkuat pertahanan mereka. Mereka memilih untuk menggerakkan sebagian kecil pasukan mereka untuk menyerang secara gerilya ke perkemahan prajurit yang dipimpin Bayantika. Namun pergerakan mereka terhenti ketika mereka baru memasuki kawasan hutan sebelum sampai di daerah perkemahan tersebut. Dua orang dari prajurit pengintai mereka menemukan sesuatu yang aneh di beberapa titik di hutan tersebut. “Apa yang terjadi di sini?” gumam seorang prajurit mata-mata dari Cindani. “Apa kita laporkan saja dulu?” tanya temannya. Kedua orang itu pun langsung bergegas menemui pemimpin pasukan yang hendak menyerang perkemahan Bayantika. Di saat mereka menemui barisan pasukan gerilya mereka, ternyata pasukan tersebut juga terhenti karena menemukan hal yang serupa. Mereka pun ragu untuk melanjutkan perjalanan setelah melihat potongan bangkai dan mayat bergelimpangan. Tak jauh dari tempat itu,
Satu prajurit tangguh itu mengenakan baju zirah yang menutupi tubuhnya, mulai dari kepala, tubuh, hingga tangan dan kakinya. Ukuran tubuhnya juga besar dan kokoh. Semua prajurit yang ada hanya setinggi dadanya, membuat mereka seperti anak-anak yang sedang dipermainkan oleh satu orang dewasa.Lengannya yang kuat dengan mudah mengayunkan pedang tipe Saber yang besar dan panjang. Satu ayunannya saja sudah bisa melukai beberapa prajurit yang ukuran tubuh mereka memang terbilang kecil bagi ukuran pedang tersebut.Kebanyakan dari prajurit Marajaya tak berani mendekatinya. Meski mereka saat ini menang jumlah, dan juga lebih unggul dari prajurit Cindani pada umumnya, namun keberadaan satu prajurit tangguh itu benar-benar memiliki pengaruh yang begitu besar di tengah pertempuran.“Bagaimana Kangmas?” tanya Dharma pada Indra.“Tunggu sebentar, coba kau lihat di arah sana,” seru Indra mengarahkan wajahnya ke arah kiri.Rangkahasa yang sepertinya baru bangun dari tidurnya, terlihat sedang melepas
Dia biarkan prajurit itu terus menyerang dan memojokkannya, hanya sibuk menangkis serangan pedangnya yang datang bertubi-tubi. Seiring waktu, berlagak seperti terus terpojokkan seperti itu, Rangkahasa memancing prajurit asing itu menjauh dari prajurit Marajaya lainnya.Ketika mereka sudah agak terpisah dari prajurit-prajurit yang berperang, baru di situ prajurit asing itu menyadarinya. Dia berhenti sesaat dan melihat ke sekelilingnya, dan kemudian sedikit tersenyum ke arah Rangkahasa.“Jadi kau sengaja memancingku menjauh dari mereka?” ujarnya beretorika.Rangkahasa pun nampak tersenyum menyeringai atas keberhasilannya itu.“Selama aku bisa menjauhkanmu dari yang lainnya, peperangan ini akan menjadi milik kami,” balasnya.“Pertanyaannya, seberapa lama kau bisa menahanku di sini?” tutur prajurit asing itu, sebelum dia kembali melancarkan serangannya.Namun sekarang Rangkahasa tidak lagi membiarkan prajurit asing itu terus-terusan memojokkannya. Setiap kali dia mendapatkan kesempatan di
Prajurit asing itu sama sekali tak memberikan Rangkahasa waktu untuk berdiam diri. Lagi pula, sudah terlalu lama dirinya disibukkan oleh Rangkahasa seorang, sedikit merusak harga dirinya yang menganggap peperangan itu akan menjadi sesuatu yang mudah baginya. Rangkahasa tak punya pilihan lain selain menangkis semua gempuran dari serangan bertubi-tubi prajurit berbadan besar tersebut. Tentu dia tetap mencoba untuk menghindari apapun yang bisa dihindarinya. Ketika dia terpaksa harus menangkis, jeritan di kepalanya itu kembali menyiksa dirinya. Hal tersebut sesuatu yang tak pernah dialami Rangkahasa sebelumnya, karena selama ini dia memang belum pernah mendapatkan lawan bertarung yang sekuat kali ini. “Aku mohon, bertahanlah!” serunya lirih, di saat dia semakin kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi saat bertarung. Hanya sesaat dia mendapatkan kesempatan untuk menjauh dari jangkauan serangan musuhnya itu. Namun itu justru memberi ruang bagi prajurit berbadan besar itu untuk melancar
Dia menghirup nafas begitu dalam, dan kemudian menarik keluar seluruh tenaga dalamnya yang tersisa. Namun alih-alih membuat Rangkahasa menjadi lebih kuat, dia justru terlihat lesu setelahnya. Matanya mulai sayu, sementara pedang itu terhunus saja lurus ke tanah.Pria itu melihat Rangkahasa mulai berayun berdiri seperti orang yang sudah begitu kelelahan. Namun Pria asing itu justru menjadi semakin waspada, karena merasakan sesuatu yang aneh pada diri Rangkahasa. Terutama pada pedang hitam Damaskus tersebut, seolah udara di sekitar pedang itu nampak memuai.Pria itu menggelengkan kepalanya, mulai ragu dengan penglihatannya.“Sepertinya sudah cukup lama juga kita bertarung,” tuturnya lirih, mulai berpikir bahwa dirinya hanya sedang kelelahan saja.Setelah itu pria bertubuh besar itu memutuskan untuk menyudahi saja pertarungan itu. Dia mengambil resiko melancarkan serangan langsung, berlari lurus sekencang-kencangnya sembari menyeret pedang besarnya. Sesaat sebelum dia sampai pada jarak j
Rangkahasa berbalik saja, nampak abai dengan peperangan yang masih berlangsung. Sementara itu, pasukan dari Kerajaan Marajaya juga sudah berhasil memukul mundur musuh mereka. Pemimpin mereka sudah memerintahkan untuk kembali ke benteng, karena sudah tak mungkin mengusir pasukan dari Kerajaan Marajaya.Namun Bayantika juga tidak memaksakan pasukannya untuk terus menggempur musuh. Dia tahu prajuritnya juga sudah terlalu lama bertempur dan membutuhkan istirahat.“Segera tarik kembali pasukan kita. Dipaksakan pun, justru hanya akan berakibat buruk bagi kita,” tutur Bayantika memberikan perintah.“Baik, Senopati!” jawab Aruna sebelum dia pergi untuk menarik kembali pasukannya.Senopati Bayantika memutar haluan kudanya, hendak meninggalkan tempat tersebut untuk kembali ke lokasi perkemahan mereka.“Sepertinya kami benar-benar tak diperlukan berada di sini,” ucap Indra datang menghampiri mengarak kudanya mendekati Bayantika.“Bukannya kalian sendiri yang bilang, kalau kalian hanya ingin meli
Bayantika tersenyum dengan jawaban tersebut. Namun Indra ternyata masih kebingungan meski Rangkahasa sudah memberikan jawabannya. “Dengar, jika kita bisa langsung menyerang raja, akan lebih banyak pion yang terselamatkan,” jelas Bayantika sembari merangkul bahu Indra. “Tapi sebenarnya, yang kita lakukan ini juga tidak sedang mencoba menyerang pusat kerajaan mereka secara langsung,” tutup Bayantika, yang kembali membuat Indra semakin kebingungan. Setelah itu dia menggiring Indra berjalan mendekati tebing, dan memancingnya untuk mengamati lebih seksama hamparan padang luas yang membentang dari medan pertempuran yang terlihat dari jauh dari Benteng Matuwiru tersebut. “Jika kita tidak langsung merebut benteng mereka itu, mereka akan terus memusatkan pertahanan mereka di sana. Mereka akan terus mengirim bantuan. Hal yang sama juga sedang terjadi di sisi lainnya di perbatasan barat Cindani. Dharma juga melakukan hal yang sama yang aku lakukan di sini.” “Jika waktunya sudah tiba, satu pas
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann