Kailash pun terkejut dengan kata-kata serta sikap dingin dari Senopati Bayantika terhadapnya. Dia bukanlah orang bodoh. Sebagai seorang saudagar yang licik, tentunya dia juga sudah pasti bisa membaca kalau semua adalah siasat Senopati Bayantika sendiri.Namun yang namanya pengusaha licik, tak ingin kedoknya terbongkar. Dalam kondisi itu pun dia masih saja naif berpikir bisa mengelak dari tuduhan Bayantika.“Apa maksud Tuan Senopati soal keris milik Tuan itu?” sanggah Kailash masih mencoba berpura-pura tidak tahu apa-apa dengan tampang tak berdosanya.“Tak usah kau bermuka dua di depanku. Kalaupun kau bisa bersilat lidah mengatakan kau tak melakukan apa-apa, aku bisa saja memenggal kepala kalian semua meski kau tak bersalah sekalipun, dan tak akan ada seorangpun di Kerajaan Marajaya ini yang akan membelamu.”“Lebih baik kau permudah saja dirimu sendiri. Bukankah kau seorang pengusaha? Pikirkan lagi untung rugimu dan cobalah untuk membuatnya sedikit lebih mudah bagiku,” balas Bayantika
Kailash yang merasa harga dirinya direndahkan di depan rumahnya sendiri langsung menghampiri Bayantika dengan wajah geram.“Senopati, jangan lupa kalau aku dan Patih Bramanti sudah menandatangi kontrak perjanjian. Tuan Senopati tak bisa seenaknya bersikap seperti ini padaku,” sergahnya memperlihatkan ketidaksenangannya.Lalu Indra tiba-tiba berjalan ke arah pagar rumah Kailash dan kemudian menempel poster buronan Rangkahasa di salah satu pintu gerbangnya.“Kangmas, masih ada satu poster terpampang di sini,” ujarnya dengan tampang polos tak berdosa.Bayantika pun kembali menoleh ke arah Kailash.“Bukankah aku sudah menitipkan pesan pada anak buahmu?” tanya Bayantika beretorika dengan tatapan merendahkan dari atas kudanya.Kailash tak lagi bisa berkata apa-apa. Wajahnya merah padam, lehernya menggelembung menahan nafas karena saking emosinya, namun terpaksa ditahan semuanya. Dia pun berjalan kembali ke gerbang rumahnya, merobek poster tersebut dan terus masuk ke dalam rumah dengan tak l
Kedua pendekar itu pun hanya bisa bengong melihat sikap Darmi yang terlalu abai seperti itu.“Jadi namanya Rangkahasa, ya?” gumam Dharma.“Aneh saja kita mencari-cari orang, tapi sama sekali tak tahu namanya. Ya sudah, kita ikuti saja anaknya Pak Darmi itu,” seru Indra.Mereka pun mengikuti dengan sedikit menjaga jarak di belakang, hingga akhirnya Lastini pun bertemu dengan anak-anak desa lainnya, menuntun kedua pemuda itu ke sungai tempat mereka biasa bertemu Rangkahasa.Namun setelah menunggu cukup lama di sana, Rangkahasa tak kunjung muncul. Baik kedua pendekar itu, maupun Lastini beserta teman-temannya nampak kecewa. Setelah cukup lama mendengarkan obrolan kekecewaan anak-anak desa itu, Indra dan Dharma memutuskan untuk menghampiri mereka.“Aaaah, pantas saja. Ternyata ada orang asing mengikuti kita!” seru Arini langsung berlari mendekati teman-temannya, menunjuk-nunjuk ke arah Indra dan Dharma.Keduanya tentu bingung dengan reaksi anak kecil tersebut. Ditambah lagi dengan sikap m
Melihat kondisi Dharma yang seperti itu, Indra memutuskan untuk keluar saja dari hutan. Namun justru ketika mereka hendak keluar dari hutan, mereka menemukan Rangkahasa sedang duduk bersandar di bawah sebuah pohon di kejauhan.Indra yang lebih dulu menyadarinya, langsung menahan Dharma. Dia khawatir Rangkahasa akan salah paham menyangka mereka adalah orang yang akan memburunya.“Apa itu dia?” tanya Dharma.“Sepertinya begitu. Sebaiknya kamu tahan sebisanya aura dan tenaga dalammu. Aku tak ingin nanti dia salah paham dengan maksud kedatangan kita,” seru Indra mengingatkan.Mereka pun berjalan dengan sebiasa mungkin, tidak diam-diam, tidak pula secara tiba-tiba. Namun walau mereka masih jauh, Rangkahasa langsung kembali terjaga dan menoleh ke arah mereka berdua sembari kembali memegang gagang pedangnya.Ketika dia tahu yang mendatanginya bukanlah dedemit, Rangkahasa mengurangi sedikit kewaspadaannya.“Maaf jika kedatangan kami mengganggu. Apa benar kamu pendekar yang bernama Rangkahasa?
Setelah Rangkahasa berjalan cukup jauh, baru Indra mulai kembali mengikutinya. Sementara itu Dharma semakin tak sabaran saja, kenapa Indra masih diam saja, belum juga terlihat mencoba untuk menghetikan Rangkahasa. “Kenapa Kangmas tak jelaskan saja maksud kedatangan kita?” tanya Dharma. “Apa kau benar-benar tak penasaran? Soal bangkai berserakan yang kita temukan, dan juga soal Kangmas Bayantika yang begitu tertarik dengannya? Siapa tahu benar-benar ada banyak dedemit di hutan ini,” balas Indra menanggapi. “Penasaran sih. Tapi perutku kosong sedari tadi, lagi pula tidak lama lagi tempat ini akan semakin gelap,” balas Dharma mulai mengeluh. Meski begitu, dia tetap saja mengikuti Indra yang mengikuti Rangkahasa. Hingga hari sudah mulai senja, Indra melihat dari kejauhan Rangkahasa yang tiba-tiba berhenti. Indra meneruskan langkahnya, berpikir mungkin Rangkahasa memang sedang memancing dirinya untuk menghampirinya lebih dekat. Merasa seperti sedang ditantang, Indra mencabut pedangny
Untung bagi mereka, jumlah dedemit malam itu tak sebanyak yang sebelum-sebelumnya yang dihadapi Rangkahasa. Dia sudah terlalu banyak membasmi makhluk-makhluk jahat tersebut beberapa hari belakangan di tempat yang sama.Namun tetap saja, Indra dan Dharma kewalahan harus terus-terusan menebas kuat-kuat, tak cukup hanya sekadar menyayat luka saja. Mereka memiliki teknik berpedang yang sangat bagus, namun kekuatan dan daya tahan mereka diuji semalaman suntuk. Belum lagi rasa haus dan lapar yang ditahan oleh Dharma yang sudah mengosongkan isi lambungnya tadi siang.Sebenarnya mereka bisa saja pergi, membiarkan Rangkahasa berurusan dengan dedemit itu sendirian. Hanya saja, melihat Rangkahasa yang masih nampak beringas membantai dedemit itu, mereka tak sudi mengalah barang sedikitpun. Tak sudi meninggalkan tempat itu barang sejengkal.“Hey, Dharma! Berhati-hatilah!” seru Indra menarik Dharma dan menyelamatkannya dari serangan tentakel dari satu dedemit di belakangnya.Setelah itu Indra langs
Ketika mereka sampai di tempat sebelumnya, untungnya tempat tersebut sepi karena sepertinya Rangkahasa sudah membersihkan kawasan itu selama dua hari sebelumnya.Namun Indra melihat sebagian kecil dari dedemit dari arah selatan masih mengikutinya, sementara Dharma juga sudah begitu kelelahan.“Kau tunggu lah di sini,” seru Indra, langsung bergegas pergi.“Eh, Kangmas mau kemana?” tanya Dharma nampak ketakutan ditinggal sendiri.“Teriak saja jika nanti ada apa-apa,” balas Indra sedikit berteriak.Setelah itu dia membantai beberapa dedemit yang masih sempat mengikuti mereka. Setelah selesai dengan itu, Indra meneruskan kembali bergerak ke arah selatan untuk memeriksa keadaan.Dari kejauhan dia melihat para dedemit itu seperti orang linglung tak tahu hendak kemana. Sebelu
Subuh itu juga, karena khawatir dengan kondisinya, Indra dan Dharma membawa Rangkahasa yang sudah pingsan menuju Benteng Matuwiru.Posisi mereka saat ini sudah lebih jauh ke arah selatan mendekati perbatasan Kerajaan Cindani. Mereka keluar dari kawasan hutan itu dengan bergerak ke arah barat. Setelah melewati satu sungai, mereka sudah bisa melihat keberadaan benteng tersebut dari kejauhan, yang berdiri di sebuah tebing yang tak terlalu curam.Sesampainya di Benteng Matuwiru, Indra menceritakan kejadian aneh yang mereka alami di hutan bersama Rangkahasa kepada Senopati Bayantika.“Hah? Lagi-lagi diserang dedemit?” tanya BayantikaTentu saja kedua orang itu langsung kaget dengan respon Bayantika itu.“Apa maksud Kangmas?” tanya Indra.“Aku memang tak cerita sebelumnya. Waktu a
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann