Beberapa roh jahat lain masuk dari pintu depan, dan Rangkahasa hanya mengayunkan pedangnya dengan ringan. Roh-roh jahat itu menjerit, membuat laki-laki itu menutupi kedua telinga, masih belum juga berani mengangkat wajahnya.Ketika Kailash dan beberapa orang anak buahnya datang, Rangkahasa sudah tidak ada lagi di tempat tersebut. Mereka hanya menemukan mayat-mayat bergelimpangan. Hanya ada dua orang anak buahnya yang selamat. Selebihnya sudah meregang nyawa dengan kondisi yang mengenaskan.Saat Kailash naik ke teras rumah, anak buahnya bergegas menyalakan lampu damar. Ketika dia masuk ke ruangan di mana dia menumpuk senjata dagangannya, dia sudah tak menemukan lagi pedang hitam Damaskus tersebut.“Kemana perginya pedang itu?” tanyanya.“Di bawa oleh pemuda itu, Tuan,” jawab anak buahnya.“Bedebah!” bentak Kailash menghempas tongkat kayu antiknya ke meja hingga patah.“Tu, tuan! Tongkatnya!” seru salah seorang anak buahnya.Kailash pun menjadi semakin kesal karena sudah mematahkan tong
Patih Bramanti penasaran dengan Bayantika menyebut seorang buronan sebagai pendekar muda, seakan dia tahu kalau buronan itu adalah seorang pendekar. Hal itu adalah sesuatu yang bahkan tidak terpikirkan oleh Patih Bramanti saat memutuskan status burnonan Rangahasa tersebut.“Sepertinya Dimas mengenalinya?” tanya Bramanti.“Ah, tidak. Tidak sama sekali. Aku penasaran saja, sudah cukup lama daerah ini tidak ada kasus kejahatan sejak Kangmas Bramanti menjabat di sini,” balas Bayantika.Bhadra melirik ke arah Bayantika, sedikit nampak penasaran dengannya kenapa harus berlagak tak mengenal atau tak tahu menahu tentang Rangkahasa.Lalu kemudian Patih Bramanti merangkul bahu Bayantika sembari mempersilakan dia dan Bhadra untuk masuk ke dalam rumahnya.“Sudah dua bulan kertas itu tersebar, tapi sama sekali tidak ada kabar mengenai keberadaannya. Tidak ada juga kejadian apa-apa setelah itu. Jadi sebagian orang tak lagi terlalu mempedulikannya. Mungkin saja dia sudah kabur keluar dari negeri ini
Bayantika menggunakan beberapa harinya menetap di Parlipur untuk memahami lebih jauh tentang kasus Rangkahasa. Dia pun pergi berkunjung ke Wilungarsih, salah satu desa terpinggir di daerah Parlipur, di dekat perbatasan bagian barat daya Kerajaan Marajaya. Berharap dia bisa mempelajari di mana kemungkinan keberadaan Rangkahasa saat ini Desa tersebut merupakan tempat di mana Rangkahasa dilaporkan membantai anak buah Kailash dan mencuri pedang antik saudagar tersebut. Dia berjalan dengan pakaian orang kampung biasa agar lebih mudah berbaur. Hanya saja, sepertinya orang-orang sudah tak lagi menceritakan kasus tersebut meski wajah Rangkahasa masih terpampang di berbagai sudut desa. Tak kunjung mendapatkan apa-apa hanya dengan mencuri dengar, Bayantika pun mulai mencoba memancing obrolan di sebuah warung makan. Namun tiba-tiba saja, dua orang pendekar lebih dulu menanyakan hal serupa pada pemilik warung. “Lho Pak, bukannya ini anak muda yang waktu itu membeli makanan waktu itu di sini?”
Merasa mereka memiliki keperluan yang sama, kedua pendekar muda itu terus mengajak Bayantika mengobrol sembari meneruskan perjalanan mereka.“Jangan bilang mereka memerintahkan seorang Senopati seperti Kangmas untuk mengusut masalah ini,” tutur Dharma.“Tidak juga, aku hanya penasaran saja. Sebenarnya aku sudah bertemu dengan anak muda ini setahun yang lalu. Aku ingat betul kalau pedang itu adalah miliknya,” balas Bayantika.“Kami pikir juga begitu. Waktu kami melihat pertarungannya di sayembara waktu itu, pemuda itu sudah membawa pedang serupa. Meski tak begitu jelas karena terlilit kain,” jelas Dharma.“Iya, seingatku dia selalu melilit pedangnya dengan kain, tanpa sarung pedang sama sekali,” balas Bayantika lagi.“Ngomong-ngomong, kalian hendak mengajakku ke mana?” ujar Bayantika lanjut bertanya.“Kami ingat sehabis pertarungan itu dia diarak beberapa orang ke rumah salah seorang warga desa. Kami masih ingat tempatnya. Kalau dengan orang itu, tak mungkin dia akan bersikap sok tak m
Tujuh orang bocah, lima perempuan dan dua laki-laki, sama-sama membawa perbekalan mereka masing-masih menuju ke sebuah sungai yang ada di pinggir hutan. Ketika mereka sampai di tempat biasa mereka berkumpul, mereka menemukan sebuah jubah terjemur di sebuah batu besar.“Itu jubahnya Rangkahasa,” seru seorang bocah perempuan yang paling kecil di antara mereka sembari menunjuk dari kejauhan.“Tapi Rangkahasanya mana?” gumam bocah lainnya penasaran melirik ke sana ke mari.Rangkahasa yang saat ini sedang beristirahat bertengger di sebuah dahan pohon acuh saja dengan kedatangan mereka.“Nanti dia bakalan datang sendiri kalau sudah mencium makanan yang kita bawa,” seru salah seorang bocah laki-laki di antara mereka.Namun bukannya Rangkahasa yang mampir. Akan tetapi, seekor harimau datang, berdiri tegap di sebuah batu besar yang tinggi menatap ke arah mereka dan makanan yang mereka kumpulkan.Sontak saja ketujuh bocah itu berhamburan dan saling berpelukan di bawah pohon.“Jangan lari. Ada y
Sementara itu, Senopati Bayantika bersama dua orang murid Ki Bayanaka mendatangi tempat sayembara yang dulu diikuti oleh Rangkahasa. Ketika mereka sampai, dua orang anak buah Kailash datang menghalangi sembari meminta bayaran untuk masuk ke tempat sayembara tersebut. “Lho? Harus membayar sekarang?” tanya Dharma. “Apa maksudmu? Sedari dulu juga memang begini aturannya. Mau ikut sayembara ataupun mau sekadar menonton. Tak mahal, hanya satu keping perak perorang,” jelas penjaga tersebut. Ketiga orang itu pun bingung karena tak satupun dari mereka yang membawa kepingan perak. Meski terlihat seperti orang biasa, mereka hanya membawa kepingan emas. Namun begitu, Kailash yang kebetulan ada di teras rumah langsung mengenali Senopati Bayantika. Dia langsung turun dan menghampirinya. “Wah, Senopati Bayantika. Ada apa jauh-jauh datang ke sini?” tanya Kailash. “Tuan? Bukankah Tuan saudagar yang waktu itu di kediaman Patih Bramanti?” balas Bayantika bertanya pura-pura lupa siapa namanya. “B
Kailash pun terkejut dengan kata-kata serta sikap dingin dari Senopati Bayantika terhadapnya. Dia bukanlah orang bodoh. Sebagai seorang saudagar yang licik, tentunya dia juga sudah pasti bisa membaca kalau semua adalah siasat Senopati Bayantika sendiri.Namun yang namanya pengusaha licik, tak ingin kedoknya terbongkar. Dalam kondisi itu pun dia masih saja naif berpikir bisa mengelak dari tuduhan Bayantika.“Apa maksud Tuan Senopati soal keris milik Tuan itu?” sanggah Kailash masih mencoba berpura-pura tidak tahu apa-apa dengan tampang tak berdosanya.“Tak usah kau bermuka dua di depanku. Kalaupun kau bisa bersilat lidah mengatakan kau tak melakukan apa-apa, aku bisa saja memenggal kepala kalian semua meski kau tak bersalah sekalipun, dan tak akan ada seorangpun di Kerajaan Marajaya ini yang akan membelamu.”“Lebih baik kau permudah saja dirimu sendiri. Bukankah kau seorang pengusaha? Pikirkan lagi untung rugimu dan cobalah untuk membuatnya sedikit lebih mudah bagiku,” balas Bayantika
Kailash yang merasa harga dirinya direndahkan di depan rumahnya sendiri langsung menghampiri Bayantika dengan wajah geram.“Senopati, jangan lupa kalau aku dan Patih Bramanti sudah menandatangi kontrak perjanjian. Tuan Senopati tak bisa seenaknya bersikap seperti ini padaku,” sergahnya memperlihatkan ketidaksenangannya.Lalu Indra tiba-tiba berjalan ke arah pagar rumah Kailash dan kemudian menempel poster buronan Rangkahasa di salah satu pintu gerbangnya.“Kangmas, masih ada satu poster terpampang di sini,” ujarnya dengan tampang polos tak berdosa.Bayantika pun kembali menoleh ke arah Kailash.“Bukankah aku sudah menitipkan pesan pada anak buahmu?” tanya Bayantika beretorika dengan tatapan merendahkan dari atas kudanya.Kailash tak lagi bisa berkata apa-apa. Wajahnya merah padam, lehernya menggelembung menahan nafas karena saking emosinya, namun terpaksa ditahan semuanya. Dia pun berjalan kembali ke gerbang rumahnya, merobek poster tersebut dan terus masuk ke dalam rumah dengan tak l
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann