Sore itu, prajurit-prajurit yang mempertahankan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung sedang sibuk mempersiapkan diri. Mereka tahu esok harinya pasukan dari Kerajaan Marajaya akan kembali menyerang benteng mereka.
Sementara itu, permintaan untuk dikirimkannya pasukan bantuan tak kunjung datang. Sebagian dari mereka merasa bahwa kerajaan sudah tak terlalu optimis untuk mempertahankan benteng tersebut. Namun mereka masih tak ingin menelantarkannya. Karena tak jauh dari benteng itu di arah selatan, ada anak dan istri mereka yang harus mereka lindungi.
Tak ada yang memberikan kepastian akan nasib mereka jika benteng itu berhasil direbut oleh musuh. Tidak dari Kerajaan Marajaya yang akan menyerang, tidak juga dari pusat Kerajaan Telunggung yang mereka bela. Karena mereka hanya orang-orang perbatasan yang dulunya juga hanya direbut oleh Kerajaan Telunggung di masa lalu.
“Apa yang harus a
Pada akhirnya, menjelang sore Rangkahasa mendapatkan apa yang dicarinya. Prajurit-prajurit yang menjaga benteng itu terus saja menatapinya dari jauh. Entah terpana melihat lahapnya dia makan, atau karena masih penasaran dengan sosoknya yang masih belum ada bercerita apa-apa soal jati dirinya. “Le, apa itu pedang aneh yang kau ceritakan?” tanya seorang prajurit. “Iya, tapi sekarang tak keliatan jelas karena ditutup oleh kain seperti itu,” jawab si Tole, yang sejak kedatangan Rangkahasa masih belum menjauhkan tatapannya. Ketika Rangkahasa terlihat sudah tak lagi kuat menghabiskan sisa makanannya, Senopati Tadya mendatanginya. Dia datang membawakan satu kendi air minum baru dan meletekkannya di atas meja dan kemudian duduk tepat di depannya. “Jadi, siapa namamu? Dan dari mana kau berasal” tanya Senopati Tadya. &nb
Mungkin dia merasa kecurigaannya sedikit berlebihan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa bisa saja bocah itu sudah menjalin hubungan dengan pihak musuh. Yang jelas, Putri tersebut perlu memberi tahu hal itu pada sang Panglima perang mengenai hal tersebut.Beberapa saat kemudian, Putri itu kembali bersama Senopati Bayantika. Hanya mereka berdua yang datang menghampiri Rangkahasa.“Sepertinya sang Panglima sudah bosan berurusan denganku,” tutur Rangkahasa menyambut kedatangan kedua orang tersebut.Kemudian Putri Tanisya terlihat berbisik-bisik pada Senopati Bayantika. Sesaat kemudian, terlihat gelagat seolah Senopati Bayantika meminta Putri itu meninggalkan mereka berdua, dan Putri itu pun pergi.Lalu Senopati Bayantika tersenyum melihat Rangkahsa masih saja tampak santai duduk bersila seperti itu.“Aku sedikit kesulita
Segerombolan dedemit mulai memasuki kawasan perkemahan. Sementaa itu, Rangkahasa masih saja duduk bersila dengan memejamkan matanya. Dia tahu makhluk-makhluk itu datang mencarinya. Namun dia masih saja duduk bersila di sana seperti tak begitu peduli.Prajurit-prajuri yang sudah keluar dari tenda langsung bersiap dengan senjata dalam posisi tempur.“Ada musuh!”“Ada serangan musuh dari arah selatan!”Sebagian dari mereka masih berpikir bahwa itu adalah serangan gerilya prajurit dari Kerajaan Telunggung. Namun kenyataannya, makhluk-makhluk itu datang dari segala sisi.Mereka menghujamkan tombak-tombak mereka, namun makhluk itu tidak mati. Lengan-lengan runcing dari dedemit itu langsung mencuat memanjang menusuk tubuh para prajurit tersebut.Prajurit lain datang menebaskan pedang mereka, namun para dedemit itu
Melihat apa yang dilakukan Rangkahasa, Senopati Bayantika pun segera bergerak memberitahu para prajuritnya.“Buang tombak-tombak kalian! Mereka tak akan berhenti hanya karena ditusuk. Tebas kepala mereka!” teriaknya sembari melakukan hal yang sama yang dicontohkan oleh Rangkahasa.Namun tak semua dari prajurit itu siap dengan kondisi seperti itu. Banyak dari mereka yang kehilangan pedang karena tersangkut. Mereka mulai kelelahan karena terus-terusan menebas sekuat tenaga. Bahkan sebagian dari prajurit bayaran dari kelompok Tapak Daya Guna juga sudah meregang nyawa.Para roh jahat yang sadar tak bisa menghampiri Rangkahasa begitu saja, mulai merasuki tubuh para prajurit dan pendekar yang sudah tewas. Mereka bangkit dan kembali memungut senjata. Danadyaksa, Bayantika, dan semua prajurit yang ada, semuanya terlihat semakin putus asa melihat mayat-mayat itu kembali bangkit dan menyeran
Sesaat sebelum fajar, para prajurit Kerajaan Marajaya sudah sibuk membereskan kekacauan yang terjadi di perkemahan mereka. Hampir setengah dari pasukan mereka tewas. Sementara dua orang Senopati dan Putri Tanisha masih pingsan tak sadarkan diri.“Apa mereka akan baik-baik saja?” tanya Bayantika.“Entahlah. Tapi tak ada yang aneh dari kondisi mereka. Seolah mereka hanya pingsan. Bagaimanapun, kita tak bisa membiarkan Putri Tanisha terus di sini,” papar Panglima Danadyaksa.Senopati Bayantika nampak menghelas nafasnya sesaat melihat kondisi Putri Tanisha yang tak sadarkan diri.“Ini susahnya jika harus membawa seorang Putri Kerajaan ikut dalam peperangan. Jika kita harus membawa mereka kembali pulang, itu berarti kita akan semakin kekurangan pasukan karena harus ada yang mengawal,” jelas Senopati Bayantika.
Bayantika memutuskan untuk mempercayai anak muda tersebut. Dia pun kembali berdiri dan menepuk-nepuk bokongnya beberapa kali.“Aku harap kau tak memberitahukan mereka soal kondisi kami,” tutur Bayantika sebelum beniat kembali ke perkemahan.“Yah, aku tahu Tuan juga tak punya pilihan lain,” balas Rangkahasa.“Pilihan lain katamu? Apa kau yakin aku tak punya pilihan lain?” tanya Bayantika beretorika seperti sedang mengintimidasi Rangkahasa sembari memegang gagang pedangnya.Dia berlagak bahwa Bayantika masih bisa membunuh Rangkahasa dan mencegahnya untuk kembali ke pasukan Telunggung dan memberitahukan kondisi mereka.Tentu Rangkahasa memahami maksud dari pertanyaan retorika Senopati tersebut.“Apa Tuan mau mencobanya?” tanya Rangkahasa dengan s
Ketika sampai di lingkungan kekeratonan Marajaya, Putri Tanisha masih belum berhenti menggerutu hingga dia memasuki tempat kediamannya.“Dasar prajurit bodoh. Tidak Senopati, tidak juga Panglimanya, sama saja bodoh semuanya. Ratusan prajurit hilang, dan kita pulang dengan tangan hampa. Telunggung hanya kerajaan kecil. Mau ditaruh di mana mukaku ini pulang-pulang cuma bawa malu!”Putri itu menendang pintu gerbang sebelum memasuki tempat kediaman raja. Para dayang dan juga tukang kebun langsung berlutut sembari menyembunyikan wajah mereka.Seorang laki-laki langsung keluar dari aula utama menghampiri Putri tersebut.“Ada apa Nyimas pulang-pulang sudah ribut. Ayah Nyimas saat ini sedang ada tamu. Prabu Narasimha dari Kerajaan Niscala beserta keluarganya sedang berkunjung ke sini,” tegur laki-laki tersebut dengan suara lirih berbisik.
Danadyaksa merangkul bahu Tarendra dan mengajaknya menjauh dari gerbang tersebut. Kemudian dia sibuk melirik ke sekelilingnya, cukup kebingungan juga mencari tempat sepi karena banyaknya pengawal raja dari Kerajaan Niscala di berbagai sudut perkarangan tersebut.“Apa terjadi sesuatu yang serius?” tanya Tarendra penasaran.Namun Danadyaksa mengajak Tarendra untuk pindah ke perkarangan belakang. Di sana dia melihat satu bangunan pendopo kecil untuk bersantai di taman di dekat kolam ikan yang kebetulan sepi.Danadyaksa mengajak Tarendra ke sana, lalu mempersilakannya untuk duduk sebelum melanjutkan ceritanya.“Tidak biasanya kamu seperti ini? Biasanya juga bicara ceplas-ceplos saja tak liat kondisi,” ujar Tarendra dengan sedikit senyum jenaka yang bercampur eskpresi penasaran.“Sebenarnya, tak ada
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann