Danadyaksa merangkul bahu Tarendra dan mengajaknya menjauh dari gerbang tersebut. Kemudian dia sibuk melirik ke sekelilingnya, cukup kebingungan juga mencari tempat sepi karena banyaknya pengawal raja dari Kerajaan Niscala di berbagai sudut perkarangan tersebut.
“Apa terjadi sesuatu yang serius?” tanya Tarendra penasaran.
Namun Danadyaksa mengajak Tarendra untuk pindah ke perkarangan belakang. Di sana dia melihat satu bangunan pendopo kecil untuk bersantai di taman di dekat kolam ikan yang kebetulan sepi.
Danadyaksa mengajak Tarendra ke sana, lalu mempersilakannya untuk duduk sebelum melanjutkan ceritanya.
“Tidak biasanya kamu seperti ini? Biasanya juga bicara ceplas-ceplos saja tak liat kondisi,” ujar Tarendra dengan sedikit senyum jenaka yang bercampur eskpresi penasaran.
“Sebenarnya, tak ada
Cerita soal rencana Kerajaan Marajaya yang ingin memperluas daerah kekuasaannya itu sudah cukup lama menyebar di seluruh pelosok negeri. Bahkan sudah sampai di beberapa daerah perbatasan dari kerajaan-kerajaan tetangga. Banyak pemuda yang baru beranjak dewasa beramai-ramai mendaftarkan diri untuk menjadi prajurit. Sementara bagi mereka yang sudah memiliki nama, ataupun mereka dari perguruan silat ternama, menawarkan diri untuk jadi prajurit bayaran. Tentu itu lebih baik bagi mereka dari pada harus merangkak dulu menjadi prajurit bawahan. Bahkan para saudagar mulai melihat ini sebagai peluang usaha. Sebagian dari mereka mencoba merangkul para pandai besi ternama di daerah masing-maing untuk menjalankan bisnis penyediaan senjata. Di antara mereka, ada yang dikenal dengan nama Kailash, justru berencana membentuk suatu kelompok prajurit bayarannya sendiri dengan mengumpulkan orang-orang hebat dari berbagai latar belaka
Pemuda itu terlihat memainkan dua telapak tangannya sesaat. Begitu dia merasa siap, dengan ujung-ujung jari mengepal nampak kaku, pemuda itu maju melancarkan serangan. Rangkahasa masih saja berdiri terhuyung. Namun sesaat sebelum pukulan itu mengenai wajahnya, Rangkahasa menghindar, menangkap pergelangan tangan pemuda itu, kemudian menariknya begitu keras ke arah bawah. Pemuda itu pun tersungkur dengan wajahnya dihempaskan begitu keras ke tanah. Semua dilakukannya dengan gerakan yang begitu sedikit, begitu cepat, hingga penonton berpikir pemuda itu tersungkur karena terpeleset saja. Setelah itu Rangkahasa menindih punggung pemuda itu, mencekik lehernya dari belakang dan memaksanya untuk menyerah. Tak butuh lama, pemuda itu pun memohon untuk dilepaskan. “Le, lepaskan! Aku menyerah!” pintanya. Rangkahasa pun melepaskannya. Pemuda itu berdiri
Rangkahasa menyempatkan diri untuk membeli satu set pakian ganti dengan 5 keping koin emasnya sebelum keluar dari desa tersebut. Setelah itu dia kembali masuk ke area hutan menuju sebuah sungai.Setelah mandi dan membersihkan jubahnya, dia kembali menggunakan pakaian lamanya. Pikirnya itu tak terlalu kotor seperti kondisi jubahnya saat ini, dan memilih menyimpan baju baru itu untuk esok pagi.Baru setelah itu Rangkahasa kembali ke sebuah gua sempit yang cukup tersembunyi yang dia temukan sehari sebelumnya. Dia makan di sana dan kemudian berencana untuk beristirahat hingga menjelang sore.Untuk sesaat pikirannya jadi tertuju pada kantong kecil miliknya yang saat ini hanya tersisa empat koin emas.“Kalau dipikir-pikir, jika aku bisa dapat 10 koin emas setiap harinya, aku tak perlu repot-repot mikir soal mencuci baju,” gumamnya.Lagipula, saye
Rangkahasa terpaksa maju karena dia sudah terlanjur masuk ke gelanggang pertarungan. Salah seorang pihak penyelenggara sayembara mendatanginya dan kembali meminta pedangnya.Rangkahasa yang sudah mengerti aturannya langsung memberikan pedang tersebut, dan tak lama setelah itu pertarungan itu pun dimulai.Pendekar itu memperhatikan Rangkahasa dengan tatapan serius. Meski tadi dia hanya menganggapnya seorang bocah, namun dia jadi kepikiran juga soal Rangkahasa yang membawa pedang.“Murid dari perguruan mana kau?” tanya pendekar tersebut.“Perguruan? Tidak, aku hanya seorang gelandangan. Pakaian bagus ini aku dapat dari hadiah pertarungan kemarin,” jelas Rangkahasa.“Oh, jadi kau sudah mengikuti sayembara ini sebelumnya,” balas pendekar itu.Pendekar itu sedikit merubah s
Pendekar itu sama sekali tak berpikir untuk menyerah. Dia lebih sibuk memikirkan untuk lepas dari amukan Rangkahasa. Namun amukan itu tak kunjung berhenti, sementara dirinya masih tak bisa lepas ditindih oleh Rangkahasa. Hempasan dua lengan Rangkahasa tak kunjung berhenti. Tak peduli berapa banyak yang bisa ditangkis pendekar itu, masih lebih banyak bantingan kedua lengan itu mengenainya. Dada, leher, hingga kepalanya, tak jelas akan mengenai bagian yang mana. Rangkahasa yang kalut hanya menghantamkan kedua lengan itu sejadi-jadinya. “Hey, ini sama sekali bukan pertarungan pendekar lagi.” “Dia sudah seperti orang gila.” “Kalau kau tanya aku, aku malah melihatnya seperti gorila yang sedang mengamuk.” Hingga akhirnya Rangkahasa berhenti ketika dia sudah cukup lama tak lagi merasa terintimidasi. Karena sejak beberapa saat yang lalu, pendekar itu sudah tak lagi sadarkan diri. Setelah termenung sesaat, Rangkahasa menyeka darah di wajahnya dengan satu lengan sembari berdiri menjauh dar
Setelah hadiah itu diberikan pada Rangkahasa, para penonton yang mendukungnya langsung beramai-ramai menghampirinya. Mereka mengangkat Rangkahasa dan mulai bersuka cita membawanya keluar dari gelanggang.“Hey, tunggu sebentar! Pedangku!” seru Rangkahasa mulai panik.Namun penonton itu sudah begitu larut dalam suka cita, sementara Rangkahasa semakin panik menoleh ke arah penyelenggara sayembara. Namun kemudian ada satu orang menghampirinya dan memberikan kembali pedangnya, dan Rangkahasa pun terus diarak menjauhi tempat sayembara tersebut.“Hey, aku sudah berjanji akan merawat lukanya. Tolong bawa saja dia ke tempatku,” ujar salah seorang warga.Rangkahasa pun dibawa beramai-ramai ke rumah salah satu warga yang menawarkan hal tersebut.Begitu sampai di rumah orang tersebut, Rangkahasa diturunkan dan di
Ketika Rangkahasa sampai di tempat sebelumnya, sayembra itu sudah usai. Hanya ada beberapa dari anak buat Kailash yang sibuk membereskan tempat tersebut setelah kosong ditinggalkan penonton.Tempat yang seharusnya kembali tenang sekarang mulai dipenuhi suasana mencekam. Sama sekali tak ada angin, kondisi alam sekitar begitu hening, namun mereka sama sekali tak menyadari mimpi buruk yang akan datang menghampiri.Ketika salah seorang dari mereka hendak mengangkat sebuah meja, tiba-tiba bokongnya ditendang oleh seseorang dari belakang dan membuatnya tersungkur.“Mana pedangku?”Laki-laki itu segera bangkit tak terima bokongnya ditendang begitu saja. Namun belum sempurna dia berdiri, meja yang ada di depannya ditebas dengan punggung pedang, membuatnya hancur berantakan.“Kembalikan pedangku!” bentak Rangkahasa.
Suasana di dalam ruangan itu menjadi begitu kelam. Hari pun mulai senja sementara mereka belum sempat menyalakan satu pun lampu damar di rumah tersebut. Meski di luar masih terlihat agak terang, ruang di dalam rumah itu sudah mulai gelap. Meski begitu, Rangkahasa masih bisa mengamati dua orang paling belakang di koridor menuju dapur sedang berbisik. Sesaat kemudian, salah satu dari mereka langsung pergi lewat pintu belakang. “Woi, mau kemana kau?!” teriak Rangkahasa. Secara tiba-tiba satu orang mencoba menebasnya dengan pedang. Rangkahasa mundur menjauhkan kepalanya. Satu orang lagi menyerangnya dari arah kanan. Rangkahasa memukul balik pedang orang tersebut, membuat pedangnya mental. Sejurus kemudian dia melanjutkannya menebas orang tadi yang lebih dulu menyerangnya. Meski laki-laki itu sudah mencoba menghindar, kening dan batang hidungnya sempat tergores oleh ujung pedang Rangkahasa. Memang tak dalam, namun itu cukup membuatnya begitu ketakutan, mulai membayangkan apa jadinya jik
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann