Senopati Reswara pun mengarak kudanya, berlarian di depan barisan prajurit Cakradwipa. Dia bergerak dari ujung ke ujung memastikan kesiapan dari para prajurit tersebut. Kuda itu terus berlari dengan Reswara mengulurkan pedangnya, terus membentur tameng-tameng dari para prajurit di barisan terdepan. Setelah cukup yakin dengan kesiapan para prajurit itu, dia kembali mengarak kuda ke tengah dan kemudian mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. “Kalian dengar! Anak dan istri kalian, ibu-ibu kalian, tak satu pun yang akan tenang sebelum kalian bisa mengusir para cunguk dari Marajaya itu kembali ke tempat asal mereka.” “Pilihan kita hanya dua, mengusir mereka, atau membantai mereka sampai habis dan menguburkannya di tanah ini!” Para prajurit itu pun bersorak membahana, tersulut amarah setelah mendengar sedikit pidato dari Senopati Reswara tersebut. Meski sorakan itu berhenti, Reswara belum juga menurunkan pedangnya, masih mengangkatnya tinggi-tinggi. Tempat itu begitu hening, dan Reswara mu
Sesaat dia menenangkan dirinya sembari mendekatkan pedang hitam itu ke wajahnya dengan mata tertutup. Sejurus kemudian, dia sudah mulai saja mengayunkan pedangnya menebas udara kosong, seperti sedang memulai tariannya. Begitu prajurit berkuda bernama Bejo itu menebaskan pedangnya, dengan ringannya pedang Rangkahasa menyambutnya. Namun pedangnya tidak sedikit pun menahan tebasan tersebut. Pedangnya hanya terus saja bergerak selaras, memanfaatkan momentum dari tebasan pedang lawannya, terus mengayun ke arah bawah. Sejurus kemudian, satu kaki bagian belakang dari kuda tersebut terpotong. Kuda itu tersungkur dan prajurit bernama Bejo itu pun terjatuh. Sementara Rangkahasa masih belum menghentikan tariannya. Pedang itu terus berayun seolah sudah memiliki jalannya sendiri, dan potongan tubuh dari para prajurit pun berterbangan. Yodha yang memperhatikan perbedaan dari kemampuan Rangkahasa saat ini tak bisa menyembunyikan
Tingkah Rangkahasa menghunuskan pedang ke arah Abimana memancing perhatian dari semua prajurit di sekitarnya. Mereka merasa itu sebagai sebuah penghinaan. Bisa-bisa dia langsung menantang Panglima mereka, sementara mereka para prajurit masih ada di dekatnya. “Jangan sombong kau!” “Kau 50 tahun terlalu cepat untuk menantang seorang Abimana!” Dua orang prajurit Cakradwipa itu datang menyerang Rangkahasa dari kedua sisi dengan menyeret pedang mereka penuh emosi. Namun Rangkahasa masih belum mengalihkan perhatiannya dari Abimana. Hanya ketika kedua prajurit itu masuk dalam jangkauan pedangnya, baru Rangkahasa mengayunkan pedangnya. Dengan satu putaran, dia menyabet perut dari kedua prajurit itu. Namanya perang, tentu tak ada waktu baginya untuk abai hanya karena berhasil menebas dua orang prajurit. Kenyataannya, bukan hanya dua orang prajurit itu saja yang tersulut amarah oleh sikap Rangkahasa menantang Abimana. Meskipun begitu, masih belum ada juga satupun pedang musuh yang berhasil
Meski tak dalam, luka itu berhasil menyadarkan Rangkahasa bahwa dia tak bisa terus-terusan bertarung dikendalikan oleh amarah. Dia kembali mencoba untuk menenangkan diri, mencoba kembali menemukan jalan pedangnya. Perubahan itu dirasakan oleh Abimana, membuatnya mulai sedikit serius untuk menghadapinya.Dia kembali menepis serangan pedang Rangkahasa. Namun sekarang tebasan pedangnya menjadi lebih sulit untuk ditepis. Meski Abimana mencoba untuk memukul balik pedang itu untuk menghentikan kombinasi serangannya, pedang Rangkahasa selalu menemukan kembali jalannya untuk terus melancarkan serangan yang seperti tak ada hentinya.Ketika momentum serangannya semakin meningkat, Abimana mulai merasakan kesulitan untuk terus mengimbanginya dengan tetap terus menjaga kudanya. Hingga sejurus kemudian, dia berada dalam posisi dilema untuk melindungi dirinya sendiri atau kudanya.Ketika ujung pedang Rangkahasa nyaris menyentuh dagunya
Abimana pun sadar, bahwa Rangkahasa tidak sekadar menantangnya seperti seorang prajurit yang ingin menaikkan namanya di peperangan. Dia mulai mengerti bahwa saat ini Rangkahasa sedang melampiaskan kesalahan pada dirinya dan kerajaan Cakradwipa atas apa yang terjadi dengan Mergo.Awalnya, dia hanya tertarik hendak mencoba sepak terjang dari prajurit muda tersebut. Namun sekarang dia tahu, ini sesuatu yang bersifat pribadi bagi Rangkahasa, sesuatu yang sama sekali tak ada hubungannya dengan peperangan yang sedang terjadi.Bukan untuk nama atau reputasi. Dia sadar pendekar muda di depannya sedang memburunya karena ingin menuntut dendam. Sesuatu yang tak seharusnya dia anggap main-main sedari awal.“Jadi, kau sedang menuntut dendam atas apa yang terjadi pada Mergo?” ujar Abimana dengan tatapan serius.Mendengar nama Mergo kembali keluar dari mulut Abimana hanya mem
Tubuh Abimana diselimuti oleh aura yang mencekam dan menyesakkan. Udara di sekelilingnya seakan mulai memuai dan nampak diselubungi oleh aura yang gelap.Tarendra yang begitu memahami kakak seperguruannya itu, tahu betul saat ini Abimana sudah tak lagi menahan diri. Meskipun begitu, dia tak terlihat berniat untuk ikut campur karena keperluannya hanyalah untuk menjaga benteng.Saat ini, jalannya peperangan masih menguntungkan pihaknya, dan dia tak punya alasan untuk berkonfrontasi secara langsung dengan Panglima dari kerajaan musuh itu. Tanpa harus turun tangan pun, dia yakin Marajaya masih mengendalikan peperangan tersebut.“Bayantika, jika kau ingin turun membantu pemuda itu, aku tak akan menahanmu. Jujur saja, aku tak yakin dia akan selamat dari pertempuran itu,” jelasnya.Namun Bayantika sama sekali tidak menyahut. Dia sadar kedatangannya dalam peperangan it
Yang lebih membuat Abimana semakin terkejut, pemandangan Rangkahasa yang bertekuk lutut memegangi satu bendara Marajaya itu seakan membawanya kembali pada sebuah kenangan di masa lalu. Perasaan yang begitu samar terasa dari peristiwa yang pernah dialaminya sekitar sepuluh tahun yang lalu.Namun Abimana mencoba mengabaikan hal itu, karena dia tak bisa lagi mengabaikan pendekar muda di depannya itu. Apa lagi, saat ini para prajuritnya tengah mencoba menarik diri sementara pasukan dari Marajaya tentu tak akan semudah itu membiarkan mereka pergi.“Bisa bertahan setelah menerima seranganku. Tapi aku tahu, kau tak akan lagi mampu untuk bangkit setelah ini. Seranganku sudah mengacaukan aliran tenaga dalammu. Kau sudah mengalami luka luar dan juga luka dalam yang sangat serius. Aku biarkanpun, kau tak akan mampu bertahan untuk melihat mata hari pagi,” jelasnya.Dan Rangkahasa pun langsung
Siang itu, di saat hari terik di atas sebuah batu karang di dekat padepokan terpencil milik Kerajaan Marajaya, seorang bocah tengah merebahkan diri menatap ke arah langit yang tak berawan. Matahari begitu terik dengan lingkar pelangi mengelilingi. Dengan sombongnya, remaja tersebut malah rebah menelentang seakan menantang matahari. Hanya ada secarik kertas di pegangnya lurus-lurus ke atas seakan berharap kertas itu mampu menaunginya. Anehnya, bocah itu terlihat seperti mencoba mengintip kembali matahari di balik kertas tersebut, dan sesaat kemudian kembali melindungi matanya dari terpaan sinar matahari. “Hey, Tarendra! Sedang apa kau berpanas-panas di tempat ini?” seru seorang bocah lain yang baru saja datang ke tempat tersebut. “Ah, Kakang Abimana!” sahut bocah tersebut langsung bangkit. Abimana naik ke atas batu karang tersebut dan sesaat kemudian perhatiannya tertuju pada secarik kertas yang ada di tangan Tarendra. Di tengah-tengah kertas itu tergambar sebuah garis lingkaran ya
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann