Ketika wanita itu sampai di pekarangan bagian belakang, dia melihat anaknya baru saja memasukkan hewan ternak ke kandang. Anaknya datang menghampiri sang ibu yang nampak gelisah dan ketakutan.
“Ada apa, Bu?” tanyanya. “Kenapa wajah Ibu pucat begitu? Padahal aku tidak terlalu lama. Ini semua sapi sudah aku masukkan ke kandang,” lanjut anak laki-laki tersebut, yang merasa wajah pucat ibunya itu karena mengkhawatirkan dirinya.
Namun sang ibu tak menjawab pertanyaan tersebut. Dia langsung menarik tangan sang anak untuk segera pergi meninggalkan rumah. Hanya saja, ketika dia hampir mencapai pagar samping rumah, tiba-tiba tanah yang mereka pijak bergetar seperti terjadi gempa yang dahsyat.
“Bu, ada apa ini?” tanya anak tersebut panik sembari memegangi pagar rumah. Namun tentu saja sang ibu sama tak tahunya dengan apa yang sedang menimpa mereka.
Gempa semakin kuat menghentak tanah. Kedua ibu dan anak tersebut duduk bersimpuh sembari memagut pancang kayu dari pagar halaman. Namun pagar itu pun roboh terkuak dari tanah.
Tiba-tiba tanah di sekitar rumah seperti terangkat. Anehnya lagi, tanah di sekeliling rumahnya itu mulai mengatup seperti sebuah kelopak bunga raksasa. Bahkan seluruh tanah mulai berubah seperti berbentuk daging yang hidup dan berdenyut-denyut, terus mengatup seperti sebuah bunga bangkai yang memerangkap mangsanya.
Tiba-tiba, beberapa sulur daging seperti tentakel iblis menyeruak dari dalam rumah begitu cepat. Sulur daging yang berlendir itu melilit tubuh kedua orang ibu dan anak tersebut. Sulur itu menyeret mereka untuk kembali masuk ke dalam rumah, di mana laki-laki misterius tadi masih menunggu di sana.
Laki-laki tersebut menatapi mereka, lebih-lebih ke arah sang ibu dengan seringai penuh nafsu. Sesaat kemudian, laki-laki itu terdiam seperti ada sesuatu yang terjadi dengannya. Tiba-tiba dia berbicara sendiri dengan ekspresi wajah yang mulai tampak gila seperti seseorang yang sedang kesurupan.
“Jadikan saja anak itu tumbalnya,” gumam laki-laki tersebut memegangi kepalanya.
Setelah itu dia kembali menyeringai, berjalan menghampiri wanita yang terlilit menggantung oleh sulur-sulur daging yang berlendir.
Gumamannya tak begitu keras, namun dia mengatakannya sesaat sebelum dia membelai lekuk dada sang ibu. Tentu saja hal tersebut membuat wanita itu semakin panik dan histeris. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa karena sulur daging yang berlendir itu tak hanya melilit tangan dan kakinya, tapi juga leher dan mulutnya.
“Aku tahu sedari dulu kau tak pernah mau menerimaku, dan selalu melihatku dengan tatapan yang merendahkan,” ujar laki-laki tersebut sebelum menarik sulur daging yang menutupi bibir wanita tersebut.
Laki-laki itu mulai menjulurkan lidahnya dan menjilati dagu wanita itu. Nafasnya terdengar memburu karena nafsu yang tak tertahankan, membuat wanita tersebut semakin jijik dengannya
“Aku ingin melihat apa kau masih bisa melihatku dengan tatapan yang sama setelah aku membuatmu menjadi wanita hina,” ucapnya menyeringai, dan kemudian mulai melumat bibir merah muda wanita tersebut.
Setelah beberapa lama melumat bibir wanita itu penuh nafsu, laki-laki tersebut akhirnya menjauhkan bibirnya. Dia sengaja memberi wanita itu kesempatan untuk menangisi kondisinya yang begitu tragis. Jelas sekali dia tidak sekadar melampiaskan nafsunya, akan tetapi ingin menyiksa dan mempermalukannya begitu hina. Entah dendam kesumat apa yang disimpannya sampai mendorongnya berbuat sejauh itu.
“Dasar iblis laknat!” sumpah wanita itu setelah sempat meludahi wajah laki-laki tersebut. “Kau bisa melakukan apapun dengan tubuhku, tapi kau tak akan pernah mendapatkan kepuasan apa-apa dalam hidupmu.”
Laki-laki tersebut tertawa menerima makian dan ludahan yang diterimanya.
“Anakmu sudah nyaris menjadi santapan iblis, dan kau masih sibuk merendahkan laki-laki ini?” balasnya beretorika penuh tawa.
“Dan kau masih berlagak layaknya wanita suci yang terhormat di depanku,” ujarnya dengan lantang, dan setelah itu mencabik-cabik baju wanita tersebut dengan paksa.
Sementara itu, anak dari wanita tersebut menggantung terlilit sulur-sulur daging yang seperti tentakel iblis itu. Dia masih mencoba meronta-ronta dengan mulut masih terlilit. Salah satu sulur daging menjalar ke arah bawah.
Bagian ujungnya mulai menganga seperti mulut seekor belut. Bagian itu terus terbuka begitu lebar, dan mulai mencoba menelan anak itu begitu pelan dari bawah.
Anak tersebut mulai kesulitan mempertahankan pikiran sehatnya dengan kengerian mimpi buruk yang dialaminya. Lebih-lebih harus melihat ibunya mulai digerayangi oleh laki-laki yang tak dikenalnya. Pandangannya semakin kabur tak kuasa mengalami semua kengerian itu.Lalu tiba-tiba saja, terlihat olehnya laki-laki itu berhenti seperti tak lagi berniat meneruskan keinginan untuk melampiaskan hawa nafsunya.“Seperti yang kau katakan, sama sekali tidak ada kepuasan jika aku melakukannya seperti ini,” kata laki-laki itu, nampak menjauhi wanita tersebut.Dia pun mulai berjalan menuju ke arah keris yang ditancapkannya ke lantai. Laki-laki itu memegang keris tersebut dan mulai memejamkan matanya sesaat. Tiba-tiba seisi ruangan mulai dijalari oleh daging-daging yang berdenyut-denyut.Seisi rumah itu sekarang diliputi oleh daging berdenyut di segala sudutnya. Situasi mereka
Setelah itu, dia memungut sarung keris dari tubuh pria yang dibunuhnya dan memasukkan keris tersebut kembali ke dalam sarungnya.“Yah, setidaknya kebodohanmu membuat urusanku menjadi sedikit lebih mudah,” jelas laki-laki itu.Gumamannya baru terhenti setelah mendengar suara batuk dari anak lak-laki dari wanita tersebut. Diapun menghampiri anak tersebut dan memeriksa keadaannya.“Tak kusangka dia masih hidup. Hei bocah, sadarlah!” seru laki-laki itu menepuk pipinya.Mata anak itu seperti terbuka sedikit tapi tak jelas apakah dia kembali sadar atau tidak. Laki-laki tersebut melihat ke sekelilingnya, dan mulai khawatir kalau-kalau dia yang nanti dituduh sebagai pelaku atas kejadian naas tersebut. Meski senja sudah berangsur semakin gelap, siapa saja bisa datang ke tempat itu dan akan salah paham bila mendapati dirinya yang o
Laki-laki bernama Mergo itu adalah seorang pemimpin perampok gunung. Meski hidup sebagai perampok, di balik jubah lusuhnya itu dia adalah seorang pendekar gagah yang berkharisma, dan juga memiliki ambisi dan idealisme yang tinggi. Sejak mendapatkan senjata iblis yang sudah lama dicari-carinya itu, dia langsung mengajak rekan-rekannya beralih profesi menjadi tentara bayaran. Meski lambat namun pasti, seiring waktu dia berhasil menaikan nama kelompoknya. Diawali dengan ikut sertanya dia dan kelompoknya ke dalam peperangan antara dua kerajaan yang berdekatan. Tak ada satupun yang mengenal kelompok ini dan berada di posisi mana mereka berpihak. Namun keahlian mereka bertempur mengundang ketertarikan dari kedua kubu. “Siapa mereka?” tanya salah seorang panglima perang yang mengamatinya dari kejauhan.“Sabdo, segera cari tahu mengenai orang tersebut,” titahnya pada seorang ajudan. Di sebuah warung makan, seorang utusan dari salah satu kubu yang berperang menghampiri Mergo. Dia langsung m
Sudah lebih dari satu minggu pertempuran di dekat Sungai Bhagawanta itu berlangsung. Pasukan musuh yang datang dari arah laut yang hendak menguasai Benteng Watukalis belum juga mampu merebutnya. Benteng Watukalis yang dipimpin oleh Panglima Adipati Labdajaya memang terkenal cukup kuat, karena menjadi titik penting untuk mempertahankan Kerajaan Cakradwipa dari arah selatan.Namun musuh itu selalu kembali meski sudah berkali-kali berhasil dipukul mundur. Di pertempuran keenam setelah penyerangan pertama mereka, lagi-lagi mereka langsung mundur begitu melihat keadaan tidak berpihak. Padahal pasukan mereka masih cukup besar untuk melanjutkan pertempuran.Prajurit-prajurit yang mempertahankan benteng bersorak gembira atas keberhasilan mereka mempertahankan Benteng Watukalis. Namun sang Panglima nampak tak senang. Dia terlihat sedikit gusar karena yakin pasukan itu akan datang lagi, sementara masih banyak dari mereka yang berhasil melarikan diri.
Wajah Panglima itu langsung berubah menjadi serius menerima laporan tersebut. Mengirim utusan untuk meminta bantuan akan memakan waktu satu hari perjalanan. Belum lagi waktu yang akan mereka butuhkan untuk mempersiapkan pasukan dan perjalanan yang akan mereka tempuh menuju benteng tersebut.“Jika dua hari, mungkin kita masih sempat,” gumam Sang Panglima.Namun Mergo langsung menyela kata-kata Sang Panglima karena tahu betul betapa gentingnya situasi mereka saat ini.“Tapi jika musuh berhasil mengumpulkan pasukannya malam ini, kita akan kesulitan mempertahankan benteng ini, Tuan. Sebelum hamba pergi, dari kejauhan sudah ada satu kapal hendak menepi. Masih tidak jelas, bisa saja masih ada yang lainnya yang sedang mereka tunggu,” jelas Mergo, meyakinkan Panglima untuk segera membuat keputusan.“Bagaimanapun, kita tetap butuh bantuan,” jawab
Satu orang dari pasukan Panji Keris Bertuah yang terlihat sangat muda nampak berlarian ke arah gerbang. Dia adalah Rangkahasa, salah satu orang kepercayaan Mergo. Namun sepertinya Mergo tak berniat membawanya ikut serta bersama mereka. “Mergo, kenapa aku tidak diizinkan untuk ikut serta?” tanya Rangkahasa.“Apa kau masih meragukan kemampuanku?” lanjutnya bertanya. “Bukan begitu, Rangkahasa. Diantara kami, kau satu-satunya yang tak pernah ikut dalam misi perampokan, bukan?” jawab Mergo sedikit beretorika.“Aku tidak meragukan kemampuanmu dalam bertarung. Akan tetapi, misi kali ini bukan sesuatu yang sederhana. Kau masih terlalu muda untuk ini,” jelasnya. “Tapi Mergo, kau tahu sendiri kalau aku tak mungkin bisa jauh-jauh darimu kalau sudah malam begini. Jika kau pergi, benteng ini jauh lebih berbahaya bagiku dibandingkan musuh-musuh itu,” sanggah Rangkahasa.
Meski tidak bisa ditebas dengan pedang, roh-roh jahat itu juga tidak bisa melukai mereka. Beberapa roh jahat itu berhasil mendekati Rangkahasa, melayang begitu cepat dan menembus tubuhnya. Rangkahasa langsung bertekuk lutut menahan rasa sakit di kepalanya. Meski tak melukai secara fisik, roh-roh jahat itu mampu melukainya secara mental, memakan sari pati hidupnya sedikit demi sedikit.
Yasa yang berjalan tepat di belakangnya sedikit penasaran setelah menyadari bahwa sepertinya Mergo sedang menjinjing sesuatu yang dibungkus dengan kain. Dia bergegas menyusul Mergo hendak bertanya. Namun setelah melihat darah menetes-netes dari kain itu, dia pun seperti mulai menyadari apa yang sedang dibawa oleh pemimpinnya tersebut. Mereka berenam baru sampai di Benteng Watukalis setelah larut malam. Tak ada sedikitpun dari mereka yang terlihat terluka. Hanya Rangkahasa seorang yang tak sadarkan diri, digendong oleh Yodha di punggungnya. Para prajurit yang membukakan gerbang untuk mereka nampak berbisik-bisik. Mereka meragukan Mergo dan rekan-rekannya setelah melihat orang-orang tersebut kembali tanpa sedikitpun luka. Prajurit itu menyangsikan, entah Mergo benar-benar berbuat sesuatu pada musuh, atau hanya akal-akalannya saja mencari simpati sang Panglima. “Kenapa dengan anak
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann