Setelah itu, dia memungut sarung keris dari tubuh pria yang dibunuhnya dan memasukkan keris tersebut kembali ke dalam sarungnya.
“Yah, setidaknya kebodohanmu membuat urusanku menjadi sedikit lebih mudah,” jelas laki-laki itu.
Gumamannya baru terhenti setelah mendengar suara batuk dari anak lak-laki dari wanita tersebut. Diapun menghampiri anak tersebut dan memeriksa keadaannya.
“Tak kusangka dia masih hidup. Hei bocah, sadarlah!” seru laki-laki itu menepuk pipinya.
Mata anak itu seperti terbuka sedikit tapi tak jelas apakah dia kembali sadar atau tidak. Laki-laki tersebut melihat ke sekelilingnya, dan mulai khawatir kalau-kalau dia yang nanti dituduh sebagai pelaku atas kejadian naas tersebut. Meski senja sudah berangsur semakin gelap, siapa saja bisa datang ke tempat itu dan akan salah paham bila mendapati dirinya yang orang asing masih berada di sana.
Akhirnya dia bergegas memungut anak laki-laki tersebut. Dia langsung melompat ke atas atap rumah yang sudah dia bolongi sebelumnya, dan kemudian menghilang di kegelapan malam.
Malam tragis itu pun kembali hening. Hanya sesekali diisi oleh suara jangkrik bersahut-sahutan. Seakan para serangga itu mencoba memberitahu seisi alam akan kematian mengenaskan dari seorang wanita tepat di hari yang sama setelah suaminya dikuburkan.
Pria misterius tersebut membawa anak itu bersamanya terus menuju ke pedalaman hutan di sebuah kaki gunung. Sampai akhirnya dia tiba di sebuah pemukiman kecil yang hanya terdiri dari tiga rumah berdekatan. Beberapa orang laki-laki datang menghampirinya, dan menyambut kedatangan pria misterius tersebut.
“Anak bangsawan mana yang kau bawa ini, Mergo?” tanya salah seorang dari mereka.
“Apa sekarang kita akan beralih profesi dari perampok gunung jadi penculik anak?” lanjutnya bertanya.“Jangan banyak tanya, cepat sediakan air hangat!” serunya sembari membawa anak tersebut menuju ke arah satu rumah yang paling besar di antara yang lainnya.
“Cepatlah, anak ini mengalami trauma dan demamnya mulai tinggi,” jelasnya lagi sebelum meninggalkan rekan-rekannya.Begitu dia membiarkan anak tersebut terbaring di kamar, Mergo langsung bergegas keluar menuju dapur. Namun di pintu dapur itu dia terperangah. Beberapa roh jahat menyelinap masuk dari sela-sela dinding papan.
Mergo mencoba menjauh dan keluar dari dapur. Namun ada begitu banyak roh-roh jahat lain memasuki rumah tersebut. Semuanya berterbangan dan melesat begitu cepat menuju kamar di mana tadi dia meninggalkan anak tersebut.
“Celaka, jangan-jangan anak itu...”
Begitu dia sampai di bibir pintu, dilihatnya roh-roh jahat mengitari anak tersebut. Sebagian sudah ada yang mulai menggerayangi dan menjilati kakinya. Seperti tahu apa yang sedang terjadi, Mergo mencabut keris misterius yang baru diperolehnya dan menebaskannya pada roh-roh jahat itu.
Dalam kekalutan tersebut, teman-temannya pun datang masuk ke dalam kamar.
“Mergo, ini airnya,” ujar salah seorang dari temannya yang baru saja datang.
Dua orang teman Mergo yang baru datang membawa air terperanjat melihat kondisi di dalam kamar. Air itu tumpah karena keterkejutan mereka. Mereka segera mencabut pedang dan mencoba mengusir roh-roh jahat yang melayang-layang di dalam sana. Akan tetapi, tak satupun tebasan pedang mereka bisa menyentuh roh-roh jahat itu.
Namun anehnya, roh-roh yang terkena tebasan keris di tangan Mergo tercabik-cabik dan berangsur lenyap di udara. Sebagian besar dari mereka kabur karena ketakutan dengan keberadaan keris misterius tersebut.
Mergo bergegas memeriksa kaki anak tersebut yang sepertinya mengundang ketertarikan para roh jahat untuk datang mendekatinya.
“Celaka, sepertinya tubuhnya sudah ditandai sebagai tumbal sang iblis,” gumam Mergo saat melihat ada beberapa luka bekas gigitan di betis anak tersebut.
“Mergo, keris itu?” tanya salah seorang sahabatnya.
“Akhirnya kamu menemukannya juga,” lanjutnya.“Ya!” jawab Mergo singkat.
“Ini adalah keris para penguasa. Siapapun yang memiliki ambisi besar dan tahu mengenai keris ini, pasti menginginkannya,” jelasnya.Meski dia sudah memperoleh senjata yang sudah lama dicari-carinya itu, namun dia nampak tak begitu bersemangat seperti ekspresi kedua temannya. Wajahnya begitu serius menatapi keris aneh tersebut. Dia terlihat sedikit khawatir dengan resiko yang mungkin sudah terbayangkan olehnya.
“Perlu aku ingatkan dari sekarang, mungkin dengan ini peluang bagi kita akan terbuka lebar. Tapi justru kondisi kita akan semakin sulit setelah ini,” jelasnya.
“Tidaklah mudah berurusan dengan senjata iblis ini. Kita perlu berhati-hati untuk ke depannya,” pesannya mengingatkan.Laki-laki bernama Mergo itu adalah seorang pemimpin perampok gunung. Meski hidup sebagai perampok, di balik jubah lusuhnya itu dia adalah seorang pendekar gagah yang berkharisma, dan juga memiliki ambisi dan idealisme yang tinggi. Sejak mendapatkan senjata iblis yang sudah lama dicari-carinya itu, dia langsung mengajak rekan-rekannya beralih profesi menjadi tentara bayaran. Meski lambat namun pasti, seiring waktu dia berhasil menaikan nama kelompoknya. Diawali dengan ikut sertanya dia dan kelompoknya ke dalam peperangan antara dua kerajaan yang berdekatan. Tak ada satupun yang mengenal kelompok ini dan berada di posisi mana mereka berpihak. Namun keahlian mereka bertempur mengundang ketertarikan dari kedua kubu. “Siapa mereka?” tanya salah seorang panglima perang yang mengamatinya dari kejauhan.“Sabdo, segera cari tahu mengenai orang tersebut,” titahnya pada seorang ajudan. Di sebuah warung makan, seorang utusan dari salah satu kubu yang berperang menghampiri Mergo. Dia langsung m
Sudah lebih dari satu minggu pertempuran di dekat Sungai Bhagawanta itu berlangsung. Pasukan musuh yang datang dari arah laut yang hendak menguasai Benteng Watukalis belum juga mampu merebutnya. Benteng Watukalis yang dipimpin oleh Panglima Adipati Labdajaya memang terkenal cukup kuat, karena menjadi titik penting untuk mempertahankan Kerajaan Cakradwipa dari arah selatan.Namun musuh itu selalu kembali meski sudah berkali-kali berhasil dipukul mundur. Di pertempuran keenam setelah penyerangan pertama mereka, lagi-lagi mereka langsung mundur begitu melihat keadaan tidak berpihak. Padahal pasukan mereka masih cukup besar untuk melanjutkan pertempuran.Prajurit-prajurit yang mempertahankan benteng bersorak gembira atas keberhasilan mereka mempertahankan Benteng Watukalis. Namun sang Panglima nampak tak senang. Dia terlihat sedikit gusar karena yakin pasukan itu akan datang lagi, sementara masih banyak dari mereka yang berhasil melarikan diri.
Wajah Panglima itu langsung berubah menjadi serius menerima laporan tersebut. Mengirim utusan untuk meminta bantuan akan memakan waktu satu hari perjalanan. Belum lagi waktu yang akan mereka butuhkan untuk mempersiapkan pasukan dan perjalanan yang akan mereka tempuh menuju benteng tersebut.“Jika dua hari, mungkin kita masih sempat,” gumam Sang Panglima.Namun Mergo langsung menyela kata-kata Sang Panglima karena tahu betul betapa gentingnya situasi mereka saat ini.“Tapi jika musuh berhasil mengumpulkan pasukannya malam ini, kita akan kesulitan mempertahankan benteng ini, Tuan. Sebelum hamba pergi, dari kejauhan sudah ada satu kapal hendak menepi. Masih tidak jelas, bisa saja masih ada yang lainnya yang sedang mereka tunggu,” jelas Mergo, meyakinkan Panglima untuk segera membuat keputusan.“Bagaimanapun, kita tetap butuh bantuan,” jawab
Satu orang dari pasukan Panji Keris Bertuah yang terlihat sangat muda nampak berlarian ke arah gerbang. Dia adalah Rangkahasa, salah satu orang kepercayaan Mergo. Namun sepertinya Mergo tak berniat membawanya ikut serta bersama mereka. “Mergo, kenapa aku tidak diizinkan untuk ikut serta?” tanya Rangkahasa.“Apa kau masih meragukan kemampuanku?” lanjutnya bertanya. “Bukan begitu, Rangkahasa. Diantara kami, kau satu-satunya yang tak pernah ikut dalam misi perampokan, bukan?” jawab Mergo sedikit beretorika.“Aku tidak meragukan kemampuanmu dalam bertarung. Akan tetapi, misi kali ini bukan sesuatu yang sederhana. Kau masih terlalu muda untuk ini,” jelasnya. “Tapi Mergo, kau tahu sendiri kalau aku tak mungkin bisa jauh-jauh darimu kalau sudah malam begini. Jika kau pergi, benteng ini jauh lebih berbahaya bagiku dibandingkan musuh-musuh itu,” sanggah Rangkahasa.
Meski tidak bisa ditebas dengan pedang, roh-roh jahat itu juga tidak bisa melukai mereka. Beberapa roh jahat itu berhasil mendekati Rangkahasa, melayang begitu cepat dan menembus tubuhnya. Rangkahasa langsung bertekuk lutut menahan rasa sakit di kepalanya. Meski tak melukai secara fisik, roh-roh jahat itu mampu melukainya secara mental, memakan sari pati hidupnya sedikit demi sedikit.
Yasa yang berjalan tepat di belakangnya sedikit penasaran setelah menyadari bahwa sepertinya Mergo sedang menjinjing sesuatu yang dibungkus dengan kain. Dia bergegas menyusul Mergo hendak bertanya. Namun setelah melihat darah menetes-netes dari kain itu, dia pun seperti mulai menyadari apa yang sedang dibawa oleh pemimpinnya tersebut. Mereka berenam baru sampai di Benteng Watukalis setelah larut malam. Tak ada sedikitpun dari mereka yang terlihat terluka. Hanya Rangkahasa seorang yang tak sadarkan diri, digendong oleh Yodha di punggungnya. Para prajurit yang membukakan gerbang untuk mereka nampak berbisik-bisik. Mereka meragukan Mergo dan rekan-rekannya setelah melihat orang-orang tersebut kembali tanpa sedikitpun luka. Prajurit itu menyangsikan, entah Mergo benar-benar berbuat sesuatu pada musuh, atau hanya akal-akalannya saja mencari simpati sang Panglima. “Kenapa dengan anak
Panglima Adipati Labdajaya serta pasukannya tidak ikut dalam pertempuran tersebut. Mereka semua berdiam diri menjaga benteng. Terutama Mergo dan rekan-rekannya yang memang dibayar hanya untuk membantu mempertahankan benteng tersebut dari serangan musuh.Meski kalah jumlah, 700 pasukan yang dipimpin oleh dua orang Panglima yang diutus dari pusat Kerajaan Cakradwipa nampak dominan menguasai pertempuran. Sebagian besar dari mereka adalah pasukan berkuda, sementara hampir dari 1000 pasukan musuh itu semuanya adalah infanteri kelas rendah. Tak banyak dari mereka yang berkuda karena datang dengan kapal lewat jalur laut.Menjelang senja, mereka akhirnya berhasil memukul mundur pasukan musuh. Sebagian besar pasukan berkuda itu terus memburu mereka yang kabur hingga menuju bibir pantai. Banyak dari pasukan musuh yang melarikan diri itu dibantai selama di perjalanan.“Kejar terus, tanamkan ketakutkan pada para
Dalam satu hari, Mergo dan rekan-rekannya menjadi buah bibir di Benteng Watukalis. Cerita itu pun sampai ke telinga Panglima Abimana dan Panglima Kawiswara, dua orang panglima perang yang diutus dari pusat Kerajaan Cakradwipa.“Jadi benar Kangmas Adipati Labdajaya mempekerjakan pasukan prajurit bayaran?” tanya Panglima Kawiswara di saat jamuan makan bersama para petingi pasukan lainnya.“Aku tak menyangka seorang Kangmas Adipati Labdajaya sampai berbuat sejauh itu. Apa pasukan kita tidak cukup kuat?” tanyanya sedikit bernada menyindir.“Aku hanya tidak ingin pendekar-pendekar hebat seperti mereka justru membela pihak musuh,” jawab Adipati Labdajaya.“Aku yakin cerita soal reputasinya sudah sampai di telinga pejabat-pejabat yang ada sini,” jelasnya.“Tentu, tentu saja!” jawab Panglima Abimana, membalas penjelasa
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann