Sasikirana
Apa yang terjadi hari ini sungguh di luar dugaan. Pertama, aku terbangun bersama dengan pria asing. Kedua, pria yang bersamaku semalaman ternyata orang yang memiliki perusahaan tempat diri ini bekerja. Ketiga, dia memanggilku ke ruangan meeting. Awalnya berpikir si Om itu mau memecatku, karena dinilai salah handling pelanggan. Ternyata pikiranku salah, dia hanya menanyakan apakah kami pernah bertemu sebelumnya atau nggak.
Tunggu! Dia nggak mengenaliku, ‘kan? Mustahil si Om-om itu tahu aku wanita yang bersamanya di kamar hotel tadi pagi. Benar, ‘kan?
Sumpah, aku takut banget dipecat. Mau kerja di mana dengan penampilan kayak gini? Ya ampun, hidupku begini amat sih?!
“Ya, gimana, Frank? Udah dapet rekaman CCTV?” Perkataan si Om waktu menerima telepon entah dari siapa kembali melintas di pikiran.
Rekaman CCTV? Ya, hanya itu yang bisa menjawab pertanyaan kenapa aku bisa berada di kamar yang sama dengannya. Fix, selesai bekerja 10 menit lagi, aku harus kembali ke klub malam dan meminta rekaman CCTV.
“Lagi mikir apa sih?” Tiba-tiba seorang Team Leader sudah berdiri di samping kanan kubikel tempatku bekerja.
“Eh, ini Kak. Lagi bengong aja karena call sepi,” sahutku asal.
Dia garuk-garuk kepala yang nyaris botak, karena dipotong pendek pake banget. “Tadi aku dengar kamu dipanggil Pak Melviano. Ngapain?”
Ini adalah pertanyaan yang kesekian diajukan sejak tadi siang. Setelah kembali dari ruang meeting, ada banyak karyawan, Team Leader sampai Operation Manager bertanya kenapa aku dipanggil oleh petinggi paling atas di perusahaan ini? Aku bahkan baru tahu kalau si Om itu ternyata anak konglomerat yang memiliki usaha di berbagai bidang.
“Nggak ada. Cuma diajak ngobrol aja.” Jawaban yang sama tetap kuberikan.
Team Leader pria yang annoying itu tertawa keras. Lewat pukul 17.00 supervisor dan Operation Manager sudah meninggalkan ruangan. Peraturan di sini mulai melonggar, setelah mereka nggak ada.
“Ngajak ngobrol?” Si Kepala Botak kembali tertawa. “Emang kamu siapa pake diajak ngobrol segala sama Bos besar? Apa dia se-gabut itu sampai ngajak kamu ngobrol?”
Sialan, kalau bukan atasan sudah aku getok kepala botaknya. Tilikan mata ini beralih melihat ke sisi kanan tempat Team Leader itu berdiri. Segera dialihkan pandangan sebelum roh yang sedang menatap seram kepada si Botak, sadar kalau aku bisa melihat kehadirannya.
“Udah sih kalau nggak percaya, Kak.” Aku mulai malas mendengar ledekan orang-orang sejak tadi siang.
“Tuh lihat,” ujarnya menunjuk kepada salah satu karyawan yang paling cantik dan modis di sini.
“Kalau Bos mau ngajak ngobrol ya mending sama dia kali daripada sama kamu,” sambungnya terkekeh kemudian berlalu dari hadapanku.
Aku mengembuskan napas keras sambil melempar pandangan kesal padanya.
“Udah nggak usah ditanggapi. Lagian kenapa sih pada kepo banget dari tadi siang? Emang kenapa kalau dipanggil sama Bos? Yang penting kita nggak bikin masalah dan nggak dipecat, ‘kan?” hibur Kak Linda yang sejak tadi duduk di sampingku.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Thanks ya, Kak,” ucapku singkat sebelum logout seluruh akun yang digunakan untuk bekerja.
Seperti rencana tadi, aku harus kembali ke klub malam itu dan melihat rekaman CCTV tadi malam. Sumpah demi apapun, jika seandainya ini adalah ulah roh si Merah, aku nggak akan melepaskannya.
Emang lo bisa panggil dia lagi kalau beneran udah kembali ke alamnya, Sas? tanya batinku yang lain.
Betul juga. Setelah roh-roh itu pergi ke tempat yang seharusnya, maka aku sudah nggak bisa lagi berkomunikasi dengan mereka. Hubungan langsung terputus, kayak sambungan telepon yang kabelnya dipotong. Eh, masih bisa disambungin kalau yang ini. Tahu ah gelap.
Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di basemen parkiran. Aura gelap di sini terasa semakin kuat ketika lewat pukul 19.00. Biasanya para ‘penghuni’ mulai keluar dari sarangnya. Apalagi di lantai 10 tempatku bekerja. Toiletnya saja ada tiga hantu penunggu. Sebisa mungkin aku harus mengabaikan keberadaan mereka.
“Pulang sekarang, Mbak?” sapa penjaga basemen yang sering mengajakku berbicara.
“Iya, Pak. Besok masuk lebih cepat, tukeran sif sama teman,” sahutku sembari menaiki motor.
“Hati-hati pulangnya, udah gelap,” kata Pak Penjaga yang ramah banget. Di usia memasuki pertengahan 50-an, beliau masih kuat bekerja.
“Makasih, Pak. Saya bawa motornya pelan-pelan kok,” tanggapku sembari mengenakan helm.
“Pergi dulu ya, Pak,” pamitku setelah menyalakan motor.
Dalam hitungan detik, motor butut ini bergerak meninggalkan pria paruh baya itu sendirian di sana. Berani juga beliau berjaga malam-malam, padahal sedikitnya ada empat roh gentayangan di basemen parkiran.
Tiba di tikungan yang sedikit menanjak sebelum keluar dari gedung, tampak seseorang berdiri. Aku langsung menekan rem kiri dan kanan serentak. Jantung berdebar bukan main karena nyaris menabrak orang.
“Benar dugaan saya. Kamu pasti bisa melihat kehadiran saya di sini,” desis pria tua yang mengenakan seragam seperti penjaga gedung ini.
Kayaknya aku belum pernah lihat orang ini deh. Pandanganku nggak sengaja beralih ke bagian bawah tubuh pria itu. Shit! Dia bukan manusia, tapi roh. Kenapa aku nggak tahu kalau dia roh? Padahal aku sudah hafal para ‘penunggu’ gedung ini.
“Duh, tadi itu apa ya? Tikus? Bikin kaget aja,” celetukku asal agar bisa mengecoh roh ini.
“Kamu tadi jelas-jelas lihat saya. Kenapa pura-pura?” kejar roh itu lagi.
Tanpa menghiraukan perkataannya, aku langsung menggas motor melintasi roh yang masih berdiri di tempat tadi. Dia memanggil lagi, namun tetap nggak digubris.
“Untung aja nggak ketahuan. Bisa runyam nanti,” gumamku saat motor meninggalkan gedung.
Aku sengaja pura-pura nggak bisa lihat mereka, agar nggak diganggu saat bekerja. Bisa gawat kalau ketahuan. Satu roh minta tolong, terus roh lainnya juga akan melakukan hal yang sama. Mereka akan menggangguku terus menerus dan bisa membuatku dipecat dari perusahaan, seperti sebelum-sebelumnya.
Motor terus melaju membelah kota Metropolitan yang masih ramai meski langit telah gelap dan pekat. Di malam hari, begitu banyak aktivitas yang dilakukan penghuni kota ini termasuk mereka yang nggak terlihat dengan kasat mata. Contohnya jalan yang baru saja dilalui. Ada dua roh yang berdiri di pinggir jalan, entah melakukan apa. Mungkin mereka meninggal karena kecelakaan di tempat tadi.
Rata-rata mereka yang berkeliaran di suatu tempat, biasanya masih terikat dengan tempat tersebut. Bisa jadi di sanalah tempatnya meninggal atau rumah orang-orang yang dikasihi.
Tiba-tiba aku jadi teringat dengan roh wanita yang selalu mengikuti si Om tadi pagi. Tatapannya begitu sendu setiap kali melihat pria itu, tapi berubah menyeramkan saat melihatku.
“Apa itu pacarnya?” bisikku pada diri sendiri.
Sesaat kemudian kedua bahuku terangkat. “Ah, bodoh amat. Mau pacarnya kek, istrinya kek, buat apa gue peduli?”
Tiga puluh menit kemudian, motor berhenti tepat di parkiran klub malam. Aku langsung bergegas menuju pintu masuk. Harus melewati pemeriksaan sekuriti terlebih dahulu, agar bisa masuk ke klub ini.
“Pak, maaf,” ucapku kepada sekuriti yang tidak sedang bertugas memeriksa kartu identitas pengunjung.
Sekuriti itu mengamati dengan kening berkerut. Pasti karena penampilanku yang nggak meyakinkan sebagai pengunjung klub.
“Kenapa?” tanya sekuriti singkat.
“Begini, Pak. Tadi malam saya datang ke sini. Kayaknya dompet saya ketinggalan di meja bar deh,” jawabku mencari alasan agar bisa melihat rekaman CCTV.
“Dompet?”
Aku mengangguk cepat. “Iya dompet, Pak. Tempat nyimpen duit.”
“Bisa lihat rekaman CCTV nggak, Pak?” sambungku kemudian.
Pria bertubuh kekar tersebut menarik napas singkat. “Kalau dompet yang ketinggalan masih bisa tanya petugas, Mbak. Biasanya disimpan kalau emang ada yang nemu.”
“Kalau ada yang curi gimana, Pak? ‘Kan nggak tahu siapa yang ambil.”
“Tadi Ibu tidak bilang dicuri, cuma ketinggalan.”
What? Ibu? Aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu. Ggrrr
“Maksud saya, waktu dompet ketinggalan bisa jadi ada yang ambil terus nggak dikasih ke pegawai klub. Begitu, Pak.” Aku masih mencari jalan agar bisa melihat rekaman CCTV.
“Ya sudah ikut saya ke dalam,” seru sekuriti tersebut melangkah memasuki klub.
Aku berjalan pelan mengiringinya dari belakang. Dia membawaku entah ke mana, mungkin ke ruang CCTV.
Nggak lama kemudian, kami berdua berhenti di depan ruang yang bertuliskan ‘Customer Relation’ di pintu.
“Masuk, Bu,” suruhnya mengerling ke pintu yang kini terbuka.
Aku melangkah memasuki ruangan itu sambil mencari keberadaan monitor yang menampilkan rekaman CCTV. Ternyata, sekuriti nggak membawaku ke ruangan yang diinginkan.
“Ibu ini ketinggalan dompet tadi malam. Ada laporan tidak dari pelayan bar?” Sekuriti kini berbicara dengan petugas yang standby di ruangan ini.
“Dompet? Nggak ada informasi apa-apa mengenai barang tinggal atau hilang,” sahut petugas perempuan dengan make up cukup tebal.
“Ibu yakin dompetnya ketinggalan di sini?” Sekuriti mengalihkan paras kepadaku.
“Yakin banget, Pak. Makanya saya minta lihat rekaman CCTV, Pak.”
Dia mengangguk singkat. Setelah berpamitan kepada petugas yang ada di bagian Customer Relation, si Sekuriti membawaku entah ke mana lagi. Mungkin ke ruang CCTV.
Kami berhenti tepat di depan ruangan … entahlah. Di pintu nggak ada keterangan apa-apa.
“Ibu tunggu di sini dulu, biar saya tanyakan ke dalam,” tutur sekuriti sebelum membuka pintu.
“Ini ruangan monitor CCTV ya, Pak?”
Pria bertubuh kekar itu mengangguk.
“Saya boleh masuk, Pak?”
“Tidak boleh, Bu. Ruangan ini hanya boleh dimasuki petugas,” tegasnya, “sebaiknya Ibu tunggu di sini. Berikan saja detail jam berapa dompet Ibu hilang.”
“Pak, boleh masuk ya?” Aku masih berusaha membujuk sekuriti agar memperbolehkanku masuk ke dalam.
Dia menggeleng tegas. “Ibu mau saya bantu cek ke dalam atau saya suruh pulang?”
Belum sempat merespons perkataan si Sekuriti bertubuh kekar ini, terdengar pintu ruang monitor terbuka. Tiga orang pria dengan setelan jas mewah keluar dari sana.
“Terima kasih atas kerjasamanya, Pak,” ucap suara bas.
“Sama-sama, Pak. Saya tidak bisa menolak permintaan Pak Melviano.”
Kepala ini langsung terangkat ketika mendengar nama yang sudah nggak asing lagi.
“Nanti saya suruh sekretaris mengantarkan bingkisan sebagai ucapan terima kasih kepada tim Bapak.” Kali ini suara serak dan berat yang berbicara.
Aku langsung berjinjit, lalu mendongakkan kepala agar bisa melihat ketiga orang yang berdiri di belakang sekuriti ini dengan jelas.
“Om … eh, Pak,” cicitku ketika pandangan ini bertemu dengan sorot mata sipit dan dingin milik Melviano.
Bersambung....
Eh, ketemu lagi sama Melviano yaa Sasi :))
MelvianoSeperti janji tadi siang, malam ini aku dan Franky bertemu di klub malam untuk melihat rekaman CCTV sebelum kesadaranku hilang. Aku yakin sekali ketika meninggalkan gedung klub, kondisiku sudah tidak sadar.Sayang sekali masing-masing private room di klub ini tidak dipasang kamera pengawas. Alhasil kami hanya bisa melihat rekaman yang ada di lorong menuju ruangan yang telah disewa tadi malam.“Tuh lihat, Mel,” cetus Franky saat melihat rekaman saat aku keluar bersama dengan seorang perempuan.Dalam video tersebut, aku berjalan terhuyung ke kanan dan kiri. Sementara perempuan itu yang menopang tubuh ini. Dari pakaian dan postur tubuhnya, dia bukanlah wanita yang bersama denganku tadi pag
SasikiranaDua hari kemudianGagal sudah melihat rekaman CCTV. Pihak klub nggak berikan izin, karena alasan pivasi. Privasi ini hanya berlaku untuk orang miskin sepertiku, bukan orang kaya seperti si Om. Aku yakin banget dia ke sana melihat rekaman waktu itu.Akhirnya kuputuskan untuk melupakan kejadian itu. Toh nggak ada kerugian apa-apa juga. Sampai sekarang nggak seorang pun yang tahu kalau perempuan yang bersama si Om adalah aku. Beritanya sampai heboh tuh di media online. Lega juga wajahku disamarkan, jadinya hanya rambut dan postur badan saja yang terlihat. Itulah yang diketahui dari gosip yang beredar di kantor.“Gila juga ya Pak Melviano. Ngamar sama cewek,” ujar seorang senior saat incoming call
MelvianoPagi ini dibuat pusing dengan omelan dan ancaman Mama. Sekarang beliau tidak main-main. Frustasi sekali dengan pemberitaan tentangku akhir-akhir ini. Jadi merasa bersalah, karena tidak lagi bisa membuatnya bangga dalam kehidupan personal. Aku boleh saja berhasil menjadi seorang pengusaha, namun gagal menjadi seorang anak.Aku menatap lekat wajah yang kini meneteskan air mata. Sungguh, sebenarnya tidak ingin membuat wanita yang telah melahirkanku ini bersedih.“Sampai kapan kamu seperti ini, Vian? Lebih baik Mama mati saja daripada mendengar berita negatif tentangmu,” isaknya sambil menepuk dada sendiri.Aku menggenggam kedua tangannya. “Aku minta maaf, karena nggak bisa jadi anak yang baik buat Mama.”“Aku ja
SasikiranaApa dia ngelamar gue? Ini nggak mimpi, ‘kan? Kenapa tiba-tiba? Apa karena gue masih kelihatan cantik dengan dandanan kayak gini, jadinya dia tertarik?Bibir yang tadi ternganga kini kembali tertutup rapat. Kepala sampai miring ke kiri saking kagetnya. Ini nggak salah dengar, ‘kan? Dia memang mau mengajakku nikah, ‘kan? But why?“Bapak … nggak lagi bercanda, ‘kan?” celetukku masih dalam keadaan bingung.Dia terdiam beberapa saat. Raut wajahnya sekarang tampak kacau. Pasti lagi banyak pikiran. Atau tadi itu cuma mengajak bercanda, karena tahu aku takut dipecat.“Maksudnya, saya mau minta tolong sama kamu,” ujar Pak Melviano sema
MelvianoDi luar dugaan, Sasi ternyata tidak setuju begitu saja dengan tawaran yang diberikan. Sebenarnya dia perempuan seperti apa? Saat banyak wanita ingin mendapatkanku, tapi dia malah menolak. Sungguh aneh dan ajaib gadis itu.Sebentar, apa dia ingin bermain tarik ulur denganku? Jika seperti itu, Sasi salah orang. Dia bermain dengan orang yang salah.Hingga saat ini, dia masih belum menghubungiku. Sebentar lagi waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi tidak ada tanda-tanda dari Sasi. Bagaimana jika dia benar-benar tidak mau? Harus dicari ke mana wanita sinting itu?Suara ketukan pintu menyentakkan lamunan. Itu pasti Vidya.“Masuk,” sahutku singkat.“Pak Franky datang, Pak,”
Sasikirana“Bapak kok gitu sih? Perhitungan banget.” Aku mulai kesal karena si Om, malah mengambil kesempatan dengan kejadian ini. “Biaya operasinya 15 juta, Pak. Uang segitu bagi Bapak kecil kok.”Dia mendesah sambil mengusap kening yang ukuran terlihat ideal di parasnya. Aku jadi paham kenapa banyak kaum hawa mengagungkan pria ini, bahkan mau menikah dengannya.“Maaf, Mbak. Bagaimana dengan jaminan biayanya? Pasien sudah harus dioperasi sekarang, karena air ketuban mulai berkurang.” Tiba-tiba bidan datang menghampiri.Aku menoleh dengan tatapan memelas kepada Pak Melviano. Berharap ia mau membantu tanpa pamrih.“Biar saya yang urus administrasinya, Sus,” cetus Pak Melviano membuatku terkejut.Ternyata di balik sikap dinginnya, masih terselip rasa kemanusiaan yang tinggi.“Syukurlah. Mari, Pak. Setelah administrasi selesai, suami pasien bisa menandatangani surat p
MelvianoSetelah menandaskan satu porsi Aburi Oshizushi, aku menyandarkan punggung di kursi. Saat ini kami sedang makan di salah satu restoran masakan Jepang terbaik di Grand Indonesia Mall.Kami? Ya, maksudnya aku dan Sasi.Sekarang dia sedang menyantap Teriyaki Chicken yang dipesannya. Tidak ada percakapan di antara kami semenjak duduk di restoran ini, karena perutku sangat lapar. Energi menjadi habis terkuras ketika berdebat dengannya di rumah sakit.“Udah selesai?” tanyaku ketika melihat piringnya licin.Dia menganggukkan kepala sekali, lalu mengangkat pandangan melihatku.Aku menegakkan tubuh, lalu menumpu siku di atas meja. “Kita bisa diskusikan yang tadi.”“Yang mana ya, Pak?” Aku tahu dia berpura-pura.Jari telunjukku berputar sepuluh centimeter di depan wajahnya. “Kamu jangan pura-pura nggak tahu.”Sasi mengalihkan pandangan ke tempat lain sambil m
SasikiranaAir mata yang dikeluarkan ternyata nggak mempan. Pak Om Melviano tetap kekeh dengan keinginannya. Jujur sih, nggak habis pikir kenapa dia mau menikah denganku padahal penampilan sekarang nggak cantik-cantik banget. Heran.“Tunggu apa lagi? Udah selesai makan, ‘kan?” tanya Pak Om dengan wajah jutek plus dingin.Aku perlahan menganggukkan kepala. Bingung juga dengan diri ini, kenapa nggak bisa garang sama dia? Apa jiwa leadership-nya yang kental, jadinya aku pasrah menuruti keinginannya?Dia mau jadi laki lo, Sas, keluh batinku merana.Aku memukul pelan kepala, sebagai wujud prihatin terh
MelvianoSatu bulan kemudianRentetan kejadian bulan lalu membuatku tidak bisa bernapas lega. Bayangkan apa yang dihadapi tidaklah mudah. Mulai dari kenyataan Sasi bisa melihat makhluk halus, Tante Diana yang ternyata ibu kandung Sasi, hingga Kalila yang disuruh oleh Om Reino menjadi mata-mata. Belum lagi kematian Papa yang tidak wajar. Mungkin karena itulah roh beliau masih berada di rumah ini.“Kayaknya kita masih punya PR deh, Sayang,” kataku kepada Sasi ketika kami bersiap untuk tidur.“Apa, Bang?” Sasi membuka mata yang sempat terpejam sebentar.“Bantu Papa pergi ke tempat yang seharusnya.”Sasi tampak semringah, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Be
Sasikirana “Aku membesarkanmu agar bisa bermanfaat suatu hari nanti, Kalila.” Terdengar suara serak seorang pria. Siapa itu? Pandanganku beralih melihat dua orang yang duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah. Di mana aku sekarang berada? Rumah ini begitu asing bagiku. Mata menyipit ketika ingin fokus melihat pria dan wanita yang sedang berbicara di ruangan itu. Kalau nggak salah dengar tadi, pria tersebut menyebut nama Kalila. Seketika diri ini terkesiap saat melihat almarhumah istri suamiku duduk berhadapan dengan pria paruh baya, tapi masih tampak gagah. “Maaf, Pa. Kalila nggak bisa lagi meneruskan rencana Papa. Apalagi sekarang sedang hamil,” lirih Kalila dengan kepala tertunduk melihat perut sendiri. “Sudah berapa kali kuperingatkan. Janga
Melviano Tak pernah kubayangkan akan berjumpa lagi dengan Kalila meski melalui perantara Sasi. Mendengar bagaimana cara bicaranya saat ini, sudah jelas almarhumah istriku yang berbicara sekarang. Terutama dari cara Sasi memanggilku ‘Vi’. Rasa rindu terhadap Kalila menjadi terobati meski tidak bisa melihat wajahnya. “Vidya … vidya.” Kalila yang berada di dalam tubuh Sasi berdecak berkali-kali. “Gue heran kenapa sih harus pendam cinta sekian lama, tanpa mengutarakannya?” “Bayangin lo jatuh cinta sama suami gue selama belasan tahun, tapi nggak berani mengatakannya.” Kalila menggigit bibir bawah Sasi. Dia sering begini semasa hidup, menggigit bibir sendiri sebelum meneruskan perkataan. Apa? Vidya sudah lama jatuh cinta denganku? Bahkan dua belas tahun memendamnya dalam hati?
Sasikirana“Sasi gawat!!” Terdengar suara yang nggak asing lagi di telinga beberapa hari belakangan. Siapa lagi jika bukan roh Kalila.Dia datang tiba-tiba ketika aku mempersiapkan diri untuk menerima materi yang diberikan oleh instruktur. Sesuai dengan perkataan Bang Vian, aku disuruh ikut pelatihan manajemen sebelum diberikan jabatan strategis di Liburan.com.“Kenapa sih Mbak? Ngagetin aja,” protesku mengelus dada. Beruntung instruktur sedang keluar sebentar, sehingga bisa berbicara dengan Kalila.Paras Kalila tampak begitu panik. Dadanya naik turun bukan karena bernapas (roh nggak ada yang napas hahaha), tapi seperti menahan marah.“Vidya coba godain Vian. Buruan naik ke lantai lima belas,” suruhnya nggak ten
MelvianoFakta demi fakta tentang Kalila yang belum diketahui membuatku terkejut bukan main. Tak hanya itu, rasa bersalah muncul seketika di dalam hati, menyadari diri ini lengah sampai tidak mengetahui dirinya sedang hamil sebelum kecelakaan terjadi.Belum hilang syok yang dirasakan saat mendengar Kalila hamil, sekarang ada hal lain lagi yang tak kalah mengejutkan. Menurut cerita Sasi, almarhumah istriku itu meninggal secara tidak wajar. Bukan karena kecelakaan tunggal yang merenggut nyawanya, melainkan dibunuh.“Detailnya, Abang bisa tanyakan langsung sama Mbak Kalila nanti. Nanti Abang nggak percaya dengan apa yang saya katakan,” ujar Sasi tadi malam.Sasi menolak untuk menceritakan penyebab pecahnya hubungan persahabatan Kalila dan Vidya. Dia khawatir jika aku tidak percaya de
SasikiranaPagi ini aku dibikin kaget dengan dua fakta. Pertama, Bang Vian yang masih berada di luar flat sejak kemarin siang. Kedua, pernyataan cintanya.Dia mencintaiku? Astaga! Apa aku sedang bermimpi? Jika pun benar, semoga nggak pernah terbangun lagi dari tidur ini.Nggak hanya itu, Bang Vian sampai mengemis agar aku nggak meninggalkannya. Sumpah demi apa, seorang Melviano mengiba dan memohon kepadaku? Sampai mengatakan rela kehilangan harta kekayaan, asal aku tetap bersama dengannya. Seberharga itukah diriku?Setelah melihat kesungguhan suamiku, akhirnya hati ini luluh juga. Kalian tahu kalau aku lemah jika ada yang memelas, ‘kan?Bang Vian melangkah
MelvianoBagai orang bodoh, aku menunggu Sasi di depan flat yang dulu ditempati oleh Kalila. Ternyata istriku ada di sini. Sudah pasti roh almarhumah istriku yang membawanya ke sini, karena Sasi tidak kenal dengan keluarga Kalila.Jujur, situasi seperti ini membuat canggung sekaligus bingung. Bagaimana tidak?! Roh almarhumah istriku dan istriku yang sekarang pasti sedang berada di dalam flat. Aku yakin Kalila juga yang bersama dengan Sasi di restoran itu. Kemungkinan dia tahu tentang Vidya dari Kalila. Apakah aku menjadi penyebab persahabatan mereka rusak?Sejak tadi malam, aku berusaha untuk terjaga. Meski terasa lapar dan haus, tetap saja diri ini enggan beranjak d
SasikiranaApaan sih? Bang Vian mau mengancamku? Jika benar, maka itu nggak akan pernah bisa membuatku kembali ke rumah keluarga Stanley.“Turuti aja kemauan Vian, Sasi,” saran Kalila sebelum aku merespons.Aku menggeleng tegas. “Aku udah bilang sama Mbak, ‘kan?”Kening Bang Vian berkerut bingung ketika aku menjawab perkataan Kalila.“Kamu ngomong sama siapa, Dek?” tanyanya heran.“Bukan urusan Abang,” sahutku ketus seraya berlalu pergi dari hadapannya.Sekarang akan kutunjukkan siapa Sasikirana sebenarnya. Seorang wanita yang berasal dari keluarga miskin, tapi memiliki harga diri yang tinggi. Jika sebel
MelvianoSejak mendapatkan pesan misterius dari nomor tidak dikenal, perasaanku mendadak gelisah. Apa maksudnya orang itu mengatakan Sasi berselingkuh? Benarkah? Rasanya tidak mungkin.Setelah perang batin berjam-jam, akhirnya kuputuskan pergi ke restoran yang dimaksud oleh si pengirim. Bermodalkan jaket hoodie yang kupinjam dari Michael, aku pergi ke tempat tersebut.Begitu tiba di restoran, aku langsung melihat Sasi duduk di kursi paling ujung merapat ke dinding. Ternyata pesan yang kuterima benar, istriku berada di sana. Namun sepertinya dia tidak sendirian, dia tampak sedang berbicara entah dengan siapa. Apakah dia bersama dengan roh sekarang? Mungkinkah Kalila? Aku menjadi penasaran.Beruntung aku meng