Melviano
Di luar dugaan, Sasi ternyata tidak setuju begitu saja dengan tawaran yang diberikan. Sebenarnya dia perempuan seperti apa? Saat banyak wanita ingin mendapatkanku, tapi dia malah menolak. Sungguh aneh dan ajaib gadis itu.
Sebentar, apa dia ingin bermain tarik ulur denganku? Jika seperti itu, Sasi salah orang. Dia bermain dengan orang yang salah.
Hingga saat ini, dia masih belum menghubungiku. Sebentar lagi waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi tidak ada tanda-tanda dari Sasi. Bagaimana jika dia benar-benar tidak mau? Harus dicari ke mana wanita sinting itu?
Suara ketukan pintu menyentakkan lamunan. Itu pasti Vidya.
“Masuk,” sahutku singkat.
“Pak Franky datang, Pak,” ujar Vidya setelah muncul di sela pintu.
“Suruh masuk.”
Sekarang aku berada di kantor pusat daerah Jenderal Sudirman. Beginilah keseharianku. Berjalan dari satu gedung ke gedung lain. Mengelola perusahaan besar yang bergerak di berbagai bidang, ditambah lagi dengan perusahaan startup yang baru dibangun satu tahun ini, membuat aku berpindah-pindah dan membagi waktu.
“Gimana? Udah ada kabar belum dari si Betty?” celetuk Franky begitu masuk ke ruangan.
Aku menggelengkan kepala sambil mengangkat bahu.
“Sok jual mahal juga tuh cewek.” Franky duduk di sofa yang ada di tengah ruangan, lantas menaikkan sebelah kaki.
“Bikinkan kopi dua, Vid,” pintaku ketika Vidya masih berdiri di dekat pintu.
“Baik, Pak.” Gadis yang tidak lagi muda itu membungkukkan tubuh sebelum beranjak dari sana.
Ah, aku lupa bercerita kalau Vidya sampai sekarang belum menikah. Mungkin bekerja denganku membuatnya terlalu sibuk, sehingga tidak memiliki waktu berkencan. Sepertinya aku harus memberikan liburan agar ia bisa menikmati hidup dan mencari jodoh. Apalagi usianya sudah lebih dari tiga puluh tahun.
“Tahu ah, Frank. Pusing gue.” Aku mengembuskan napas singkat saat menyandarkan punggung di sofa single.
“Mungkin lo terlalu keras kali, jadinya dia nggak mau. Udah ilfil duluan kayaknya,” cetus Franky cekikikan.
“Sialan lo. Gue mana bisa lembut-lembut sama cewek.”
Franky menegakkan tubuh dan mematutku lama. Dia mengusap dagu sebentar.
“Lo itu banyak berubah sejak Kalila wafat, Mel.” Dia menatapku serius sekarang. “Kalau bukan sama gue, lo jarang tersenyum. Kaku banget itu muka. Jadi dingin juga sama cewek.”
Aku mengusap wajah, lalu mendesah. Apa yang dikatakan Franky benar, terlalu banyak perubahan dalam diriku sejak Kalila pergi.
“Melviano yang hangat udah nggak ada lagi. Melviano yang biasanya ramah dan berhati lembut, sekarang jadi kejam dan galak.” Franky mendesah pelan. “Lo nggak capek kayak gitu, Mel? Maksud gue menunjukkan sikap yang bukan lo banget.”
Aku menengadahkan kepala, sehingga netra ini melihat ke arah plafon. “Lo nggak kerja, Frank? Tumben jam segini udah keluyuran.”
Franky berdecak ketika pertanyaannya tidak dijawab. “Gue ngomong kayak gini karena peduli sama lo, Mel. Nggak sanggup lihat hidup lo berubah drastis.”
Kembali dialihkan pandangan kepada Frank yang menatapku sendu. Aku benci dikasihani seperti ini. Sungguh! Tapi tidak bisa marah juga kepada sahabatku itu.
“Coba lo hubungi Sasi,” sarannya kemudian.
“Trus?”
“Ceritakan sejujurnya dan bilang tentang ancaman Tante Fani.” Franky memajukan tubuh ke depan, lalu menumpu kedua tangan di atas paha. “Perempuan biasanya kalau udah menyinggung sosok Ibu, pasti luluh. Lo bilang ibunya udah lama meninggal, ‘kan?”
Aku mengangguk membenarkan.
Franky memantik jari, lalu menggoyang-goyangkan telunjuk. “Itu dia. Bakalan berhasil tuh.”
“Gitu ya?”
“Iya, Melviano. Udah buruan telepon gih sana. Turunkan ego lo dikit aja. Ingat, saat ini lo yang butuh bantuan dia. So, kalau perlu berlutut memohon di depannya.” Franky terkekeh di ujung kalimat.
“Kampret lo. Sahabat macam apa sih yang tertawa di atas penderitaan sahabatnya,” maki-ku kesal.
“Sorry, habis gue tadi bayangin lo berlutut di depan si Betty,” ledek Franky tergelak lagi.
Belum sempat membalas perkataannya, sebuah panggilan masuk ke ponsel. Mata sipit ini melebar ketika melihat nama yang tertera pada layar, Sasikirana. Di saat yang bersamaan Vidya masuk membawakan dua cangkir kopi.
“Dia telepon, Frank,” seruku memperlihatkan layar ponsel.
“Apa gue bilang, dia cuma sok jual mahal. Buruan angkat.” Franky tampak antusias, lalu beranjak duduk di lengan sofa single ini.
Aku berdeham beberapa kali sebelum menggeser tombol hijau yang ada di layar.
“Ingat, jangan jutek,” bisik Franky yang berada tepat di samping kananku.
“Sore,” sapaku setelah menggeser tombol hijau.
“Halo, Pak,” balasnya dengan napas terdengar sesak.
“Kamu kenapa?” tanyaku spontan.
“Saya … butuh bantuan Bapak.”
Benar-benar gadis aneh. Harusnya aku yang butuh bantuan, bukan dia.
“Ada apa?”
“Bapak bisa datang ke rumah sakit Pasar Minggu sekarang?” Nada suaranya terdengar panik.
“Rumah sakit?”
“Iya, RSUD Pasar Minggu.”
“Ngapain?”
“Nanti saya ceritakan, Pak. Penting banget. Urgent!” desaknya tidak sabar.
Aku mendesah pelan. “Ya sudah, kamu sekarang ada di bagian mana?”
“Kandungan, Pak.”
“Kandungan?” Aku melongo ketika mengalihkan pandangan kepada Frank.
Kedua alis Franky nyaris beradu saking bingungnya.
“Dia hamil?” bisik Franky.
Aku menggelengkan kepala, menandakan tidak tahu.
“Ya udah, sepuluh menit lagi saya sampai di sana.”
“Makasih banyak ya, Pak,” ucapnya sebelum panggilan berakhir.
“Mampus lo, Mel. Dia hamil terus minta bantuan lo buat jadi ayah janinnya.” Franky berdecak berkali-kali. “Hebat juga tuh si Betty. Siapa sih yang mau hamilin cewek kayak dia?”
Aku langsung berdiri tanpa menghiraukan celotehan Franky. Ketika akan berjalan menuju meja untuk mengambil jas, netra ini melihat Vidya masih mematung tak jauh dari tempatku duduk tadi.
“Kamu ngapain di sana? Balik kerja lagi. Saya mau ke luar sebentar,” kataku mengerling ke arah pintu.
Seperti biasa, Vidya membungkukkan tubuh sebelum keluar dari ruangan.
“Lo mau jadi ayah dari anak yang bukan darah daging lo, Mel?” celoteh Franky lagi.
“Jangan berpikiran aneh-aneh deh, Frank.”
“Trus ngapain coba si Betty di sana sekarang?”
Aku mengangkat bahu. “Jawabannya akan ketemu kalau kita udah di sana. Lo mau ikut nggak?”
“Ikut dong. Lumayan dapat tontonan gratis,” candanya tidak lucu.
“Ke sana pake mobil lo aja.”
“Siap,” sahutnya ketika kami berjalan beriringan menuju lift.
Selang sepuluh menit kemudian, mobil BMW tipe sedan yang dikendarai Franky memasuki pelataran parkir RSUD Pasar Minggu. Setelah memarkir kendaraan roda empat itu, kami segera memasuki gedung rumah sakit dan mencari keberadaan bagian kebidanan.
Tanpa susah-susah mencari, aku bisa langsung melihat seorang gadis berambut keriting yang terikat ke atas. Wajahnya dihiasi kacamata tebal. Pakaian yang dikenakan sangat kuno, celana kulot longgar dan blus katun. Franky benar, Sasi memang mirip dengan Betty tanpa poni dan kawat gigi.
Dia tersenyum lebar ketika melihat kedatanganku di sana. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, hanya senyum dan deret gigi putih itu yang menarik dari dirinya. Harus diakui, Sasi memiliki senyum yang cukup … manis.
“Syukurlah Bapak datang tepat waktu,” cicit Sasi dengan wajah masih terlihat panik.
“Ada apa ini?” Aku masih penasaran.
Dia malah menarik tanganku memasuki ruang pemeriksaan bagian kebidanan. Kutinggalkan Franky sendirian di luar.
“Di dalam sana ada orang yang butuh pertolongan Bapak,” ujar Sasi saat kami berada di depan pintu ruang bersalin.
“Mbak Nisa mau melahirkan dan harus segera dioperasi, karena ketuban pecah dan bayinya dililit tali pusar,” jelasnya lagi.
Aku mulai paham, tapi ….
“Apa hubungannya dengan saya?”
“Mbak Nisa, anak dari karyawan yang mengabdikan diri sebagai petugas parkiran basemen di gedung milik keluarga Bapak.” Dia menarik napas mencoba menenangkan diri. “Mbak Nisa nggak punya uang untuk biaya persalinan. Sebenarnya ada sih, Pak. Uang polis asuransi ayahnya, tapi proses pencairannya terlalu lama dan nggak bisa sekarang.”
“Lalu?” Aku mulai menangkap ke mana arah pembicaraannya.
“Bisa nggak Bapak bantu dulu talangin biaya persalinannya? Nanti diganti kalau dana asuransi udah cair.” Dia melihatku dengan tatapan memohon.
Wah! Tidak disangka gadis ini memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Dia kembali meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. “Please, Pak. Cuma Bapak yang bisa bantu. Anggap aja bantu karyawan yang udah lama kerja di perusahaan Bapak.”
Aku melihat kepada tautan tangan kami berdua. Ada sebuah rasa yang tidak dimengerti hinggap di dalam diri ini. Selain itu, aku juga merasakan damai dan tenang.
Netraku ini memandang lekat paras Sasi yang sama sekali tidak menarik, meski hidungnya mungil dan mancung. Tampak ketulusan dari pancaran mata hitam lebar miliknya.
“Oke. Saya akan bantu, tapi dengan satu syarat.”
“Apapun akan saya lakukan, Pak.” Nada suaranya terdengar pasrah.
Kalian dengar dia berkata akan melakukan apapun? Inilah kesempatan emas, agar dia mau menolongku.
“Kamu harus menyetujui permintaan saya sebelumnya. Gimana?” tanyaku tersenyum miring.
“Hah?” Mata lebarnya membulat, seiringan dengan bibir yang ternganga.
Bersambung....
Sasikirana“Bapak kok gitu sih? Perhitungan banget.” Aku mulai kesal karena si Om, malah mengambil kesempatan dengan kejadian ini. “Biaya operasinya 15 juta, Pak. Uang segitu bagi Bapak kecil kok.”Dia mendesah sambil mengusap kening yang ukuran terlihat ideal di parasnya. Aku jadi paham kenapa banyak kaum hawa mengagungkan pria ini, bahkan mau menikah dengannya.“Maaf, Mbak. Bagaimana dengan jaminan biayanya? Pasien sudah harus dioperasi sekarang, karena air ketuban mulai berkurang.” Tiba-tiba bidan datang menghampiri.Aku menoleh dengan tatapan memelas kepada Pak Melviano. Berharap ia mau membantu tanpa pamrih.“Biar saya yang urus administrasinya, Sus,” cetus Pak Melviano membuatku terkejut.Ternyata di balik sikap dinginnya, masih terselip rasa kemanusiaan yang tinggi.“Syukurlah. Mari, Pak. Setelah administrasi selesai, suami pasien bisa menandatangani surat p
MelvianoSetelah menandaskan satu porsi Aburi Oshizushi, aku menyandarkan punggung di kursi. Saat ini kami sedang makan di salah satu restoran masakan Jepang terbaik di Grand Indonesia Mall.Kami? Ya, maksudnya aku dan Sasi.Sekarang dia sedang menyantap Teriyaki Chicken yang dipesannya. Tidak ada percakapan di antara kami semenjak duduk di restoran ini, karena perutku sangat lapar. Energi menjadi habis terkuras ketika berdebat dengannya di rumah sakit.“Udah selesai?” tanyaku ketika melihat piringnya licin.Dia menganggukkan kepala sekali, lalu mengangkat pandangan melihatku.Aku menegakkan tubuh, lalu menumpu siku di atas meja. “Kita bisa diskusikan yang tadi.”“Yang mana ya, Pak?” Aku tahu dia berpura-pura.Jari telunjukku berputar sepuluh centimeter di depan wajahnya. “Kamu jangan pura-pura nggak tahu.”Sasi mengalihkan pandangan ke tempat lain sambil m
SasikiranaAir mata yang dikeluarkan ternyata nggak mempan. Pak Om Melviano tetap kekeh dengan keinginannya. Jujur sih, nggak habis pikir kenapa dia mau menikah denganku padahal penampilan sekarang nggak cantik-cantik banget. Heran.“Tunggu apa lagi? Udah selesai makan, ‘kan?” tanya Pak Om dengan wajah jutek plus dingin.Aku perlahan menganggukkan kepala. Bingung juga dengan diri ini, kenapa nggak bisa garang sama dia? Apa jiwa leadership-nya yang kental, jadinya aku pasrah menuruti keinginannya?Dia mau jadi laki lo, Sas, keluh batinku merana.Aku memukul pelan kepala, sebagai wujud prihatin terh
MelvianoHari ini terasa melelahkan sekali. Coba bayangkan, aku menunggu telepon dari Sasi sejak pagi tapi baru dihubungi menjelang sore. Dia menelepon bukan karena ingin memberikan jawaban, namun meminta pertolongan. Perdebatan pun menghiasi pertemuan kami hari ini, hingga akhirnya ia menuruti kemauanku untuk menikah.Entah apa yang cocok menamai pernikahan kami. Pernikahan dadakan? Pernikahan kontrak? Atau pernikahan tanpa cinta? Aku pun tidak tahu. Yang kutahu hanyalah, membahagiakan Mama. Barangkali dengan menikah lagi, hati beliau akan damai dan tentram.“Mama mana, Bi?” tanyaku kepada Bibi Soraya ketika berada di lantai dasar.“Ada di kamar, Ko. Mau Bibi panggilkan?”Asisten Rumah Tangga, supir dan orang-orang yang be
Sasikirana Akhirnya bisa merebahkan tubuh di kasur yang terasa sangat empuk, setelah berjibaku memindahkan barang dari kosan. Untungnya sih nggak banyak, jadi badan nggak sampai remuk. Syukurnya lagi, ada yang bantu angkat-angkat juga jadinya nggak terlalu capek. “Jam berapa sih dijemput?” tanya Anin yang membantuku sejak tadi malam. “Sorean sih, jam 16.00,” jawabku masih menikmati tempat tidur yang luas dan empuk ini. Si Om benar-benar kaya. Apartemen ini saja mewah banget. Kamarnya ada tiga dan berukuran besar. Alat-alat elektronik juga canggih-canggih. Mesin cuci otomatis, kompor pun sama bisa di-setting otomatis, belum lagi yang lainnya. “Gila ya, calon
MelvianoAku memandang netra hitam lebar itu lekat. Baru disadari bahwa Sasi mengenakan softlens. Apa sebelum-sebelumnya dia juga memakai benda itu? Aku tidak terlalu memerhatikan, karena kacamata yang sedikit tebal itu sangat mengganggu.Di saat bersamaan, aku merasakan sesuatu mengeras di bawah sana ketika tubuh kami berdekatan. Sial! Ada apa denganku? Kenapa tubuh ini harus beraksi di saat yang tidak tepat? Untuk pertama kali setelah lima tahun, bagian diriku ‘hidup’ ketika bersama wanita.“Pak?” lirih Sasi dengan raut wajah tegang dihiasi semburat merah.Aku langsung melepaskan tangannya dan mundur satu langkah ke belakang. “Kita pergi sekarang,” kataku bergegas menuj
SasikiranaHah? Menikah dua minggu lagi? Belum sempat rasa gugup ini hilang, aku dibuat kaget lagi dengan permintaan dari Ibu Fani, Mama Pak Melviano. Beliau lagi bercanda, ‘kan?“Mama jangan bercanda. Nggak mungkin kami menikah secepat itu,” protes Pak Melviano mewakili isi kepalaku.Aku hanya diam, menutup rapat bibir ini. Biarkan Pak Melviano yang berpendapat, karena diri ini nggak memiliki hak untuk melakukannya.“Mama tidak sedang bercanda, Vian.”Oh, jadi panggilannya Vian, bukan Mel. Haha!“Mama pikir sah-sah saja kalian menikah dalam waktu dekat. Nanti tinggal diberitakan di media kalau kalian berdua sudah lama saling kenal dan memang berencana menikah,&rdquo
MelvianoSetelah mengambil surat perjanjian yang akan ditandatangani, aku kembali lagi ke kamar menemui Sasi. Ah, rasanya tidak percaya melihat dia menerima begitu saja permintaan Mama untuk memajukan waktu pernikahan. Dan … hei, Mama sampai mempersiapkan akomodasi untuk kami berbulan madu. Ck!Jujur, harus diakui. Sekarang aku merasa bersalah kepada Sasi, karena telah melibatkannya dalam pernikahan ini. Meski demikian, ada sedikit kelegaan di hati ketika mendengar penuturannya tadi.“Selagi itu bisa bikin Bu Fani bahagia, saya nggak keberatan.”Aku bisa melihat ketulusan dari tatapan matanya, ketika mengatakan tanggapan tentang Mama. Dia merasa nyaman dan damai ketika disentuh oleh beliau. Paling tidak aku bisa tenang, karena Sasi mungkin bisa menjadi teman untuk Mama yang
MelvianoSatu bulan kemudianRentetan kejadian bulan lalu membuatku tidak bisa bernapas lega. Bayangkan apa yang dihadapi tidaklah mudah. Mulai dari kenyataan Sasi bisa melihat makhluk halus, Tante Diana yang ternyata ibu kandung Sasi, hingga Kalila yang disuruh oleh Om Reino menjadi mata-mata. Belum lagi kematian Papa yang tidak wajar. Mungkin karena itulah roh beliau masih berada di rumah ini.“Kayaknya kita masih punya PR deh, Sayang,” kataku kepada Sasi ketika kami bersiap untuk tidur.“Apa, Bang?” Sasi membuka mata yang sempat terpejam sebentar.“Bantu Papa pergi ke tempat yang seharusnya.”Sasi tampak semringah, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Be
Sasikirana “Aku membesarkanmu agar bisa bermanfaat suatu hari nanti, Kalila.” Terdengar suara serak seorang pria. Siapa itu? Pandanganku beralih melihat dua orang yang duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah. Di mana aku sekarang berada? Rumah ini begitu asing bagiku. Mata menyipit ketika ingin fokus melihat pria dan wanita yang sedang berbicara di ruangan itu. Kalau nggak salah dengar tadi, pria tersebut menyebut nama Kalila. Seketika diri ini terkesiap saat melihat almarhumah istri suamiku duduk berhadapan dengan pria paruh baya, tapi masih tampak gagah. “Maaf, Pa. Kalila nggak bisa lagi meneruskan rencana Papa. Apalagi sekarang sedang hamil,” lirih Kalila dengan kepala tertunduk melihat perut sendiri. “Sudah berapa kali kuperingatkan. Janga
Melviano Tak pernah kubayangkan akan berjumpa lagi dengan Kalila meski melalui perantara Sasi. Mendengar bagaimana cara bicaranya saat ini, sudah jelas almarhumah istriku yang berbicara sekarang. Terutama dari cara Sasi memanggilku ‘Vi’. Rasa rindu terhadap Kalila menjadi terobati meski tidak bisa melihat wajahnya. “Vidya … vidya.” Kalila yang berada di dalam tubuh Sasi berdecak berkali-kali. “Gue heran kenapa sih harus pendam cinta sekian lama, tanpa mengutarakannya?” “Bayangin lo jatuh cinta sama suami gue selama belasan tahun, tapi nggak berani mengatakannya.” Kalila menggigit bibir bawah Sasi. Dia sering begini semasa hidup, menggigit bibir sendiri sebelum meneruskan perkataan. Apa? Vidya sudah lama jatuh cinta denganku? Bahkan dua belas tahun memendamnya dalam hati?
Sasikirana“Sasi gawat!!” Terdengar suara yang nggak asing lagi di telinga beberapa hari belakangan. Siapa lagi jika bukan roh Kalila.Dia datang tiba-tiba ketika aku mempersiapkan diri untuk menerima materi yang diberikan oleh instruktur. Sesuai dengan perkataan Bang Vian, aku disuruh ikut pelatihan manajemen sebelum diberikan jabatan strategis di Liburan.com.“Kenapa sih Mbak? Ngagetin aja,” protesku mengelus dada. Beruntung instruktur sedang keluar sebentar, sehingga bisa berbicara dengan Kalila.Paras Kalila tampak begitu panik. Dadanya naik turun bukan karena bernapas (roh nggak ada yang napas hahaha), tapi seperti menahan marah.“Vidya coba godain Vian. Buruan naik ke lantai lima belas,” suruhnya nggak ten
MelvianoFakta demi fakta tentang Kalila yang belum diketahui membuatku terkejut bukan main. Tak hanya itu, rasa bersalah muncul seketika di dalam hati, menyadari diri ini lengah sampai tidak mengetahui dirinya sedang hamil sebelum kecelakaan terjadi.Belum hilang syok yang dirasakan saat mendengar Kalila hamil, sekarang ada hal lain lagi yang tak kalah mengejutkan. Menurut cerita Sasi, almarhumah istriku itu meninggal secara tidak wajar. Bukan karena kecelakaan tunggal yang merenggut nyawanya, melainkan dibunuh.“Detailnya, Abang bisa tanyakan langsung sama Mbak Kalila nanti. Nanti Abang nggak percaya dengan apa yang saya katakan,” ujar Sasi tadi malam.Sasi menolak untuk menceritakan penyebab pecahnya hubungan persahabatan Kalila dan Vidya. Dia khawatir jika aku tidak percaya de
SasikiranaPagi ini aku dibikin kaget dengan dua fakta. Pertama, Bang Vian yang masih berada di luar flat sejak kemarin siang. Kedua, pernyataan cintanya.Dia mencintaiku? Astaga! Apa aku sedang bermimpi? Jika pun benar, semoga nggak pernah terbangun lagi dari tidur ini.Nggak hanya itu, Bang Vian sampai mengemis agar aku nggak meninggalkannya. Sumpah demi apa, seorang Melviano mengiba dan memohon kepadaku? Sampai mengatakan rela kehilangan harta kekayaan, asal aku tetap bersama dengannya. Seberharga itukah diriku?Setelah melihat kesungguhan suamiku, akhirnya hati ini luluh juga. Kalian tahu kalau aku lemah jika ada yang memelas, ‘kan?Bang Vian melangkah
MelvianoBagai orang bodoh, aku menunggu Sasi di depan flat yang dulu ditempati oleh Kalila. Ternyata istriku ada di sini. Sudah pasti roh almarhumah istriku yang membawanya ke sini, karena Sasi tidak kenal dengan keluarga Kalila.Jujur, situasi seperti ini membuat canggung sekaligus bingung. Bagaimana tidak?! Roh almarhumah istriku dan istriku yang sekarang pasti sedang berada di dalam flat. Aku yakin Kalila juga yang bersama dengan Sasi di restoran itu. Kemungkinan dia tahu tentang Vidya dari Kalila. Apakah aku menjadi penyebab persahabatan mereka rusak?Sejak tadi malam, aku berusaha untuk terjaga. Meski terasa lapar dan haus, tetap saja diri ini enggan beranjak d
SasikiranaApaan sih? Bang Vian mau mengancamku? Jika benar, maka itu nggak akan pernah bisa membuatku kembali ke rumah keluarga Stanley.“Turuti aja kemauan Vian, Sasi,” saran Kalila sebelum aku merespons.Aku menggeleng tegas. “Aku udah bilang sama Mbak, ‘kan?”Kening Bang Vian berkerut bingung ketika aku menjawab perkataan Kalila.“Kamu ngomong sama siapa, Dek?” tanyanya heran.“Bukan urusan Abang,” sahutku ketus seraya berlalu pergi dari hadapannya.Sekarang akan kutunjukkan siapa Sasikirana sebenarnya. Seorang wanita yang berasal dari keluarga miskin, tapi memiliki harga diri yang tinggi. Jika sebel
MelvianoSejak mendapatkan pesan misterius dari nomor tidak dikenal, perasaanku mendadak gelisah. Apa maksudnya orang itu mengatakan Sasi berselingkuh? Benarkah? Rasanya tidak mungkin.Setelah perang batin berjam-jam, akhirnya kuputuskan pergi ke restoran yang dimaksud oleh si pengirim. Bermodalkan jaket hoodie yang kupinjam dari Michael, aku pergi ke tempat tersebut.Begitu tiba di restoran, aku langsung melihat Sasi duduk di kursi paling ujung merapat ke dinding. Ternyata pesan yang kuterima benar, istriku berada di sana. Namun sepertinya dia tidak sendirian, dia tampak sedang berbicara entah dengan siapa. Apakah dia bersama dengan roh sekarang? Mungkinkah Kalila? Aku menjadi penasaran.Beruntung aku meng