Sasikirana
Akhirnya bisa merebahkan tubuh di kasur yang terasa sangat empuk, setelah berjibaku memindahkan barang dari kosan. Untungnya sih nggak banyak, jadi badan nggak sampai remuk. Syukurnya lagi, ada yang bantu angkat-angkat juga jadinya nggak terlalu capek.
“Jam berapa sih dijemput?” tanya Anin yang membantuku sejak tadi malam.
“Sorean sih, jam 16.00,” jawabku masih menikmati tempat tidur yang luas dan empuk ini.
Si Om benar-benar kaya. Apartemen ini saja mewah banget. Kamarnya ada tiga dan berukuran besar. Alat-alat elektronik juga canggih-canggih. Mesin cuci otomatis, kompor pun sama bisa di-setting otomatis, belum lagi yang lainnya.
“Gila ya, calon
Kira-kira Melviano mau ngapain ya? :))
MelvianoAku memandang netra hitam lebar itu lekat. Baru disadari bahwa Sasi mengenakan softlens. Apa sebelum-sebelumnya dia juga memakai benda itu? Aku tidak terlalu memerhatikan, karena kacamata yang sedikit tebal itu sangat mengganggu.Di saat bersamaan, aku merasakan sesuatu mengeras di bawah sana ketika tubuh kami berdekatan. Sial! Ada apa denganku? Kenapa tubuh ini harus beraksi di saat yang tidak tepat? Untuk pertama kali setelah lima tahun, bagian diriku ‘hidup’ ketika bersama wanita.“Pak?” lirih Sasi dengan raut wajah tegang dihiasi semburat merah.Aku langsung melepaskan tangannya dan mundur satu langkah ke belakang. “Kita pergi sekarang,” kataku bergegas menuj
SasikiranaHah? Menikah dua minggu lagi? Belum sempat rasa gugup ini hilang, aku dibuat kaget lagi dengan permintaan dari Ibu Fani, Mama Pak Melviano. Beliau lagi bercanda, ‘kan?“Mama jangan bercanda. Nggak mungkin kami menikah secepat itu,” protes Pak Melviano mewakili isi kepalaku.Aku hanya diam, menutup rapat bibir ini. Biarkan Pak Melviano yang berpendapat, karena diri ini nggak memiliki hak untuk melakukannya.“Mama tidak sedang bercanda, Vian.”Oh, jadi panggilannya Vian, bukan Mel. Haha!“Mama pikir sah-sah saja kalian menikah dalam waktu dekat. Nanti tinggal diberitakan di media kalau kalian berdua sudah lama saling kenal dan memang berencana menikah,&rdquo
MelvianoSetelah mengambil surat perjanjian yang akan ditandatangani, aku kembali lagi ke kamar menemui Sasi. Ah, rasanya tidak percaya melihat dia menerima begitu saja permintaan Mama untuk memajukan waktu pernikahan. Dan … hei, Mama sampai mempersiapkan akomodasi untuk kami berbulan madu. Ck!Jujur, harus diakui. Sekarang aku merasa bersalah kepada Sasi, karena telah melibatkannya dalam pernikahan ini. Meski demikian, ada sedikit kelegaan di hati ketika mendengar penuturannya tadi.“Selagi itu bisa bikin Bu Fani bahagia, saya nggak keberatan.”Aku bisa melihat ketulusan dari tatapan matanya, ketika mengatakan tanggapan tentang Mama. Dia merasa nyaman dan damai ketika disentuh oleh beliau. Paling tidak aku bisa tenang, karena Sasi mungkin bisa menjadi teman untuk Mama yang
SasikiranaTangan ini naik ke atas bersamaan dengan kaki yang meregang ke bawah. Tubuh rasanya ringan banget, kayak mau terbang. Akhirnya bisa tidur nyenyak juga tanpa terbangun tengah malam. Tumben penghuni kosan ini anteng banget. Pengertian kalau aku capek banget habis pindahan.Duh, kok jadi ngawur begini sih? Astaga, aku sekarang nggak ngekos lagi tapi udah tinggal di apartemen punya Pak Melviano.“Pantes aja bisa tidur nyenyak. Apartemen ini steril dari roh gentayangan,” gumamku dengan mata masih terpejam.Apartemen? Bukannya aku masih di rumah Pak Melviano ya? Ya ampun!Mata yang masih berat ini perlahan mengerjap. Pelan-pelan mulai terbuka, meski belum bisa melihat dengan jelas wajah orang yang sedang berbaring di sampingku?
MelvianoAku hanya bisa merutuki diri setelah Sasi meninggalkan rumah satu jam yang lalu. Apa yang sebenarnya kuinginkan? Menuduhnya sengaja menjebakku, sementara aku tahu dia tidak mungkin melakukannya atau menumpahkan kekesalan karena dia berhasil menipuku? Jiwa kompetitifku terinjak, karena telah dikelabui oleh gadis seperti Sasi.Come on, Vian. Sasi atau bukan hasilnya tetap saja, kamu harus menikah dengannya seperti permintaan Mama. Bukannya semua jadi mudah karena memang dia orangnya?“Ko.” Terdengar suara Bi Aya memanggil diselingi ketukan pintu.“Ya, Bi?” sahutku dari dalam kamar.“Madam panggil Koko dan Cici untuk sarapan ke bawah.”
SasikiranaSeketika diri ini tertegun melihat sosok yang berlutut di depan. Apakah dia benar-benar Melviano Stanley yang begitu angkuh dan terkenal kejam itu? Kenapa dia melakukannya dan menanggalkan keangkuhan agar aku nggak membatalkan pernikahan?“Kamu nggak tahu apa-apa tentang saya, Sasi.” Dia masih bersimpuh dengan kepala tertunduk sekarang.“Emang saya nggak tahu apa-apa tentang Bapak. Baru tahu Bapak pengusaha aja waktu ketemu di kantor,” ketusku masih merasa kesal.“Saya sangat sayang sama Mama.” Pak Melviano nggak menanggapi perkataanku barusan. “Hanya beliau yang saya punya setelah Papa dan Kalila pergi.”Pria itu menarik napas panjang sebelum meneruskan kalimatnya. “Mama frustasi de
MelvianoAku mendengar Sasi mengucapkan sesuatu sebelum meninggalkan flat, tapi tidak begitu jelas. Hanya dua kata yang terdengar; cemburu dan dunia. Dia berbicara dengan siapa? Tidak ada orang lagi selain aku di flat ini.“Itu, Pak. Tadi saya bilang,”—dia menjepit bibir sambil mengusap tengkuk,—“apa nggak ada yang cemburu kalau nanti kita menikah. Bapak ‘kan terkenal di dunia bisnis. Pasti banyak yang mau.”Benarkah itu yang diucapkannya barusan? Sepertinya tidak sepanjang itu kalimat yang dikatakannya.Aku menggelengkan kepala. “Kalaupun ada saya nggak peduli. Sebaiknya ki
SasikiranaSungguh nggak pernah menyangka bisa tinggal di rumah mewah kayak gini. Sejak kecil, aku dan Papa hidup di rumah sederhana yang terletak di dekat pantai. Ah, jadi rindu dengan deru ombak, aroma air laut dan melihat matahari terbenam di ufuk barat.Ngomong-ngomong soal Papa, kenapa Papa Pak Melviano nggak pernah kelihatan di tempat lain ya? Apa beliau hanya berada di ruangan itu? Kayaknya sih itu ruang kerja. Kenapa juga roh beliau masih gentayangan di rumah ini? Apa ada sesuatu?Ketika ingin memutar balik tubuh menghadap ke kanan. Tiba-tiba sosok roh wanita berparas pucat muncul di sampingku. Siapa lagi jika bukan Kalila, almarhumah istri dari lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suamiku. Perut terasa diaduk-aduk ketika mengingat kami akan menikah dalam waktu dekat.“Mbak.
MelvianoSatu bulan kemudianRentetan kejadian bulan lalu membuatku tidak bisa bernapas lega. Bayangkan apa yang dihadapi tidaklah mudah. Mulai dari kenyataan Sasi bisa melihat makhluk halus, Tante Diana yang ternyata ibu kandung Sasi, hingga Kalila yang disuruh oleh Om Reino menjadi mata-mata. Belum lagi kematian Papa yang tidak wajar. Mungkin karena itulah roh beliau masih berada di rumah ini.“Kayaknya kita masih punya PR deh, Sayang,” kataku kepada Sasi ketika kami bersiap untuk tidur.“Apa, Bang?” Sasi membuka mata yang sempat terpejam sebentar.“Bantu Papa pergi ke tempat yang seharusnya.”Sasi tampak semringah, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Be
Sasikirana “Aku membesarkanmu agar bisa bermanfaat suatu hari nanti, Kalila.” Terdengar suara serak seorang pria. Siapa itu? Pandanganku beralih melihat dua orang yang duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah. Di mana aku sekarang berada? Rumah ini begitu asing bagiku. Mata menyipit ketika ingin fokus melihat pria dan wanita yang sedang berbicara di ruangan itu. Kalau nggak salah dengar tadi, pria tersebut menyebut nama Kalila. Seketika diri ini terkesiap saat melihat almarhumah istri suamiku duduk berhadapan dengan pria paruh baya, tapi masih tampak gagah. “Maaf, Pa. Kalila nggak bisa lagi meneruskan rencana Papa. Apalagi sekarang sedang hamil,” lirih Kalila dengan kepala tertunduk melihat perut sendiri. “Sudah berapa kali kuperingatkan. Janga
Melviano Tak pernah kubayangkan akan berjumpa lagi dengan Kalila meski melalui perantara Sasi. Mendengar bagaimana cara bicaranya saat ini, sudah jelas almarhumah istriku yang berbicara sekarang. Terutama dari cara Sasi memanggilku ‘Vi’. Rasa rindu terhadap Kalila menjadi terobati meski tidak bisa melihat wajahnya. “Vidya … vidya.” Kalila yang berada di dalam tubuh Sasi berdecak berkali-kali. “Gue heran kenapa sih harus pendam cinta sekian lama, tanpa mengutarakannya?” “Bayangin lo jatuh cinta sama suami gue selama belasan tahun, tapi nggak berani mengatakannya.” Kalila menggigit bibir bawah Sasi. Dia sering begini semasa hidup, menggigit bibir sendiri sebelum meneruskan perkataan. Apa? Vidya sudah lama jatuh cinta denganku? Bahkan dua belas tahun memendamnya dalam hati?
Sasikirana“Sasi gawat!!” Terdengar suara yang nggak asing lagi di telinga beberapa hari belakangan. Siapa lagi jika bukan roh Kalila.Dia datang tiba-tiba ketika aku mempersiapkan diri untuk menerima materi yang diberikan oleh instruktur. Sesuai dengan perkataan Bang Vian, aku disuruh ikut pelatihan manajemen sebelum diberikan jabatan strategis di Liburan.com.“Kenapa sih Mbak? Ngagetin aja,” protesku mengelus dada. Beruntung instruktur sedang keluar sebentar, sehingga bisa berbicara dengan Kalila.Paras Kalila tampak begitu panik. Dadanya naik turun bukan karena bernapas (roh nggak ada yang napas hahaha), tapi seperti menahan marah.“Vidya coba godain Vian. Buruan naik ke lantai lima belas,” suruhnya nggak ten
MelvianoFakta demi fakta tentang Kalila yang belum diketahui membuatku terkejut bukan main. Tak hanya itu, rasa bersalah muncul seketika di dalam hati, menyadari diri ini lengah sampai tidak mengetahui dirinya sedang hamil sebelum kecelakaan terjadi.Belum hilang syok yang dirasakan saat mendengar Kalila hamil, sekarang ada hal lain lagi yang tak kalah mengejutkan. Menurut cerita Sasi, almarhumah istriku itu meninggal secara tidak wajar. Bukan karena kecelakaan tunggal yang merenggut nyawanya, melainkan dibunuh.“Detailnya, Abang bisa tanyakan langsung sama Mbak Kalila nanti. Nanti Abang nggak percaya dengan apa yang saya katakan,” ujar Sasi tadi malam.Sasi menolak untuk menceritakan penyebab pecahnya hubungan persahabatan Kalila dan Vidya. Dia khawatir jika aku tidak percaya de
SasikiranaPagi ini aku dibikin kaget dengan dua fakta. Pertama, Bang Vian yang masih berada di luar flat sejak kemarin siang. Kedua, pernyataan cintanya.Dia mencintaiku? Astaga! Apa aku sedang bermimpi? Jika pun benar, semoga nggak pernah terbangun lagi dari tidur ini.Nggak hanya itu, Bang Vian sampai mengemis agar aku nggak meninggalkannya. Sumpah demi apa, seorang Melviano mengiba dan memohon kepadaku? Sampai mengatakan rela kehilangan harta kekayaan, asal aku tetap bersama dengannya. Seberharga itukah diriku?Setelah melihat kesungguhan suamiku, akhirnya hati ini luluh juga. Kalian tahu kalau aku lemah jika ada yang memelas, ‘kan?Bang Vian melangkah
MelvianoBagai orang bodoh, aku menunggu Sasi di depan flat yang dulu ditempati oleh Kalila. Ternyata istriku ada di sini. Sudah pasti roh almarhumah istriku yang membawanya ke sini, karena Sasi tidak kenal dengan keluarga Kalila.Jujur, situasi seperti ini membuat canggung sekaligus bingung. Bagaimana tidak?! Roh almarhumah istriku dan istriku yang sekarang pasti sedang berada di dalam flat. Aku yakin Kalila juga yang bersama dengan Sasi di restoran itu. Kemungkinan dia tahu tentang Vidya dari Kalila. Apakah aku menjadi penyebab persahabatan mereka rusak?Sejak tadi malam, aku berusaha untuk terjaga. Meski terasa lapar dan haus, tetap saja diri ini enggan beranjak d
SasikiranaApaan sih? Bang Vian mau mengancamku? Jika benar, maka itu nggak akan pernah bisa membuatku kembali ke rumah keluarga Stanley.“Turuti aja kemauan Vian, Sasi,” saran Kalila sebelum aku merespons.Aku menggeleng tegas. “Aku udah bilang sama Mbak, ‘kan?”Kening Bang Vian berkerut bingung ketika aku menjawab perkataan Kalila.“Kamu ngomong sama siapa, Dek?” tanyanya heran.“Bukan urusan Abang,” sahutku ketus seraya berlalu pergi dari hadapannya.Sekarang akan kutunjukkan siapa Sasikirana sebenarnya. Seorang wanita yang berasal dari keluarga miskin, tapi memiliki harga diri yang tinggi. Jika sebel
MelvianoSejak mendapatkan pesan misterius dari nomor tidak dikenal, perasaanku mendadak gelisah. Apa maksudnya orang itu mengatakan Sasi berselingkuh? Benarkah? Rasanya tidak mungkin.Setelah perang batin berjam-jam, akhirnya kuputuskan pergi ke restoran yang dimaksud oleh si pengirim. Bermodalkan jaket hoodie yang kupinjam dari Michael, aku pergi ke tempat tersebut.Begitu tiba di restoran, aku langsung melihat Sasi duduk di kursi paling ujung merapat ke dinding. Ternyata pesan yang kuterima benar, istriku berada di sana. Namun sepertinya dia tidak sendirian, dia tampak sedang berbicara entah dengan siapa. Apakah dia bersama dengan roh sekarang? Mungkinkah Kalila? Aku menjadi penasaran.Beruntung aku meng