Menjelang pagi hari Rani sudah bangun saat mendengar suara azan subuh. Adi masih tertidur pulas tepat di samping nya. Mungkin terlalu lelah bekerja lembur sampai menjelang pagi.
Setelah mengambil air wudu bergegas pergi ke kamar lagi membangunkan suami. Menggoyangkan tubuh Adi perlahan. Respon hanya menggeliat lalu berpindah posisi. Rani kembali menepuk punggung suami dengan pelan. Tapi, diam tidak merespon apapun.
"Mas Adi, kenapa tidak bangun saat mendengar azan? Oh, mungkin terlalu capek karena lembur." Rani menganggukkan kepala perlahan lalu kembali menepuk tangan suami lebih kencang.
"Ganggu orang tidur saja! Aku ngantuk sekali, Rani!" Adi menutup wajah dengan bantal lalu kembali tidur.
Rani tersentak sembari memegang dada. Raut wajah sedih dengan kerutan di sekitar alis. Tidak menyangka sama sekali kalau pria yang kini menjadi suami nya tidak bangun saat mendengar suara azan subuh. Padahal setahu Rani, Adi salah satu pria yang saleh dan selalu bergerak cepat mengambil air wudu saat waktu salat sudah tiba.
Rani bergeming dalam sekejap. Tatapan netra lurus ke arah punggung suami yang belum ada satu menit membentak dirinya secara halus. Perasaan kaget dan sedih melebur satu menjadi gumpalan kekecewaan.
"Aku salat sendiri saja." Rani beranjak berdiri mengambil posisi salat. Sebelum membaca niat salat kembali menengok ke belakang.
"Ya Allah, semoga aku tidak salah memilih imam dalam keluarga baru ku ini dan aku segera menemukan perempuan lain yang menjadi selingkuhan suami ku, " batin Rani sambil menatap Adi yang masih tertidur pulas.
Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30. Rani menyiapkan makan pagi di meja makan. Menu yang tersaji cukup lengkap dengan teh hangat memenuhi dua cangkir berbahan kristal.
Adi keluar kamar dengan muka bantal. Masih memakai pakaian tidur panjang berjalan menuju kamar mandi. Rani mengintip suami dari balik tirai hijau manik-manik.
"Astagfirullah, dari tadi Mas Adi ternyata baru bangun." Rani sedikit kesal menyusul suami ke dalam kamar.
Adi memakai sarung dan berdiri tegak. Tangan terangkat ke atas bersiap untuk salat. Namun, Rani dengan cepat menegur.
"Mas Adi, baru salat subuh?" Rani bengong dan sangat terkejut. Adi menurunkan tangan lalu ikut terkejut menoleh cepat ke belakang.
"Iya, aku capek sekali karena lembur tadi malam dan aku juga tidak mendengar suara azan, Rani," terang Adi sambil nyengir.
Rani menghampiri suami perlahan dengan kedua tangan sedikit mengepal. Sangat wajar apa yang dirasakan Rani. Terkejut dan sama sekali tidak menyangka orang yang diagung-agung kan menjadi panutan justru sebaliknya.
"Ini jam berapa? Mas, gak malu sama ayam jago tetangga yang lebih dulu bangun dan berkokok? Rani, sudah membangunkan Mas Adi berkali-kali." Rani sedikit menaikkan nada bicara.
Adi hanya diam sesekali melirik ke wajah tegas istrinya. Menunduk sambil mendengarkan semua ocehan yang keluar dari mulut istri. Pasrah dan mengaku bersalah di dalam hati.
"Iya, aku minta maaf." Adi masih menunduk sambil sesekali masih melirik ke Rani.
Rani menghela napas panjang. Lalu membalikkan badan berlalu meninggalkan Adi. Perasaan jengkel dirasakan oleh Rani. Tidak menyangka suami yang menjadi imam untuk seumur hidup bisa terlambat bangun untuk salat.
Sekilas teringat sosok Raka yang selalu tepat saat mengerjakan salat dan ramah sekali ke Rani. Bahkan, Bapak juga sangat menyayangi Raka.
"Ah, dulu juga Mas Adi selalu salat tepat waktu. Tetapi, sekarang sudah tidak seperti dulu dan berbeda. Mungkin dulu hanya pencitraan." Rani mengeluh kesal duduk di meja makan.
"Rani, makan yang banyak! Jangan sampai kamu menggigil seperti kemarin." Adi mencolek dagu Rani yang halus.
"Mas, kalau kerja harus ingat waktu! Gak boleh seperti itu! Sayangi kesehatan mu! Kamu sudah tidak muda lagi!" Rani sedikit menaikkan nada bicara.
Wajah Adi terlihat sangat kesal sambil menunduk ke layar ponsel. Tangan kiri menggenggam sambil mengetik sesuatu di ponsel. Rani tampak sedikit takut melihat wajah Adi.
"Diam kamu! Cerewet!" Adi mengambil selembar roti tawar dan selai cokelat di dekat Rani.
Mulut Rani melongo cukup lebar dengan netra yang ikut membulat. Sama sekali tidak mengedipkan netra. Tatapan lurus ke wajah suami yang nampak kesal dan emosi.
"Mas Adi?" Rani terbata-bata memanggil satu nama dengan netra mulai hangat.
Adi masih sibuk menatap ponsel. Dahi berkerut dan wajah mulai merah. Seperti menahan amarah tetapi sungkan untuk diluapkan.
"Mas Adi, seperti nya marah karena aku nasihati," batin Rani sembari memainkan sendok di tangan.
Tidak berselang lama Adi bangkit dari kursi lalu berlalu meninggalkan Rani. Wajar jika Rani terkejut untuk kedua kalinya. Reflek ikut berdiri dengan tangan mengepal.
"Mas Adi, kenapa terburu-buru? Ini baru jam berapa? Kamu juga tidak pamit sama aku?" Rani menarik lengan suami.
Langkah Adi seketika terhenti menghadap ke wajah Rani. Suami istri itu bertatapan beberapa detik tanpa keluar sepatah kata. Adi melepas tangan Rani agak kasar lalu kembali berjalan.
Rani terpaku diam menatap Adi hilang dari pandangan mata. Mata mulai basah diselimuti banyak kecurigaan ke suami. Berjalan cepat menyusul Adi. Mengetuk pintu kaca mobil agak kencang.
"Ada apa?" bentak Adi sambil melotot.
"Kamu kenapa mendadak berubah? Tadi malam kamu sangat manis. Lalu kenapa pagi ini menjadi kasar sama aku?" tanya Rani memegang punggung tangan Adi.
Rani memejamkan mata sambil menunduk sangat dalam. Teringat kembali pesan Bapak untuk menikah dengan Adi karena sosok seperti Adi sangat langka untuk didapatkan. Apalagi umur Rani juga sudah tidak muda lagi. Ejekan perawan tua selalu membayangi diri nya waktu sebelum menikah dengan Adi.
"Dan sekarang hidup ku jauh lebih menderita setelah menikah dengan Mas Adi," batin Rani sangat sesak dan perih.
"Aku mau kerja! Aku sudah terlambat! Perkara salat saja menjadi masalah besar buat kamu! Persetan kamu, Rani!" Adi membentak Rani cukup keras.
"Astagfirullah, Mas Adi!" Rani balik membentak suami.
Adi membuang muka sambil mendengus kesal. Sama sekali tidak peduli dengan semua yang dikatakan Rani. Sebaliknya, Rani tidak berhenti selalu menyebut nama Allah SWT di dalam hati.
"Mas Adi, ini sifat asli mu? Adi yang dikenal saleh, alim, tidak neko-neko itu seperti ini wujud asli nya?" sindir Rani dengan muka penuh amarah.
"Makin lama cerewet sekali si Rani! Beda dengan Citra. Sangat jauh berbeda. Aku menjadi menyesal sudah menikahi Rani," batin Adi menahan amarah di dalam dada.
"Aku hari ini pulang malam! Kamu tidak usah menunggu! Makan sendiri dan tidur sendiri saja!" Adi perlahan menutup kaca mobil. Sama sekali tidak menoleh ke Rani.
"Aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Dan kamu sebagai suami harus juga tahu apa yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan!" Rani berlalu masuk ke dalam rumah. Menutup pintu rumah sangat kencang.
"Apa maksud perkataan Rani?" Adi mengerutkan dahi sembari mengelus dagu berulang kali.
"Mas, aku yakin sekali kalau kamu menerima pesan dari wanita itu. Ada ucapan yang dia katakan hingga membuat kamu marah. Aku harus mencari tahu siapa perempuan yang sudah menjadi benalu di pernikahan kita," ucap Rani seraya duduk tertegun di sofa ruang tamu.
"Aku harus bagaimana?" Rani kalut sekali. Sama sekali tidak bisa berpikir jernih.Rani berlari naik ke lantai atas. Mengeluarkan tas besar dan koper kecil dari dalam kamar. Berjalan cepat menuju pintu keluar. Langkah terhenti beberapa menit. Memejamkan mata dengan hati yang sangat terasa sesak."Mas, aku pamit. Mungkin semua sudah selesai sampai di sini." Rani membalikkan badan perlahan dengan air mata yang menetes di wajah penuh kesedihan.Hanya beberapa langkah saja kembali berhenti. Duduk termenung di teras rumah. Sudah tidak mampu dan tahan lagi. Rani menangis cukup kencang sembari memukul tas besar di samping kaki kiri nya."Dia belum tentu mencari ku kalau aku pergi dari rumah ini," lirih Rani sambil membuka mata perlahan. Terasa sangat berat karena sepasang mata indah itu dipenuhi air mata."Kalau aku pulang, Bapak pasti curiga kalau keadaan ku menyedihkan seperti ini," lanjut Rani menjadi semakin ragu.Rani paling tidak bisa kalau menyembunyikan kesedihan di depan Bapak. Seber
"Rani, tatap mataku!" Adi memegang perlahan dagu Rani hingga menoleh ke arahnya.Rani betah menunduk. Sementara Adi menatap dalam mimik wajah Rani. Adi mengedipkan mata berkali-kali. Sangat jelas sekali kalau Rani sangat sedih. Menurunkan tangan perlahan ke bawah. Memalingkan muka dari Rani dalam sekejap."Silakan kalau mau pulang ke Solo! Aku tidak akan mencegah kamu. Lagian juga kamu sudah terlihat sangat siap dengan tas yang terisi semua bajumu," ujar Adi penuh pasrah dan napas berat.Adi menoleh ke tas besar yang membuat hatinya sedih. Berlalu begitu saja meninggalkan Rani sendirian di bawah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu menutup sangat kencang."Astagfirullah, aku sudah membuat suamiku marah. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Sebab aku memang sedang tidak baik-baik saja. Bapak, Rani minta maaf!" Rani duduk lemas di kursi sudut ruang tamu."Mas Adi, aku tidak akan pernah melepas kamu begitu saja. Aku harus bisa menemukan perempuan lain yang menjadi sandaran hatimu di lu
Suasana sangat mencekam terasa sekali kala malam itu. Suara Adi masih terasa menggema di lingkup dalam rumah. Rani meremas ujung hijab hingga kusut. Sekilas teringat kembali noda merah bekas perempuan yang tega menjadi perusak rumah tangga mereka."Apa tujuan mu menikahi aku, Mas?" Terdengar suara serak yang keluar dari bibir Rani yang sedikit terkelupas.Adi terdiam tak mengerti maksud istrinya. Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu untuk dipertanyakan lagi. Entahlah, Adi semakin pusing dan bingung.Berpikir lagi mencerna kata yang dilontarkan Rani sedikit demi sedikit. Namun, tetap tidak menemukan jawaban."Kenapa cuma diam?"Adi mendekati Rani perlahan. Pelan sekali. Rani mundur satu langkah ke belakang saat Adi maju selangkah ke depan. Tidak sadar bagian tubuh Rani bagian belakang sudah menyentuh jendela kamar."Mau ke mana lagi kamu, Ran? Masih mau jalan mundur?" Adi menyeringai kesal.Rani menoleh ke belakang. Pemandangan di bawah hanya rerumputan hijau yang terlihat sangat ter
Adi masih serius berbicara lewat telepon. Sangat lama sekali hingga membuat Rani mengerutkan kening. Berdiri lalu kembali duduk. Berulang terus dan Rani merasa semakin lelah. Namun, suami tak kunjung kembali."Mas Adi, kenapa lama sekali?" Rani bertambah panik. Tidak munafik ada rasa cemburu dan curiga yang semakin tebal."Apa aku menyusul ke depan saja, ya? Tetapi aku canggung," lirih Rani memegang dada yang semakin berdebar.Rani kembali duduk diselimuti perasaan yang tidak enak. Sama sekali tidak enak. Pandangan tidak lepas dari jam dinding. Pikiran semakin tidak karuan.Rani mengayunkan kaki setengah tidak yakin. Baru dua langkah kembali duduk. Membuang napas kasar sekilas teringat noda merah di kemeja Adi."Enggak! Kalau aku mendengar Mas Adi bicara mesra di telepon. Ah, tidak! Mending aku diam di sini saja. Aku gak mau tambah terluka," ujar Rani sesekali menoleh ke pintu kamar yang sedikit terbuka.Tak lama kemudian Adi masuk lalu menutup pintu kamar. Rani menunduk sibuk memaink
Rani mengusap air mata dengan kedua tangan. Menarik tas koper besar keluar dari kamar. Tidak sengaja Adi mendengar suara pintu kamar yang menutup."Aduh, semoga Mas Adi tidak dengar."Rani berjalan sangat pelan menuruni anak tangga. Sangat pelan sekali sesekali menengok ke belakang. Khawatir jika Adi mendengar langkah kakinya."Sepertinya aman. Bismillah, semoga aku sampai rumah dengan selamat," ucap Rani sambil memejamkan netra seraya berdoa.Rani berjalan seperti biasa dengan tentengan tas besar dan tas kecil di kedua tangan. Hati rasanya sakit sekali dan masih tidak percaya kejadian yang dialami banyak perempuan di luar sana bisa menimpa rumah tangganya sendiri."Mau ke mana kamu?" Langkah Rani mendadak terhenti. Jelas sekali kalau yang didengar adalah suara Adi. Dada berdebar dua kali lipat lebih cepat. Tidak mampu dan berani untuk menengok ke belakang.Adi masih diam berdiri melipat tangan di depan dada. Sorot mata Adi nampak menakutkan diiringi dengan bibir yang bergetar. T
Rani bergegas lari saat tahu Adi mendekati dirinya. Berlari tanpa melihat ke arah depan. Cemas sekali karena Adi berlari mencoba meraih tubuhnya."Rani! Tunggu! Jangan lari!" "Berhenti! Jangan ikuti aku!" Rani berteriak sambil terus berlari.Rani sama sekali tidak menghadap ke depan. Adi terus mengejar tanpa peduli orang di sekitar. Padahal hampir semua orang memerhatikan tingkah polah mereka. Suasana mendadak ikut riuh. Adi dan Rani seolah sudah tidak peduli lagi."Aduh! Sakit!" teriak Rani cukup keras."Rani!" Adi berteriak saat melihat Rani tersandung hingga tersungkur ke jalanan.Adi sigap membantu berdiri. Namun, dengan cepat Rani menangkis agak kasar. Kedua tangan Adi refleks terangkat ke atas. Rani berdiri sempoyongan sendiri tanpa bantuan suami. Pandangan Adi menyapu sekitar. Banyak orang yang berbisik dan sibuk melihat istrinya."Rani, ayo masuk ke mobil!""Aku gak mau! Aku mau pulang ke Solo!" teriak Rani menyingkirkan tangan Adi.Adi masih menoleh kanan dan kiri. Semakin
Tubuh Rani seolah kaku dan tidak dapat bergerak sedikit pun. Selang beberapa detik dari ujung rambut hingga ujung kaki terasa bergetar dan bulu kuduk berdiri. Berusaha sekuat tenaga melepas pelukan Adi tetapi tidak berhasil. "Rani, jangan bergerak! Ada Bapak di belakang. Beliau tersenyum melihat kita." Adi berbisik sangat pelan di telinga istrinya.Rani menjadi lemas seketika. Tidak ada kekuatan untuk menolak dan mendorong tubuh suami ke belakang. Dia hanya bisa pasrah dan menerima semua perlakuan Adi."Bagus. Bapak, mulai berjalan ke sini. Kamu tetap diam, ya."Sedikit memiringkan kepala sama sekali tidak ada keberanian untuk menoleh ke samping atau bahkan ke belakang. Adi masih erat memeluk istrinya dengan hati berdebar kencang. Mencium aroma wangi Rani dan tanpa sadar memeluk lebih erat sambil memejamkan mata.Rani serasa mati rasa sudah tidak bisa membedakan mana pelukan dan jantung berdebar karena Bapak. Hanya diam dan terpaksa dipeluk suami sangat kencang. Sengaja dilakukan ag
"Jangan mendekat! Aku bilang jangan mendekat!" teriak Rani mundur ke belakang.Adi terus mendekati Rani penuh tatapan menjijikkan bagi Rani. Baru pertama itu melihat wajah pria yang sangat menyebalkan dan membuat Rani ingin muntah."Rani, sini Sayang! Ayo, ke sini? Ke pelukanku, Sayang," rayu Adi seraya mengedipkan mata genit ke istri."Mundur! Jangan macam-macam!" Rani menabrak sesuatu benda keras di belakang. Dia meraba penuh getaran. Ada dinding di belakang Rani. Terpojok di sudut ruangan kamar. Adi tambah semangat untuk lebih mendekat karena nafsu."Diam kamu, Sayang! Ayolah, sini aku peluk.""Jangan!" Rani berteriak sangat kencang."Rani, ada apa? Kenapa kamu teriak?" Adi bergegas berdiri mendekati istri.Pundak Rani naik turun memburu sangat cepat. Sangat susah mengatur napas. Meraba dada seraya berdiri di dekat jendela. Mengelap kucuran keringat dingin yang membasahi seluruh wajah."Kamu kenapa?" tanya Adi sangat panik.Rani masih sibuk mengatur napas. Memberi tanda ke suami s
Tidak lama guyuran air hujan turun perlahan. Rani masih betah duduk di tengah terpaan air dingin. Meratapi semua luka dan kepedihan yang tertahan sangat lama.Hanya berharap suami bisa kembali dan rumah tangganya baik-baik saja. Tapi apa? Kenyataannya nihil dan tidak berbuah apapun."Ya Allah, apa tidak bisa rumah tanggaku seperti dulu lagi?" Teriaknya di bawah air hujan yang semakin dingin.Berselang cukup lama memilih masuk ke dalam rumah. Berjalan tertatih merasa sangat hampa dan kosong. "Benar kalau Mas Adi tidak akan pulang lagi. Ini sudah hampir pagi. Sampai kapan aku kuat?"Rani bolak balik dari ruang tamu ke teras depan. Saat galau memikirkan suami yang diharapkan berubah, tapi sia-sia.***Ruangan tidur terlihat sepi dan sunyi. Padahal sinar mentari sudah menembus jendela kamar. Rani masih terlelap di antara bantal dan selimut tebal putih. Nampak wajah letih dan sangat pucat.Namun, tidak ada sosok Adi yang ada di sampingnya. Kosong dan tanpa siapapun di sana. Rani duduk pel
Rani terpaku diam hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai memenuhi mata indahnya. Sama sekali tidak membalas pelukan yang detik itu terjadi."Rani?""Ya Allah, apa maksud Mas Adi melakukan semua ini? Apa mungkin suamiku sudah putus dari pacarnya?""Ran, kok diam?" Adi sedikit mengguncang tubuh mungil itu."A-aku gak papa kok, Mas. Kaget aja kamu tiba-tiba meluk aku."Adi tersenyum lalu menurunkan tangan perlahan. Menatap indah wajah istri di depannya. Lalu membalikkan badan melihat penampakan foto pernikahan di dinding kamar. "Kita bahagia ya, Ran?"Rani masih terhanyut dalam kebimbangan dan rasa bingung yang menumpuk di dada saat itu. Kurang memerhatikan omongan suami.Sementara itu Dika masih kaget seraya memegang dada yang berdebar sangat cepat. Berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membasahi wajah gantengnya."R-rani, pelukan sama suaminya. Kenapa bisa terjadi?" Dika mencoba mengatur napas dan berpikir lebih jernih lagi. Dahi berkerut dengan irama napas yang memb
"Dika, please! Kamu kenapa sih, Dik? Kenapa kamu lihatin aku terus?" Batin Rani sama sekali tidak berkedip.Dika dan Rani terhanyut dalam suasana yang hening dan dada kompak berdebar sangat kencang. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rani sama sekali tidak menyadari dengan status istri detik itu."Rani, aku...aku..."Rani refleks berdehem lumayan kencang lalu menunduk merasa salah tingkah sekali. Sesekali melirik Dika yang lebih dulu memalingkan muka."Dik, a-aku mau pulang sekarang. Bisa antar sekarang atau kamu masih mau di sini?" Rani menoleh ke Dika lalu kembali menunduk."Oh, i-iya. Aku habiskan minumanku dulu terus baru aku antar pulang."Cukup berselang lama mereka hanya diam tanpa berkata atau mengobrol. Pandangan mereka lurus ke depan dan sangat canggung. Padahal kedua sahabat itu biasa bercanda dan ngobrol hingga lupa waktu."Ya Allah, kenapa jadi canggung kayak gini? Dika, juga dari tadi diam." Rani sedikit melirik lalu lihat ke depan lagi."Ran, kita pulang se
Tatapan Adi semakin tajam melihat tingkah Citra yang aneh dan senyum sendiri. Tidak butuh waktu lama merebut ponsel yang ada di dalam tas."Mas, apa-apaan sih kamu! Lihat ini! Semua jadi jatuh berantakan kayak gini!"Pandangan Adi kaget melihat semua barang di dalam tas jatuh tersebar di atas lantai. Citra jongkok perlahan mengambil satu per satu sedikit kasar.Tangan kanan gesit meraih ponsel lalu dimasukkan ke dalam tas. Lalu berganti dengan barang yang lain. Nampak sekali wajah sangat kesal dengan bibir mengerucut sempurna."Mas, kamu kenapa kasar sekali! Semua sampai jatuh kayak gini!""Kamu pikir aku akan minta maaf?"Citra menoleh kesal ke belakang. Bibir bergetar menahan amarah yang sudah memuncak. Adi masih santai memalingkan wajah."Bos, permisi! Saya besok gak masuk kerja! Malas lihat tampang membosankan Anda!" Citra sengaja membenturkan pundak kiri ke pundak kanan bosnya.Adi menarik tangan Citra hingga tersentak ke belakang. Pandangan sama sekali belum pernah dirasakan Cit
Adi tidak cepat menjawab pertanyaan Citra. Masih diam dengan pikiran yang terlempar ke masa lalu. Dahi berkerut sedikit lelah merasa hampir putus asa."Mas, aku 'kan tanya. Jawab donk!" Citra melipat tangan di depan dada."I-iya, Sayang. Udah ya, semua itu gak penting lagi. Karena mulai sekarang hanya ada kita.""Kamu ini amnesia atau gimana? Istrimu mau ditaruh di mana? Kamu cerai aja gak mau pakai bilang hanya ada kita!" Nada bicara Citra meninggi.Adi mau tidak mau kembali teringat ke masa lalu yang terpaksa harus diingat kembali. Di tengah lamunan Adi ada wanita yang nampak manyun dan sangat kesal.Flashback..."Rani, kamu mau cokelat atau sesuatu yang segar?""Em, gak usah. Aku bisa beli sendiri."Suasana taman sore hari itu cukup ramai. Udara sejuk dan terpaan sinar mentari senja yang menghangatkan badan. Terlihat dua manusia yang sekilas seperti orang yang tidak saling mengenal."Susah sekali mengambil hatimu, Ran. Aku harus gimana lagi?" Batin Adi yang bersandar pada pohon sam
Citra hanya bisa menghindar dengan wajah kesal. Berdiri seolah menantang Adi tanpa ada rasa takut. Adi terdiam bengong melihat sikap acuh yang ditunjukkan wanita yang ia cintai.Suasana menjadi asing dan sedikit mencekam saat Citra perlahan melepas cincin. Tatapan Adi menjadi melebar dan tidak percaya semua yang dilihat siang itu."Citra? Mau apa kamu? A-aku gak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku mohon p-pakai lagi cincin itu!" Adi berusaha mendekati wanita seksi di depannya.Perkataan Adi seakan hanya menjadi angin lalu saja. Cincin jatuh perlahan ke atas lantai. Netra menutup perlahan seraya membuang muka."Semua sudah selesai!" Citra mundur selangkah lalu membalikkan badan penuh tatapan kecewa."Enggak! Citra! Tunggu! Kamu gak bisa kayak gini! A-aku gak bisa hidup tanpa kamu!" Adi memeluk tubuh mungil dan berisi itu dari belakang.Hati tidak bisa dibohongi. Rasa tidak bisa dipaksakan. Munafik jika tidak merasakan sakit hati. Pria yang diharapkan bisa menjadi suaminya sudah menanam be
"Yang pasti dan harus kamu tahu kalau anak yang aku kandung ini adalah darah dagingmu, Mas!" Teriakan Rani membuat Dika berlari ke depan ruangan Adi.Adi hanya diam mematung. Tatapan tidak lepas dari istrinya yang terengah-engah meluapkan kemarahan. Rani sengaja membiarkan air mata terus menetes tanpa jeda."Aku tidak sudi terlihat lemah di depanmu! Tapi, aku ingin kamu tahu kalau aku sakit dan hancur!" Batin Rani dengan bibir bergetar hebat."Astaga, masalah mereka sangat rumit. Benar-benar rumit. Kasihan sekali kamu, Ran." Dika mengelus dagu. Telinga masih menempel di pintu."Rani, jangan menuduh orang sembarangan! Kamu gak ada bukti!" Adi mulai naik pitam."Apa? Bukti? Kamu ingin bukti apa? Hah! Bilang sama aku, Mas! Mau bukti apa kamu?" Rani terus berteriak di depan wajah Adi.Adi melipat tangan di depan dada seraya membuang muka. Senyuman sedikit takut dengan gertakan istrinya."Kamu berharap punya anak dari perempuan yang kamu cintai? Iya, 'kan?" Rani senyum kesal.Tangan Adi me
Rani hanya bisa diam seraya mengusap tetesan bulir air mata. Dada terasa sesak seraya meremas pelan perut yang sedikit buncit. Sekilas masih rata, akan tetapi dirinya sendiri yang merasa berbeda."Ran, a-aku menolak permintaanmu karena demi kamu juga. Kamu ngerti, 'kan?" Dika memelankan suara menjadi lebih lembut.Pandangan Rani beralih ke wajah Dika yang tampak sekali cemas. Merasa sangat malu dan memilih mengalihkan muka sejenak."Rani, pikir ulang lagi kalau kamu ingin ke sana. Apapun bisa menimpa kamu. Apalagi di dalam kantor itu juga ada pelakor yang merusak rumah tangga kalian."Rani mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Dika. Menarik napas panjang lalu membuang perlahan. Berulang kali hingga merasa sedikit tenang dan nyaman."Iya, aku minta maaf ya, Dik? Aku emosi sekali tadi." Rani menunduk lemas.Senyuman tipis mengembang terlihat sangat tulus. Dika kembali melajukan mobil dengan hati yang cukup tenang."Ran, kalau boleh tahu alasan apa yang membuat kamu ingin ke kan
Rani menitikkan air mata hingga kepala menjadi pusing dan sakit. Memegang kepala sangat kencang sambil menunduk lemas. Dika masih sangat terkejut dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata dari bibir."Coba k-kamu ulangi lagi, Ran? Kamu kenapa?" Dika lebih menatap sahabatnya dan seakan melebarkan telinga."Dik, a-aku gak sanggup kalau harus melanjutkan. A-aku merasa sangat hancur, Dik. Tolong aku!" Rani menutup wajah dengan dua tangan.Dika membuang napas perlahan lalu menyandarkan badan ke belakang. Ikut merasa sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa."Aku jujur sangat bingung. Kamu itu istri sah dari Adi. Dan wajar kalau k-kamu hamil. Bahkan, mungkin Bapak dan yang lainnya juga tidak sabar menimang cucu. Tapi...""Di satu sisi menjadi hal yang sulit kalau kamu ingin lepas dari Adi. Jadi, aku ngerti semua perasaan yang berkecamuk di hatimu, Ran." Dika memijit kening sesekali melirik ke samping."Iya, Dik. Sekarang aku mengandung anaknya Mas Adi. Dan suamiku tidak mau mengaku