Acara lamaran di mulai. Abah Haji sebagai pengganti orang tua Kak Jazil. Mereka beserta rombongan membawa barang-barang pengikat atau disebut peningset. Perbedaan budaya, akhirnya Bapak mengutus Paklek Karno--adik bapak--untuk mendampingi dan mengarahkan rombongan Kak Jazil.Banyak sekali prosesi lamaran ini, yang aku ingat hanya saat Kak Jazil meminta izin untuk menyuntingku kepada Bapak dan aku dimintai persetujuannya. "Iya, saya bersedia," ucapku seraya menatapnya sekilas dan kembali menunduk. Kebahagiaanku tidak bisa diungkap dengan kata. Mata dan hati ini hanya tertuju kepadanya. Aku mengikuti semua rangkaian pernikahan ini.Tiba waktu yang kami nantikan, pengesahan hubungan kami di mata Tuhan dan negara. Tidak disangka, acara akad nikah dihadiri banyak orang. Nama besar Abah Haji ternyata sampai di kota ini, beberapa sahabat dari pesantren di kota ini datang untuk memberikan selamat. Kejadian ini merubah pandangan kerabat dan orang sekitar tentang Kak Jazil. Memang dia tidak
"Dek Ras, aku ke depan dulu, ya. Tidak enak masih banyak tamu dan keluarga. Kasihan Bapak sendiri," ucap Kak Jazil sambil mencolek pipiku. Dia terlihat segar setelah selesai mandi. Aroma segar dari sabun bercampur dengar bau tubuh khasnya membuat jantungku berdebar kencang. "Kak, aku ditinggal sendiri?" Aku dongakkan kepala menatap sejenak, kemudian mempererat pelukanku dengan kepala bersandar di dada bidangnya. Rasa tidak rela ditinggalkan dia, walaupun sejenak.Dia mengecup pucuk kepalaku dan mengurai pelukanku dan berkata, "Dek Laras sabar, ya. Tadi Bapak sudah pesan untuk secepatnya keluar, kalau tidak, aku bisa dipecat jadi menantu!" ucapnya sambil terkekeh. "Tapi, Kak. Aku--.""Giliran kita setelah ini. Nakalnya disimpan nanti," ucapnya mengecup kedua pipiku. "Istirahat dulu, sebelum aku membuatmu menyerah," bisiknya.Mendengarnya perkataannya, aku merasa malu mengerti apa yang dimaksud, sekaligus kesal. Mana ada pengantin wanita ditinggal begadang pengantin pria saat malam p
"Dek Laras .... Dek, bangun." Suara samar terdengar di telingaku. Harum yang aku rindukan semalaman menguar, memaksa mataku untuk terbuka. Wajah Kak Jazil yang tersenyum terlihat segar dengan rambut depan yang agak basah. Aku mengernyitkan dahi, "Kak Jazil ngapain malam-malam mandi?""Sekarang sudah subuh, Dek. Ayo bangun, aku tunggu untuk salat berjamaah," ucapnya seraya mengulurkan tangannya. Aku melirik jam dinding, benar sudah waktunya subuh. "Malamnya sudah berlalu," gumanku kesal tanpa menghiraukan uluran tangannya aku beranjak dari ranjang untuk mempersiapkan untuk salat. Rasa kesal sisa semalam masih lekat di hati, merasa dibiarkan di malam bersejarah ini. Katanya pingin cepet menghalalkan, tapi kenapa setelah halal dibiarkan melewati malam pertama sendirian?Kami salat berjamaah, bacaan Kak Jazil merdu dan menentramkan hatiku. Aku mulai lupa akan kesalku tadi. Setelah berucap salam, Kak Jazil membalikkan badan dan berkata, "Kita langsung salat sunah dua rakaat, ya."Duh, h
Sudah tiga hari setelah penikahan digelar, aku dan Kak Jazil di rumah menemani Bapak dan Ibu yang mengambil cuti satu minggu. Kami tidak diperbolehkan kembali dulu. Alasannya, pengantin baru tidak boleh bepergian jauh dulu. Praktisnya, tidak ada waktu khusus untuk honeymoon, adanya ngumpul bareng nemenin Bapak Ibuk. Kami tahu, sebenarnya keberadaan ini sebagai penawar rindu kepada adikku, Rajasa. Dia tidak bisa cuti pulang karena baru masuk pendidikan kepolisian. Yah, mengalah saja, kami hanya ada waktu berdua saat malam sampai fajar. Kesempatan ini yang kami gunakan untuk begadang. Huss! Jangan tanya ngapain, ya. Ini akibat jamu dari Ibu. Setiap berkumpul, kami selalu diberi wejangan tentang pernikahan. Seperti saat ini, kami makan pagi bersama. "Nak Jazil, tidak boleh ambil makan sendiri," larang Ibu, ketika Kak Jazil akan mengambil nasi. Piring diambil dari tangannya dan di berikan kepadaku seraya berkata, "Laras, ini tugasmu. Jangan dibiarkan suamimu ambil makan sendiri,
Seperti pembekalan saja, Ibu sudah menjadi konsultan pernikahan saja. "Kamu, jadi tidak kerja lagi?" tanya Ibu lagi. Sebelum menikah, memang Kak Jazil tidak memperbolehkanku memperpanjang kontrak magang. Katanya, kerja cari uang itu tanggung suami. "Ya, Bu. Laras sudah pamit ke kantor sekalian memberi kabar akan menikah." "Walaupun tidak kerja, di rumah juga harus bantu usaha suamimu. Kalian harus saling membantu. Itu` disebut MAKARYA. Jangan terlalu kaku, ini tugas suami, itu tugas istri. Pernikahan itu bukan pembagian tugas, memang piket kelas." Ibu tertawa kemudian meneguk tandas minumannya. "Laras juga tidak mau kalau seperti itu, Bu." "Kalau seperti itu, nantinya akan seperti di cerita-cerita itu, lo. Suami pulang kerja tidak mau bantu istri di rumah, karena merasa itu bukan kerjaannya. Jalani pernikahan dengan penuh cinta, sayang, dan pengertian," terang Ibu dengan tersenyum, seperti menikmati indah pernikahan yang dia jalani. "Masih ada lagi, SB2M!" tambahnya membuatku
Waktu liburan sudah habis. Aku dan Kak Jazil kembali ke Bali. Di bandara, Bapak dan Ibu menunggui mengantar kami. Terlihat jelas, Bapak mulai menyayangi Kak Jazil. Sesekali punggung Kak Jazil di tepuk sembari mengucapkan, entah apa, yang aku lihat Kak Jazil mengangguk kemudian memeluk Bapak. Ibu menggenggam jemariku sambil berkata, "Jadi istri yang baik. Anak ibu sekarang, bukan remaja yang seenaknya, dan sudah mempunyai tanggung jawab. Yang rukun dengan suamimu, ya." Mata ibu berkaca-kaca, kemudian memelukku erat. "Anak Ibu sudah besar," bisiknya terdengar serak. Aku usap bahunya untuk meredakan rasa haru yang juga menyelimutiku. Kak Jazil dan Bapak menghampiri kami. Bergantian mencium tangan Bapak dan Ibu. Terakhir Bapak menepuk pundak Kak jazil, kemudian berkata, "Kau sudah menjadi anak kami, jangan sungkan. Bapak dan Ibu adalah orangtuamu. Kalian bahagia, ya."Sambil melambaikan tangan, kami berpisah setelah memasuki pembatas pengantar dan penumpang. Setiba di Bali, kami lang
"Tak jarang, mereka memberi label kami yang bersuamikan bule adalah perempuan pemuja seks. Gila, kan?" serunya sambil tertawa.Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Kebenaran sosial sering kali merujuk pada kekeliruan. Menyamaratakan pandangan yang belum tentu benar."Pandangan orang-orang, laki-laki bule melambangkan kesejahteraan. Kalau kita mempunyai hubungan khusus, berarti dia akan mendapatkan uang dollar yang berlimpah. Apaan! Tuh lihat, banyak kasus mereka meninggalkan anak tanpa memberi nafkah. Syukurlah, Andrew bukan golongan orang seperti itu. Aku dan dia tidak bertemu di sini." "Oya. Maaf, boleh cerita sedikit, Mbak Jasmin. Pasti kisahnya romantis," pintaku sambil menyodorkan minuman dingin. Dia tersenyum menunjukkan lesung pipit di pipi kiri, kemudian mulai bercerita.Mereka bertemu di Canberra, Australia, tepatnya di ANU--Australian National University. Jasmin yang anak pengusaha furnitur di Bali ini, dikirim untuk mendalami managemen bisnis. "Dia kakak tingkatku, kami
Menjadi istri seorang Jazil Ehsan berbeda sekali dengan keseharianku biasanya. Menuntutku untuk cepat beradaptasi.Aku ngotot untuk membantu Kak Jazil bekerja, memegang administrasi. File yang berantakan membuat tangan ini gatal, dan akhirnya Kak Jazil mengerti. Tidak mungkin istrinya hanya berdiam diri, dan seharian menunggu dia selesai bekerja.Kalau dulu, pagi pukul delapan aku harus sudah di kantor dan kembali pulang pukul lima sore, sekarang terserah kita yang mengatur. Ke kantor mulai pukul berapa, suka-suka.Enak, dong?Sudah jadi bos dan bisa semaunya.Tidak!Kalau dulu delapan jam kerja itupun dipotong istirahat, setelah itu merdeka. Sekarang full day, otak tercatat dengan sendiri tentang pekerjaan. Saat mandi, masak, bahkan sebelum tidurpun masih kepikiran kerjaan."Ayo tidur ...," bisik Kak Jazil. Tangannya merangkul pinggangku dengan kepala menyelusup di tengkuk ini. Kalau biasanya, disaat seperti ini, pasti aku langsung melahapnya. Sekarang tidak ingin."Kak .... File unt
"Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik
Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka
“Kita hanya memiliki dua tangan, cukup untuk menutup telinga kita. Tidak perlu membungkam mulut orang lain. Biarkan saja, toh akan mengerti dengan sendirinya.” Itu yang dikatakan Kak Jazil, tadi.Oke, lah, mereka akan mengerti sendiri, tapi kapan? Keburu kepala kita terbakar karena kesal.*Curhat dengan Kak Jazil membuatku bertambah kesal. Seakan tidak menyambut kekesalanku, dia justru memberikan wejangan yang merujuk untuk menyuruhku memaklumi dan lebih bersabar. Memang kalau dipikir ada benarnya, tapi hati ini masih terasa panas.Selebihnya, dia hanya mengangguk dan bersuara, "Hmm ...," atau "He-eh." Seperti tidak ada kata lain atau kalimat dukungan untukku.Ditambah lagi, lima baju yang teronggok di sofa mengingatkan kejadian itu. Ingin aku buang, tetapi sayang. Model dan warnanya aku suka sekali.Dari pada semakin kesal, aku menonton serial drama Korea. Menikmati alur cerita dan penampilan yang membuat mata ini enggan berkedip, bisa mengurai rasa kesal ini. Tentu saja, dengan mem
"Tak usah pusing dengan perkataan orang, Dek. Yang penting kita baik dengan sesama, nyaman hidupnya dan bahagia selalu. Aku tidak pusing dengan mereka, tidak berpengaruh dengan pendapatan," ucap Kak Jazil ketika aku mengadu."Tapi, Kak?"Aku menceritakan kejadian di toko baju itu. Bagaimana kesalnya hati ini saat merasa tidak dianggap. Kak Jazil hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengusap-usap lenganku.“Kak Jazil bicara seperti itu karena tidak ada di sana. Tidak tahu bagaimana kesalnya saat melihat sorot mata mereka yang terlihat menyepelekan. Bahkan terkesan tidak percaya saat dijelaskan. Harusnya Kak Jazil memberlaku, dong. Istrinya diperlakukan seperti itu. Memang mereka pikir aku tidak mampu membeli dagangannya, apa?!,” dengusku kesal.Alih-alih terprovokasi dengan aduanku, suamiku ini justru tertawa terkekeh.“Dek, kalau pengalaman seperti itu, Kakak sudah kenyang. Kamu saja yang bening digitukan, apalagi Kakak yang modelnya santai seperti ini.”“Memang Kak Jazil pernah d
Kejadian tamu dari ibu kota minggu kemarin membuatku berputar otak. Mencari tahu apa yang kurang pada penampilan Kak Jazil. Setahuku ok-ok saja. Mungkin karena penampilkan kami sebagai orang pribumi dan masih berusia muda, sehingga tidak dipercaya mempunyai usaha mandiri seperti ini. Tetap, aku siapkan setiap pagi baju kemeja dan celana kain. Celana cargo, celana tiga perempat, celana jeans, dan kaos tanpa krah aku singkirkan. Sandal jepitpun aku haramkan. Dia harus berpenampilan fashionable, biar terlihat kalau seorang bos. Itu harapanku, walaupun tetap berakhir dengan kaos lengan pendek, pakai sarung, dan peci di kepala dengan rambut terurai. Pastinya dilengkapi sandal jepit kesayangan. "Tak nyaman pakai seperti itu, Dek. Seperti sales saja. Kenapa tidak pakai dasi saja sekalian?" tolak suamiku itu. Huuft! *** Kehamilanku yang semakin besar menuntutku untuk jalan kaki. Ini yang disarankan dokter. Bersama Embuk, aku mengelilingi jalan dekat rumah. Berjajar galeri dan artshop
Dia menyilangkan kaki, menunjukkan kakinya yang putih mulus walaupun mulai berkerut. Di usia yang sudah tidak muda, wanita ini masih cantik dan kelihatan terawat. Alis mata, hidung, bibir, pokoknya semua yang ada tubuhnya seperti tertulis berapa harga yang dia keluarkan. Untuk seumur dia, menggunakan celana super pendek dan atasan tank top, dan riasan mencolok dengan lipstik merah menyala, menunjukkan dia berasal dari komunitas bagaimana.Cantik, sih. Tamu julid, itu kesimpulanku. Permintaannya yang seperti menjebak. Pada umumnya, tamu ditawari minum jawabannya mineral water, teh, atau kopi biasa. Ini minta cappuccino, dan ucapan yang terakhir seperti menyepelekan. “Ya, kalau ada.”Huuft!"Mas dan Mbak, juga cappuccino?" tanyaku ke pasangan itu.Pasangan, yang kata Ardi sempat viral. Mereka menghentikan kesibukan sejenak dan menjawab bersamaan, "Iya. Disamakan dengan Mami Sherin saja."Mereka menunjukkan senyuman kaku, dan kembali berkutat dengan ponsel."Oh, punya mesin capucinno
Perutku semakin membuncit, dan sudah tidak bisa disembunyikan dari baju keseharianku. Kalau ibu hamil lainnya susah makan dan muntah-muntah, tetapi aku malah tidak berhenti makan. Apalagi, Ibu selalu mengirimi makanan kering dari Solo.Tidak hanya aku yang membuncit, Kak Jazil pun begitu. Keinginanku makan ini dan itu, memaksa dia untuk selalu menemani makan. Apalagi rasa malas yang mengusaiku, membuatnya ikut rebahan disampingku karena harus berbagi aroma kecut ketiaknya."Dek Ras, kalau begini caranya, Kakak jadi seperti orang hamil. Ini, perutnya juga saingan. Buncit." Dia menyingkap kaos, terlihat perut yang mulai berlemak, walaupun jejak six-pack masih berbayang."Main surfing dengan Darren, boleh, ya? Badan ini sudah mulai berat." Kak Jazil berdiri di depan cermin, memiringkan badan ke kanan dan ke kiri, sesekali mengelus perut. Kedua alisnya bertaut, seperti menyesali perut rata yang mulai terganti.Aku tertawa dan menghampirinya, mengikuti apa yang dilakukan, pamer perut."
"Bermaksud apa? Kalau laki-laki mencari istri orang?!" teriak Kak Jazil memotong ucapan Mas Januar. Aku langsung menarik lengannya, mencegah dia yang bersiap berdiri. Tangannya yang sudah melemas, sekarang terkepal kembali. "Kak Jaz, sabar. Kita dengar dulu apa yang akan dikatakan Mas Januar," ucapku, tanpa melepas pegangan tanganku."Baiklah! Silahkan. Saya akan dengar!" Kemudian, dia menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Wajahnya masih mengeras pertanda rasa amarah yang belum mereda."Saya ke sini ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian, dan memperbaiki hubungan kita. Juga, akan memberikan ini." Mas Januar mengeluarkan amplop dari saku jasnya, dan menyerahkan kepada kami. Sebuah undangan pernikahan."Saya akan menikah awal bulan depan. Kalau kalian sempat, bisa datang. Tetapi kalau tidak pun, saya minta doanya."Kak Jazil membaca undangan itu dengan mengangguk pelan dan menatap ke Mas Januar. "Maafkan saya yang sudah salah paham. Kamu ke sini membawa bunga, itu yang me
Setelah dari dokter kandungan, hariku pun semakin dikuasai Kak Jazil. Tidak boleh ini dan itu."Ini untuk anakku, Dek." Dia membopongku, kembali ke ranjang. Ini hanya gara-gara, aku naik kursi untuk mengambil cetakan kue di rak lemari paling atas. "Aku, tidak?" protesku. Menatap wajahnya yang semakin tampan dengan rambut pendek. Setelah puas, kemudian menyelusup di ketiaknya, mencari yang aku mulai candui. Bau kecut ketiaknya."Ya, termasuk mamanya juga, Dek," jawabnya kemudian mencium pucuk kepalaku.Saat periksa ke dokter, kami dipesan untuk hati-hati di tri semester awal. Jangan sampai jatuh, karena itu akan berakibat fatal. Ke kantor pun, tidak boleh sehari penuh. Aku hanya diperbolehkan menyuruh, mengawasi dan mengkoreksi. Apalagi, sekarang ada Darren dan pegawai baru, Ardi namanya. Dia saudara jauh Kacong, lulusan dari sekolah kejuruan, jurusan akutansi. Anaknya baik, bisa diajari, nurut dan lucu. Tingkahnya tidak seperti anak laki-laki pada umumnya, sekilas dia lebih bersifa