Kalau tidak demi pengalaman kerja, mana mau berlelah-lelah ke lantai tiga melalui tangga. Lembaran kertas sertifikat bertulis pengalaman kerja, yang aku dapatkan nanti sangat penting. Ini sebagai bahan pertimbangan saat melamar pekerjaan nanti.
Tuntutan administrasi, mencari pekerja yang sudah berpengalaman. Semakin berpengalaman, semakin besar peluang diterima di sebuah perusahaan. Fenomena yang harus diterima, nasib sarjana tergantung dari selembar kertas. Masih diragukan kualitasnya kalau hanya berdasar nilai IPK.
Terdengar aneh memang, mencari pekerjaan diminta pengalaman kerja. Bagaimana nasib fresh graduate seperti aku ini? Akhirnya pasrah menjadi karyawan magang dulu.
"Capek, Mbak?"
Aku melirik tajam dan mendengus pelan, menata napas terengah setelah melewati dua lantai. Bibir kupaksa tersenyum. Bagaimanapun, aku harus bersikap manis walaupun kaki meringis.
"Maaf, ya," ucapnya lagi dengan menyuguhkan senyum termanis. Mungkin dengan begitu, dia berharap mengurangi lelahku, ternyata berhasil. Aku merasa segar kembali.
"Tidak apa-apa. Anggap saja olah raga." Badan kutegakkan, kemudian memaksa kaki melangkah anggun ke meja kerjaku.
Didampingi Pak Lartomo seniorku, kami menggali apa yang dia butuhkan. Dari data yang kami dapatkan, akan dirumuskan langkah apa yang akan diambil.
Ternyata, Jazil mempunyai usaha pengolahan kayu. Dia mengolah menjadi furnitur dan rumah pondok kecil. Pelanggan dari dalam dan luar negeri. Suplai ke beberapa toko, dan Classy Furniture satu dari sekian banyak pelanggan.
"Di gudang ada beberapa tukang, termasuk saya. Saya tukang kayu." Penjelasan ini menjawab penasaranku, kenapa telapak tangannya terasa kasar saat berjabat tangan tadi.
Dia menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan kami. Pembawaannya santai, sesekali melempar guyonan membuat kami tertawa bersama. Jujur, tertawaku bukan karena lucu, namun karena aku tidak mengerti benar bahasa yang dia gunakan.
Yang aku tangkap mereka saling memberitahu kampung asal mereka. Jazil dari Sumenep dan Pak Lartomo dari Situbondo, namun nenek moyangnya juga berasal dari Sumenep.
Mereka menjelaskan kepadaku bahwa orang luar Madura mengenal Sumenep sebagai 'Solonya" Madura. Bahasa yang digunakan di sana bahasa halus dengan tingkatan disesuaikan berdasar lawan bicara.
Mereka saling melempar pertanyaan menggunakan bahasa Madura. Bahkan, Pak Lartomo yang lebih tua usianya memanggil tanpa embel-embel pak. .
Tertinggal, aku yang menoleh bergantian ke arah mereka tanpa tahu apa yang dimaksud. Beruntunglah, mereka asik berbicara. Jadi ada kesempatan memijit betisku yang mulai berdenyut.
"Kita merantau juga nyarek taretan, jangan mengejar uang saja! Kamu mengerti, Laras?" tanya Pak Lartomo menoleh ke arahku.
"Mengerti sedikit. Tapi, banyak tidak mengertinya," ucapku tersenyum kecut.
"Nyarek taretan itu artinya mencari saudara. Orang seperti kami ini, berusaha mencari saudara saat diperantauan. Makanya, saat mengetahui kami berasal dari kota yang sama, kami langsung merasa seperti saudara," jelasnya.
"Kamu harus banyak bertemu dengan Jazil, supaya mengerti kosa kata kami. Ya, kan!" seloroh Pak Lartomo.
Setelah selesai menggali informasi, Pak Lartomo memberiku tugas untuk survey lapangan. Ke tempat usaha Jazil.
"Survey lapangan bersama Bapak, kan?" tanyaku kepada seniorku ini.
"Tidak, kamu sendiri bisa, kan. Kalau hari ini, saya ada meeting setelah makan siang."
Aku mengangguk.
Ini kali pertama pengalaman tanpa didampingi senior. Walaupun sudah terbiasa bertemu dengan client, namun tanpa senior, rasa percaya diriku berkurang. Memang secara keilmuan, aku tidak usah diragukan, semua teori hapal di luar kepala. Namu, kalau menghadapi orang baru apalagi yang tidak seserver seperti yang satu ini, membuatku merasa jengah.
"Larasati ke tempatmu sendiri, apakah tidak keberatan, Jaz? Hari ini setelah istirahat siang. 'Bekna' informasi alamat lengkap," kata Pak Lartomo.
"Iya, Pak Jazil. Sekalian peta ke arah sana. Saya kurang mengerti jalan di sini," tambahku.
Aku belum hafal jalan di sini. Bagiku semua kelihatan sama. Maklumlah, baru lima bulan di kota ini dan setiap hari pulang dalam keadaan lelah. Sudah tidak ada tenaga untuk keluar rumah apalagi keliling untuk menghafal jalan.
Nasib karyawan. Berangkat pagi, pulang sore dan sudah tertinggal ingin tidur saja.
"Bareng kaule saja. Nanti dia bisa kesasar," ucapnya ke Pak Lartomo terjeda sebentar, "sekalian makan siang."
Aku menatapnya kemudian beralih menatap Pak Lartomo meminta pertimbangan. Walaupun, aku tidak mengerti setiap kata yang dia utarakan, tapi aku mengerti apa yang dimaksud. Jazil mengajakku bersama ke tempatnya, sekalian makan siang.
"Ok, sip. Kau siap-siap, Laras!" katanya, kemudian berpaling ke arah Jazil. "Laras ini orang Solo. Dia tidak mengerti bahasa Madura. Lebih banyak kau pakai bahasa Indonesia saja," jelas Pak Lartomo.
Memang Bapak dan Ibu oranya asli Solo. Sedari kecil sampai kuliah, kami tidak pernah keluar dari kota itu. Apalagi, mereka terikat pekerjaan sebagai pegawai negeri. Itulah yang membuatku tidak mengerti bahasa daerah lainnya selain bahasa Jawa.
Setelah menyiapkan form survey dan peralatan lainnya, kamipun berangkat.
"Tidak apa-apa naik motor, kan?" tanyanya tadi.
Aku menjawab, tidak apa-apa. Toh, pulang pergi ke kantor juga menggunakan sepeda motor. Karenanya, kubawa helm yang aku punya. Khusus untuk hal ini, aku tidak suka berbagi dengan orang lain. Bisa jadi, berbagi ketombe bahkan kutu.
Aku terdiam di tempat parkir, melihat dirinya yang mengeluarkan motor dari deretan kendaraan beroda dua. Namun, ini sangat jauh berbeda dengan bayanganku. Sepeda motor yang tidak pernah terlintas dipikiranku.
Beneran, aku harus naik motor seperti ini dengannya?
Duh! Ini di luar bayanganku.
Du--Ducati Scrambler?****
Di depanku, sepeda motor tinggi dengan roda bergerigi yang kelihatan mencolok di tempat ini. Ada tulisan Ducati Scrambler di tangki motor. Nama merk sepeda motor yang kuingat sebagai motor trail berharga MAHAL. Bukan. Bukan harga yang kupermasalahkan. Namun, bagaimana bisa aku berboncengan dengan motor seperti itu, sedangkan aku menggunakan baju kerja? Walaupun aku menggunakan stelan celana panjang, tetapi kelihatan salah kostum. "Ayo, naik!" teriaknya dari balik helm full face yang dia kenakan. Mau tidak mau, aku menaiki motor yang mengerikan ini. "Pegangan, Mbak. Nanti jatuh," ucapnya sebelum melajukan kendaraan ini. Aku pun menuruti Ndesitman ini. Berboncengan di motor Ducati Scrambler ini membuat jarak kami begitu dekat. Bahkan, aroma parfum maskulin seakan menguar di penciumanku. Pelan, kupegang ujung jaketnya, daripada jatuh dan pulang hanya tertinggal nama. Semakin lama, kecepatan bertambah seiring tangan ini mengerat di pinggangnya. Kupejamkan mata, ngeri rasanya. Kami
Perut kenyang, pusing pun hilang. Entah pusingku karena lapar, atau karena ngebut naik motor. Aku tidak paham. Yang jelas, kami melanjutkan perjalanan kembali dengan catatan tidak boleh mengebut. Tapi, saat diboncengnya, aku teringat percakapan memalukan dengannya saat meminta untuk tidak mengebut."Pak Jaz, tolong jangan ngebut lagi, ya. Saya tidak terbiasa," kataku berharap dia mengerti saat kami bersiap di atas motor.Dia lalu tertawa menatapku. "Tenang saja, saya tidak akan mengebut. Saya takut perut saya biru-biru! nanti" "Hah? Kenapa?" tanyaku bingung."Kamu meremas perutku berkali-kali. Kalau tidak percaya, kau periksa dah!" ucapnya sembari akan menyingkap bajunya.Cukup lama bagiku sebelum memproses semuanya. Untuk mencegah niatnya, aku pun segera berteriak, "Stop, Jaz!" Dia terkekeh lagi. "Maaf. Pak Jazil," ucapku setelah sadar bahwa aku hanya memanggilnya nama saja. Bahkan, sampai memegang tangan dia. Pipiku menghangat, malu sekaligus ada desiran aneh di hati ini. "It
Semalaman aku tidak bisa tidur. Apalagi kalau bukan karena Jazil Ehsan. Dia seperti hantu yang muncul saat aku mencoba memejamkan mata. Banyak hal yang menggelitik hatiku. Dia seperti sosok dari habitat yang berbeda denganku. Aku berasal dari keluarga pengajar. Bapak, Ibu, Tante, Om bahkan Nenek, Kakek, semuanya pengajar. Kami terbiasa hidup teratur, berpegangan dengan teori dan menekankan untuk berpendidikan tinggi. Sedangkan Jaz, dia berbeda sama sekali. Dia lebih suka jalan terlebih dahulu daripada disibukkan dengan rencana yang bepedoman dengan teori yang rumit. Bahkan, menurutnya sekolah tidak penting, yang hanya membuang waktu saja. Wah, kalau bilang seperti itu di keluargaku, bisa jadi dijewer ramai-ramai. Lo, kok pikiranku terlalu jauh. Membayangkan dia ada di tengah-tengah keluargaku. Duh! Dia itu unik, lucu, aneh, ngeselin dan pastinya, sekarang membuat mataku terjaga. Perhatian juga. Aku melirik sandal besar yang kuletakkan di rak sepatu. Berjajar bersama alas k
Kemarin, aku dipulangkan sebelum waktu Jum'atan. Di zaman sekarang, masih ada pemuda yang meletakkan kesibukannya demi salat berjamaah di masjid. Sempat aku menolak, dengan alasan bisa menyelesaikan sendiri tanpa dia temani. Targetku, ini harus selesai akhir minggu ini untuk merapikan administrasi saja. Karena masih banyak yang harus dibenahi. Jazil menolak tawaranku. Katanya, dia tidak tega apabila aku bekerja sendirian. Padahal, selama ini dia tidak mengerjakan apapun. Hanya menemani ngobrol sesekali, selebihnya diam duduk dan sesekali tertangkap sedang menatapku. Karenanya, hari Sabtu yang seharusnya hari libur, aku harus datang kembali. Seperti kemarin, dia menjemputku pagi-pagi. Aku sudah menolaknya, karena motorku sudah diantar Pak Satpam hari kemarin. "Ini sudah kewajibanku untuk menjemputmu. Saya tidak mau ada apa-apa di jalan. Kamu begitu penting untukku." Sempat kaget mendengar yang dia katakan. "Maksudnya?" "Iya, penting. Penting untuk pekerjaan. Kalau kamu sakit a
Pertemuan kami untuk pekerjaan, rutin dilaksanakan. Tidak terasa, sudah beberapa minggu kami sering bersama. Sudah ada jadwal hari dan jam berapa untuk Jazil ke kantor, sesuai kontrak yang sudah disepakati. Bedanya, kami tidak melakukan pertemuan di kantor yang terletak di lantai tiga. Tempat di cafetaria lantai dasar. Ini permintaan dari Jazil sendiri. Apalagi alasannya, kalau bukan karena takut naik lift. Pak Lartomo, seniorku terpaksa menyetujui. Bagaimanapun nilai kontrak lebih diutamakan, daripada batal. Jazil mengambil kontrak eksklusive. Selain jadwal yang ditentukan, dia juga mempunyai fasilitas konsultasi kapanpun. Dimanapun, uang bisa merubah aturan. Seperti saat ini, kami berdua di kafetaria. Sejak saat itu, hubungan kami mulai dekat walaupun sekedar rekan kerja. Pembicaraan juga sudah mulai santai dan kecanggungan mulai tiada. Kata saya pun, sudah tergantikan dengan kata aku. Ini kami sepakati, hanya digunakan saat berdua saja. Bahan pembicaraan sekarang tentang kar
"Aku ingin mengenalmu lebih dari sekedar teman dekat. Ijinkan aku memperkenalkan diri ke bapak dan ibu." Ucapan Kak Jazil kemarin malam sebelum mengantarku pulang. Mengejutkan bahkan membuatku tidak bisa tidur semalaman. Setelah pertemuan kemarin yang membahas tentang karyawan, kami pun berpisah setelah makan siang usai. Entah, hari kemarin adalah hari jadi kita atau tak ubah seperti hari sebelumnya. Yang kita sepakati hanya berubah panggilan saja. Dia memanggilku Dek Ras dan aku memanggilnya Kak Jaz. Tentu saja ini panggilan saat di luar kepentingan kerja. "Di tempatku, ini panggilan spesial untuk orang terdekat. Bukankah kita sudah menjadi teman dekat?" tandasnya, mengukuhkan kemajuan hubungan kami. Siangnya memang kami berpisah, tidak ada kabar lagi darinya. Dia disibukkan dengan janji dengan buyer yang datang dari Singapure, itu yang dikatakan saat bilang ingin menjemputku kembali saat sore harinya, tetapi tidak bisa karena kendala ini. Memang, dia bilang sore hari tidak b
Malam ini, aku berdandan lebih rapi. Kak Jaz bilang, kami akan makan malam di tempat spesial. Baju terusan panjang berwarna putih, terlihat santai tapi tetap feminim. Aku pun memintanya untuk menggunakan baju putih. Biar serasi denganku, itu yang aku tekankan. "Aku ingin candle light dinner, seperti yang pernah kamu tunjukkan itu, Dek" ucapnya tadi. Memang pernah, aku menunjukkan foto saat berselancar di dunia maya. Saat tanganku berhenti di sebuah foto romantis, dia ikut berkomentar. "Apa enaknya makan gelap-gelapan. Lebih baik di tempat terang, kelihatan makanannya. Menurutku, ini cara makan orang yang tidak ada kerjaan. Listrik ada, susah-sudah pakai lilin," celetuknya dengan mendekatkan wajah seperti memastikan sesuatu. "Memang tahu ini apa?" "Tahu. Candle light dinner, kan? Bule suka banget makan seperti itu," ucapnya berhenti dan menatapku sesaat, seakan sadar dengan wajah ini yang cemberut, "kamu ingin makan model seperti ini, Dek?" "Tidak!" jawabku kesal. Sekilas aku m
"Dewi Larasati? Maukah kamu menyimpan ini sampai hari itu tiba?" Kata-katanya terngiang terus di telingaku. Sampai bangun tidur pun, masih terasa suasana tadi malam. Suara deburan ombak, bau pantai, bahkan wajahku masih merasakan tiupan angin. Senyumku mengembang tiada henti, begitu juga hati ini. Mungkin berubah menjadi merah muda, warna cinta. Ngaco! Orang seperti kami, bebas mengekspresikan cinta. Tidak bisa terbantahkan oleh teori atau ketetapan apapun. Aku ambil kotak kecil pemberian Kak Jazil. Sengaja aku letakkan bawah lampu tidur, semalaman mataku tidak terlepas dari benda itu. Entah berapa kali kubuka untuk memastikan benda yang tersimpan di dalamnya adalah nyata. Sebuah cincin polos terbuat dari emas. Di dalamnya diukir indah inisial kami. ~DL & JE~ Kepanjangan dari Dewi Larasati dan Jazil Ehsan, itu yang dikatakannya. Inilah yang menyempurnakan senyumku. Tadi malam, Kak Jazil juga menunjukkan kotak yang sama. Bedanya, cincinnya terbuat dari p
"Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik
Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka
“Kita hanya memiliki dua tangan, cukup untuk menutup telinga kita. Tidak perlu membungkam mulut orang lain. Biarkan saja, toh akan mengerti dengan sendirinya.” Itu yang dikatakan Kak Jazil, tadi.Oke, lah, mereka akan mengerti sendiri, tapi kapan? Keburu kepala kita terbakar karena kesal.*Curhat dengan Kak Jazil membuatku bertambah kesal. Seakan tidak menyambut kekesalanku, dia justru memberikan wejangan yang merujuk untuk menyuruhku memaklumi dan lebih bersabar. Memang kalau dipikir ada benarnya, tapi hati ini masih terasa panas.Selebihnya, dia hanya mengangguk dan bersuara, "Hmm ...," atau "He-eh." Seperti tidak ada kata lain atau kalimat dukungan untukku.Ditambah lagi, lima baju yang teronggok di sofa mengingatkan kejadian itu. Ingin aku buang, tetapi sayang. Model dan warnanya aku suka sekali.Dari pada semakin kesal, aku menonton serial drama Korea. Menikmati alur cerita dan penampilan yang membuat mata ini enggan berkedip, bisa mengurai rasa kesal ini. Tentu saja, dengan mem
"Tak usah pusing dengan perkataan orang, Dek. Yang penting kita baik dengan sesama, nyaman hidupnya dan bahagia selalu. Aku tidak pusing dengan mereka, tidak berpengaruh dengan pendapatan," ucap Kak Jazil ketika aku mengadu."Tapi, Kak?"Aku menceritakan kejadian di toko baju itu. Bagaimana kesalnya hati ini saat merasa tidak dianggap. Kak Jazil hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengusap-usap lenganku.“Kak Jazil bicara seperti itu karena tidak ada di sana. Tidak tahu bagaimana kesalnya saat melihat sorot mata mereka yang terlihat menyepelekan. Bahkan terkesan tidak percaya saat dijelaskan. Harusnya Kak Jazil memberlaku, dong. Istrinya diperlakukan seperti itu. Memang mereka pikir aku tidak mampu membeli dagangannya, apa?!,” dengusku kesal.Alih-alih terprovokasi dengan aduanku, suamiku ini justru tertawa terkekeh.“Dek, kalau pengalaman seperti itu, Kakak sudah kenyang. Kamu saja yang bening digitukan, apalagi Kakak yang modelnya santai seperti ini.”“Memang Kak Jazil pernah d
Kejadian tamu dari ibu kota minggu kemarin membuatku berputar otak. Mencari tahu apa yang kurang pada penampilan Kak Jazil. Setahuku ok-ok saja. Mungkin karena penampilkan kami sebagai orang pribumi dan masih berusia muda, sehingga tidak dipercaya mempunyai usaha mandiri seperti ini. Tetap, aku siapkan setiap pagi baju kemeja dan celana kain. Celana cargo, celana tiga perempat, celana jeans, dan kaos tanpa krah aku singkirkan. Sandal jepitpun aku haramkan. Dia harus berpenampilan fashionable, biar terlihat kalau seorang bos. Itu harapanku, walaupun tetap berakhir dengan kaos lengan pendek, pakai sarung, dan peci di kepala dengan rambut terurai. Pastinya dilengkapi sandal jepit kesayangan. "Tak nyaman pakai seperti itu, Dek. Seperti sales saja. Kenapa tidak pakai dasi saja sekalian?" tolak suamiku itu. Huuft! *** Kehamilanku yang semakin besar menuntutku untuk jalan kaki. Ini yang disarankan dokter. Bersama Embuk, aku mengelilingi jalan dekat rumah. Berjajar galeri dan artshop
Dia menyilangkan kaki, menunjukkan kakinya yang putih mulus walaupun mulai berkerut. Di usia yang sudah tidak muda, wanita ini masih cantik dan kelihatan terawat. Alis mata, hidung, bibir, pokoknya semua yang ada tubuhnya seperti tertulis berapa harga yang dia keluarkan. Untuk seumur dia, menggunakan celana super pendek dan atasan tank top, dan riasan mencolok dengan lipstik merah menyala, menunjukkan dia berasal dari komunitas bagaimana.Cantik, sih. Tamu julid, itu kesimpulanku. Permintaannya yang seperti menjebak. Pada umumnya, tamu ditawari minum jawabannya mineral water, teh, atau kopi biasa. Ini minta cappuccino, dan ucapan yang terakhir seperti menyepelekan. “Ya, kalau ada.”Huuft!"Mas dan Mbak, juga cappuccino?" tanyaku ke pasangan itu.Pasangan, yang kata Ardi sempat viral. Mereka menghentikan kesibukan sejenak dan menjawab bersamaan, "Iya. Disamakan dengan Mami Sherin saja."Mereka menunjukkan senyuman kaku, dan kembali berkutat dengan ponsel."Oh, punya mesin capucinno
Perutku semakin membuncit, dan sudah tidak bisa disembunyikan dari baju keseharianku. Kalau ibu hamil lainnya susah makan dan muntah-muntah, tetapi aku malah tidak berhenti makan. Apalagi, Ibu selalu mengirimi makanan kering dari Solo.Tidak hanya aku yang membuncit, Kak Jazil pun begitu. Keinginanku makan ini dan itu, memaksa dia untuk selalu menemani makan. Apalagi rasa malas yang mengusaiku, membuatnya ikut rebahan disampingku karena harus berbagi aroma kecut ketiaknya."Dek Ras, kalau begini caranya, Kakak jadi seperti orang hamil. Ini, perutnya juga saingan. Buncit." Dia menyingkap kaos, terlihat perut yang mulai berlemak, walaupun jejak six-pack masih berbayang."Main surfing dengan Darren, boleh, ya? Badan ini sudah mulai berat." Kak Jazil berdiri di depan cermin, memiringkan badan ke kanan dan ke kiri, sesekali mengelus perut. Kedua alisnya bertaut, seperti menyesali perut rata yang mulai terganti.Aku tertawa dan menghampirinya, mengikuti apa yang dilakukan, pamer perut."
"Bermaksud apa? Kalau laki-laki mencari istri orang?!" teriak Kak Jazil memotong ucapan Mas Januar. Aku langsung menarik lengannya, mencegah dia yang bersiap berdiri. Tangannya yang sudah melemas, sekarang terkepal kembali. "Kak Jaz, sabar. Kita dengar dulu apa yang akan dikatakan Mas Januar," ucapku, tanpa melepas pegangan tanganku."Baiklah! Silahkan. Saya akan dengar!" Kemudian, dia menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Wajahnya masih mengeras pertanda rasa amarah yang belum mereda."Saya ke sini ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian, dan memperbaiki hubungan kita. Juga, akan memberikan ini." Mas Januar mengeluarkan amplop dari saku jasnya, dan menyerahkan kepada kami. Sebuah undangan pernikahan."Saya akan menikah awal bulan depan. Kalau kalian sempat, bisa datang. Tetapi kalau tidak pun, saya minta doanya."Kak Jazil membaca undangan itu dengan mengangguk pelan dan menatap ke Mas Januar. "Maafkan saya yang sudah salah paham. Kamu ke sini membawa bunga, itu yang me
Setelah dari dokter kandungan, hariku pun semakin dikuasai Kak Jazil. Tidak boleh ini dan itu."Ini untuk anakku, Dek." Dia membopongku, kembali ke ranjang. Ini hanya gara-gara, aku naik kursi untuk mengambil cetakan kue di rak lemari paling atas. "Aku, tidak?" protesku. Menatap wajahnya yang semakin tampan dengan rambut pendek. Setelah puas, kemudian menyelusup di ketiaknya, mencari yang aku mulai candui. Bau kecut ketiaknya."Ya, termasuk mamanya juga, Dek," jawabnya kemudian mencium pucuk kepalaku.Saat periksa ke dokter, kami dipesan untuk hati-hati di tri semester awal. Jangan sampai jatuh, karena itu akan berakibat fatal. Ke kantor pun, tidak boleh sehari penuh. Aku hanya diperbolehkan menyuruh, mengawasi dan mengkoreksi. Apalagi, sekarang ada Darren dan pegawai baru, Ardi namanya. Dia saudara jauh Kacong, lulusan dari sekolah kejuruan, jurusan akutansi. Anaknya baik, bisa diajari, nurut dan lucu. Tingkahnya tidak seperti anak laki-laki pada umumnya, sekilas dia lebih bersifa