Malam bersalju terasa begitu hening, juga begitu riuh. Saat semua orang sudah tidur, hanya Jules yang masih terbangun.Dia menunduk untuk melihat Jessie yang ada dalam pelukannya. Jarinya mengelus pelan helaian rambut yang ada di wajah Jessie. Jessie yang tertidur di dalam pelukan Jules sedikit bergerak, tapi tampak sangat nyenyak. Melihatnya, Jules tersenyum, lalu memeluknya dengan erat.Jules jadi teringat dengan momen di Andes dulu, saat Jessie bersikeras menemaninya dengan mengabaikan bahaya yang melanda. Sifat wanita ini selalu membuat orang jadi memedulikannya, baik itu dulu maupun sekarang.Dan justru karena itulah, Jules selalu merasa tidak tenang karenanya.....Di rumah sakit Ibu Kota.Dacia baru terbangun di malam hari. Dia ingin turun dari tempat tidur, tapi ditahan oleh Jerremy. "Jangan bergerak, kamu harus istirahat."Dacia merasa tidak berdaya. "Tapi, aku mau ke toilet."Tanpa basa-basi, Jerremy mengeluarkan pispot dari bawah tempat tidur.Merasa sangat canggung, Dacia m
Yusa mengangguk.Sekitar pukul setengah sembilan, tim penolong tiba di tempat. Mereka meninggalkan lokasi syuting dan sampai di penginapan yang ada di kaki gunung. Melihat mereka, semua kru pun menghela napas lega.Levin berjalan mendekat. "Akhirnya kalian kembali, aku khawatir semalaman."Jessie berdiri dengan tangan di belakang dan berlagak tenang. "Apanya yang perlu dikhawatirkan? Cuma badai salju."Levin malah tertawa. "Aku rasa, kalau suamimu menemani, kamu bahkan tidak takut kiamat, 'kan? "Setelah mereka kembali ke kamar untuk mandi dan mengganti pakaian, semuanya pun menikmati sarapan di restoran.Secangkir air tahu yang hangat membuat jiwa Jessie hidup kembali. Minuman ini sungguh membuat lambungnya terasa nyaman.Pada saat ini, Levin menenteng sarapannya dan duduk di seberang Jessie. Dia memperhatikan sekitar. "Suamimu tidak ikut makan sarapan?"Sambil makan mi, Jessie menjawab, "Dia makannya di kamar, bareng Pak Yusa.""Jessie."Gerakan Jessie terhenti. Begitu menoleh, dia m
Wajah Mutya langsung muram. "Apa hubungannya sama Hiro? Hiro tidak sebodoh itu, bisa suka sama wanita bersuami yang masih tebar pesona di sana sini."Kedua aktris itu cuma tertawa tanpa melanjutkan.Usai makan sarapan, Jessie dan Levin meninggalkan restoran. Keduanya berdiri di depan lift. Setelah orang-orang dari dalam lift keluar, Levin menarik tangan Jessie yang sedang asyik bermain ponsel.Siapa sangka, gerakan ini difoto seseorang. Hingga keduanya masuk ke dalam lift.Sementara itu, di Ibu Kota.Dacia sedang mengunjungi bilik perawatan bayi untuk melihat anaknya. Hatinya terasa meleleh saat melihat sesosok kecil dalam ruang inkubator yang berjarak selembar jendela kaca darinya."Dacia."Dacia menoleh dan tercengang. "Tante?"Claire juga berjalan ke depan jendela. "Anaknya manis ya?"Dacia mengangguk. "Iya, manis."Claire menoleh ke arahnya. "Bisa melihat anak yang dilahirkan adalah momen terindah bagi setiap ibu. Aku rasa, kamu juga merasakannya, 'kan?"Bola mata Dacia bergerak-ge
"Anak nakal, kamu tidak suka?" Claire menyodorkan bayi dalam pelukannya ke arah Jerremy. "Coba sebut nama yang kamu mau ke hadapan putrimu. Kalau dia tertawa, kita pakai nama darimu. Tapi kalau dia menangis, namanya Jennie."Jerremy sedikit ragu. "Masa ... dia mengerti?"Ibunya melambai-lambaikan tangan. "Tidak perlu peduli dia mengerti atau tidak, coba saja."Melihat bayi kecil yang masih merah dalam bedung itu, Jerremy merasa sulit. Sebenarnya dia juga tidak pintar memberi nama untuk anak. Dia pun melihat ke arah Dacia.Dacia tertegun. "Jangan lihat aku, aku juga tidak kepikiran nama yang lebih bagus dari Jennie."Jerremy menyilangkan tangan. "Adik namanya Jessie, si bayi namanya Jennie. Namanya mirip amat, terlalu sederhana."Claire tertawa. "Siapa yang bilang Jennie itu nama lengkapnya? Itu cuma panggilan. Nama lengkapnya sudah kupikirkan, Eugenia Fernando."Jerremy langsung menyela, "Eustacia!"Claire merasa heran.Dacia menekan dahi. "Daripada Eustacia, mending Eugenia. Menurutku
Keesokan harinya, Siska memberikan semua bukti kepada pengadilan. Gugatan seperti perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan pemaksaan cerai tanpa pembagian harta dengan skema menculik anak kandung sendiri diajukan Siska untuk bercerai dengan suaminya.Johnson juga memberikan informasi penting kepada pengadilan, yaitu bukti perencanaan pembunuhan Manuel terhadap istrinya.Hal ini di luar dugaan Siska. Dia tertegun. "Dia ... mau membunuhku?"Johnson mengangguk. "Waktu Ibu jatuh pingsan di rumah Mellisa, Pak Manuel tidak berencana menolong Ibu, melainkan mau mencelakai Ibu dan menghilangkan barang buktinya. Kalau bukan karena ada saksi yang menolong Ibu begitu mendengar keributan, Ibu mungkin sudah tidak di sini sekarang."Siska merasa ngeri. Pria seperti apa yang sudah menjadi suaminya selama ini?Pendampingnya selama ini ternyata ingin membunuhnya demi seorang pelakor.Awalnya, Siska berencana menyerah soal pembagian harta itu. Asalkan bisa bercerai, tidak mendapatkan pembagi
Clara mengimpitkan bibirnya dan berkata, "Tapi, aku duluan yang menyentuhnya."Anak perempuan itu berkacak pinggang dengan sombong. "Aku tidak peduli, aku duluan yang suka sama baju ini. Aku lebih besar darimu, jadi kamu harus mengalah dari Kakak."Saat Clara merasa bingung, seorang wanita mendekati mereka. "Grace, tidak boleh begitu!"Grace menoleh dan berujar, "Ibu, aku duluan yang memilih baju ini, aku suka yang ini!"Cherry merasa tidak berdaya, lalu membungkuk untuk menatap Grace. "Sekalipun begitu, kamu tidak boleh bilang anak ini harus mengalah padamu karena kamu kakak. Ini tidak sopan."Grace menunduk dan memasang wajah cemberut.Cherry melihat Clara. "Adik Kecil, kamu juga suka baju ini?"Clara mengangguk dengan pelan.Cherry tersenyum dan memanggil pramuniaga. "Apa setelan ini ada dua?"Pramuniaga itu menjawab dengan canggung, "Maaf Bu, ini stok yang terakhir."Setelan ini dibuat berdasarkan ide dari dongeng "Gadis Berkerudung Merah". Baru saja dipasarkan, setelan ini langsun
Jodhiva berbalik, lalu tersenyum. "Tante Cherry?"Cherry yang menggandeng Grace berjalan mendekat. "Oh, ternyata Jody."Saat ini, jendela mobil tidak ditutup. Grace melihat Clara yang duduk di dalam mobil. "Itu adik tadi, 'kan?"Jodhiva mengelus kepala Grace. "Grace, kamu kenal Clara?"Grace mendongak menatap Jodhiva. "Clara itu namanya? Tadi kami bertemu waktu aku berjalan di mal bersama Ibu." Kemudian, Cherry menceritakan kejadian tadi ke Jodhiva. Jodhiva menatap Clara dan tersenyum. "Clara hebat." Pujian itu membuat Clara merasa tidak enak hati.Cherry juga tertawa. "Rupanya Clara itu keponakan Dacia? Pantas aku langsung suka waktu melihatnya."Orang-orang di Ibu Kota tahu bahwa Dacia punya seorang keponakan, termasuk Cherry. Tidak disangka, Cherry bertemu dengannya di mal. Mereka cukup berjodoh.Lalu, pandangan mata Cherry mendarat pada Ariel. "Jangan-jangan kamu ini Ariel?"Ariel tercengang. "Tante kenal aku?"Ariel merasa takjub ada yang mengenalnya padahal dirinya baru sampai d
"Ugh ...."Claire Adhitama yang perlahan pulih kesadarannya merasakan sakit kepala yang menusuk. Tubuhnya terasa seperti digilas oleh mobil, ketidaknyamanan pada tubuhnya membuatnya mengernyit. Dia ingin mendorong tubuh yang menimpanya itu, tetapi tidak bertenaga sama sekali.Dalam kegelapan, dia tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Claire hanya mencium wangi parfum Gucci yang khas dari tubuh pria itu.Pria itu tidak bersuara sama sekali. Dia hanya mencumbu leher Claire dengan perlahan ....Pagi harinya.Claire tiba-tiba terbangun.Dia terkejut saat menyadari dirinya sedang berbaring di tempat tidur tanpa sehelai kain pun yang menutupi tubuhnya. Di sampingnya, terbaring seorang pria asing yang membelakanginya.Wajah Claire pucat seketika. Adegan semalam makin jelas dalam benaknya. Ternyata semua itu bukan mimpi!Apa yang telah terjadi?Dia hanya ingat, malam sebelumnya adalah ulang tahunnya. Dia merayakannya bersama Kayla, kemudian setelah minum minuman yang diberikan oleh K