Share

Kembang Desa Milik Polisi Tampan
Kembang Desa Milik Polisi Tampan
Penulis: Rich Ghali

Part 1. Lima Ratus Ribu

Penulis: Rich Ghali
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

[Mis, lu punya uang gak? Gue minjam dong. Lima ratus ribu aja, buar bayar uang kost.] Aku mengirim pesan pada Miska. Berharap kali ini dia dapat menolong. Sebab, uangku telah habis, sementara sewa kost harus segera dibayar. Gajian juga masih dua minggu lagi.

Tidak ada jawaban, sementara pesan centang dua biru. Pertanda bahwa pesan telah dibaca.

Kutunggu selama lima belas menit. Tetap saja tidak ada jawaban dari temanku itu. Sialan memang. Ketika dia butuh, langsung lari padaku. Sementara ketika aku yang butuh, ia seakan lepas tangan.

[Mis, lu punya gak?] Lagi, kukirim pesan sebagai penegasan bahwa aku benar-benar butuh.

Kini di layar tampak keterangan sedang mengetik.

Aku menghela napas lega. Setidaknya ada sedikit harapan bahwa Miska ingin membantu.

[Sorry ya, baru gue bales. Soalnya tadi gue lagi itung-itungan. Uang di tangan gue ada 2 juta. Tapi buat bayar uang kuliah lusa. Paling ini sisa seratus. Mau?]

Aku berdecak kesal. Seratus mungkin cukup membantu, tapi tetap saja tidak bisa menutupi biaya sewa kost.

Aku meraih dompet. Hanya sisa uang receh untuk membeli makan beberapa hari ke depan.

Lagi-lagi aku hanya bisa menarik napas dengan berat. Kukira kerja di kota akan seindah yang kulihat di sosial media. Bisa makan di tempat mewah, bisa jalan-jalan ke mana pun yang diinginkan. Nyatanya gaji yang kudapat hanya cukup untuk sewa kost juga uang makan.

[Lu mau kerjaan gak?]

Lagi, Miska mengirim pesan.

Aku mengerutkan kening. Bukankah ia tahu bahwa aku telah bekerja? Atau mungkin ia ingin menawarkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi? Aku menerka-nerka.

[Kamu punya aplikasi Michat gak?] Lagi, ia mengirim pesan sebelum aku membalas pesan sebelumnya.

[Punya, kenapa?] Aku menjawab.

[Coba kamu open BO.] Ia mengirim pesan dengan kilat.

Aku tertawa miris. Gila! Enteng sekali dia berkata seperti itu. Seakan wanita tidak ada harga dirinya. Tentu saja aku tidak mau. Prinsipku sejak dulu cuma satu. Suamiku tidak boleh mendapatkan bekas lelaki mana pun.

[Gue gak maksa, cuma nyaranin aja. Lu masih perawan ‘kan? Harganya bisa lebih mahal.]

Sejenak aku terdiam setelah membaca pesan dari Miska. Dia hanya mahasiswa, tapi jajannya sangat banyak. Ia juga sering nongkrong di tempat-tempat mewah. Jalan-jalan ke sana ke mari, seperti yang aku impikan. Tidak mungkin jika ia hanya mengendalikan uang kiriman dari orangtuanya yang aku tahu betul mereka tidak sekaya itu.

[Udah pernah nyoba?] Aku menjadi penasaran. Ingin tahu lebih jauh lagi.

Kutunggu beberapa menit, tidak ada balasan. Ah, sudahlah. Tampaknya memang tidak ada harapan.

Aku bangkit dari kasur lantai, bergegas menuju kamar mandi. Ingin membersihkan diri sehabis pulang dari kerja.

Baru saja kunyalakan kran air, ponsel berdering. Ada panggilan masuk, entah dari siapa.

Segera kumatikan kembali air kran, keluar dari kamar mandi untuk meraih ponsel yang masih berdering. Tertulis nama Miska di sana.

Aku mengerutkan kening, bingung. Mengapa tiba-tiba ia menelepon? Namun, tetap saja panggilan itu kuterima.

“Lu mau gak?” Itu kalimat pertama yang terucap dari bibirnya setelah panggilan terhubung.

Aku terdiam beberapa saat. Aku sangat butuh uang, tapi jika harus menjual diri, risikonya sangat besar.

“Din ....” Miska memanggil, membuatku tersentak dari lamunan singkat.

“Ya gue gak maulah. Kayak gak ada jalan lain aja.” Aku menjawab dengan cepat, juga tegas.

“Emang lu punya jalan lain?”

Pertanyaan Miska membuatku terdiam kembali. Dia benar, aku tidak punya jalan apa pun. Jalanku telah buntu, itulah sebabnya aku mencari pinjaman ke sana kemari. Namun, tak kunjung mendapatkan jalan.

“Gue punya kenalan, kalau lu mau gue bisa ajak lu buat ketemu dia. Tadi gue sambil negosiasi. Dia mau bayar 500 ribu, soalnya lu belum pernah dipake.”

Aku tertawa hambar. Nominal yang Miska sebutkan terlalu kecil untuk harga sebuah keperawanan. Yang benar saja harganya semurah itu? Kupikir nominalnya bisa lebih besar.

“Gimana? Dia minta deal ini.” Miska kembali meminta persetujuan.

Aku menarik napas dalam. Tidak bisa berpikir lebih lama, langsung mengiyakan. Tidak ada pilihan lain, aku sangat butuh uang.

“Yasudah. Entar gue jemput, sekarang lu siap-siap.” Miska terdengar senang.

Aku hanya mengangguk meskipun kutahu ia tidak bisa melihat. Panggilan terputus setelahnya. Kulempar ponsel ke kasur, lalu bergegas menuju kamar mandi.

***

Klakson motor terdengar berbunyi beberapa kali di depan pintu kost. Aku bangkit berdiri, berjalan menuju pintu untuk membukakan.

Tampak Miska telah siap dengan setelan yang menurutku sangat terbuka. Ia mengerutkan kening melihat tampilanku.

“Mau kondangan lu?” Miska berkomentar.

Aku mengigit bibir bawah. “Ada salinan di dalam tas. Gue gak nyaman kalau make pakaian terbuka di depan umum.” Aku menjawab dengan ragu.

Miska menarik napas dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. “Yaudah, naik. Yang penting entar pelanggan lu buat puas.”

Aku mengangguk. Setelah mengunci pintu kost, segera aku naik ke jok belakang dengan pegangan pada pinggang Miska. Ia tampaknya sudah terbiasa dengan setelan seperti itu, tampak begitu nyaman dengan apa yang ia pakai. Sementara di postingannya ia tidak pernah seterbuka itu, mungkin menghindari kecurigaan orangtuanya.

“Loh, kok ke sini?” Aku bertanya penuh heran ketika motor berbelok ke kompleks warung psk.

Aku tahu betul tempat yang kami kunjungi ini sangat tidak aman dan rawan razia Satpol-PP. Terkadang polisi langsung yang turun tangan, sebab di sini tempat judi dan barang-barang haram.

“Terus ke mana lagi? Daripada uangnya kepotong buat sewa hotel. Di sini lebih murah.” Miska berucap dengan santai.

“Batalin aja, ya.” Nyaliku semakin dibuat menciut.

Melihat kondisi sekitar, bisa dibayangkan seperti apa pelanggan yang dimaksud oleh Miska. Bertato, bau, dan tidak terawat. Aku tidak ingin memberikan kesucianku untuk orang semacam itu. Jika memang harus menjual diri, setidaknya di tempat yang sedikit lebih layak dibanding ini.

Seorang pria berlari menghampiri kami setelah Miska melambaikan tangan.

Aku menghela napas dalam. Tebakanku sangat benar. Lelaki itu tinggi, tapi kurus. Ia tidak mengenakan baju. Tubuhnya penuh tato dengan bau alkohol yang menyengat.

“Jangan hiraukan bau alkoholnya, pikirkan nominal uangnya.” Miska berbisik ketika melihat aku mengibaskan tangan karena tidak tahan dengan bau lelaki itu.

“Lumayan.” Lelaki itu berucap sembari menatapku dari atas hingga bawah.

“Uangnya di muka.” Miska berucap dengan tegas.

“Aman.” Lelaki itu merogoh saku, lalu mengeluarkan dompet yang menurutku isinya tidak terlalu tebal. Seperti penampilan dan tampangnya, ia bukan orang beruang.

Lelaki itu menyerahkan delapan lembar uang seratus ribu. Miska menerima dengan senyum merekah. Tampak sekali ia sangat senang ketika mengulurkan tangan.

“Nih, lima ratus ribu. Dua jam lagi gue jemput ke sini.” Miska berucap sembari menyerahkan lembaran uang itu.

Sial, pantas saja dia senang. Ternyata ia sengaja menjualku karena ia mendapat komisi yang nominalnya tidak jauh berbeda. Enak sekali dia, aku yang kerja, dia yang kenyang.

Miska menyalakan motor dan bergegas pergi, aku ditarik oleh lelaki itu untuk memasuki sebuah bilik yang cukup bau.

Jantungku seakan berhenti berdetak. Napas tertahan untuk beberapa saat. Tubuhku gemetar. Keringet dingin membasahi jidat. Aku benar-benar sangat takut ketika kedua tangan lelaki itu hendak melepas pakaian yang melekat di tubuhku.

Seketika aku merasa sangat kotor dan berdosa. Meminta pengampunan terhadap Tuhan untuk jalan salah yang telah aku tempuh.

Kupejamkan mata sembari melapalkan doa, jika aku mati dalam berzina, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi ketika bajuku terjatuh ke lantai. Secara bersamaan terdengar sirine mobil polisi, membuat lelaki itu menghentikan aksi dan lekas berlari pergi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nengy Rohaeni
ceritanya ada suka dan ada dukanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 2. Sebuah Tawaran

    Di luar terdengar begitu riuh. Langkah kaki terdengar saling beradu, juga teriakan-teriakan para lelaki maupun wanita memekak saling bertautan. Sejenak aku tidak tahu harus berbuat apa. Membatu dalam posisi berdiri karena terlalu syok. Belum hilang kepanikan karena hampir di-unboxing, kini ditambah lagi rasa panik karena terkena razia. “Kabur, gobl*k!” Ucapan lelaki itu membuatku tersadar. Pintu bilik yang terbuka membuat siapa pun dengan mudah untuk menatap ke dalam. Segera aku merunduk, memungut kaus panjang yang sempat dibuka oleh lelaki yang hampir meniduriku malam ini. Kukenakan kaus itu sembari meraih tas dan berlari dengan cepat. Namun sial, baru beberapa langkah aku keluar dari bilik, sepasang tangan kekar mencekal lenganku. Sekuat apa pun memberontak, cekalan itu tidak terlepas sama sekali. Aku diseret paksa untuk mengikuti langkahnya menuju mobil patroli. Di dalam sana, telah tertangkap beberapa orang. Termasuk lelaki yang telah membeliku malam ini. Tubuhku didorong de

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 3. Kerja Sama

    Aku kembali bergabung bersama rombongan. Menunggu tahapan selanjutnya. Benar kata wanita tadi, kami diminta untuk menginap di sini malam ini. Namun, tidak di dalam sel. Ada kamar khusus untuk kami tempati. Wanita dan pria dipisah. Hanya kamar kosong. Tanpa perabotan apa pun. Bahkan alas tidur pun tidak ada. Hanya ada lantai keramik tempat berbaring. Ponsel yang berada dalam tas bergetar. Aku meraih untuk memeriksa pesan apa yang masuk. Nama Miska tertera di sana. Anak ini! [Katanya razia. Lu aman gak?] Ternyata ia masih ingat denganku meskipun telah mendapatkan uang itu. [Aman, disuruh nginap di kantor polisi.] Aku mengirimkan sebuah foto sebagai penguat bahwa aku tertangkap. Kutunggu beberapa menit, tidak ada tanggapan sama sekali. Entah apa yang tengah ia lakukan. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Yang jelas, dia bukan teman yang patut untuk dipertahankan. [Lu dimintain uang berapa?] Pesan dari Miska kembali masuk. Tampaknya ia telah khatam masalah yang seperti ini. [Em

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 4. Pertemuan dengan Sergio

    “Bagus! Saya suka jawabanmu.” Sergio terdengar begitu semangat. Tampaknya lelaki itu memang sangat ingin agar aku bergabung sesuai dengan permintaannya. “Aku harus apa?” Aku bertanya memastikan. Ingin tahu apa yang harus dilakukan sebagai permulaan. Sebab, benar-benar belum tahu sama sekali seluk-beluk dunia seperti itu. “Jam makan siang temui saya. Tempatnya akan saya share nanti.” “Siap.” Aku menjawab dengan semangat. Tertular semangat lelaki itu. Hanya itu perbincangan kami. Tidak ada bahasan tambahan. Panggilan langsung ia tutup setelahnya. Aku jadi penasaran. Tidak sabar ingin melakukan pekerjaan. Sebab, sudah terlalu lama menanti memegang lembaran banyak uang. Toh, aku hanya diminta bekerja sama. Tidak diminta untuk jual diri sungguhan. Nanti akan kupastikan benar-benar ketika bertemu saat makan siang. Kulirik jam yang tertera di pojok kiri ponsel. Sudah pukul 09.15 pagi. Jauh terlambat jika harus berangkat kerja. Mungkin aku berhenti saja. Gajinya juga tidak mencukupi, sem

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 5. Dunia yang Tak Pernah Terpikirkan

    “Mengapa kau hanya diam?” Aku mendesak agar ia lekas menjawab.“Dipikir bagaimana pun, tentu saja ini berbahaya. Kita berurusan dengan orang penting. Salah bertindak sedikit saja, nyawa taruhannya.” Ia berucap sangat serius.Ah, ternyata memang tidak ada cara yang mudah dalam mendapatkan uang. Aku yang bodoh karena menganggap ini pekerjaan yang gampang.“Tapi tenang saja. Saya yang akan betanggung jawab. Asal kamu melakukan apa yang saya minta.” Sergio berucap sangat meyakinkan.Aku semakin dilema. Entah seberapa bahayanya pekerjaan ini, yang terpenting bayarannya sangat tinggi. Aku butuh uang banyak.“Kau yakin akan selalu memihakku?” Aku bertanya memastikan.“Tentu saja.” Ia menjawab dengan cepat. Kemudian beranjak untuk membawa barang bawaan masuk ke dalam mobil.Tidak ada lagi keraguan di dalam dada. Apalagi mengingat pesan yang dikirim oleh Devan. Aku sangat butuh uang, apa pun caranya.Aku ikut masuk dan duduk di kursi depan samping kemudian setelah semua barang dimasukkan ke b

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 6. Kost Rasa Hotel

    Mobil berbelok ke sebuah kawasan yang menurutku cukup elit. Ada banyak bangunan kokoh dengan suasana yang bersih dan terjaga. Sepertinya cukup damai jika tinggal di sana. Mobil berhenti setelah kami tiba di tempat parkir. Hanya ada dua tiga motor yang terparkir di sana. Juga beberapa mobil yang bertengger tidak jauh dari barisan motor. Sergio turun setelah mematikan mesin mobil. Aku ikut menyusul. “Ini kost?” Aku bertanya memastikan. Ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kemudian berjalan menuju bagasi untuk mengeluarkan barang. “Sepertinya barang-barang ini tidak terlalu diperlukan lagi.” Sergio menatap tumpukan barang yang ia letakkan di dekat kaki mobil. Aku hanya diam, menyimak sembari memerhatikan tas besar berisi baju-baju, bantal juga guling, rice kooker, peralatan mandi, dan perlatan masak seadanya. “Semua keperluan ada di sana. Jika ingin masak, ada dapur umum bebas pakai. Ada dua dapur, dapur bersih juga dapur kotor.” Ia menjelaskan. Aku hanya mengangguk

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 7. Bapak Beranak Tiga

    Sergio tertawa setelah menatapku dengan sangat serius. Ia tampak puas melihat ekspresi keterkejutan di wajahku. Gigi grahamnya tampak dengan jelas ketika ia tertawa. Cukup manis, tapi sayang bukan tipeku. “Saya becanda. Saya sudah punya istri dan tiga orang anak.” Ia menjelaskan tanpa kuminta. Waw? Realy? Tiga orang anak? Sungguh tidak pernah kusangka jika ia sudah jadi seorang ayah. Sebab, ia masih tampak begitu muda. Jika masalah statusnya yang sudah menikah dari awal aku sudah mengira. Karena ada cincin yang melekat di jari manisnya. “Ini gedung atas nama istri saya. Nanti saya coba diskusikan agar diberi diskon.” Ia melanjutkan. Sialan! Hampir saja aku jantungan. Mengira jika ia benar-benar menginginkan aku menjadi simpanan. “Di bawah sepuluh juta?” Aku bertanya memastikan. Lagi, ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kuhela napas dengan dalam. Rasanya terlalu berat menarik napas di tempat ini. Karena aku belum bisa memastikan akan sanggup melunasi semua hutang

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 8. Uji Mental

    Sejenak kami terdiam dengan saling pandang. Ia memberikan senyum smirk yang menonjolkan kesan menyeramkan. “Kau yakin ingin menolak?” Sergio bertanya meyakinkan. Ia menatap seolah ingin menelanjangi. Tatapan itu sungguh menakutkan. Tajam, dan menusuk. Aku terdiam. Gemetar. Kali ini aku benar-benar takut melebihi apa pun. Bahkan lebih takut dibanding dengan malam terkutuk itu. Aku rasa ini benar-benar sebuah jebakan. Aku telah masuk terperangkap ke dalam lubang yang telah ia gali. Terlalu memikirkan duniawi hingga tidak memikirkan risiko yang ada. “Oke. Kau mau apa?” Aku bertanya dengan suara bergetar. Wajah lelaki itu memerah. Sejenak ia kembali terdiam. Kukira ia akan marah dan main tangan. Ternyata dugaanku lagi-lagi salah. Wajah memerah itu bukan karena menahan amarah, tapi karena menahan tawa. Tawanya pecah seketika. “Ternyata hanya sebesar itu perlawananmu. Saya pikir kau akan melakukan perlawanan yang lebih besar lagi.” Ia tidak bisa menghentikan tawa. Apa ini? Benar-ben

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 9. Bukan Wanita Penggoda

    Kuhela napas dalam-dalam. Mencoba untuk menetralkan perasaan sebelum menghubungi Sergio. Kabar yang kudapat dari Devan benar-benar membuat stress. Jika sudah begini, kiriman tiap bulan harus kutambah. Sebab, selain untuk biaya hidup mereka, juga biaya berobat Bapak. Tentunya. “Ada apa?” Sergio langsung bertanya setelah panggilan terhubung. Sejenak aku terdiam. Tidak enak hati jika selalu menyusahkan Sergio untuk segala hal. Baru beberapa hari kami bertemu, hutangku telah menumpuk banyak. “Kau butuh berapa banyak?” Seolah paham mengapa aku diam, ia langsung bertanya. “Sepuluh juta saja. Katanya bapak harus dioperasi. Jadi, butuh biaya mendesak.” Aku berucap dengan nada sungkan. Sergio terdiam sejenak. Kudengar ia tengah berbicara dengan seorang wanita. Mungkin istrinya. Terdengar samar juga suara anak kecil yang tengah bermain sembari berteriak kegirangan. Tidak salah lagi, mungkin ucapan tentang bapak anak tiga adalah sebuah fakta. “Kirim nomor rekeningnya ke WA. Nanti saya ki

Bab terbaru

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 70. Ending

    “Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 69. Pisah

    “Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Paet 68. Ditinggal Sendiri

    “Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 67. Larissa Hamil

    Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 66. Terbakar Api Cemburu

    “Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 65. Sesal

    Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 64. Tidak Ada Pilihan

    Wanita paruh baya itu bersikap acuh tak acuh. Sekeras dan sememelas apa pun aku meminta restu agar diperbolehkan ikut dengan Sergio ke Jakarta, ia tetap tidak mengizinkan. “Satu langkah saja kamu keluar dari rumah ini sama Sergio, jangan pernah injakkan kaki lagi ke rumah ini.” Ibu berucap dengan sangat tegas. Ia tidak main-main dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya. Terlihat keseriusan di sana. Sebenci itu dia terhadap suamiku? Ternyata benar, cinta tidak akan selamanya tetap berbentuk cinta. Ibu pernah sangat mencintai Sergio, menganggap dia adalah pahlawan keluarga. Namun, kini cinta itu telah berubah menjadi benci yang tiada tara. “Aku sudah menikah, Bu. Sergio lebih berhak atas aku dibanding Ibu.” Aku terus memberikan jawaban yang serupa. Sergio kembali setelah ia pergi beberapa waktu yang lalu entah ke mana. Ia pulang dengan membawa tentengan. “Aku sudah membeli keperluan dapur dan peralatan mandi untuk stock satu bulan. Mungkin lebih.” Sergio berucap seraya

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 63. Suamimu atau Ibumu?

    Ibu hanya diam saat ia pulang dan menemukan Sergio telah ada di rumah. Tidak ada tegur sapa, tidak ada basa-basi apa pun sama sekali. Sikapnya masih saja sama. Bersikap seolah Sergio tidak ada. Senyum lelaki itu hanya dibalas dengan wajah datar. Aku memerhatikan ekspresi Sergio setiap waktu. Memastikan bahwa ia tidak apa-apa dengan sikap Ibu. “Kau tidak apa-apa?” Aku bertanya dengan perasaan entah, saat tegur sapanya pada Ibu tidak ditanggapi sama sekali. Wanita paruh baya itu berjalan melewati, bahkan tidak menoleh sedikit pun. Rasanya lebih sakit ketika Ibu mengabaikan Sergio daripada ketika Ibu mengabaikan aku. Rasa sakitnya terasa dua kali lipat lebih parah. “Mungkin ibu capek, baru pulang kerja.” Sergio masih berpikir positif. Aku hanya bisa menghela napas dengan berat. Kami tengah duduk di kursi ruang depan. Membahas hal yang tidak terlalu penting. Berdiskusi untuk mengusir rasa sepi. Namun, setelah Ibu pulang, suasana malah terasa semakin mencekam. Terdengar bunyi perabota

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 62. Gosip yang Terlalu Cepat Menyebar

    “Jangan bicara sembarangan. Aku sibuk mengurus banyak hal, tidak ada waktu lagi jika harus menambah satu wanita.” Sergio langsung menyangkal tuduhanku yang tidak berdasar. Aku tahu ia tidak seburuk itu, hanya saja jauh darinya membuatku memikirkan banyak hal yang negatif tentangnya. “Kau tahu kenapa aku tidak ingin pisah rumah?” Ia bertanya dengan nada entah. “Karena aku tahu LDR itu tidak pernah memiliki ending yang baik.” Ia menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. “Aku akan menyusul ke sana beberapa hari lagi agar kau berhenti berpikir negatif.” Ia terus mengoceh tanpa henti, tidak memberikanku waktu untuk membalas setiap kalimat yang ia lontarkan. Aku hanya menarik napas berat, merasa menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang mungkin telah menyinggung perasaannya. “Kita bicara lagi nanti. Aku harus menjemput Larissa sekarang.” Sergio kembali ke setelan awal. Berucap dengan penuh kelembutan. Aku hanya mengangguk dengan lemah meskipun ia tidak bisa melih

DMCA.com Protection Status